“Tunggu-tunggu!” Divya mencegah tubuh Ivy yang hendak memeluknya. Ia melihat ada yang berbeda dari tubuh sahabatnya tersebut.“Ivy— sejak kapan kamu gendut? Sorry bukan body shaming, tapi, serius kamu beda, Iv,” ujar Divya blak-blakkan. Dia memang tidak bisa mengerem ucapannya bukan?“Apaan, sih. Enggaklah. Mungkin hanya perasaanmu aja,” sanggah Ivy.“Nggak-nggak! Ini serius. Pipimu chubby. Terus bibirmu kaya lebih berisi, badanmu juga. Kaya montok gitu,” sela Divya. Matanya terus meneliti penampilan Ivy mulai dari atas kepala hingga ujung stiletto hitam itu.Setelan kerja yang dikenakan oleh Ivy pun bukan ukuran yang biasa dipakai wanita itu. Divya tahu dan kenal betul bagaimana cara gadis di depannya berpakaian. Meskipun simple tetapi tidak serapat saat ini. Blazer dengan lengan panjang dan celana panjang. Iuh— batin Divya.“Mungkin karena keseringan ngemil, Div. Kerja di kantoran gini buat aku gugup terus. Jadi aku kudu sedia kopi terus sama camilan. Pokok mulutku kudu goyang terus
Divya disibukkan dengan informasi di website. Sejak kedatangannya di ruangan Ghazi sampai dua jam lamanya ia berselancar digudang informasi tersebut. Gadis itu masih sangat penasaran dengan sebab kegendutan yang dialami oleh sang sahabat.Ghazi yang baru saja selesai dengan data analisnya lekas mendekati sang istri. Ia berdiri di belakang kursi yang berpunggung rendah itu. Membungkukkan tubuhnya mengintip aktivitas Divya.“Jadi ke dokter?” Seketika Divya menoleh dan hidung keduanya saling bergesekan. Senyum merekah dibibir Divya. Ia lntas sengaja memiringkan wajahnya agar bisa menjangkau bibir Ghazi. Sekejab mereka larut dalam ciuman mesra yang hangat.Divya tidak bisa berhenti, pun dengan Ghazi yang merasakan kekenyalan bibir istrinya. Basah, hangat, dan candunya tidak bisa diungkapkan dengan sebuah untaian kata. Hingga beberapa detik berikutnya, Divya menjeda pautan itu. suhu tubuh keduanya sudah mulai memanas. Jika tidak dihentikan bukan tidak mungkin mereka akan melakukan hal gila
“Ngapain?” Ghazi mendapati istrinya tidak lekas tidur setelah usai makan malam dua jam lalu. Gadis itu duduk pada kursi kepompong di balkon. Tatapannya sendu dan tersirat akan pikiran yang sesak di dalamnya.“Mau cerita?” tambah Ghazi. Mengingatkan kejadian dulu, jika Divya duduk mengantung seperti itu Ghazi akan melipat kaki di atas permadani dan melipat tangannya di atas paha sang istri.Divya menggeleng. “Bohong, kamu sedang sembunyikan sesuatu dariku, Bee. Ada apa?” desak Ghazi. Jika Divya bisa mendesaknya maka, Ghazi pun harus bisa menemukan jawaban atas kegundahan hati sang istri.“Aku cuma takut aja,” jawab Divya. Tanpa melihat ke arah suaminya dan jemari sibuk memainkan rambut pria itu. Terasa lembut dengan aroma sampo mengundang hidung Divya untuk menciumnya. Akan tetapi, wanita itu tidak melakukannya, sesak dalam pikiran yang dia tanggung mengalihkan kebiasaannya.“Takut apa? Katakan padaku. Apakah aku bisa membantu?”Divya tersenyum, seakan ketakutan itu memudar begitu saja
Pagi ini, Divya kedatangan seorang tamu. Janji temu yang seharusnya terjadi beberapa hari lalu harus tertunda karena Divya harus bulan madu, kemudian sibuk dengan keluarganya serta masalah kecil yang tiba-tiba muncul. Dia adalah guru pengrajin yang sudah diseleksi dan dipilih langsung oleh Ghazi.Seorang wanita berusia lima puluh tahun. Namun, perawakannya masih seperti perempuan dengan usia empat puluh tahunan. Dia energic dengan rambut yang sudah beruban. Itulah kelemahan yang tidak bisa dia tutupi.“Ghazi memang pandai mencari istri,” pujinya saat memasuki kediaman Ghazi. Di mana, Divya sendirilah yang menyambut kedatangan wanita tersebut.“Anda bisa saja. Apakah, Anda begitu dekat dengan Ghazi?” Tentu saja mendengar panggilan wanita itu pada Ghazi membuat Divya sangat penasaran. Karena tidak seorang pun Divya lihat dan ketahui jika, ada orang yang masih memanggil namanya dengan lugas tanpa embel-embel pak, kecuali ayah dan ibunya.“Tidak banyak, Nak. Dulu— saat dia remaja, aku ber
Sebelum Divya memutuskan menemui Ivy, gadis itu menelepon sang suami guna mendatangi klinik kemarin. Begitu melihat Ghazi turun dari mobil ia lantas berlarian dan memeluknya dengan erat. Menghujami dada, serta wajah pria itu dengan ciuman.“Hei! Ada yang salah?” tanya Ghazi. Tidak biasanya, Divya menyambut kehadirannya begitu antusias. Meskipun biasanya Divya selalu senang akan kedatangan pria itu, tetapi baru kali inilah Divya berani melakukan hal itu.“Tidak ada. Mau nyium suami harus ada udang di atas bakwan?” Ghazi tersenyum tipis. Ia membelai wajah istrinya saat Divya telah menghentikan aksi brutalnya.“Bagaimana kelasnya?” Divya terdiam.“Batal, Bu gurunya tiba-tiba kecapean karena harus naik tangga. Besok-besok biar aku yang datang ke tempat dia, big bear. Kamu tidak sopan banget, nyuruh orang udah berumur buat naik turun tangga,” sarkas Divya. Mencari alasan, dan— itu berhasil meyakinkan Ghazi.“Benarkah? Maaf, Bee. Kalau begitu aku bisa antar kamu kalau ada kelas selanjutnya.
Setelah pulang dari dokter, Divya tidak ingin membuka suaranya. Ia terlelap karena lelah dengan tangisan yang keluar dari pelupuk matanya. Ponsel gadis itu bergetar di dalam tas yang berada tidak jauh dari tempatnya. Ghazi tidak ingin hal itu mengusik sang istri, cepat-cepat ia turun dan melihatnya.Nama Ivy tertera di sana. Ghazi memutuskan untuk menjawab panggilan itu. Dia berharap Ivy bisa menenangkan Divya, bisa mengajaknya bercanda dan menghibur sang istri.Akan tetapi setelah Ghazi menggeser ikon bewarna hijau itu, Ivy berkata dengan cepat dan tidak memberi Ghazi kesempatan untuk berucap bahwa dialah yang menjawab panggilan itu.“Maka sembunyikan itu darinya,” sahut Ghazi tiba-tiba.“Ghazi?” Tentu saja Ivy merasa terkejut karena ternyata laki-laki itu yang menjawab panggilannya.“Rahasiakan itu dari Divya. Aku tidak ingin dia sedih,” pinta Ghazi. Lalu menutup panggilan itu. Begitu berbalik badan, Divya berdiri tidak jauh dari lokasinya.“Bee? Kamu bangun? Ayo! Kembalilah tidur,
Setelah menghubungi Ivy melalui ponsel milik perawat di rumah sakit itu, gadis berambut keriting bertubuh gempal sudah memasuki kamar Divya. Ia lekas memeluk tubuh sahabatnya. Lagi-lagi suasana terenyuh terjadi di ruangan tersebut. Sedangkan, Ghazi memutuskan untuk keluar dari kamar istrinya. Dia akan meninggalkan Ivy bersama sang istri. Pulang ke rumah mengganti pakaian dan akan kembali setelah Ivy pergi. “Kenapa bisa sampai seperti ini, Div? Apa yang kamu lakukan?” Tentu saja Ivy tidak tahu duduk masalahnya. Berita yang diberikan pada Divya tidak mungkin membuatnya menyakiti diri sendiri bukan? “Ini karena aku gegabah, Ivy. Seharusnya aku tanya kamu lebih detail. Bukannya justru mencurigaimu.” “Curiga? Apa maksudnya?” “Lagian, kenapa kamu ngomong setengah-setengah di telepon?!” serang Divya yang justru melemparkan kesalahan pada Ivy. “Sumpah Divya aku tidak paham. Kalimatku belum selesai karena kamu sudah memutus panggilannya kan? Kenapa, apa yang terjadi sebenarnya?” “Saat ka
Satu bulan sejak kejadian mengerikan itu, Divya sudah mulai kembali dengan rencananya. Ia telah mendatangi kelas sebanyak delapan kali dan masih belum menemukan benih potensi sebagai pengrajin dalam dirinya. Namun gadis itu sama sekali tidak menyerah, dia akan terus berusaha hingga mencapai titik kesuksesan ditengah kemelut kecemasan yang terus mendera pikirannya setiap menit.Ponselnya berdering saat tangan lentik itu mempercantik tanah liat diatas meja putar di ruangan Ghazi sendiri. Ia membunuh waktu dengan terus belajar, hingga sang suami kembali dari bengkel.Divya lekas mencuci tangan dan menyahut benda persegitu itu. “Iya, Iv?”“Gue mau lairan, Divya!” teriak Ivy dari seberang saluran. Divya panik. Dia lekas bangkit dari duduknya dan berjalan ke sana kemari masih dengan sambungan telepon yang terhubung.“Jadi gimana? Sudah ke dokter?”“Belum. Aku bersembunyi di toilet, Div. Ketubanku sudah pecah,” tutur Ivy.“Astaga! Itu bahaya. Tunggu sebentar, Iv. Aku akan menelepon ambulans