Mata Divya berkaca-kaca, ia melihat Ghazi dengan balutan jas rapi, warna senada dengan gaun miliknya. Pria itu tampak sangat menawan, apa pun warna pakaian yang dia kenakan selalu menyatu dengannya. Tatapan Divya beredar pada semua orang yang ada di sana. Tidak ada seorang pun diantara mereka yang dia kenal. Ini adalah keharuan yang luar biasa. Ia menyeka air matanya.Tangan Ghazi terulur menyambut Divya yang tampak sangat anggun. “Kamu menawan, Divya,” puji, Ghazi dengan berbisik tepat pada telinganya.“Aku tahu! Bukankah setiap hari aku selalu cantik?” timpalnya dengan air mata yang masih berlinang.“Aku harap kehadiran mereka tidak mengurangi kebahagaiaanmu.” Secara cepat Divya menggeleng.“Tentu saja, tidak! Bahkan aku sama sekali tidak kepikiran seperti yang kamu pikirkan, Ghaz.” Ghazi mengecup kening, Divya. Bibirnya yang hangat membuat jantung Divya bergetar saat menyentuh permukaan kulit keningnya. Padahal hanya sebuah kecupan di kening, apa istimewanya? Namun, wanita selalu s
Gadis bermata cokelat itu membuka matanya. Rambutnya tampak berantakan. Kelopaknya terasa berat. Mengangkat tangannya untuk mencekal kepalanya yang terasa sedikit pening. Ia terbangun karena mentari sudah memecah sinar menerpa mukanya.“Kemana big bear itu?” batinnya. Ia lantas mengedarkan pandang ke sekeliling ruangan kaca. Tidak mendapati Ghazi di sana. Divya bangkit. Duduk dan menjulurkan kakinya menyentuh lantai. Sekarang, ia bisa mengetahui di mana laki-laki besar itu. Seketika senyumnya mengembang layaknya bulan sabit kala malam.Ingatannya tertarik mundur saat semalam sebelum mereka tidur bersama. Benarkah? Sepertinya tidak.Setelah mendapatkan ciuman panas dari Ghazi. Keduanya lantas melepas seluruh pakaiannya. Dua insan yang tengah dilanda gairah. Hasrat yang melilit kesadaran mereka.Pautan itu masih terus berlanjut. Hingga tiba saat Ghazi meniti setiap permukaan kulit Divya yang seputih susu. Leguhan Divya terus keluar dari bibirnya yang terlihat semakin seksi. Matanya terp
Divya melamun sepanjang kelas yang dia lalui. Gadis itu tidak mampu menarik kesadarannya dari kejadian semalam. Merasa penasaran sekaligus bersalah pada suaminya. Begitu mengingat kata suami, senyum terulas di bibirnya.“Kesambet kamu?!” celetuk Ivy dengan penuh tekanan karena harus menahan suaranya agar tidak didengar oleh dosen mereka.“Gue rasa, iya. Kesambet timun roman Ghazi,” ujarnya blak-blakan.Ivy menoyor kepala Divya tanpa ragu. Selain bar-bar kini bertambah lagi kegilaan Divya yaitu, mesum. “Bisa-bisanya pikiranmu sekotor itu, Div?” bisik Ivy lagi.“Nggak bisa dilupain. Lo tahu, Ghazi— ugh!” Matanya setengah terpejam layaknya orang mabuk. Sekali lagi Ivy mendorong dahi Divya, hingga gadis itu tertawa terbahak.“Maaf, Pak,” sesalnya lekas menutup mulutnya karena takut pada sang pembimbing. Semua mata kini menatap ke arahnya.Obrolan kasak-kusuk mereka terus berlanjut hingga kelas usai. Divya merogoh tasnya untuk mencari ponselnya.“Keknya gue mo balik aja, deh. Nggak betah g
Secara impulsif, Ghazi lekas menggeser Divya untuk berdiri di belakang punggungnya. Pria itu mendekati laki-laki yang berani menyentuh sang istri tadi.“Apa maumu?” tegas, Ghazi dengan tatapan yang tajam.“Sorry. Gue hanya nyapa Divya. Gue temen kuliahnya. Nggak deket, sih. Hanya calon adik ipar yang gagal,” ujarnya.“Oh, si minimal?” sergah Divya. Pantas dia tampak tidak asing. Keduanya hanya bertemu sekali di taman kala itu.Ghazi pun langsung ingat akan pertemuan mereka. Namun tidak lantas menyingkir untuk melindungi Divya. Pria itu masih intens menatap Sunu menjelaskan masalahnya menemui gadis itu.“Minimal?” ulang Sunu.“Ya! Gue pernah bilang kalau lo ngelindur dengan bilang calon kakak ipar waktu itu. Karena lo nggak mandi, minimal cuci muka. Ingat?” Divya melebarkan senyumnya. Seakan ejekan itu hanya sebuah candaan yang lucu.“Oh— ya, gue inget. Gue tahu alasannya sekarang. Gue rasa kalian emang lebih cocok, sih,” timpal Sunu.“Sepakat! Lo nggak bakal balas dendam atas nama kak
“Aku kira tidak lagi ada pertanyaan, Divya,” timpal Ghazi dengan memberikan sunggingan senyum.“Bukti kalau aku bukan wanita yang bisa menepati janji.” Keduanya tertawa. Hingga kedekatan itu terasa begitu intens. Divya terhenti dengan bola mata memusat pada bibir Ghazi. Dia sungguh ingin mencium bibir laki-laki yang tidak pernah menyentuh rokok. Benarkah?Namun, kali ini Ghazi yang justru membuat permulaan. Seakan dia tahu ke mana mata Divya bertengger. Pria itu lantas menangkup wajah Divya dan mendaratkan bibirnya pada mulut Divya. Melumatnya dengan lembut. Namun, Divya justru membalasnya dengan brutal. Ia mengubah posisinya yang semula duduk dengan posisi miring kini membuka lebar kedua kakinya dan kembali duduk di pangkuan Ghazi.Leguhan kecil itu keluar dari mulut Divya di tengah pautan mesra mereka. Bukan hanya sebuah kuluman mesra, tetapi kini ciuman itu suatu hal yang menggiring mereka pada tuntunan lebih. Divya tersentak kaget kala telapak tangan Ghazi bersarang pada buah dada
Tangan Divya terampil memotong dan menggiling rempah-rempah bakal ia buat makan malam ini. Ia sudah menyiapkan satu buah nanas utuh serta daging bagian iga yang tebal. Gadis itu menggulung nanasnya dengan daging sapi. Kemudian menusuknya dengan tusuk gigi agar tidak terlepas dan membalurnya dengan potongan tomat, paprika serta rempah-rempah yang sudah ia haluskan. Kemudian memanggangnya.Sembari menunggu ia menyiapkan white wine yang sesuai dengan olahan dagingnya malam ini. Ghazi terlihat menuruni tangga dan berjalan ke arahnya. Senyumnya sudah ia tunjukkan pada wanita yang sekarang seperti seorang koki betulan.“Butuh bantuan?” Divya berbalik badan, menyandarkan pinggangnya pada meja dan menggeleng.“Tidak ada. Sebentar lagi usai. Boleh aku mandi dulu?” izinnya.“Tentu. Aku bisa mengangkatnya nanti.” Gadis itu mendekatkan diri pada Ghazi dan menyambar satu ciuman singkat pada bibir Ghazi.Namun, di luar dugaan, pria itu justru menahan Divya agar tidak melepaskan pautannya. Ia mencek
Divya keluar dari ruangan dosen pembimbing. Wajahnya kusut, muram, dan tidak menampakkan sama sekali semangat di sana. Ivy lekas mendekati sahabatnya begitu melihat gadis itu keluar. Merangkulnya sembari sedikit berjinjit.“Kenapa? Revisinya gagal?” tanya Ivy. Menarik lengan Divya agar duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka.“Bukan gagal lagi, tapi kacau. Lo, tahu kemarin gue hanya butuh revisi sedikit doang, tapi sekarang malah gue suruh milih buat ulang dengan tema lain atau ikutan KKN. Cuma gegara gue telat setor revisian, gilak! Masa iya gue kudu blusukan ke desa-desa,” keluh Divya dengan wajah memberengut. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kayu tersebut.“Nggak ada keringanan gitu, buat lo revisi yang pertama? Minta tenggang waktu seminggu gitu,” papar Ivy. Divya menggeleng sebagai jawaban bahwa keputusan dosen sudah final.“Lagian kamu, sih. Ngapain aja? Kemarin kamu juga bolos kan? Kenapa nggak ngerjain revisian? Udah dikasih enak juga,” gerutu Ivy ikut geram.“
Lima hari penuh, Divya berkutat dengan pikirannya sendiri. Keputusannya mentok pada KKN, setidaknya di sana dia bisa mengerjakan tugas dan kembali dengan beban yang tidak akan membuat kepalanya pecah, kecuali rindu yang harus dia tanggung. Sampai hari ini, mereka pun gagal mencoba penetrasi. Sialnya, Divya justru haid di hari-hari terakhir sebelum wanita itu berangkat.Untuk kali pertama, Divya jauh dari Ivy. Gadis itu justru berada dalam tim lain dan kian miris karena wilayahnya lebih pelosok dibanding Divya yang lokasinya bisa ditempuh dengan kendaraan sewajarnya. Sementara Ivy, gadis itu harus menggunakan mobil lalu berpindah getek untuk menyeberangi sungai, serta konon di sana susah jaringan internet.Sekarang, Ghazi dan Divya berada dalam perjalanan bersama rombongannya yang terpisah kendaraan dengan Divya. Gadis itu meminta Ghazi untuk mengantarnya. Setidaknya pria itu harus tahu di mana gadisnya akan tinggal dan dengan harapan bahwa Ghazi tidak akan kembali ke kota.“Lo yakin n
Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm
Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang
Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka
Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah
Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu
Bab 89Ghazi dan Divya segera berlari ke arah kamar, di mana Rayyan meraung-raung di sana. membuat pasangan tua, Dadang dan istrinya kewalahan. Sungguh bocah itu tidak bisa jauh dari Divya. Hanya wanita inilah yang mampu membuatnya tenang.“Sayang, anak Ibu. Kenapa nangis lagi? Ibu hanya keluar sebentar,” tutur Divya lembut. Dia merasa bersalah karena harus keluar pagi itu. Seharunya momen ini menjadi lebih indah jika saja ia tidak keluar, dia bisa menikmati pagi bersama bayi laki-laki itu.Akan tetapi, Divya juga tidak bisa membiarkan suaminya sendirian lagi. Dia sudah berjanji kalau tidak akan keras kepala atau bahkan membuat laki-lakinya kecewa. Sudah cukup keegoisan itu membuat hubungan mereka selalu dalam pertengkaran.“Dasar bocah tengil. Bisa tidak sehari kau beri istriku waktu hanya bersamaku?” Ghazi sungguh geram. Mereka sangat tampak khawatir tadi begitu melihat Dadang dan istrinya bersama-sama mendatangi mereka.Selama itulah, Rayyan menangis, selama kepergian Divya satu ja
Tengah malam, Rayyan menangis tidak henti, padahal suhu tubuhnya snagat normal, tetapi dia benar-benar rewel. Istri Dadang tidak lagi mampu membuatnya tenang. Sampai, Divyalah yang harus turun tangan.“Mau ke mana, Bee?” tanya Ghazi saat melihat sang istri turun dari ranjang.“Kayanya, Ray nangis, Big. Aku turun dulu, ya,” pamit Divya. Ia sudah meninggalkan bayi itu setelah makan malam tadi. Ivy pun juga sudah menyempatkan menelepon mereka. Gadis itu tempak sangat sibuk, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menatap wajah bayinya.Sebetulnya dia enggan untuk tidur di atas. Inilah yang dia takutkan, Rayyan rewel dan menangis tidak bisa ditenangkan kecuali dengan Divya.“Sama aku, Bee.” Pria itu memutuskan untuk ikut turun tangan, takut jika sang istri kelelahan.Mereka turun dan begitu tiba di lantai bawah keduanya melihat Dadang dan istrinya kewalahan mengurus bayi yang terus menangis dengan sangat kencang itu. Divya ingat saat pertama kali mendengar tangisan bocah itu saat hari perta
[Aku harus keluar kota, Divya. Bisakah titip Rayyan sampai besok sore?]Sebuah pesan singkat diterima oleh Divya tepat pukul lima petang, sang ibu dari bayi itu tampak sangat sibuk.Divya justru tersenyum bahagia. Ia membalas dengan ujaran yang penuh keikhlasan. Mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan akan hal itu. Rayyan adalah bagian dari kebahagiaan Divya saat ini.Di saat cobaan pernikahannya masalah kehamilan, Ivy justru hadir dengan bayi yang menjadi idaman gadis cantik itu.[Terima kasih, Div]Setelah itu, Divya memandikan Rayyan. Mereka tertawa dan sesekali bermain air dan bebek air dalam bak mandi."Rayyan, doakan Ibumu ini bisa memberimu teman, ya. Ibu juga pengen mengurus bayi setiap hari," lirih Divya.Namun, sambutan yang tidak disangka justru diberikan Rayyan. Dia merengek, mencelupkan tangannya ke air sangat kencang hingga menyemprot ke muka Divya."Oh, sepertinya kamu tidak setuju, ya? Cemburuan sekali kamu, hm." Divya menggosok pelan kulit Rayyan. Membaluri tubuh itu