Divya keluar dari ruangan dosen pembimbing. Wajahnya kusut, muram, dan tidak menampakkan sama sekali semangat di sana. Ivy lekas mendekati sahabatnya begitu melihat gadis itu keluar. Merangkulnya sembari sedikit berjinjit.“Kenapa? Revisinya gagal?” tanya Ivy. Menarik lengan Divya agar duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka.“Bukan gagal lagi, tapi kacau. Lo, tahu kemarin gue hanya butuh revisi sedikit doang, tapi sekarang malah gue suruh milih buat ulang dengan tema lain atau ikutan KKN. Cuma gegara gue telat setor revisian, gilak! Masa iya gue kudu blusukan ke desa-desa,” keluh Divya dengan wajah memberengut. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kayu tersebut.“Nggak ada keringanan gitu, buat lo revisi yang pertama? Minta tenggang waktu seminggu gitu,” papar Ivy. Divya menggeleng sebagai jawaban bahwa keputusan dosen sudah final.“Lagian kamu, sih. Ngapain aja? Kemarin kamu juga bolos kan? Kenapa nggak ngerjain revisian? Udah dikasih enak juga,” gerutu Ivy ikut geram.“
Lima hari penuh, Divya berkutat dengan pikirannya sendiri. Keputusannya mentok pada KKN, setidaknya di sana dia bisa mengerjakan tugas dan kembali dengan beban yang tidak akan membuat kepalanya pecah, kecuali rindu yang harus dia tanggung. Sampai hari ini, mereka pun gagal mencoba penetrasi. Sialnya, Divya justru haid di hari-hari terakhir sebelum wanita itu berangkat.Untuk kali pertama, Divya jauh dari Ivy. Gadis itu justru berada dalam tim lain dan kian miris karena wilayahnya lebih pelosok dibanding Divya yang lokasinya bisa ditempuh dengan kendaraan sewajarnya. Sementara Ivy, gadis itu harus menggunakan mobil lalu berpindah getek untuk menyeberangi sungai, serta konon di sana susah jaringan internet.Sekarang, Ghazi dan Divya berada dalam perjalanan bersama rombongannya yang terpisah kendaraan dengan Divya. Gadis itu meminta Ghazi untuk mengantarnya. Setidaknya pria itu harus tahu di mana gadisnya akan tinggal dan dengan harapan bahwa Ghazi tidak akan kembali ke kota.“Lo yakin n
Hari pertama Divya tidur tanpa Ghazi setelah mereka menikah. Dipan dengan alas kasur kapas harus dibagi bertiga. Sempit dan udara dingin dari luar masuk melalu celah-celah dinding bambu. Dua temannya tampak sudah terlelap. Divya menanti telepon dari Ghazi, tetapi ponselnya kehilangan jaringan internet alhasil malam ini tidak ada suara Ghazi. Ia berusaha memejamkan mata, tetapi hal itu sulit dilakukan.“Divya, lo laperkah? Kenapa belum tidur?” celetuk Alin yang terganggu atas setiap gerak Divya. Gadis itu tidur di tengah.“Sorry, gue ganggu lo tidur, ya? Apa sebaiknya gue keluar biar nggak ganggu lo?” lirih Divya. Dia tidak enak hati karena membuat istirahat rekannya terganggu.“Gue hanya tanya, Div. Lo laper? Bukan maksud buat ngusir lo, kok,” timpal Alin.“Dikit. Tapi gue nggak bisa tidur bukan karena laper, sih,” ucapnya sepelan mungkin agar gadis berkepang itu tidak terbangun juga.“Karena lo kangen cowo lo kan?” celetuk Alin yang masih belum memahami ikatan resmi mereka. Mungkin c
Ghazi menatap rumah Divya cukup lama sampai seorang pria yang bertugas untuk menjaga rumah tersebut menghampiri laki-laki itu.Kaca jendela Ghazi terketuk dan pria bermuka kaku itu membukanya. “Ada apa, Tuan terus berada di sini? Kenapa tidak masuk?” tanya sang satpam setelah tahu siapa orang di dalam mobil itu. Awalnya pria berseragam itu hendak memaki tetapi urung.“Tuan Hen ada, Pak?”“Ada, Tuan. Silakan masuk saja.” Ia lantas membuka pintu pagar besar itu. Kendati ia sudah diwanti-wanti untuk tidak membukakan pintu bagi Ghazi dan Divya akan tetapi laki-laki itu melanggar perintahnya hanya demi Ghazi ataupun Divya melihat kondisi sang pemilik rumah. Setelah mobil Ghazi melenggang memasuki pelataran rumah. Ia lantas dengan cepat membuka pintu untuk Ghazi.“Terima kasih, Pak. Bagaimana keadaan mereka?”“Sebaiknya Tuan lihat sendiri saja. Biar lebih enak,” timpalnya terkesan menyembunyikan fakta besar. Ghazi mengangguk dan kemudian berlalu.Ia membuka pintu yang sudah pasti tidak terk
“Akh! Sialan!” umpat Divya seraya meremas ponselnya kuat-kuat sembari memukul angin. Raja yang berjalan di sampingnya dibuat sedikit menyingkir agar tidak kena amukan gadis itu. “Kenapa, sih lo milih lokasi yang gila kek gini?!” erang Divya, kembali memberikan tatapan mematikan pada Raja. “Bukan gue, kali yang milih. Ini udah dosen yang atur. Udah sih, lagian kita juga dapat bantuan ‘kan? Nggak sepenuhnya kita bayar sendiri.” “Bodo! Lebih baik kalau gue bisa lulus dengan bayar gue bayar dah!” teriaknya, dengan muka kesal. Ia lupa pernah menentang hal itu di hadapan Liam dan keluarganya. Kata-kata itu terlontar hanya karena panggilannya terputus padahal, Divya belum sepenuhnya mengobati rindu. Begitu tiba di teras rumah ternyata semua teman-temannya sudah tiba. Bahkan Ria dan Alin sudah berkutat di dapur. Divya menghentakkan pantatnya pada kursi kayu panjang. Melempar tasnya di atas lantai semen begitu saja. Bersandar pada dinding bambu dengan mata terpejam, menikmati rasa lelah yan
Tiga hari berturut-turut desa tempat Divya KKN diguyur hujan. Wanita itu harus terus kehujanan setiap kali berangkat dan kembali ke rumah. Payung yang dipinjamkan warga tidak mampu menyelamatkannya dari tangisan semesta. Kini— di Sabtu sore, angin kencang terus berembus. Sejak jumat kemarin, wanita itu sudah merasa tidak enak badan. Malam ia demam, tetapi pagi tadi masih nekat untuk mengajar. Kendati Raja sudah mencegahnya.“Mau teh anget, Div?” tawar Alin. Diantara mereka yang tidak tahan banting hanyalah Divya. Gadis itu tidak terbiasa melewati cuaca ekstrim seperti ini. Kelima rekannya sudah kebal akan berbagai cuaca. Bahkan Randu dan Akbar justru menggunakan kesempatan ini untuk membantu warga mengatur gorong-gorong agar tidak buntu. Sementara Raja dia harus membantu Ria dan Alin merawat Divya.Divya hanya menggeleng untuk jawaban. Ia tidak mampu menguarkan sepatah kata pun. Tubuhnya menggigil meskipun sudah mengenakan selimut berlapis. Semua rekannya meminjamkan selimut padanya a
“Ngapain kalian di sini?” seru Raja. Tiga pria itu baru saja pulang, setelah jalanan berhasil dilalui dengan menyingkirkan ranting-ranting pohon yang menutup jalanan. Begitu masuk ke pondok mendapati Alin dan Ria rebahan di kursi kayu dan kedinginan.“Ya gimana nggak di sini, Divya tidur bareng suaminya,” seloroh Ria. Sembari mengusap hidungnya yang memerah akibat kedinginan.“Heem. Kita tidur di kamar kalian gimana? Tukar. Kalau nggak kita gelar tiker di kamar kalian. Ya kali mau tidur di luar sini, dingin banget cuy!” tandas Alin. Di dalam kamar mereka bisa mensiasati lubang-lubang dinding bambu itu dengan kardus.“Maaf. Aku ketiduran, kalian bisa tidur di dalam.” Suara Ghazi tiba-tiba ikut menimbrung. Seluruh orang di sana menoleh ke asal suara.“Eh— sorry, kita— kita nggak maksud—”“Santai aja. Lagian nggak ada hakku juga di sini. Kalian bisa tidur di dalam, biar aku di sini,” sergah Ghazi.Tiga pria yang masih basah kuyup itu mematung belum menimpali sama sekali. “Kita bisa berba
Empat minggu berlalu. Setelah semua yang dilewati Divya di pondok bambu itu bersama dengan kelima rekannya kini berakhir. Mereka sudah berkemas dan menantikan Van mereka menjemput. Langit sudah mulai menggelap karena mendung. Padahal jarum jam berada di angka tiga sore. “Nggak nyangka gue sehebat ini,” puji Divya pada dirinya sendiri. Merasa bangga berhasil melewati cobaan selama sebulan jauh dari sang suami. Kendati Ghazi setiap akhir pekan datang, tetapi sedikit pun pria itu malah tidak mengguakan kesempatan untuk bercinta dengannya. Padahal Divya sudah menggodanya semaksimal mungkin. Rasanya pikiran Ghazi selalu sadar. “Ya! Gue setuju. Gue makasih banget ama lo dan suami lo. Berkat kalian, gue nggak terlalu banyak keluar duit.” Kemudian tawa Ria pecah. Dia senang karena bisa menekan pengeluaran. “Ya— kita terima kasih banget sama kalian, Div. Kita doakan apa pun yang lo mau bakal terwujud. Hubungan kalian langgeng sampe kaki-nini.” Raja pun mengalami hal yang sama. Kendati bertu