Berbalut dengan pakaian yang tampak sopan, Divya siap menghabiskan malam bersama dengan keluarga Dadang. Ghazi pun juga tampak berpakaian santai, tidak seformal biasanya. Keduanya menuruni tangga.“Sudah siap, Bu?” sapa Divya saat melihat istri Dadang berbalut pakaian terbaik yang dia miliki.“Sudah, Non. Mohon maaf, anak pertama dan kedua saya serta cucu saya boleh ikut?”“Tentu saja, Bu. Saya sudah bilang tadi ‘kan? Ibu boleh ajak sanak sodara ibu. Siapa pun itu,” timpal Divya dibarengi dengan sunggingan senyum yang merekah indah.“Terima kasih, Nona, Tuan,” ujar Dadang.“Tidak masalah, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Apakah mereka mampir ke mari?” Keduanya lantas menggeleng. Mereka ingat pesan Ghazi tidak mengizinkan siapapun mengetahui alamatnya kecuali tanpa persetujuan darinya.“Kalau begitu kita ketemu di restoran saja. Ibu tulis alamatnya nanti kirim ke anak ibu, ya?” Wanita itu mengangguk. Kemudian Divya dan Ghazi keluar. Mengendarai mobil merah yang dulu sempat membuat D
Bab 69Hari ini Ivy menemui Hendery. Dia akan dibimbing langsung oleh pria paruh baya itu. Kemudian dikenalkan pada seluruh staf agar mereka saling bekerja sama dengan baik tanpa ada perbedaan usia ataupun jabatan. Kendati begitu, Hendery yakin bahwa pilihan Divya tepat. Pria itu tidak akan lagi meragukan pilihan anaknya."Kamu baik-baik saja, Iv? Ada yang mengganjal pikiranmu?" tanya Hendery. Melihat raut muka Ivy yang tampak tegang. "Tidak, Tuan. Hanya efek nervous, karena baru pertama kali bekerja, Tuan," jawab Ivy dengan sopan. Iya menundukkan setengah badan sebagai tanda hormat pada atasannya.Meski dipoles dengan lipbalm, mata sayu Ivy tidak mampu menutupi seraut wajah yang pucat. Hendery masih berusaha untuk berpikir positif bahwa gadis itu tengah datang bulan. Biasanya wanita akan terlihat sangat pucat jika mengalami siklus setiap bulan itu.Asisten pribadi Hendery pun dengan telaten dan sopan memberitahu tugas-tugas Ivy. Memastikan bahwa seluruh laporan sesuai sebelum dibubu
Penerbangan Ghazi dan Divya mengalami keterlambatan selama dua jam saat transit di Kuala Lumpur. Hingga mereka tiba di pulau Maladewa tepat jam sembilan pagi. Mereka disambut oleh guyuran hujan. Musim penghujan juga melanda negeri tersebut. Divya berulangkali menguap karena sepanjang perjalanan dia hanya tidur, jika tidak begitu, ia menghabiskan masa dengan merebahkan tubuhnya di tempat.Begitu pesawatnya landing di bandara internasional Velana, semangatnya bangkit seketika. Rasa kantuk dan bosan yang sempat menyerangnya seketika terusir begitu saja. Gadis itu sibuk menyapu seluruh pemandangan yang tersaji. Hujan dan hawa dingin yang tengah melanda tidak menyurutkan niatnya untuk lekas menjelajah pulau itu.“Setelah meletakkan barang ini, aku ingin lekas mengeksplor, Maladewa!” seru Divya. Ia mencengkeram lengan suaminya dengan posesif. Bahkan tidak lupa untuk menunjukkan bahasa cintanya dengan snetuhan brutal. Divya menggigit lengan Ghazi secara terang-terangan. Ghazi hanya mengerutk
Pukul tujuh waktu setempat, Divya dan suami turun dari kamarnya. Menuju dining room. Berhubung terlalu malam untuk menikmati sunset, keduanya memilih makan di dalam ruangan. Masih dengan view yang menghadap ke laut lepas. Pemandangan yang selalu memikat para turis. Warga asing sangat mengagumi dan dibuat terpesona oleh sajian alam Maldevies.Divya memesan makanan khas Maladewa itu. Dua porsi Mas Huni. Olahan dari ikan Tuna yang dicincang lalu dicampur dengan parutan kelapa dan dibumbui rempah-rempah khusus cita rasa Maladewa. Kemudian Chicken Biryani. Sama halnya di kota Briona, ini adalah olahan ayam goreng yang langsung disajikan di atas nasi putih. Biji-biji berasnya pun terlihat sangat premium karena begitu panjang dan rendah kalori.Kemudian beberapa makanan penutup dan minuman yang mampu melegakan rasa dahaga dan menggelontor seluruh makanan tiba di dalam perut dengan nyaman.“Ini terlihat sama saja seperti di Indonesia. Tapi— aku yakin ada satu atau dua perbedaan pada cita rasa
Setelah selesai sarapan, dua pasangan yang masih dalam status berbulan madu itu menghabiskan waktu dengan menjelajah pulau Maladewa. Tujuan pertamanya adalah monumen stunami. Di sana sebuah tugu dengan berbahankan metal baja, berwarna silver dengan beberapa biji bola yang cukup besar melingkari tugu berbentuk tabung tersebut.Divya mematri pandang pada monumen yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia membaca sejarah tentang stunami yang terjadi kala itu. Ternyata saat stunami melanda Indonesia tepatnya di Aceh. Bencana itu juga menewaskan 82 jiwa di Maladewa. Mungkin bukan korban besar selayaknya warga Aceh, tetapi trauma menyerang warga Maladewa. Sama halnya dengan penduduk Aceh.“Aku tidak bisa bayangkan bagaimana paniknya mereka kala itu,” gumam Divya. Ingatan akan bencana itu menarik mundur memori kelam di negaranya. Bagaimana dunia bersimpati pada Indonesia saat itu.“Kamu percaya bahwa kala itu, Tuhan telah membersihkan jiwa-jiwa yang telah Dia rindukan,” jawab Ghazi.“Ya— tidak
Setelah puas dengan balas dendamnya pada sang suami, Divya tersenyum sumringah. Gadis berambut panjang tersebut membuat Ghazi harus berhenti di tengah jalan sebelum pria itu mencapai titik kepuasannya. Divya sudah menyingkir dari ranjang dan kembali ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian bersiap menghadiri pesta umum yang diselenggarakan pihak hotel.Mereka akan menghabiskan malam dengan berpesta sebelum akhirnya rangkaian bulan madunya berakhir. Pesta adalah hal yang tidak direncanakan oleh mereka berdua.“Divya, ayolah. Ini tidak adil,” rengek Ghazi. Ia bermalas-malasan di atas ranjang. Tubuhnya tergolek tidak bertenaga, wajahnya masam dan enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Bagaimana tidak, tentu siapapun akan merasakan hal yang dirasa kurang jika tidak mendapatkan pelepasan saat bercinta bukan? Itulah yang dipendam oleh Ghazi saat ini.“Ayolah! Ayolah! Bangun, bersihkan dirimu sebelum kita terlambat. Ini pesta, Ghazi! Minuman gratis sepanjang malam. Bayangkan! Bir, G
Sisa malam yang harus dilewati menjadi bunga ranjang. Keduanya hanya tertidur dengan arah yang tidak lagi pada tempatnya. Bahkan lagi-lagi Divya muntah. Benarkah sang pemabuk muntah?Pukul lima lebih lima belas menit, Ghazi sudah tidak bisa lagi tertidur. Dia harus membersihkan masalah yang dibuat oleh istrinya. Kemudian memberikan sisanya pada petugas kebersihan hotel. Pria itu hanya membuang kotoran yang menempel pada kain dan menanggalkan di lantai.“Maaf untuk itu,” sesal Ghazi. Ia menggunakan bahasa inggris untuk bercakap.“Tidak masalah, Tuan. Sungguh, ini sudah tugas kami,” timpal wanita dengan seragam cokelat putih tersebut.Ghazi memberikan tip pada wanita itu sebelum meninggalkan kamar. Pria itu menatap sang istri yang masih pulas di atas ranjang. Ghazi melupakan sesuatu, dia kembali menelepon petugas untuk mengantarkan air kelapa guna menetralkan rasa pengar yang tentu diderita oleh Divya.Tepat matahari sudah meninggi sepenuhnya di atas kepala, barulah suara leguhan Divya
Perjalanan sebelas jam lebih dua puluh menit kembali ditempuh Ghazi dan Divya. Mereka tidak mengundur kepulangannya ke Briona. Ghazi harus kembali mengecek data-data yang sudah dia tinggalkan selama kurang lebih lima hari. Kemudian, Divya tidak bisa menahan diri untuk lekas menggeluti profesi barunya.Tepat jam sepuluh malam, mereka tiba di bandara Internasional Briona. Menggunakan taksi, keduanya kembali ke rumah. Tidak seperti keberangkatan mereka yang penuh dengan penantian, kini Divya hanya bersandar pada lengan suaminya. Ia tertidur sejak awal penerbangan. Bangun hanya saat kantung kemihnya penuh atau perutnya terasa lapar.Beberapa saat terlewat, keduanya tiba di rumah Ghazi. Pria itu berusaha untuk membangunkan sang istri, akan tetapi gadis itu tidak ingin membuka matanya.“Masih ngantuk banget, big bear,” lirihnya dengan malas.Tanpa menimpali akhirnya Ghazi pun keluar dari taksi terlebih dulu dan meminta Divya untuk sedikit menggeser tubuh agar bisa membawanya ke dalam.“Tolo