Ghazi berlari menuruni anak tangga dalam kondisi khawatir. Ia mendengar semua yang di dengar oleh Ivy. Pria itu menyahut kontak motornya tanpa menghiraukan pelayan yang menyapanya. Akan tetapi ponselnya tiba-tiba berdering, ia kira itu adalah Divya. Ternyata Hendery yang menghubunginya. Ingin rasanya mengabaikan telepon tersebut, tetapi Ghazi tetap menjawabnya.“Ghaz! Tolong saya!” teriak Hendery dari seberang. Sekarang, Ghazi harus memilih menolong siapa terlebih dulu, istrinyakah atau justru mertuanya?Tanganya dengan cepat menghubungi seseorang yang dapat dia percaya untuk mengurus mertuanya. Sementara Ghazi memilih untuk mencari Divya. Pesan singkat itu langsung terbaca oleh rekannya. Lantas ia menunggangi kuda besinya. Keluar dari halaman rumahnya dan mengebut tidak takut akan keselamatan dirinya.Pikirannya hanya berpusat pada Divya. Hingga detik ini, Divya masih terisak. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi dan— benar yang ditakutkan Ghazi terjadi. Suara teriakan Divya meny
Sepanjang malam, Ghazi hanya duduk di samping ranjang Divya. Paling jauh ia hanya berdiri di dekat jendela ruangan itu. Ghazi tidak ingin mengulang kesalahan lagi dengan membiarkan kehilangan Divya barang sekedip mata selayaknya pesan Hendery dulu.Pukul tiga dini hari, gadis itu terbangun. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Divya, saat membuka matanya hanya sosok Ghazi yang dia cari. Kini, ia mendapati bayangan Ghazi yang menutup cahaya rembulan dari luar. Malam ini cuaca cukup indah. Baik bulan dan bintang menampakkan dirinya.“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya Divya. Tidak biasanya Ghazi akan melamun sedemikian rupa. Seketika Ghazi membalikkan badan dan mendekati istrinya kemudian mengelus pucuk kepala Divya. Sama seperti sepanjang malam yang dia lakukan tadi, hingga kesadaran istrinya terlilit oleh rasa kantuk.“Tidak. Kenapa bangun?”“Jangan bohong. Ada apa?” bantah Divya.“Tidak, Bee. Kamu butuh sesuatu?” Divya mengangguk. Ia menatap ke arah toilet. Kantong kemihnya penuh, bukankah
Mata Ivy berkaca-kaca kala melihat kondisi Divya. Ia berusaha membendung air matanya. Tetap saja butiran sebening kristal itu luruh. Ghazi menepati janjinya. Semalam ia benar-benar mengirim pesan pada Ivy. Hingga pagi ini gadis keriting itu datang. Ia ingin memeluk Divya tetapi takut menyakitinya.“Kemarilah! Lo nggak bakal diem doang ‘kan? Peluk dong!” seru Divya seolah tidak terjadi apa pun padanya. Ivy mendekatkan langkahnya pada ranjang dan memeluk Divya sepelan mungkin. Penuh kewaspadaan.“Kenapa ceroboh banget, Sih?” omel Ivy.“Kamu mabuk? Nggak kan?” tambahnya. Pelukan mereka terlerai. Kemudian Ivy duduk di kursi yang semalam sudah diduduki Ghazi.“Lo tahu gue udah lama nggak minum. Mana mungkin juga gue mabok sambil nangis,” tutur Divya. Ia masih tersenyum tipis pada Ivy. Bahagia karena bisa bertemu dengan teman baiknya lagi.“Kalian bertengkar ‘kan?” Ivy menatap Ghazi yang hanya duduk seperti patung.“Hanya sedikit. Udahlah, jadi— gimana KKN lo?”“Nggak enak banget. Udah kek
Bab 56 Seluruh pakaian Divya tertanggal, begitupun dengan Ghazi. Dua sejoli yang kini ada di bawah guyuran air dalam bilik mandi itu, menikmati kebersamaan sore ini. Ghazi membelakangi Divya, ia membasuh tubuhnya terlebih dulu. Kemudian, gadis berambut panjang itu memeluk tubuh sang suami dari balik punggung kokohnya. Melilitkan lengannya pada bahwa ketiak Ghazi dan mencengkeram bahu pria kokoh itu. Tidak ada jarak bagi mereka. “Kau yakin tidak ingin bermain? Aku bisa perkiraan kalau dua sampai tiga hari ke depan, bakalan haid, big bear. Ini kesempatanmu,” bisiknya. Divya menjulurkan lidah menyapu punggung suaminya. Sapuan napasnya terasa hangat di permukaan kulit Ghazi. “Berbaliklah!” pinta, Divya. Ia menarik tubuh besar yang selama ini sudah menjaga dan mengurung Divya dalam pesona panasnya. Divya melompat dan melingkarkan lengan panjangnya pada leher satu-satunya pria yang menjadi pemenang dalam hidup. Melilitkan kakinya pada pinggang Ghazi. Menatap suaminya dengan tatapan yang
Sore ini sesuai dengan kesepakatan keduanya. Setelah menjemput Divya dari kampus, mereka lekas bertandang ke rumah sakit. Divya tidak sabar bertemu dengan sang ayah yang sudah sangat lama tidak dia temui. Ia berusaha melupakan pertemuan terakhir yang sungguh menyesakkan baginya. Namun, dia juga sadar bahwa Hendery dan Greta tetaplah orang tuanya.“Pa!” panggil, Divya saat pintu kamar ayahnya dibuka oleh Ghazi. Hendery menatap keberadaan Divya. Ia tersenyum pada anak gadisnya.“Nak?!” Matanya seketika berkaca-kaca. Ia ingat betapa kerasnya Hendery mendidik Divya. Hanya memerintah dan mengarahkan tanpa memberikan contoh. Membuat Divya justru kehilangan arah.Divya mendekati ayahnya dan memeluk tubuh sang ayah. “Bagaimana kondisi Papa? Divya minta maaf—”“Sst! Tidak perlu mengatakan apa pun, Divya. Papa tahu kamu adalah putri terbaik Papa. Seharusnya papa yang minta maaf.”“Kalau begitu tidak perlu ada yang meminta maaf. Di mana mama?”Hendery tersenyum pada anaknya. Menggenggam jemari t
Jarum jam terus berputar. Waktu tidak akan berhenti begitu saja. Sudah lewat sebulan dari hari di mana segala kegiatan Divya dilakukan. Ia tersenyum puas saat keluar dari ruangan dospemnya. Perjuangannya membuahkan hasil, kendati revisi yang dia lakukan sebanyak dua kali itu membuatnya kehilangan banyak waktu bersama dengan suaminya. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak dipermasalahkan bagi suaminya. Pria itu juga membantu Divya.“Gimana?” tanya Ivy. Pasalnya tiga hari yang lalu, Ivy sudah terlebih dulu menerima kabar baiknya. Ia siap mendaftar wisuda. Bukankah itu hal yang membanggakan sekaligus menggembirakan?“Yes!” Keduanya lantas bersorak dan melompat kegirangan. Kemudian setelah sadar dari tingkah konyolnya, mereka berhenti. Mengulum senyum dengan merunduk.“Gua lulus, gila, sih ini! Akhirnya,” sanjung Divya pada dirinya sendiri. Membanggakan diri adalah hal yang tidak pernah terlewat bagi Divya.“Selamat, Divya. Aku ikut senang,” tangkas Ivy.“Em— tidak! Selamat untuk kita da
“Tunggu, Divya!” Hendery menghentikan langkah Divya. Dia siap jika harus menceritakan segalanya pada sang anak sekarang. Sudah terlalu lama ia memendam fakta. Divya sudah berusia dua puluh tahun. Bahkan sebulan lagi umurnya tepat dua puluh satu tahun.Divya berhenti, ia memutar tubuh dan duduk di anak tangga pertama. Wanita itu enggan berpindah. Mengabaikan sang ayah jika ia harus berdiri di tempatnya. Namun, Ghazi dengan cepat menarik sofa single untuk pria itu.“Terima kasih, Ghaz,” lirih Hendery.Ghazi menatap wajah yang terlihat sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Saat ini, Hendery terlihat sangat tua dan lelah. Padahal usainya belum genap enam puluh tahun. Lantas pria itu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.“Mulailah! Waktu gue nggak banyak,” desak Divya. Ia tidak percaya akan mendengar apa kali ini.Sedangkan Greta, wanita itu menjauh dan memilih duduk di sofa panjang yang ada di ruang tengah. Mendengar penjelasan Hendery yang sudah dimulai.“Greta dan ibumu saudara, Na
Rasa lelah yang menggulung raga membuat Ghazi terlelap pekat malam ini. Ia tidak menyadari bahwa Divya tidak lagi berada di sampingnya. Gadis itu melamun pada kursi kepompong di ujung luar ruangan. Matanya tampak tidak berhenti meneteskan air mata. Terlalu banyak penyesalan yang dirasa olehnya.Terlalu banyak waktu yang terbuang selama dua puluh tahun. Seharunya dia bisa lebih bijak menyikapi semua masalahnya, bukannya malah mencari pelampiasan dengan menghabiskan hari di luar rumah, malam kelayapan ke kelab tidak ada manfaatnya. Selama ini banyak orang yang telah berjuang dan berkorban untuknya— sejauh ini.Hingga pagi tiba, suara azan pertama guna mengawali hari Divya dengar, gadis itu masih terjaga. Saat itu juga, Ghazi terbangun. Ia tidak mendapati sang istri di sisinya. Begitu bangkit, melihat Divya berdiri di pinggir pembatas kaca menikmati terpaan udara pagi yang belum terkontaminasi oleh udara buruk perkotaan.“Pagi, Bee,” sapa Ghazi sembari memeluk pinggang Divya dan menyanda