Aku mau buat satu catatan kecil, hihihi. Barangkali ada yang sudi bantu promosikan cerita ini, saya akan sangat berterima kasih. Happy reading.
Alarm ponsel Divya bergetar pukul enam pagi. Gadis itu merenggangkan otot-otot tubuhnya yang terasa kaku. Tidurnya sangat nyaman meski sempat terbangun tengah malam. Matanya menyapu sekeliling dan senyum tipisnya mengembang. Mengingat apa yang terjadi semalam. Kendati dirinya merasa bodoh dengan melakukan hal gila tetapi dia bahagia.“Gue beneran jatuh cinta ama dia?” gumam Divya. Ia menyibak selimutnya dan menurunkan kedua kakinya. Keluar dari kamar dan tidak mendapati Ghazi di ranjang luar.Divya menggedikkan bahu dan kemudian berdiri di samping pembatas kaca. Menikmati embusan angin pagi ini. Mendung sudah berjejer di langit. Hanya awan hitam yang tampak, sehingga udaranya semakin bertambah dingin.“Aku sudah buat sarapan untukmu. Tugasmu ada di meja ruang tengah.” Suara Ghazi yang khas selalu mampu mengalihkan perhatian Divya kepada sosok yang saat ini berdiri cukup jauh dari Divya.Menampilkan otot-otot tubuhnya, lencir karena terkena keringat. Ghazi baru saja melatih masa ototny
“Divya, kamu gila? Ini diluar angkasa, gila!” seru Ivy yang terkejut dengan semua penuturan Divya. Mulai dari semua fasilitas yang diberikan Ghazi pada gadis itu hingga pengakuan perasaan Divya yang mana sejatinya Ivy sudah menduganya sejak awal. Kisah cinta mereka sepertinya mudah ditebak, tetapi siapa yang sangka akan secepat ini?“Ya, gue nggak bisa ngendaliin otak gue, Iv. Gue gila ‘kan?” tanya Divya seraya memperlambat lamgkahya sebelum keluar dari gedung kampus.“Ya, kamu emang gila— tergila-gila ama Ghazi,” ejek Ivy dengan mengulum senyum. Menggoda Divya sepertinya sungguh hal yang asyik untuk saat ini. Cara mereka melepas penat setelah digempur dengan tugas-tugas kuliah yang menumpuk.Gadis itu telah berhasil mengumpulkan tugas dan diminta untuk revisi sedikit dari beberapa halaman yang terkumpul. Bahkan sang dosen mengatakan akan mempercepat sidangnya jika Divya berhasil memperbarui nilai-nilainya.“Kalau kamu bisa lulus cepat, apa rencanamu selanjutnya?” tambah Ivy. Keduanya
Dengan balutan kemeja putih dan celana panjangnya, Ghazi harus bergulat dengan peralatan dapur. Ia melipat lengan kemejanya hingga batas siku. Melepaskan tiga kancing paling atas bajunya agar tidak terlalu gerah, karena pria itu belum menguyur tubuhnya.Memotong, memanggang serta menumis untuk makan malam bersama. Ghazi sangat jarang mengundang pelayan untuk memasak makanannya. Pria itu sangat pemilih hanya sekedar untuk memasukkan makanan. Ia tidak suka makanan yang banyak mengandung kalori atau bahkan lemak.Divya turun setelah selesai membersihkan dirinya. Awalnya sengaja mencari keberadaan pria itu. Tidak melihat wajah Ghazi yang tegas dan penuh kharisma itu membuat dirinya rindu. Hingga harus menemukan di mana pria itu berada. Kini, setelah sampai di dapur ia melihat aksi Ghazi yang jelas tidak tengah dipertontonkan untuk siapapun. Hanya dengan balutan kaus oblong kedodoran miliknya. Menampilkan kakinya yang panjang serta sebelah bahunya yang terkadang pakaian itu melorot.Gadis
Setelah kepergian Divya, tepat pukul sepuluh Ghazi pun keluar dari rumahnya. Memenuhi permintaan gadis itu yang menginginkan sebuah pernikahan yang serius. Langkah awal Ghazi adalah membeli sebuah cincin pernikahan untuk melamar wanita bar-bar tersebut. Menggunakan motor sportnya Ghazi meliuk-liuk di jalanan. Menyalip pengendara lain dan suara desing mesin itu sama sekali tidak mengganggu penguna jalan. Ia leluasa menikmati perjalanannya.Ghazi tidak pernah tahu di mana letak toko perhiasan terbaik di Briona. Hingga keputusannya jatuh pada pencarian pada web yang ada di ponselnya. Ghazi akan memasuki satu demi satu toko itu untuk melihat kualitas dan pelayanannya. Pria itu sungguh pemilih.Toko pertama Ghazi datangi, ia memarkir motornya dan kemudian mendekati pintu masuk.“Selamat datang,” sambut seorang wanita dengan seragam setelan hitam dan dalaman berwarna putih, ada pita yang pengikat di lehernya sebagai aksesoris. Senyumnya ramah dan sopan.“Terima kasih,” balas Ghazi. Ia digir
Kali ini Divya mengenakan gaun panjang tanpa lengan. Hanya seutas tali selebar jari di kedua pundaknya. Bagian punggung yang rendah serta belahan dada Divya yang terlihat menonjol. Kemudian belahan di bagian samping yang terlampau panjang hingga melewati lututnya. Memamerkan kaki serta paha Divya yang seputih salju.“Huh— Ghazi, sialan! Dia sengaja memilih pakaian norak ini? Sialan, gue nggak bisa jalan,” gerutunya. Gadis itu menata rambutnya sendiri. Menyisakan beberapa helai agar tetap terjuntai dan mengikat tinggi tanpa sisa seluruh rambut bagian belakangnya.Lagi-lagi lehernya yang panjang terekspos, Divya memang cocok untuk menjadi model. Akan tetapi jika sikapnya bisa sedikit lebih lembut dan feminin lagi. Sayangnya, Divya hanyalah Divya. Dia menjadi dirinya sendiri. Karakternya yang unik dan tidak mudah untuk terintimidasi.“Oke, kurasa gue udah cantik dari sononya ‘kan? Ngapain repot-repot dandan, kalau udah tahu hasilnya bakalan sepektakuler?” Bukan Divya namanya jika tidak m
Setelah makan malam dua sejoli yang hubungannya mulai terarah itupun kembali menikmati malam-malam yang hening di bawah pancaran indusrami. Divya menikmati tiupan angin di kursi gantung. Ia merasa begitu nyaman diposisinya sekarang. Memainkan jemarinya yang lentik di layar ponsel. Apa lagi jika bukan bertukar pesan pada Ivy. Bahkan dia memotret cincin yang melingkar di jari manisnya sebelah kanan.Sementara Ghazi pria itu duduk pada sofa menghadap laptop. Wajahnya serius dan Divya sesekali mencuri pandang padanya. Merasa bahwa pria itu terlihat lebih tampan dari hari-hari sebelumnya.“Ada sesuatu di wajahku?” pungkas Ghazi tanpa menatap ke arah gadis itu.“Dih! Kepedean! Kenapa harus kerja di sini? Apa gunanya ruang kerjamu, hah?” ketusnya, untuk menutupi hal yang sudah jelas tidak mampu dia singkirkan. Bahkan bagaimana gadis itu bisa melupakan kata-katanya terakhir kali sebelum makan malam tadi?Ghazi hanya menanggapi dengan senyumannya. Jika, Divya kehilangan arahnya, dirinyalah yan
Ghazi menembus hujan siang ini. Pria itu memikirkan banyak hal, termasuk apa tanggapan Hendery nanti. Mungkin jelas pria tua itu akan marah. Namun, dalam benaknya hanya ada ‘semuanya demi Divya’. Semenjak mengucapkan janji pernikahan dihadapan penghulu dan disaksikan dua pasang saksi serta Tuhan. Ghazi tidak berniat sama sekali mempermainan ikatan suci itu. Dari tuntunan pekerjaan, menjadi perjanjian dengan gadis itu, kini berakhir pada tanggung jawab yang harus dia emban seumur hidupnya.“Ada yang salah, Divya?” Pria itu menoleh sejenak pada Divya. Sejak masuk ke dalam mobil hingga setengah perjalanan wanita berambut panjang itu tidak mengeluarkan suara sedikit pun.“Nggak. Cuma lagi mikir aja, terakhir kali gue ke sana gue pergi dalam kondisi kesal. Gue lagi bayangin apa lagi kali ini yang bakal diberikan Papa untuk kejutan,” jawab, Divya dengan wajah lesu. Ia kehilangan semangatnya sejak Ghazi serius ingin membawanya kembali ke rumah.“Nggak bakal ada apa-apa, Divya. Mereka akan te
“Kenapa Lo bego banget, Ghaz?” gerutu Divya sembari menatap muka Ghazi dengan jengkel. Dia marah karena, tidak mampu menolong pria itu dari amukan ayahnya sendiri. Dia juga sadar kondisi itu memburuk juga karena ulahnya meninggalkan bekas ciuman di leher pria itu.Mereka kembali setelah laki-laki itu mendapatkan luka serius. Divya sempat membawa Ghazi ke rumah sakit. Sampai di sana, dokter mengatakan bahwa tidak ada yang perlu dicemaskan. Luka itu akan sembuh seiring dengan berjalannya waktu.“Tuan Hen bukan lawanku, Divya. Dia hanya orang tua yang kesal anaknya dihamili laki-laki bukan pilihannya,” papar Ghazi dengan mulut yang tidak bisa terbuka dengan lebar.Tubuh Ghazi rebah di atas ranjang miliknya di balkon. Kini, Divya ikut berbaring di sisinya dan mempererat jaraknya pada pria yang sudah mencuri hatinya sampai akar.“Harusnya Lo nggak maksa buat datang ke sana. Gue yakin, acaranya bakal tetap lancar kok,” sesal Divya. Ia benar-benar tidak rela melihat Ghazi terluka.“Aku hanya