Ini ada yang baca nggak sih. Soalnya nggak ada yang kasih bintang lho.
Sore ini sesuai dengan kesepakatan keduanya. Setelah menjemput Divya dari kampus, mereka lekas bertandang ke rumah sakit. Divya tidak sabar bertemu dengan sang ayah yang sudah sangat lama tidak dia temui. Ia berusaha melupakan pertemuan terakhir yang sungguh menyesakkan baginya. Namun, dia juga sadar bahwa Hendery dan Greta tetaplah orang tuanya.“Pa!” panggil, Divya saat pintu kamar ayahnya dibuka oleh Ghazi. Hendery menatap keberadaan Divya. Ia tersenyum pada anak gadisnya.“Nak?!” Matanya seketika berkaca-kaca. Ia ingat betapa kerasnya Hendery mendidik Divya. Hanya memerintah dan mengarahkan tanpa memberikan contoh. Membuat Divya justru kehilangan arah.Divya mendekati ayahnya dan memeluk tubuh sang ayah. “Bagaimana kondisi Papa? Divya minta maaf—”“Sst! Tidak perlu mengatakan apa pun, Divya. Papa tahu kamu adalah putri terbaik Papa. Seharusnya papa yang minta maaf.”“Kalau begitu tidak perlu ada yang meminta maaf. Di mana mama?”Hendery tersenyum pada anaknya. Menggenggam jemari t
Jarum jam terus berputar. Waktu tidak akan berhenti begitu saja. Sudah lewat sebulan dari hari di mana segala kegiatan Divya dilakukan. Ia tersenyum puas saat keluar dari ruangan dospemnya. Perjuangannya membuahkan hasil, kendati revisi yang dia lakukan sebanyak dua kali itu membuatnya kehilangan banyak waktu bersama dengan suaminya. Akan tetapi, hal itu sama sekali tidak dipermasalahkan bagi suaminya. Pria itu juga membantu Divya.“Gimana?” tanya Ivy. Pasalnya tiga hari yang lalu, Ivy sudah terlebih dulu menerima kabar baiknya. Ia siap mendaftar wisuda. Bukankah itu hal yang membanggakan sekaligus menggembirakan?“Yes!” Keduanya lantas bersorak dan melompat kegirangan. Kemudian setelah sadar dari tingkah konyolnya, mereka berhenti. Mengulum senyum dengan merunduk.“Gua lulus, gila, sih ini! Akhirnya,” sanjung Divya pada dirinya sendiri. Membanggakan diri adalah hal yang tidak pernah terlewat bagi Divya.“Selamat, Divya. Aku ikut senang,” tangkas Ivy.“Em— tidak! Selamat untuk kita da
“Tunggu, Divya!” Hendery menghentikan langkah Divya. Dia siap jika harus menceritakan segalanya pada sang anak sekarang. Sudah terlalu lama ia memendam fakta. Divya sudah berusia dua puluh tahun. Bahkan sebulan lagi umurnya tepat dua puluh satu tahun.Divya berhenti, ia memutar tubuh dan duduk di anak tangga pertama. Wanita itu enggan berpindah. Mengabaikan sang ayah jika ia harus berdiri di tempatnya. Namun, Ghazi dengan cepat menarik sofa single untuk pria itu.“Terima kasih, Ghaz,” lirih Hendery.Ghazi menatap wajah yang terlihat sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Saat ini, Hendery terlihat sangat tua dan lelah. Padahal usainya belum genap enam puluh tahun. Lantas pria itu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata.“Mulailah! Waktu gue nggak banyak,” desak Divya. Ia tidak percaya akan mendengar apa kali ini.Sedangkan Greta, wanita itu menjauh dan memilih duduk di sofa panjang yang ada di ruang tengah. Mendengar penjelasan Hendery yang sudah dimulai.“Greta dan ibumu saudara, Na
Rasa lelah yang menggulung raga membuat Ghazi terlelap pekat malam ini. Ia tidak menyadari bahwa Divya tidak lagi berada di sampingnya. Gadis itu melamun pada kursi kepompong di ujung luar ruangan. Matanya tampak tidak berhenti meneteskan air mata. Terlalu banyak penyesalan yang dirasa olehnya.Terlalu banyak waktu yang terbuang selama dua puluh tahun. Seharunya dia bisa lebih bijak menyikapi semua masalahnya, bukannya malah mencari pelampiasan dengan menghabiskan hari di luar rumah, malam kelayapan ke kelab tidak ada manfaatnya. Selama ini banyak orang yang telah berjuang dan berkorban untuknya— sejauh ini.Hingga pagi tiba, suara azan pertama guna mengawali hari Divya dengar, gadis itu masih terjaga. Saat itu juga, Ghazi terbangun. Ia tidak mendapati sang istri di sisinya. Begitu bangkit, melihat Divya berdiri di pinggir pembatas kaca menikmati terpaan udara pagi yang belum terkontaminasi oleh udara buruk perkotaan.“Pagi, Bee,” sapa Ghazi sembari memeluk pinggang Divya dan menyanda
Ghazi mengambil tanah liat dari berapa gumpal yang sudah dia letakkan di meja panjang. Kemudian duduk pada kursi bulat. Terdapat meja putar berbentuk bulat pula, di hadapannya. Ia memberikan sedikit air untuk membasahi tanah yang ia ambil sebelumnya.“Duduklah!” perintah Ghazi pada istrinya yang sedari tadi hanya terpaku menatap dirinya. Divya tidak bisa membendung keterkejutan yang ia lihat saat ini.“Kamu bisa membuat kerajinan? Maksudku bagaimana bisa?” Divya mendaratkan pantat pada sofa kecil yang ada di ruangan luas itu. Ada puluhan barang yang sudah tercetak di sana, ada bejana, fas, pot, dan celengan. Divya menatap kagum sekitarnya. Rasanya tidak puas ia mengamati tiap detail guratan yang ada di sana. Namun, kakinya lelah setelah mengayuh sepeda tadi.“Kenapa tidak, Bee? Dulu— aku punya banyak waktu. Jika tidak ada job, keseharianku hanya di rumah.”“Dari mana kamu belajar semua ini. Gini— kamu seorang pembalap bagaimana bisa kamu berkamuflase sebagai pengrajin tanah liat? Apa
Ghazi mengangguk dengan pertanyaan Divya. Biasanya gadis itu tidak pernah meminta izin ketika hendak menanyakan sesuatu. Suasana hati, Ghazi sudah sedikit membaik setelah cukup lama ia mengontrol dirinya. Tidak lekas menjawab apa yang dilontarkan sang istri. Beruntung, Divya tidak menuntut cepat.“Katakan.” Ghazi berusaha untuk mengulas senyum selebar mungkin.“Sekarang kamu sudah memiliki kesempatan untuk meraih mimpi, Ghazi. Kamu sudah punya segalanya. Apakah keinginan untuk balapan masih ada? Balapan motor atau mobil yang lebih kamu inginkan?”“Kukira betul-betul satu pertanyaan, Bee,” kelakar Ghazi. Hal itu disambut kekehan kecil Divya.“Aku suka semuanya. Namun, perlombaan pertama yang aku menangkan adalah mobil.”“Ya— aku tahu mobilnya. Itu mobil yang keren. Apa masih ada?” Berkat pengambilan foto itu, Divya jadi tahu dan bisa membayangkan sekeren apa Ghazi saat duduk di balik kemudi. Dia pernah melihat Ghazi mengebut. Pertama kali saat Ghazi baru masuk dalam kehidupannya.“Buka
“Papa tahu pasti kamu menanyakan hal itu. Maafkan, Papa, Divya. Kamu tidak bisa memiliki kenangan itu. Papa minta maaf, sungguh,” sesal Hendery. Kematian Gia sungguh tidak bisa ditunda. Bahkan semua kematian tidak pernah memiliki waktu yang tepat bagi para makhluk. Datang tiba-tiba dan tanpa persiapan.“Tapi, papa punya banyak foto saat mama mengandungmu, Divya.” Hendery kembali bangkit mendekati bufet. Kali ini album foto itu tidak jauh lebih tebal dari yang dipegang oleh Divya. Hendery memberikan album bersampul emas itu pada Divya.Begitu dibuka sampulnya, Divya melihat kedua orang tuanya berpose dengan romantisnya. Menunjukkan hasil tespeck yang dipegang berdua dan saling mempertemukan bibir mereka. Kemudian senyum mengembang di wajah Gia.Tangis Divya semakin pecah, ketika terus membalik foto demi foto, Gia kian kurus dan memburuk kesehatannya seiring dengan usia kehamilan yang membesar. Wajahnya berubah pucat. Kehilangan binar diseraut muka yang cantik itu. Ini memilukan, Divya
Sepertinya selain lapar, ada satu hal lagi yang membuat Divya tidak bisa tertidur. Pikirannya, sejak obrolannya dengan sang suami beberapa jam lalu hingga saat ini pukul empat dini hari, Divya belum kunjung memejamkan matanya. Ghazi juga tidak kembali ke kamar. Divya gusar, ia bangkit untuk mencari keberadaan sang suami.Saat tiba di ruang berlatih, mata indah Divya tidak menemukan keberadaan Ghazi di sana. Berpindah ke ruang kerjanya, pun sama. Kemudian terakhir ruangan tempat Ghazi membuat kerajinan tanah liat. Gadis itu juga tidak menemukan pria besar itu di sana. Divya kembali menuruni tangga, tiba di ruang tengah sampai dapur pun tidak kunjung melihat batang hidung pria yang menurutnya menyebalkan itu.“Bu, sudah bangun?” sapa Divya yang ketika berbalik mendapati asisten rumah tangganya hendak memulai aktivitas di rumah itu.“Iya, Non. Ada yang bisa saya bantu? Nona butuh apa?” tanyanya. Khawatir dirinya bangun terlambat kali ini.“Tidak. Ibu liat Ghazi tidak?”“Tuan” ulang wanit