Sepertinya selain lapar, ada satu hal lagi yang membuat Divya tidak bisa tertidur. Pikirannya, sejak obrolannya dengan sang suami beberapa jam lalu hingga saat ini pukul empat dini hari, Divya belum kunjung memejamkan matanya. Ghazi juga tidak kembali ke kamar. Divya gusar, ia bangkit untuk mencari keberadaan sang suami.Saat tiba di ruang berlatih, mata indah Divya tidak menemukan keberadaan Ghazi di sana. Berpindah ke ruang kerjanya, pun sama. Kemudian terakhir ruangan tempat Ghazi membuat kerajinan tanah liat. Gadis itu juga tidak menemukan pria besar itu di sana. Divya kembali menuruni tangga, tiba di ruang tengah sampai dapur pun tidak kunjung melihat batang hidung pria yang menurutnya menyebalkan itu.“Bu, sudah bangun?” sapa Divya yang ketika berbalik mendapati asisten rumah tangganya hendak memulai aktivitas di rumah itu.“Iya, Non. Ada yang bisa saya bantu? Nona butuh apa?” tanyanya. Khawatir dirinya bangun terlambat kali ini.“Tidak. Ibu liat Ghazi tidak?”“Tuan” ulang wanit
Hari kelulusan Divya tiba. Senyumnya merekah setelah menyampaikan sepatah dua patah kata untuk teman, sahabat, para dosen pembimbing dan sang suami. Gadis itu turun dan menemui Ghazi. Terulur satu buket bunga untuk wanita yang telah berhasil berjuang dengan keras selama empat tahun itu. Bahkan, Ghazi tidak pernah tahu bagaimana perjuangan Divya dulunya. Ia mengapresiasi ketangguhan Divya kala, gadis itu mulai rewel semenjak menikah dengannya.Divya melangkah cepat dan memeluk tubuh kokoh sang suami. Menghirup dalam aroma feromon yang bercampur dengan parfum berkelas milik suaminya. Meski harus sedikit berjinjit, tetapi Divya nyaman dengan apa yang dia lakukan.“Congratulation, Bee.”“Yeah! Nggak sabar buat honeymoon,” celetuknya. Tidak hilang senyum di wajahnya. Kemudian melepaskan pelukannya.Ghazi mengulum senyuman, ternyata Divya benar-benar menagih dan tidak lupa akan pembahasan yang sudah lebih dari satu minggu tersebut.“Sudah menemukan lokasinya?”“Serius terserah aku?” Mata D
Sampai di bengkel, Divya menyelonong ke halaman belakang tempat Ghazi biasa menyelesaikan segala kegiatan di depan layar laptop. Sementara suaminya menatap kepergiannya dengan tetap berbincang dengan partner kerja.“Kamu bisa kasih aku saran hampers menarik untuk wisuda?” tambah Ghazi sebelum benar-benar melangkah pergi menyusul sang istri.Dua pria itu tampak mengernyit. Ini adalah kali pertama, mereka diminta pendapat tentang masalah pribadi bosnya.“Hampers bagaimana, Pak?”“Hadiah dodol! Buat istri babak ‘kan? Dia baru lulus ‘kan?” Sergah seorang pria yang dulu menjadi pengemudi pengantar mobil ke rumah Divya.“Iya itu. Jawab saja tidak perlu banyak tanya yang lain. Menyesal sekali aku bertanya pada kalian. Jomlo ‘kan?” dengus Ghazi kemudian berlalu pergi tidak lagi menunggu jawaban.“Lha? Kok—” ucapan pria itu menggantung karena tidak perlu ada lanjutannya.“Itu gara-gara kamu, makanya jangan banyak mulut jadi pria, tuh. Cowo tapi banyak omong,” celetuk rekannya.“Ya tahu, sih. T
Berbalut dengan pakaian yang tampak sopan, Divya siap menghabiskan malam bersama dengan keluarga Dadang. Ghazi pun juga tampak berpakaian santai, tidak seformal biasanya. Keduanya menuruni tangga.“Sudah siap, Bu?” sapa Divya saat melihat istri Dadang berbalut pakaian terbaik yang dia miliki.“Sudah, Non. Mohon maaf, anak pertama dan kedua saya serta cucu saya boleh ikut?”“Tentu saja, Bu. Saya sudah bilang tadi ‘kan? Ibu boleh ajak sanak sodara ibu. Siapa pun itu,” timpal Divya dibarengi dengan sunggingan senyum yang merekah indah.“Terima kasih, Nona, Tuan,” ujar Dadang.“Tidak masalah, Pak. Saya sudah pesan taksi online. Apakah mereka mampir ke mari?” Keduanya lantas menggeleng. Mereka ingat pesan Ghazi tidak mengizinkan siapapun mengetahui alamatnya kecuali tanpa persetujuan darinya.“Kalau begitu kita ketemu di restoran saja. Ibu tulis alamatnya nanti kirim ke anak ibu, ya?” Wanita itu mengangguk. Kemudian Divya dan Ghazi keluar. Mengendarai mobil merah yang dulu sempat membuat D
Bab 69Hari ini Ivy menemui Hendery. Dia akan dibimbing langsung oleh pria paruh baya itu. Kemudian dikenalkan pada seluruh staf agar mereka saling bekerja sama dengan baik tanpa ada perbedaan usia ataupun jabatan. Kendati begitu, Hendery yakin bahwa pilihan Divya tepat. Pria itu tidak akan lagi meragukan pilihan anaknya."Kamu baik-baik saja, Iv? Ada yang mengganjal pikiranmu?" tanya Hendery. Melihat raut muka Ivy yang tampak tegang. "Tidak, Tuan. Hanya efek nervous, karena baru pertama kali bekerja, Tuan," jawab Ivy dengan sopan. Iya menundukkan setengah badan sebagai tanda hormat pada atasannya.Meski dipoles dengan lipbalm, mata sayu Ivy tidak mampu menutupi seraut wajah yang pucat. Hendery masih berusaha untuk berpikir positif bahwa gadis itu tengah datang bulan. Biasanya wanita akan terlihat sangat pucat jika mengalami siklus setiap bulan itu.Asisten pribadi Hendery pun dengan telaten dan sopan memberitahu tugas-tugas Ivy. Memastikan bahwa seluruh laporan sesuai sebelum dibubu
Penerbangan Ghazi dan Divya mengalami keterlambatan selama dua jam saat transit di Kuala Lumpur. Hingga mereka tiba di pulau Maladewa tepat jam sembilan pagi. Mereka disambut oleh guyuran hujan. Musim penghujan juga melanda negeri tersebut. Divya berulangkali menguap karena sepanjang perjalanan dia hanya tidur, jika tidak begitu, ia menghabiskan masa dengan merebahkan tubuhnya di tempat.Begitu pesawatnya landing di bandara internasional Velana, semangatnya bangkit seketika. Rasa kantuk dan bosan yang sempat menyerangnya seketika terusir begitu saja. Gadis itu sibuk menyapu seluruh pemandangan yang tersaji. Hujan dan hawa dingin yang tengah melanda tidak menyurutkan niatnya untuk lekas menjelajah pulau itu.“Setelah meletakkan barang ini, aku ingin lekas mengeksplor, Maladewa!” seru Divya. Ia mencengkeram lengan suaminya dengan posesif. Bahkan tidak lupa untuk menunjukkan bahasa cintanya dengan snetuhan brutal. Divya menggigit lengan Ghazi secara terang-terangan. Ghazi hanya mengerutk
Pukul tujuh waktu setempat, Divya dan suami turun dari kamarnya. Menuju dining room. Berhubung terlalu malam untuk menikmati sunset, keduanya memilih makan di dalam ruangan. Masih dengan view yang menghadap ke laut lepas. Pemandangan yang selalu memikat para turis. Warga asing sangat mengagumi dan dibuat terpesona oleh sajian alam Maldevies.Divya memesan makanan khas Maladewa itu. Dua porsi Mas Huni. Olahan dari ikan Tuna yang dicincang lalu dicampur dengan parutan kelapa dan dibumbui rempah-rempah khusus cita rasa Maladewa. Kemudian Chicken Biryani. Sama halnya di kota Briona, ini adalah olahan ayam goreng yang langsung disajikan di atas nasi putih. Biji-biji berasnya pun terlihat sangat premium karena begitu panjang dan rendah kalori.Kemudian beberapa makanan penutup dan minuman yang mampu melegakan rasa dahaga dan menggelontor seluruh makanan tiba di dalam perut dengan nyaman.“Ini terlihat sama saja seperti di Indonesia. Tapi— aku yakin ada satu atau dua perbedaan pada cita rasa
Setelah selesai sarapan, dua pasangan yang masih dalam status berbulan madu itu menghabiskan waktu dengan menjelajah pulau Maladewa. Tujuan pertamanya adalah monumen stunami. Di sana sebuah tugu dengan berbahankan metal baja, berwarna silver dengan beberapa biji bola yang cukup besar melingkari tugu berbentuk tabung tersebut.Divya mematri pandang pada monumen yang menjulang tinggi di hadapannya. Dia membaca sejarah tentang stunami yang terjadi kala itu. Ternyata saat stunami melanda Indonesia tepatnya di Aceh. Bencana itu juga menewaskan 82 jiwa di Maladewa. Mungkin bukan korban besar selayaknya warga Aceh, tetapi trauma menyerang warga Maladewa. Sama halnya dengan penduduk Aceh.“Aku tidak bisa bayangkan bagaimana paniknya mereka kala itu,” gumam Divya. Ingatan akan bencana itu menarik mundur memori kelam di negaranya. Bagaimana dunia bersimpati pada Indonesia saat itu.“Kamu percaya bahwa kala itu, Tuhan telah membersihkan jiwa-jiwa yang telah Dia rindukan,” jawab Ghazi.“Ya— tidak