“Ngapain kalian di sini?” seru Raja. Tiga pria itu baru saja pulang, setelah jalanan berhasil dilalui dengan menyingkirkan ranting-ranting pohon yang menutup jalanan. Begitu masuk ke pondok mendapati Alin dan Ria rebahan di kursi kayu dan kedinginan.“Ya gimana nggak di sini, Divya tidur bareng suaminya,” seloroh Ria. Sembari mengusap hidungnya yang memerah akibat kedinginan.“Heem. Kita tidur di kamar kalian gimana? Tukar. Kalau nggak kita gelar tiker di kamar kalian. Ya kali mau tidur di luar sini, dingin banget cuy!” tandas Alin. Di dalam kamar mereka bisa mensiasati lubang-lubang dinding bambu itu dengan kardus.“Maaf. Aku ketiduran, kalian bisa tidur di dalam.” Suara Ghazi tiba-tiba ikut menimbrung. Seluruh orang di sana menoleh ke asal suara.“Eh— sorry, kita— kita nggak maksud—”“Santai aja. Lagian nggak ada hakku juga di sini. Kalian bisa tidur di dalam, biar aku di sini,” sergah Ghazi.Tiga pria yang masih basah kuyup itu mematung belum menimpali sama sekali. “Kita bisa berba
Empat minggu berlalu. Setelah semua yang dilewati Divya di pondok bambu itu bersama dengan kelima rekannya kini berakhir. Mereka sudah berkemas dan menantikan Van mereka menjemput. Langit sudah mulai menggelap karena mendung. Padahal jarum jam berada di angka tiga sore. “Nggak nyangka gue sehebat ini,” puji Divya pada dirinya sendiri. Merasa bangga berhasil melewati cobaan selama sebulan jauh dari sang suami. Kendati Ghazi setiap akhir pekan datang, tetapi sedikit pun pria itu malah tidak mengguakan kesempatan untuk bercinta dengannya. Padahal Divya sudah menggodanya semaksimal mungkin. Rasanya pikiran Ghazi selalu sadar. “Ya! Gue setuju. Gue makasih banget ama lo dan suami lo. Berkat kalian, gue nggak terlalu banyak keluar duit.” Kemudian tawa Ria pecah. Dia senang karena bisa menekan pengeluaran. “Ya— kita terima kasih banget sama kalian, Div. Kita doakan apa pun yang lo mau bakal terwujud. Hubungan kalian langgeng sampe kaki-nini.” Raja pun mengalami hal yang sama. Kendati bertu
Divya membuka matanya. Gadis itu langsung disuguhkan dengan pemandangan memilukan sekaligus membuatnya senang juga merasa bersalah. Punggung Ghazi, dengan berbagai luka cakaran yang baru maupun yang sudah sembuh menyisakan bekasnya saja. Divya tersenyum jika mengingat bagaimana ia mencetak luka-luka itu. Lantas gadis itu mendekati sang suami dan memeluk punggung besar itu. Menghirup feromon Ghazi, sudah selayaknya kecenderungan bagi Divya.“Pagi, Bee,” sapa Ghazi dengan suara paraunya, khas seorang beruang besar Divya. Sebetulnya ini adalah kali pertama Divya mendapatkan ucapan selamat pagi dari Ghazi yang masih berada di atas ranjang. Sebelumnya pria itu selalu menghilang entah ke mana.“Aku mengganggumu?” bisik Divya. Sengaja begitu dekat dengan telinga Ghazi sekaligus untuk menggoda pria itu.“Tidak juga.” Ghazi memutar tubuhnya dan memeluk sang istri. Kemudian menarik selimut agar membungkus tubuh mereka.“Jam berapa sekarang?” tanya Ghazi dengan mata terpejam.“Setengah delapan.”
Ghazi berlari menuruni anak tangga dalam kondisi khawatir. Ia mendengar semua yang di dengar oleh Ivy. Pria itu menyahut kontak motornya tanpa menghiraukan pelayan yang menyapanya. Akan tetapi ponselnya tiba-tiba berdering, ia kira itu adalah Divya. Ternyata Hendery yang menghubunginya. Ingin rasanya mengabaikan telepon tersebut, tetapi Ghazi tetap menjawabnya.“Ghaz! Tolong saya!” teriak Hendery dari seberang. Sekarang, Ghazi harus memilih menolong siapa terlebih dulu, istrinyakah atau justru mertuanya?Tanganya dengan cepat menghubungi seseorang yang dapat dia percaya untuk mengurus mertuanya. Sementara Ghazi memilih untuk mencari Divya. Pesan singkat itu langsung terbaca oleh rekannya. Lantas ia menunggangi kuda besinya. Keluar dari halaman rumahnya dan mengebut tidak takut akan keselamatan dirinya.Pikirannya hanya berpusat pada Divya. Hingga detik ini, Divya masih terisak. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi dan— benar yang ditakutkan Ghazi terjadi. Suara teriakan Divya meny
Sepanjang malam, Ghazi hanya duduk di samping ranjang Divya. Paling jauh ia hanya berdiri di dekat jendela ruangan itu. Ghazi tidak ingin mengulang kesalahan lagi dengan membiarkan kehilangan Divya barang sekedip mata selayaknya pesan Hendery dulu.Pukul tiga dini hari, gadis itu terbangun. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Divya, saat membuka matanya hanya sosok Ghazi yang dia cari. Kini, ia mendapati bayangan Ghazi yang menutup cahaya rembulan dari luar. Malam ini cuaca cukup indah. Baik bulan dan bintang menampakkan dirinya.“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya Divya. Tidak biasanya Ghazi akan melamun sedemikian rupa. Seketika Ghazi membalikkan badan dan mendekati istrinya kemudian mengelus pucuk kepala Divya. Sama seperti sepanjang malam yang dia lakukan tadi, hingga kesadaran istrinya terlilit oleh rasa kantuk.“Tidak. Kenapa bangun?”“Jangan bohong. Ada apa?” bantah Divya.“Tidak, Bee. Kamu butuh sesuatu?” Divya mengangguk. Ia menatap ke arah toilet. Kantong kemihnya penuh, bukankah
Mata Ivy berkaca-kaca kala melihat kondisi Divya. Ia berusaha membendung air matanya. Tetap saja butiran sebening kristal itu luruh. Ghazi menepati janjinya. Semalam ia benar-benar mengirim pesan pada Ivy. Hingga pagi ini gadis keriting itu datang. Ia ingin memeluk Divya tetapi takut menyakitinya.“Kemarilah! Lo nggak bakal diem doang ‘kan? Peluk dong!” seru Divya seolah tidak terjadi apa pun padanya. Ivy mendekatkan langkahnya pada ranjang dan memeluk Divya sepelan mungkin. Penuh kewaspadaan.“Kenapa ceroboh banget, Sih?” omel Ivy.“Kamu mabuk? Nggak kan?” tambahnya. Pelukan mereka terlerai. Kemudian Ivy duduk di kursi yang semalam sudah diduduki Ghazi.“Lo tahu gue udah lama nggak minum. Mana mungkin juga gue mabok sambil nangis,” tutur Divya. Ia masih tersenyum tipis pada Ivy. Bahagia karena bisa bertemu dengan teman baiknya lagi.“Kalian bertengkar ‘kan?” Ivy menatap Ghazi yang hanya duduk seperti patung.“Hanya sedikit. Udahlah, jadi— gimana KKN lo?”“Nggak enak banget. Udah kek
Bab 56 Seluruh pakaian Divya tertanggal, begitupun dengan Ghazi. Dua sejoli yang kini ada di bawah guyuran air dalam bilik mandi itu, menikmati kebersamaan sore ini. Ghazi membelakangi Divya, ia membasuh tubuhnya terlebih dulu. Kemudian, gadis berambut panjang itu memeluk tubuh sang suami dari balik punggung kokohnya. Melilitkan lengannya pada bahwa ketiak Ghazi dan mencengkeram bahu pria kokoh itu. Tidak ada jarak bagi mereka. “Kau yakin tidak ingin bermain? Aku bisa perkiraan kalau dua sampai tiga hari ke depan, bakalan haid, big bear. Ini kesempatanmu,” bisiknya. Divya menjulurkan lidah menyapu punggung suaminya. Sapuan napasnya terasa hangat di permukaan kulit Ghazi. “Berbaliklah!” pinta, Divya. Ia menarik tubuh besar yang selama ini sudah menjaga dan mengurung Divya dalam pesona panasnya. Divya melompat dan melingkarkan lengan panjangnya pada leher satu-satunya pria yang menjadi pemenang dalam hidup. Melilitkan kakinya pada pinggang Ghazi. Menatap suaminya dengan tatapan yang
Sore ini sesuai dengan kesepakatan keduanya. Setelah menjemput Divya dari kampus, mereka lekas bertandang ke rumah sakit. Divya tidak sabar bertemu dengan sang ayah yang sudah sangat lama tidak dia temui. Ia berusaha melupakan pertemuan terakhir yang sungguh menyesakkan baginya. Namun, dia juga sadar bahwa Hendery dan Greta tetaplah orang tuanya.“Pa!” panggil, Divya saat pintu kamar ayahnya dibuka oleh Ghazi. Hendery menatap keberadaan Divya. Ia tersenyum pada anak gadisnya.“Nak?!” Matanya seketika berkaca-kaca. Ia ingat betapa kerasnya Hendery mendidik Divya. Hanya memerintah dan mengarahkan tanpa memberikan contoh. Membuat Divya justru kehilangan arah.Divya mendekati ayahnya dan memeluk tubuh sang ayah. “Bagaimana kondisi Papa? Divya minta maaf—”“Sst! Tidak perlu mengatakan apa pun, Divya. Papa tahu kamu adalah putri terbaik Papa. Seharusnya papa yang minta maaf.”“Kalau begitu tidak perlu ada yang meminta maaf. Di mana mama?”Hendery tersenyum pada anaknya. Menggenggam jemari t