Pukul tujuh waktu setempat, Divya dan suami turun dari kamarnya. Menuju dining room. Berhubung terlalu malam untuk menikmati sunset, keduanya memilih makan di dalam ruangan. Masih dengan view yang menghadap ke laut lepas. Pemandangan yang selalu memikat para turis. Warga asing sangat mengagumi dan dibuat terpesona oleh sajian alam Maldevies.Divya memesan makanan khas Maladewa itu. Dua porsi Mas Huni. Olahan dari ikan Tuna yang dicincang lalu dicampur dengan parutan kelapa dan dibumbui rempah-rempah khusus cita rasa Maladewa. Kemudian Chicken Biryani. Sama halnya di kota Briona, ini adalah olahan ayam goreng yang langsung disajikan di atas nasi putih. Biji-biji berasnya pun terlihat sangat premium karena begitu panjang dan rendah kalori.Kemudian beberapa makanan penutup dan minuman yang mampu melegakan rasa dahaga dan menggelontor seluruh makanan tiba di dalam perut dengan nyaman.“Ini terlihat sama saja seperti di Indonesia. Tapi— aku yakin ada satu atau dua perbedaan pada cita rasa
Setelah selesai sarapan, dua pasangan yang masih dalam status berbulan madu itu menghabiskan waktu dengan menjelajah pulau Maladewa. Tujuan pertamanya adalah monumen stunami. Di sana sebuah tugu dengan berbahankan metal baja, berwarna silver dengan beberapa biji bola yang cukup besar melingkari tugu berbentuk tabung tersebut.Divya mematri pandang pada monumen yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia membaca sejarah tentang stunami yang terjadi kala itu. Ternyata saat stunami melanda Indonesia tepatnya di Aceh. Bencana itu juga menewaskan 82 jiwa di Maladewa. Mungkin bukan korban besar selayaknya warga Aceh, tetapi trauma menyerang warga Maladewa. Sama halnya dengan penduduk Aceh.“Aku tidak bisa bayangkan bagaimana paniknya mereka kala itu,” gumam Divya. Ingatan akan bencana itu menarik mundur memori kelam di negaranya. Bagaimana dunia bersimpati pada Indonesia saat itu.“Kamu percaya bahwa kala itu, Tuhan telah membersihkan jiwa-jiwa yang telah Dia rindukan,” jawab Ghazi.“Ya— tidak
Setelah puas dengan balas dendamnya pada sang suami, Divya tersenyum sumringah. Gadis berambut panjang tersebut membuat Ghazi harus berhenti di tengah jalan sebelum pria itu mencapai titik kepuasannya. Divya sudah menyingkir dari ranjang dan kembali ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Kemudian bersiap menghadiri pesta umum yang diselenggarakan pihak hotel.Mereka akan menghabiskan malam dengan berpesta sebelum akhirnya rangkaian bulan madunya berakhir. Pesta adalah hal yang tidak direncanakan oleh mereka berdua.“Divya, ayolah. Ini tidak adil,” rengek Ghazi. Ia bermalas-malasan di atas ranjang. Tubuhnya tergolek tidak bertenaga, wajahnya masam dan enggan untuk meninggalkan tempat tidur. Bagaimana tidak, tentu siapapun akan merasakan hal yang dirasa kurang jika tidak mendapatkan pelepasan saat bercinta bukan? Itulah yang dipendam oleh Ghazi saat ini.“Ayolah! Ayolah! Bangun, bersihkan dirimu sebelum kita terlambat. Ini pesta, Ghazi! Minuman gratis sepanjang malam. Bayangkan! Bir, G
Sisa malam yang harus dilewati menjadi bunga ranjang. Keduanya hanya tertidur dengan arah yang tidak lagi pada tempatnya. Bahkan lagi-lagi Divya muntah. Benarkah sang pemabuk muntah?Pukul lima lebih lima belas menit, Ghazi sudah tidak bisa lagi tertidur. Dia harus membersihkan masalah yang dibuat oleh istrinya. Kemudian memberikan sisanya pada petugas kebersihan hotel. Pria itu hanya membuang kotoran yang menempel pada kain dan menanggalkan di lantai.“Maaf untuk itu,” sesal Ghazi. Ia menggunakan bahasa inggris untuk bercakap.“Tidak masalah, Tuan. Sungguh, ini sudah tugas kami,” timpal wanita dengan seragam cokelat putih tersebut.Ghazi memberikan tip pada wanita itu sebelum meninggalkan kamar. Pria itu menatap sang istri yang masih pulas di atas ranjang. Ghazi melupakan sesuatu, dia kembali menelepon petugas untuk mengantarkan air kelapa guna menetralkan rasa pengar yang tentu diderita oleh Divya.Tepat matahari sudah meninggi sepenuhnya di atas kepala, barulah suara leguhan Divya
Perjalanan sebelas jam lebih dua puluh menit kembali ditempuh Ghazi dan Divya. Mereka tidak mengundur kepulangannya ke Briona. Ghazi harus kembali mengecek data-data yang sudah dia tinggalkan selama kurang lebih lima hari. Kemudian, Divya tidak bisa menahan diri untuk lekas menggeluti profesi barunya.Tepat jam sepuluh malam, mereka tiba di bandara Internasional Briona. Menggunakan taksi, keduanya kembali ke rumah. Tidak seperti keberangkatan mereka yang penuh dengan penantian, kini Divya hanya bersandar pada lengan suaminya. Ia tertidur sejak awal penerbangan. Bangun hanya saat kantung kemihnya penuh atau perutnya terasa lapar.Beberapa saat terlewat, keduanya tiba di rumah Ghazi. Pria itu berusaha untuk membangunkan sang istri, akan tetapi gadis itu tidak ingin membuka matanya.“Masih ngantuk banget, big bear,” lirihnya dengan malas.Tanpa menimpali akhirnya Ghazi pun keluar dari taksi terlebih dulu dan meminta Divya untuk sedikit menggeser tubuh agar bisa membawanya ke dalam.“Tolo
“Tunggu-tunggu!” Divya mencegah tubuh Ivy yang hendak memeluknya. Ia melihat ada yang berbeda dari tubuh sahabatnya tersebut.“Ivy— sejak kapan kamu gendut? Sorry bukan body shaming, tapi, serius kamu beda, Iv,” ujar Divya blak-blakkan. Dia memang tidak bisa mengerem ucapannya bukan?“Apaan, sih. Enggaklah. Mungkin hanya perasaanmu aja,” sanggah Ivy.“Nggak-nggak! Ini serius. Pipimu chubby. Terus bibirmu kaya lebih berisi, badanmu juga. Kaya montok gitu,” sela Divya. Matanya terus meneliti penampilan Ivy mulai dari atas kepala hingga ujung stiletto hitam itu.Setelan kerja yang dikenakan oleh Ivy pun bukan ukuran yang biasa dipakai wanita itu. Divya tahu dan kenal betul bagaimana cara gadis di depannya berpakaian. Meskipun simple tetapi tidak serapat saat ini. Blazer dengan lengan panjang dan celana panjang. Iuh— batin Divya.“Mungkin karena keseringan ngemil, Div. Kerja di kantoran gini buat aku gugup terus. Jadi aku kudu sedia kopi terus sama camilan. Pokok mulutku kudu goyang terus
Divya disibukkan dengan informasi di website. Sejak kedatangannya di ruangan Ghazi sampai dua jam lamanya ia berselancar digudang informasi tersebut. Gadis itu masih sangat penasaran dengan sebab kegendutan yang dialami oleh sang sahabat.Ghazi yang baru saja selesai dengan data analisnya lekas mendekati sang istri. Ia berdiri di belakang kursi yang berpunggung rendah itu. Membungkukkan tubuhnya mengintip aktivitas Divya.“Jadi ke dokter?” Seketika Divya menoleh dan hidung keduanya saling bergesekan. Senyum merekah dibibir Divya. Ia lntas sengaja memiringkan wajahnya agar bisa menjangkau bibir Ghazi. Sekejab mereka larut dalam ciuman mesra yang hangat.Divya tidak bisa berhenti, pun dengan Ghazi yang merasakan kekenyalan bibir istrinya. Basah, hangat, dan candunya tidak bisa diungkapkan dengan sebuah untaian kata. Hingga beberapa detik berikutnya, Divya menjeda pautan itu. suhu tubuh keduanya sudah mulai memanas. Jika tidak dihentikan bukan tidak mungkin mereka akan melakukan hal gila
“Ngapain?” Ghazi mendapati istrinya tidak lekas tidur setelah usai makan malam dua jam lalu. Gadis itu duduk pada kursi kepompong di balkon. Tatapannya sendu dan tersirat akan pikiran yang sesak di dalamnya.“Mau cerita?” tambah Ghazi. Mengingatkan kejadian dulu, jika Divya duduk mengantung seperti itu Ghazi akan melipat kaki di atas permadani dan melipat tangannya di atas paha sang istri.Divya menggeleng. “Bohong, kamu sedang sembunyikan sesuatu dariku, Bee. Ada apa?” desak Ghazi. Jika Divya bisa mendesaknya maka, Ghazi pun harus bisa menemukan jawaban atas kegundahan hati sang istri.“Aku cuma takut aja,” jawab Divya. Tanpa melihat ke arah suaminya dan jemari sibuk memainkan rambut pria itu. Terasa lembut dengan aroma sampo mengundang hidung Divya untuk menciumnya. Akan tetapi, wanita itu tidak melakukannya, sesak dalam pikiran yang dia tanggung mengalihkan kebiasaannya.“Takut apa? Katakan padaku. Apakah aku bisa membantu?”Divya tersenyum, seakan ketakutan itu memudar begitu saja