Setelah tiga hari berada di rumah sakit. Ivy akhirnya dinyatakan boleh pulang. Divya masih yang paling bersemangat mengurus Ivy. Sampai-sampai dia melupakan suaminya sendiri.Gadis itu mengemudikan mobil merah yang biasa dipakai bersama sang suami, menuju ke kediaman Ivy. Rumah dinas yang diberikan oleh Hendery untuk Ivy. Tidak terlalu besar tetapi sangat nyaman untuk Ivy dan anaknya. Dulu— sebelum memiliki anak, Ivy selalu berkata bahwa rumah ini akan tampak sangat besar dan terlalu sepi.Sekarang, semuanya berubah. Baru saja menginjakkan kaki di depan pintu, suara tangisan bayi Ivy menyambut mereka.“Kita sampai di rumah, baby. Tenang dan percayalah bahwa rumah ini jauh lebih nyaman ketimbang rumah sakit,” papar Divya.Ia terlihat sangat keibuan dan telaten. Siapa yang kira bahwa gadis bar-bar itu bisa berubah secepat ini. Padahal, ia belum pernah menggendong bayi sebelumnya.Divya merasa telah memiliki bayi, dia jatuh cinta pada sosok bocah mungil yang sekarang ada dalam dekapannya
Ivy terkejut melihat sahabatnya kembali di depan pintu rumahnya. Begitu daun pintu itu terbuka. Tubuh seksi sang sahabat itu menubruknya. Memeluk badan Ivy dengan sangat erat."Aku pengen di sini, Iv. Jangan minta aku balik," gumamnya. masih dalam dekapan tubuh Ivy."Hei, kenapa? Ada masalah? Kalian berantem?" Ivy mencoba melerai pelukan. Memberi ruang pada Divya untuk menjalankan duduk masalahnya."Ayo, kita duduk dulu!" ajak Ivy. Mereka mendekati sofa dan di sanalah Divya mulai bercerita tentang pertengkarannya.Dia mulai membeberkan semuanya tanpa ada yang ditutupi. Divya yakin, kalau hanya Ivy yang tahu bagaimana sedihnya menjadi wanita yang tidak sempurna. Bagaimana hancur dan nelangsa hatinya saat melihat bayi dan keinginan-keinginan itu akan langsung meluncur memenuhi pikirannya."Bukan salahku kan, jika aku akhirnya jatuh cinta dan bahkan terobsesi pada anakmu, Iv?""Kamu tidak salah, Divya. Betul, kamu memang tidak salah. Tapi, disinilah letak ujian kalian. Di sinilah cobaan
Divya masih berdiri di pinggiran teralis. Ia cemas dan risau. Ghazi belum juga tiba saat jarum jam berada di angka sembilan malam.Wajah Divya sudah mulai kusut. Dia khawatir dan ketakutan. Lalu ketika membalikkan tubuh, sebuah buket bunga yang sangat besar berada di hadapannya."Ghazi!" pekik Divya. Ia menyingkirkan bunga itu dan memilih untuk memeluk tubuh suaminya. Dia rindu, dia hanya ingin pria itu, bukan hal lain."Maaf, terlambat, Bee," sesal Ghazi.Pria itu sempat menelepon Ivy, menanyakan apakah Divya sudah makan atau belum. Namun, gadis keriting itu menjelaskan bahwa Divya telah pulang sejak siang. Begitu mendengar kabar itu, Ghazi lekas pulang dan di tengah jalan ban mobilnya bocor. Ia harus menunggu partnernya dan mengantarkan mobil lain untuknya pulang. Lantas sebagai permintaan maaf itu, Ghazi menyempatkan diri untuk membeli buket. "Tidak, aku yang harus minta maaf. Kamu pasti enggan untuk pulang karenaku kan?"Ghazi menggeleng, kemudian merunduk untuk mendaratkan satu
Satu Minggu berlalu. Divya sudah sangat bahagia, dia merasa bahwa usahanya berhasil kali ini. Tepat di bulan ini, dia belum mendapatkan tamu datang bulannya.Debar jantungnya begitu cepat. Dia duduk di atas kloset sembari menggenggam alat tes kehamilan.Kakinya terus ia gerakkan naik turun untuk menghalau rasa gugupnya. Sudah hampir lima belas menit Divya berada di sana. Namun, ia sama sekali tidak berani untuk melihat hasilnya."Bee, kamu baik-baik saja? Ada apa di sana?" teriak Ghazi dari balik pintu. Dia cemas dengan istrinya yang tidak lekas keluar atau menjawab pertanyaannya.Divya menarik napas dalam dan mengembuskannya berulangkali, kemudian melihat stik kecil yang dia genggam.Bahunya melorot, semangatnya menghilang, sementara apa yang dinantikan telah sirna saat melihat hasilnya.Ia bangkit dan membuka pintu kamar mandi. Kemudian segera memeluk suaminya dan menangis di dalam dekapan Ghazi."Hei, ada apa?" Ghazi membalas pelukannya sang istri. Mengelus rambut panjang Divya dan
[Aku harus keluar kota, Divya. Bisakah titip Rayyan sampai besok sore?]Sebuah pesan singkat diterima oleh Divya tepat pukul lima petang, sang ibu dari bayi itu tampak sangat sibuk.Divya justru tersenyum bahagia. Ia membalas dengan ujaran yang penuh keikhlasan. Mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan akan hal itu. Rayyan adalah bagian dari kebahagiaan Divya saat ini.Di saat cobaan pernikahannya masalah kehamilan, Ivy justru hadir dengan bayi yang menjadi idaman gadis cantik itu.[Terima kasih, Div]Setelah itu, Divya memandikan Rayyan. Mereka tertawa dan sesekali bermain air dan bebek air dalam bak mandi."Rayyan, doakan Ibumu ini bisa memberimu teman, ya. Ibu juga pengen mengurus bayi setiap hari," lirih Divya.Namun, sambutan yang tidak disangka justru diberikan Rayyan. Dia merengek, mencelupkan tangannya ke air sangat kencang hingga menyemprot ke muka Divya."Oh, sepertinya kamu tidak setuju, ya? Cemburuan sekali kamu, hm." Divya menggosok pelan kulit Rayyan. Membaluri tubuh itu
Tengah malam, Rayyan menangis tidak henti, padahal suhu tubuhnya snagat normal, tetapi dia benar-benar rewel. Istri Dadang tidak lagi mampu membuatnya tenang. Sampai, Divyalah yang harus turun tangan.“Mau ke mana, Bee?” tanya Ghazi saat melihat sang istri turun dari ranjang.“Kayanya, Ray nangis, Big. Aku turun dulu, ya,” pamit Divya. Ia sudah meninggalkan bayi itu setelah makan malam tadi. Ivy pun juga sudah menyempatkan menelepon mereka. Gadis itu tempak sangat sibuk, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menatap wajah bayinya.Sebetulnya dia enggan untuk tidur di atas. Inilah yang dia takutkan, Rayyan rewel dan menangis tidak bisa ditenangkan kecuali dengan Divya.“Sama aku, Bee.” Pria itu memutuskan untuk ikut turun tangan, takut jika sang istri kelelahan.Mereka turun dan begitu tiba di lantai bawah keduanya melihat Dadang dan istrinya kewalahan mengurus bayi yang terus menangis dengan sangat kencang itu. Divya ingat saat pertama kali mendengar tangisan bocah itu saat hari perta
Bab 89Ghazi dan Divya segera berlari ke arah kamar, di mana Rayyan meraung-raung di sana. membuat pasangan tua, Dadang dan istrinya kewalahan. Sungguh bocah itu tidak bisa jauh dari Divya. Hanya wanita inilah yang mampu membuatnya tenang.“Sayang, anak Ibu. Kenapa nangis lagi? Ibu hanya keluar sebentar,” tutur Divya lembut. Dia merasa bersalah karena harus keluar pagi itu. Seharunya momen ini menjadi lebih indah jika saja ia tidak keluar, dia bisa menikmati pagi bersama bayi laki-laki itu.Akan tetapi, Divya juga tidak bisa membiarkan suaminya sendirian lagi. Dia sudah berjanji kalau tidak akan keras kepala atau bahkan membuat laki-lakinya kecewa. Sudah cukup keegoisan itu membuat hubungan mereka selalu dalam pertengkaran.“Dasar bocah tengil. Bisa tidak sehari kau beri istriku waktu hanya bersamaku?” Ghazi sungguh geram. Mereka sangat tampak khawatir tadi begitu melihat Dadang dan istrinya bersama-sama mendatangi mereka.Selama itulah, Rayyan menangis, selama kepergian Divya satu ja
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu