Ghazi mengambil tanah liat dari berapa gumpal yang sudah dia letakkan di meja panjang. Kemudian duduk pada kursi bulat. Terdapat meja putar berbentuk bulat pula, di hadapannya. Ia memberikan sedikit air untuk membasahi tanah yang ia ambil sebelumnya.“Duduklah!” perintah Ghazi pada istrinya yang sedari tadi hanya terpaku menatap dirinya. Divya tidak bisa membendung keterkejutan yang ia lihat saat ini.“Kamu bisa membuat kerajinan? Maksudku bagaimana bisa?” Divya mendaratkan pantat pada sofa kecil yang ada di ruangan luas itu. Ada puluhan barang yang sudah tercetak di sana, ada bejana, fas, pot, dan celengan. Divya menatap kagum sekitarnya. Rasanya tidak puas ia mengamati tiap detail guratan yang ada di sana. Namun, kakinya lelah setelah mengayuh sepeda tadi.“Kenapa tidak, Bee? Dulu— aku punya banyak waktu. Jika tidak ada job, keseharianku hanya di rumah.”“Dari mana kamu belajar semua ini. Gini— kamu seorang pembalap bagaimana bisa kamu berkamuflase sebagai pengrajin tanah liat? Apa
Ghazi mengangguk dengan pertanyaan Divya. Biasanya gadis itu tidak pernah meminta izin ketika hendak menanyakan sesuatu. Suasana hati, Ghazi sudah sedikit membaik setelah cukup lama ia mengontrol dirinya. Tidak lekas menjawab apa yang dilontarkan sang istri. Beruntung, Divya tidak menuntut cepat.“Katakan.” Ghazi berusaha untuk mengulas senyum selebar mungkin.“Sekarang kamu sudah memiliki kesempatan untuk meraih mimpi, Ghazi. Kamu sudah punya segalanya. Apakah keinginan untuk balapan masih ada? Balapan motor atau mobil yang lebih kamu inginkan?”“Kukira betul-betul satu pertanyaan, Bee,” kelakar Ghazi. Hal itu disambut kekehan kecil Divya.“Aku suka semuanya. Namun, perlombaan pertama yang aku menangkan adalah mobil.”“Ya— aku tahu mobilnya. Itu mobil yang keren. Apa masih ada?” Berkat pengambilan foto itu, Divya jadi tahu dan bisa membayangkan sekeren apa Ghazi saat duduk di balik kemudi. Dia pernah melihat Ghazi mengebut. Pertama kali saat Ghazi baru masuk dalam kehidupannya.“Buka
“Papa tahu pasti kamu menanyakan hal itu. Maafkan, Papa, Divya. Kamu tidak bisa memiliki kenangan itu. Papa minta maaf, sungguh,” sesal Hendery. Kematian Gia sungguh tidak bisa ditunda. Bahkan semua kematian tidak pernah memiliki waktu yang tepat bagi para makhluk. Datang tiba-tiba dan tanpa persiapan.“Tapi, papa punya banyak foto saat mama mengandungmu, Divya.” Hendery kembali bangkit mendekati bufet. Kali ini album foto itu tidak jauh lebih tebal dari yang dipegang oleh Divya. Hendery memberikan album bersampul emas itu pada Divya.Begitu dibuka sampulnya, Divya melihat kedua orang tuanya berpose dengan romantisnya. Menunjukkan hasil tespeck yang dipegang berdua dan saling mempertemukan bibir mereka. Kemudian senyum mengembang di wajah Gia.Tangis Divya semakin pecah, ketika terus membalik foto demi foto, Gia kian kurus dan memburuk kesehatannya seiring dengan usia kehamilan yang membesar. Wajahnya berubah pucat. Kehilangan binar diseraut muka yang cantik itu. Ini memilukan, Divya
Sepertinya selain lapar, ada satu hal lagi yang membuat Divya tidak bisa tertidur. Pikirannya, sejak obrolannya dengan sang suami beberapa jam lalu hingga saat ini pukul empat dini hari, Divya belum kunjung memejamkan matanya. Ghazi juga tidak kembali ke kamar. Divya gusar, ia bangkit untuk mencari keberadaan sang suami.Saat tiba di ruang berlatih, mata indah Divya tidak menemukan keberadaan Ghazi di sana. Berpindah ke ruang kerjanya, pun sama. Kemudian terakhir ruangan tempat Ghazi membuat kerajinan tanah liat. Gadis itu juga tidak menemukan pria besar itu di sana. Divya kembali menuruni tangga, tiba di ruang tengah sampai dapur pun tidak kunjung melihat batang hidung pria yang menurutnya menyebalkan itu.“Bu, sudah bangun?” sapa Divya yang ketika berbalik mendapati asisten rumah tangganya hendak memulai aktivitas di rumah itu.“Iya, Non. Ada yang bisa saya bantu? Nona butuh apa?” tanyanya. Khawatir dirinya bangun terlambat kali ini.“Tidak. Ibu liat Ghazi tidak?”“Tuan” ulang wanit
Hari kelulusan Divya tiba. Senyumnya merekah setelah menyampaikan sepatah dua patah kata untuk teman, sahabat, para dosen pembimbing dan sang suami. Gadis itu turun dan menemui Ghazi. Terulur satu buket bunga untuk wanita yang telah berhasil berjuang dengan keras selama empat tahun itu. Bahkan, Ghazi tidak pernah tahu bagaimana perjuangan Divya dulunya. Ia mengapresiasi ketangguhan Divya kala, gadis itu mulai rewel semenjak menikah dengannya.Divya melangkah cepat dan memeluk tubuh kokoh sang suami. Menghirup dalam aroma feromon yang bercampur dengan parfum berkelas milik suaminya. Meski harus sedikit berjinjit, tetapi Divya nyaman dengan apa yang dia lakukan.“Congratulation, Bee.”“Yeah! Nggak sabar buat honeymoon,” celetuknya. Tidak hilang senyum di wajahnya. Kemudian melepaskan pelukannya.Ghazi mengulum senyuman, ternyata Divya benar-benar menagih dan tidak lupa akan pembahasan yang sudah lebih dari satu minggu tersebut.“Sudah menemukan lokasinya?”“Serius terserah aku?” Mata D
Sampai di bengkel, Divya menyelonong ke halaman belakang tempat Ghazi biasa menyelesaikan segala kegiatan di depan layar laptop. Sementara suaminya menatap kepergiannya dengan tetap berbincang dengan partner kerja.“Kamu bisa kasih aku saran hampers menarik untuk wisuda?” tambah Ghazi sebelum benar-benar melangkah pergi menyusul sang istri.Dua pria itu tampak mengernyit. Ini adalah kali pertama, mereka diminta pendapat tentang masalah pribadi bosnya.“Hampers bagaimana, Pak?”“Hadiah dodol! Buat istri babak ‘kan? Dia baru lulus ‘kan?” Sergah seorang pria yang dulu menjadi pengemudi pengantar mobil ke rumah Divya.“Iya itu. Jawab saja tidak perlu banyak tanya yang lain. Menyesal sekali aku bertanya pada kalian. Jomlo ‘kan?” dengus Ghazi kemudian berlalu pergi tidak lagi menunggu jawaban.“Lha? Kok—” ucapan pria itu menggantung karena tidak perlu ada lanjutannya.“Itu gara-gara kamu, makanya jangan banyak mulut jadi pria, tuh. Cowo tapi banyak omong,” celetuk rekannya.“Ya tahu, sih. T
Berbalut dengan pakaian yang tampak sopan, Divya siap menghabiskan malam bersama dengan keluarga Dadang. Ghazi pun juga tampak berpakaian santai, tidak seformal biasanya. Keduanya menuruni tangga.“Sudah siap, Bu?” sapa Divya saat melihat istri Dadang berbalut pakaian terbaik yang dia miliki.“Sudah, Non. Mohon maaf, anak pertama dan kedua saya serta cucu saya boleh ikut?”“Tentu saja, Bu. Saya sudah bilang tadi ‘kan? Ibu boleh ajak sanak sodara ibu. Siapa pun itu,” timpal Divya dibarengi dengan sunggingan senyum yang merekah indah.“Terima kasih, Nona, Tuan,” ujar Dadang.“Tidak masalah, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Apakah mereka mampir ke mari?” Keduanya lantas menggeleng. Mereka ingat pesan Ghazi tidak mengizinkan siapapun mengetahui alamatnya kecuali tanpa persetujuan darinya.“Kalau begitu kita ketemu di restoran saja. Ibu tulis alamatnya nanti kirim ke anak ibu, ya?” Wanita itu mengangguk. Kemudian Divya dan Ghazi keluar. Mengendarai mobil merah yang dulu sempat membuat D
Bab 69Hari ini Ivy menemui Hendery. Dia akan dibimbing langsung oleh pria paruh baya itu. Kemudian dikenalkan pada seluruh staf agar mereka saling bekerja sama dengan baik tanpa ada perbedaan usia ataupun jabatan. Kendati begitu, Hendery yakin bahwa pilihan Divya tepat. Pria itu tidak akan lagi meragukan pilihan anaknya."Kamu baik-baik saja, Iv? Ada yang mengganjal pikiranmu?" tanya Hendery. Melihat raut muka Ivy yang tampak tegang. "Tidak, Tuan. Hanya efek nervous, karena baru pertama kali bekerja, Tuan," jawab Ivy dengan sopan. Iya menundukkan setengah badan sebagai tanda hormat pada atasannya.Meski dipoles dengan lipbalm, mata sayu Ivy tidak mampu menutupi seraut wajah yang pucat. Hendery masih berusaha untuk berpikir positif bahwa gadis itu tengah datang bulan. Biasanya wanita akan terlihat sangat pucat jika mengalami siklus setiap bulan itu.Asisten pribadi Hendery pun dengan telaten dan sopan memberitahu tugas-tugas Ivy. Memastikan bahwa seluruh laporan sesuai sebelum dibubu