Ghazi menatap rumah Divya cukup lama sampai seorang pria yang bertugas untuk menjaga rumah tersebut menghampiri laki-laki itu.Kaca jendela Ghazi terketuk dan pria bermuka kaku itu membukanya. “Ada apa, Tuan terus berada di sini? Kenapa tidak masuk?” tanya sang satpam setelah tahu siapa orang di dalam mobil itu. Awalnya pria berseragam itu hendak memaki tetapi urung.“Tuan Hen ada, Pak?”“Ada, Tuan. Silakan masuk saja.” Ia lantas membuka pintu pagar besar itu. Kendati ia sudah diwanti-wanti untuk tidak membukakan pintu bagi Ghazi dan Divya akan tetapi laki-laki itu melanggar perintahnya hanya demi Ghazi ataupun Divya melihat kondisi sang pemilik rumah. Setelah mobil Ghazi melenggang memasuki pelataran rumah. Ia lantas dengan cepat membuka pintu untuk Ghazi.“Terima kasih, Pak. Bagaimana keadaan mereka?”“Sebaiknya Tuan lihat sendiri saja. Biar lebih enak,” timpalnya terkesan menyembunyikan fakta besar. Ghazi mengangguk dan kemudian berlalu.Ia membuka pintu yang sudah pasti tidak terk
“Akh! Sialan!” umpat Divya seraya meremas ponselnya kuat-kuat sembari memukul angin. Raja yang berjalan di sampingnya dibuat sedikit menyingkir agar tidak kena amukan gadis itu. “Kenapa, sih lo milih lokasi yang gila kek gini?!” erang Divya, kembali memberikan tatapan mematikan pada Raja. “Bukan gue, kali yang milih. Ini udah dosen yang atur. Udah sih, lagian kita juga dapat bantuan ‘kan? Nggak sepenuhnya kita bayar sendiri.” “Bodo! Lebih baik kalau gue bisa lulus dengan bayar gue bayar dah!” teriaknya, dengan muka kesal. Ia lupa pernah menentang hal itu di hadapan Liam dan keluarganya. Kata-kata itu terlontar hanya karena panggilannya terputus padahal, Divya belum sepenuhnya mengobati rindu. Begitu tiba di teras rumah ternyata semua teman-temannya sudah tiba. Bahkan Ria dan Alin sudah berkutat di dapur. Divya menghentakkan pantatnya pada kursi kayu panjang. Melempar tasnya di atas lantai semen begitu saja. Bersandar pada dinding bambu dengan mata terpejam, menikmati rasa lelah yan
Tiga hari berturut-turut desa tempat Divya KKN diguyur hujan. Wanita itu harus terus kehujanan setiap kali berangkat dan kembali ke rumah. Payung yang dipinjamkan warga tidak mampu menyelamatkannya dari tangisan semesta. Kini— di Sabtu sore, angin kencang terus berembus. Sejak jumat kemarin, wanita itu sudah merasa tidak enak badan. Malam ia demam, tetapi pagi tadi masih nekat untuk mengajar. Kendati Raja sudah mencegahnya.“Mau teh anget, Div?” tawar Alin. Diantara mereka yang tidak tahan banting hanyalah Divya. Gadis itu tidak terbiasa melewati cuaca ekstrim seperti ini. Kelima rekannya sudah kebal akan berbagai cuaca. Bahkan Randu dan Akbar justru menggunakan kesempatan ini untuk membantu warga mengatur gorong-gorong agar tidak buntu. Sementara Raja dia harus membantu Ria dan Alin merawat Divya.Divya hanya menggeleng untuk jawaban. Ia tidak mampu menguarkan sepatah kata pun. Tubuhnya menggigil meskipun sudah mengenakan selimut berlapis. Semua rekannya meminjamkan selimut padanya a
“Ngapain kalian di sini?” seru Raja. Tiga pria itu baru saja pulang, setelah jalanan berhasil dilalui dengan menyingkirkan ranting-ranting pohon yang menutup jalanan. Begitu masuk ke pondok mendapati Alin dan Ria rebahan di kursi kayu dan kedinginan.“Ya gimana nggak di sini, Divya tidur bareng suaminya,” seloroh Ria. Sembari mengusap hidungnya yang memerah akibat kedinginan.“Heem. Kita tidur di kamar kalian gimana? Tukar. Kalau nggak kita gelar tiker di kamar kalian. Ya kali mau tidur di luar sini, dingin banget cuy!” tandas Alin. Di dalam kamar mereka bisa mensiasati lubang-lubang dinding bambu itu dengan kardus.“Maaf. Aku ketiduran, kalian bisa tidur di dalam.” Suara Ghazi tiba-tiba ikut menimbrung. Seluruh orang di sana menoleh ke asal suara.“Eh— sorry, kita— kita nggak maksud—”“Santai aja. Lagian nggak ada hakku juga di sini. Kalian bisa tidur di dalam, biar aku di sini,” sergah Ghazi.Tiga pria yang masih basah kuyup itu mematung belum menimpali sama sekali. “Kita bisa berba
Empat minggu berlalu. Setelah semua yang dilewati Divya di pondok bambu itu bersama dengan kelima rekannya kini berakhir. Mereka sudah berkemas dan menantikan Van mereka menjemput. Langit sudah mulai menggelap karena mendung. Padahal jarum jam berada di angka tiga sore. “Nggak nyangka gue sehebat ini,” puji Divya pada dirinya sendiri. Merasa bangga berhasil melewati cobaan selama sebulan jauh dari sang suami. Kendati Ghazi setiap akhir pekan datang, tetapi sedikit pun pria itu malah tidak mengguakan kesempatan untuk bercinta dengannya. Padahal Divya sudah menggodanya semaksimal mungkin. Rasanya pikiran Ghazi selalu sadar. “Ya! Gue setuju. Gue makasih banget ama lo dan suami lo. Berkat kalian, gue nggak terlalu banyak keluar duit.” Kemudian tawa Ria pecah. Dia senang karena bisa menekan pengeluaran. “Ya— kita terima kasih banget sama kalian, Div. Kita doakan apa pun yang lo mau bakal terwujud. Hubungan kalian langgeng sampe kaki-nini.” Raja pun mengalami hal yang sama. Kendati bertu
Divya membuka matanya. Gadis itu langsung disuguhkan dengan pemandangan memilukan sekaligus membuatnya senang juga merasa bersalah. Punggung Ghazi, dengan berbagai luka cakaran yang baru maupun yang sudah sembuh menyisakan bekasnya saja. Divya tersenyum jika mengingat bagaimana ia mencetak luka-luka itu. Lantas gadis itu mendekati sang suami dan memeluk punggung besar itu. Menghirup feromon Ghazi, sudah selayaknya kecenderungan bagi Divya.“Pagi, Bee,” sapa Ghazi dengan suara paraunya, khas seorang beruang besar Divya. Sebetulnya ini adalah kali pertama Divya mendapatkan ucapan selamat pagi dari Ghazi yang masih berada di atas ranjang. Sebelumnya pria itu selalu menghilang entah ke mana.“Aku mengganggumu?” bisik Divya. Sengaja begitu dekat dengan telinga Ghazi sekaligus untuk menggoda pria itu.“Tidak juga.” Ghazi memutar tubuhnya dan memeluk sang istri. Kemudian menarik selimut agar membungkus tubuh mereka.“Jam berapa sekarang?” tanya Ghazi dengan mata terpejam.“Setengah delapan.”
Ghazi berlari menuruni anak tangga dalam kondisi khawatir. Ia mendengar semua yang di dengar oleh Ivy. Pria itu menyahut kontak motornya tanpa menghiraukan pelayan yang menyapanya. Akan tetapi ponselnya tiba-tiba berdering, ia kira itu adalah Divya. Ternyata Hendery yang menghubunginya. Ingin rasanya mengabaikan telepon tersebut, tetapi Ghazi tetap menjawabnya.“Ghaz! Tolong saya!” teriak Hendery dari seberang. Sekarang, Ghazi harus memilih menolong siapa terlebih dulu, istrinyakah atau justru mertuanya?Tanganya dengan cepat menghubungi seseorang yang dapat dia percaya untuk mengurus mertuanya. Sementara Ghazi memilih untuk mencari Divya. Pesan singkat itu langsung terbaca oleh rekannya. Lantas ia menunggangi kuda besinya. Keluar dari halaman rumahnya dan mengebut tidak takut akan keselamatan dirinya.Pikirannya hanya berpusat pada Divya. Hingga detik ini, Divya masih terisak. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi dan— benar yang ditakutkan Ghazi terjadi. Suara teriakan Divya meny
Sepanjang malam, Ghazi hanya duduk di samping ranjang Divya. Paling jauh ia hanya berdiri di dekat jendela ruangan itu. Ghazi tidak ingin mengulang kesalahan lagi dengan membiarkan kehilangan Divya barang sekedip mata selayaknya pesan Hendery dulu.Pukul tiga dini hari, gadis itu terbangun. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Divya, saat membuka matanya hanya sosok Ghazi yang dia cari. Kini, ia mendapati bayangan Ghazi yang menutup cahaya rembulan dari luar. Malam ini cuaca cukup indah. Baik bulan dan bintang menampakkan dirinya.“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya Divya. Tidak biasanya Ghazi akan melamun sedemikian rupa. Seketika Ghazi membalikkan badan dan mendekati istrinya kemudian mengelus pucuk kepala Divya. Sama seperti sepanjang malam yang dia lakukan tadi, hingga kesadaran istrinya terlilit oleh rasa kantuk.“Tidak. Kenapa bangun?”“Jangan bohong. Ada apa?” bantah Divya.“Tidak, Bee. Kamu butuh sesuatu?” Divya mengangguk. Ia menatap ke arah toilet. Kantong kemihnya penuh, bukankah