Pagi ini, Divya kedatangan seorang tamu. Janji temu yang seharusnya terjadi beberapa hari lalu harus tertunda karena Divya harus bulan madu, kemudian sibuk dengan keluarganya serta masalah kecil yang tiba-tiba muncul. Dia adalah guru pengrajin yang sudah diseleksi dan dipilih langsung oleh Ghazi.Seorang wanita berusia lima puluh tahun. Namun, perawakannya masih seperti perempuan dengan usia empat puluh tahunan. Dia energic dengan rambut yang sudah beruban. Itulah kelemahan yang tidak bisa dia tutupi.“Ghazi memang pandai mencari istri,” pujinya saat memasuki kediaman Ghazi. Di mana, Divya sendirilah yang menyambut kedatangan wanita tersebut.“Anda bisa saja. Apakah, Anda begitu dekat dengan Ghazi?” Tentu saja mendengar panggilan wanita itu pada Ghazi membuat Divya sangat penasaran. Karena tidak seorang pun Divya lihat dan ketahui jika, ada orang yang masih memanggil namanya dengan lugas tanpa embel-embel pak, kecuali ayah dan ibunya.“Tidak banyak, Nak. Dulu— saat dia remaja, aku ber
Sebelum Divya memutuskan menemui Ivy, gadis itu menelepon sang suami guna mendatangi klinik kemarin. Begitu melihat Ghazi turun dari mobil ia lantas berlarian dan memeluknya dengan erat. Menghujami dada, serta wajah pria itu dengan ciuman.“Hei! Ada yang salah?” tanya Ghazi. Tidak biasanya, Divya menyambut kehadirannya begitu antusias. Meskipun biasanya Divya selalu senang akan kedatangan pria itu, tetapi baru kali inilah Divya berani melakukan hal itu.“Tidak ada. Mau nyium suami harus ada udang di atas bakwan?” Ghazi tersenyum tipis. Ia membelai wajah istrinya saat Divya telah menghentikan aksi brutalnya.“Bagaimana kelasnya?” Divya terdiam.“Batal, Bu gurunya tiba-tiba kecapean karena harus naik tangga. Besok-besok biar aku yang datang ke tempat dia, big bear. Kamu tidak sopan banget, nyuruh orang udah berumur buat naik turun tangga,” sarkas Divya. Mencari alasan, dan— itu berhasil meyakinkan Ghazi.“Benarkah? Maaf, Bee. Kalau begitu aku bisa antar kamu kalau ada kelas selanjutnya.
Setelah pulang dari dokter, Divya tidak ingin membuka suaranya. Ia terlelap karena lelah dengan tangisan yang keluar dari pelupuk matanya. Ponsel gadis itu bergetar di dalam tas yang berada tidak jauh dari tempatnya. Ghazi tidak ingin hal itu mengusik sang istri, cepat-cepat ia turun dan melihatnya.Nama Ivy tertera di sana. Ghazi memutuskan untuk menjawab panggilan itu. Dia berharap Ivy bisa menenangkan Divya, bisa mengajaknya bercanda dan menghibur sang istri.Akan tetapi setelah Ghazi menggeser ikon bewarna hijau itu, Ivy berkata dengan cepat dan tidak memberi Ghazi kesempatan untuk berucap bahwa dialah yang menjawab panggilan itu.“Maka sembunyikan itu darinya,” sahut Ghazi tiba-tiba.“Ghazi?” Tentu saja Ivy merasa terkejut karena ternyata laki-laki itu yang menjawab panggilannya.“Rahasiakan itu dari Divya. Aku tidak ingin dia sedih,” pinta Ghazi. Lalu menutup panggilan itu. Begitu berbalik badan, Divya berdiri tidak jauh dari lokasinya.“Bee? Kamu bangun? Ayo! Kembalilah tidur,
Setelah menghubungi Ivy melalui ponsel milik perawat di rumah sakit itu, gadis berambut keriting bertubuh gempal sudah memasuki kamar Divya. Ia lekas memeluk tubuh sahabatnya. Lagi-lagi suasana terenyuh terjadi di ruangan tersebut. Sedangkan, Ghazi memutuskan untuk keluar dari kamar istrinya. Dia akan meninggalkan Ivy bersama sang istri. Pulang ke rumah mengganti pakaian dan akan kembali setelah Ivy pergi. “Kenapa bisa sampai seperti ini, Div? Apa yang kamu lakukan?” Tentu saja Ivy tidak tahu duduk masalahnya. Berita yang diberikan pada Divya tidak mungkin membuatnya menyakiti diri sendiri bukan? “Ini karena aku gegabah, Ivy. Seharusnya aku tanya kamu lebih detail. Bukannya justru mencurigaimu.” “Curiga? Apa maksudnya?” “Lagian, kenapa kamu ngomong setengah-setengah di telepon?!” serang Divya yang justru melemparkan kesalahan pada Ivy. “Sumpah Divya aku tidak paham. Kalimatku belum selesai karena kamu sudah memutus panggilannya kan? Kenapa, apa yang terjadi sebenarnya?” “Saat ka
Satu bulan sejak kejadian mengerikan itu, Divya sudah mulai kembali dengan rencananya. Ia telah mendatangi kelas sebanyak delapan kali dan masih belum menemukan benih potensi sebagai pengrajin dalam dirinya. Namun gadis itu sama sekali tidak menyerah, dia akan terus berusaha hingga mencapai titik kesuksesan ditengah kemelut kecemasan yang terus mendera pikirannya setiap menit.Ponselnya berdering saat tangan lentik itu mempercantik tanah liat diatas meja putar di ruangan Ghazi sendiri. Ia membunuh waktu dengan terus belajar, hingga sang suami kembali dari bengkel.Divya lekas mencuci tangan dan menyahut benda persegitu itu. “Iya, Iv?”“Gue mau lairan, Divya!” teriak Ivy dari seberang saluran. Divya panik. Dia lekas bangkit dari duduknya dan berjalan ke sana kemari masih dengan sambungan telepon yang terhubung.“Jadi gimana? Sudah ke dokter?”“Belum. Aku bersembunyi di toilet, Div. Ketubanku sudah pecah,” tutur Ivy.“Astaga! Itu bahaya. Tunggu sebentar, Iv. Aku akan menelepon ambulans
Setelah tiga hari berada di rumah sakit. Ivy akhirnya dinyatakan boleh pulang. Divya masih yang paling bersemangat mengurus Ivy. Sampai-sampai dia melupakan suaminya sendiri.Gadis itu mengemudikan mobil merah yang biasa dipakai bersama sang suami, menuju ke kediaman Ivy. Rumah dinas yang diberikan oleh Hendery untuk Ivy. Tidak terlalu besar tetapi sangat nyaman untuk Ivy dan anaknya. Dulu— sebelum memiliki anak, Ivy selalu berkata bahwa rumah ini akan tampak sangat besar dan terlalu sepi.Sekarang, semuanya berubah. Baru saja menginjakkan kaki di depan pintu, suara tangisan bayi Ivy menyambut mereka.“Kita sampai di rumah, baby. Tenang dan percayalah bahwa rumah ini jauh lebih nyaman ketimbang rumah sakit,” papar Divya.Ia terlihat sangat keibuan dan telaten. Siapa yang kira bahwa gadis bar-bar itu bisa berubah secepat ini. Padahal, ia belum pernah menggendong bayi sebelumnya.Divya merasa telah memiliki bayi, dia jatuh cinta pada sosok bocah mungil yang sekarang ada dalam dekapannya
Ivy terkejut melihat sahabatnya kembali di depan pintu rumahnya. Begitu daun pintu itu terbuka. Tubuh seksi sang sahabat itu menubruknya. Memeluk badan Ivy dengan sangat erat."Aku pengen di sini, Iv. Jangan minta aku balik," gumamnya. masih dalam dekapan tubuh Ivy."Hei, kenapa? Ada masalah? Kalian berantem?" Ivy mencoba melerai pelukan. Memberi ruang pada Divya untuk menjalankan duduk masalahnya."Ayo, kita duduk dulu!" ajak Ivy. Mereka mendekati sofa dan di sanalah Divya mulai bercerita tentang pertengkarannya.Dia mulai membeberkan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Divya yakin, kalau hanya Ivy yang tahu bagaimana sedihnya menjadi wanita yang tidak sempurna. Bagaimana hancur dan nelangsa hatinya saat melihat bayi dan keinginan-keinginan itu akan langsung meluncur memenuhi pikirannya."Bukan salahku kan, jika aku akhirnya jatuh cinta dan bahkan terobsesi pada anakmu, Iv?""Kamu tidak salah, Divya. Betul, kamu memang tidak salah. Tapi, disinilah letak ujian kalian. Di sinilah cobaan
Divya masih berdiri di pinggiran teralis. Ia cemas dan risau. Ghazi belum juga tiba saat jarum jam berada di angka sembilan malam.Wajah Divya sudah mulai kusut. Dia khawatir dan ketakutan. Lalu ketika membalikkan tubuh, sebuah buket bunga yang sangat besar berada di hadapannya."Ghazi!" pekik Divya. Ia menyingkirkan bunga itu dan memilih untuk memeluk tubuh suaminya. Dia rindu, dia hanya ingin pria itu, bukan hal lain."Maaf, terlambat, Bee," sesal Ghazi.Pria itu sempat menelepon Ivy, menanyakan apakah Divya sudah makan atau belum. Namun, gadis keriting itu menjelaskan bahwa Divya telah pulang sejak siang. Begitu mendengar kabar itu, Ghazi lekas pulang dan di tengah jalan ban mobilnya bocor. Ia harus menunggu partnernya dan mengantarkan mobil lain untuknya pulang. Lantas sebagai permintaan maaf itu, Ghazi menyempatkan diri untuk membeli buket. "Tidak, aku yang harus minta maaf. Kamu pasti enggan untuk pulang karenaku kan?"Ghazi menggeleng, kemudian merunduk untuk mendaratkan satu