“Akh! Sialan!” umpat Divya seraya meremas ponselnya kuat-kuat sembari memukul angin. Raja yang berjalan di sampingnya dibuat sedikit menyingkir agar tidak kena amukan gadis itu. “Kenapa, sih lo milih lokasi yang gila kek gini?!” erang Divya, kembali memberikan tatapan mematikan pada Raja. “Bukan gue, kali yang milih. Ini udah dosen yang atur. Udah sih, lagian kita juga dapat bantuan ‘kan? Nggak sepenuhnya kita bayar sendiri.” “Bodo! Lebih baik kalau gue bisa lulus dengan bayar gue bayar dah!” teriaknya, dengan muka kesal. Ia lupa pernah menentang hal itu di hadapan Liam dan keluarganya. Kata-kata itu terlontar hanya karena panggilannya terputus padahal, Divya belum sepenuhnya mengobati rindu. Begitu tiba di teras rumah ternyata semua teman-temannya sudah tiba. Bahkan Ria dan Alin sudah berkutat di dapur. Divya menghentakkan pantatnya pada kursi kayu panjang. Melempar tasnya di atas lantai semen begitu saja. Bersandar pada dinding bambu dengan mata terpejam, menikmati rasa lelah yan
Tiga hari berturut-turut desa tempat Divya KKN diguyur hujan. Wanita itu harus terus kehujanan setiap kali berangkat dan kembali ke rumah. Payung yang dipinjamkan warga tidak mampu menyelamatkannya dari tangisan semesta. Kini— di Sabtu sore, angin kencang terus berembus. Sejak jumat kemarin, wanita itu sudah merasa tidak enak badan. Malam ia demam, tetapi pagi tadi masih nekat untuk mengajar. Kendati Raja sudah mencegahnya.“Mau teh anget, Div?” tawar Alin. Diantara mereka yang tidak tahan banting hanyalah Divya. Gadis itu tidak terbiasa melewati cuaca ekstrim seperti ini. Kelima rekannya sudah kebal akan berbagai cuaca. Bahkan Randu dan Akbar justru menggunakan kesempatan ini untuk membantu warga mengatur gorong-gorong agar tidak buntu. Sementara Raja dia harus membantu Ria dan Alin merawat Divya.Divya hanya menggeleng untuk jawaban. Ia tidak mampu menguarkan sepatah kata pun. Tubuhnya menggigil meskipun sudah mengenakan selimut berlapis. Semua rekannya meminjamkan selimut padanya a
“Ngapain kalian di sini?” seru Raja. Tiga pria itu baru saja pulang, setelah jalanan berhasil dilalui dengan menyingkirkan ranting-ranting pohon yang menutup jalanan. Begitu masuk ke pondok mendapati Alin dan Ria rebahan di kursi kayu dan kedinginan.“Ya gimana nggak di sini, Divya tidur bareng suaminya,” seloroh Ria. Sembari mengusap hidungnya yang memerah akibat kedinginan.“Heem. Kita tidur di kamar kalian gimana? Tukar. Kalau nggak kita gelar tiker di kamar kalian. Ya kali mau tidur di luar sini, dingin banget cuy!” tandas Alin. Di dalam kamar mereka bisa mensiasati lubang-lubang dinding bambu itu dengan kardus.“Maaf. Aku ketiduran, kalian bisa tidur di dalam.” Suara Ghazi tiba-tiba ikut menimbrung. Seluruh orang di sana menoleh ke asal suara.“Eh— sorry, kita— kita nggak maksud—”“Santai aja. Lagian nggak ada hakku juga di sini. Kalian bisa tidur di dalam, biar aku di sini,” sergah Ghazi.Tiga pria yang masih basah kuyup itu mematung belum menimpali sama sekali. “Kita bisa berba
Empat minggu berlalu. Setelah semua yang dilewati Divya di pondok bambu itu bersama dengan kelima rekannya kini berakhir. Mereka sudah berkemas dan menantikan Van mereka menjemput. Langit sudah mulai menggelap karena mendung. Padahal jarum jam berada di angka tiga sore. “Nggak nyangka gue sehebat ini,” puji Divya pada dirinya sendiri. Merasa bangga berhasil melewati cobaan selama sebulan jauh dari sang suami. Kendati Ghazi setiap akhir pekan datang, tetapi sedikit pun pria itu malah tidak mengguakan kesempatan untuk bercinta dengannya. Padahal Divya sudah menggodanya semaksimal mungkin. Rasanya pikiran Ghazi selalu sadar. “Ya! Gue setuju. Gue makasih banget ama lo dan suami lo. Berkat kalian, gue nggak terlalu banyak keluar duit.” Kemudian tawa Ria pecah. Dia senang karena bisa menekan pengeluaran. “Ya— kita terima kasih banget sama kalian, Div. Kita doakan apa pun yang lo mau bakal terwujud. Hubungan kalian langgeng sampe kaki-nini.” Raja pun mengalami hal yang sama. Kendati bertu
Divya membuka matanya. Gadis itu langsung disuguhkan dengan pemandangan memilukan sekaligus membuatnya senang juga merasa bersalah. Punggung Ghazi, dengan berbagai luka cakaran yang baru maupun yang sudah sembuh menyisakan bekasnya saja. Divya tersenyum jika mengingat bagaimana ia mencetak luka-luka itu. Lantas gadis itu mendekati sang suami dan memeluk punggung besar itu. Menghirup feromon Ghazi, sudah selayaknya kecenderungan bagi Divya.“Pagi, Bee,” sapa Ghazi dengan suara paraunya, khas seorang beruang besar Divya. Sebetulnya ini adalah kali pertama Divya mendapatkan ucapan selamat pagi dari Ghazi yang masih berada di atas ranjang. Sebelumnya pria itu selalu menghilang entah ke mana.“Aku mengganggumu?” bisik Divya. Sengaja begitu dekat dengan telinga Ghazi sekaligus untuk menggoda pria itu.“Tidak juga.” Ghazi memutar tubuhnya dan memeluk sang istri. Kemudian menarik selimut agar membungkus tubuh mereka.“Jam berapa sekarang?” tanya Ghazi dengan mata terpejam.“Setengah delapan.”
Ghazi berlari menuruni anak tangga dalam kondisi khawatir. Ia mendengar semua yang di dengar oleh Ivy. Pria itu menyahut kontak motornya tanpa menghiraukan pelayan yang menyapanya. Akan tetapi ponselnya tiba-tiba berdering, ia kira itu adalah Divya. Ternyata Hendery yang menghubunginya. Ingin rasanya mengabaikan telepon tersebut, tetapi Ghazi tetap menjawabnya.“Ghaz! Tolong saya!” teriak Hendery dari seberang. Sekarang, Ghazi harus memilih menolong siapa terlebih dulu, istrinyakah atau justru mertuanya?Tanganya dengan cepat menghubungi seseorang yang dapat dia percaya untuk mengurus mertuanya. Sementara Ghazi memilih untuk mencari Divya. Pesan singkat itu langsung terbaca oleh rekannya. Lantas ia menunggangi kuda besinya. Keluar dari halaman rumahnya dan mengebut tidak takut akan keselamatan dirinya.Pikirannya hanya berpusat pada Divya. Hingga detik ini, Divya masih terisak. Mobilnya melaju dengan kecepatan tinggi dan— benar yang ditakutkan Ghazi terjadi. Suara teriakan Divya meny
Sepanjang malam, Ghazi hanya duduk di samping ranjang Divya. Paling jauh ia hanya berdiri di dekat jendela ruangan itu. Ghazi tidak ingin mengulang kesalahan lagi dengan membiarkan kehilangan Divya barang sekedip mata selayaknya pesan Hendery dulu.Pukul tiga dini hari, gadis itu terbangun. Mungkin sudah menjadi kebiasaan Divya, saat membuka matanya hanya sosok Ghazi yang dia cari. Kini, ia mendapati bayangan Ghazi yang menutup cahaya rembulan dari luar. Malam ini cuaca cukup indah. Baik bulan dan bintang menampakkan dirinya.“Sedang memikirkan sesuatu?” tanya Divya. Tidak biasanya Ghazi akan melamun sedemikian rupa. Seketika Ghazi membalikkan badan dan mendekati istrinya kemudian mengelus pucuk kepala Divya. Sama seperti sepanjang malam yang dia lakukan tadi, hingga kesadaran istrinya terlilit oleh rasa kantuk.“Tidak. Kenapa bangun?”“Jangan bohong. Ada apa?” bantah Divya.“Tidak, Bee. Kamu butuh sesuatu?” Divya mengangguk. Ia menatap ke arah toilet. Kantong kemihnya penuh, bukankah
Mata Ivy berkaca-kaca kala melihat kondisi Divya. Ia berusaha membendung air matanya. Tetap saja butiran sebening kristal itu luruh. Ghazi menepati janjinya. Semalam ia benar-benar mengirim pesan pada Ivy. Hingga pagi ini gadis keriting itu datang. Ia ingin memeluk Divya tetapi takut menyakitinya.“Kemarilah! Lo nggak bakal diem doang ‘kan? Peluk dong!” seru Divya seolah tidak terjadi apa pun padanya. Ivy mendekatkan langkahnya pada ranjang dan memeluk Divya sepelan mungkin. Penuh kewaspadaan.“Kenapa ceroboh banget, Sih?” omel Ivy.“Kamu mabuk? Nggak kan?” tambahnya. Pelukan mereka terlerai. Kemudian Ivy duduk di kursi yang semalam sudah diduduki Ghazi.“Lo tahu gue udah lama nggak minum. Mana mungkin juga gue mabok sambil nangis,” tutur Divya. Ia masih tersenyum tipis pada Ivy. Bahagia karena bisa bertemu dengan teman baiknya lagi.“Kalian bertengkar ‘kan?” Ivy menatap Ghazi yang hanya duduk seperti patung.“Hanya sedikit. Udahlah, jadi— gimana KKN lo?”“Nggak enak banget. Udah kek
Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm
Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang
Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka
Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah
Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu
Bab 89Ghazi dan Divya segera berlari ke arah kamar, di mana Rayyan meraung-raung di sana. membuat pasangan tua, Dadang dan istrinya kewalahan. Sungguh bocah itu tidak bisa jauh dari Divya. Hanya wanita inilah yang mampu membuatnya tenang.“Sayang, anak Ibu. Kenapa nangis lagi? Ibu hanya keluar sebentar,” tutur Divya lembut. Dia merasa bersalah karena harus keluar pagi itu. Seharunya momen ini menjadi lebih indah jika saja ia tidak keluar, dia bisa menikmati pagi bersama bayi laki-laki itu.Akan tetapi, Divya juga tidak bisa membiarkan suaminya sendirian lagi. Dia sudah berjanji kalau tidak akan keras kepala atau bahkan membuat laki-lakinya kecewa. Sudah cukup keegoisan itu membuat hubungan mereka selalu dalam pertengkaran.“Dasar bocah tengil. Bisa tidak sehari kau beri istriku waktu hanya bersamaku?” Ghazi sungguh geram. Mereka sangat tampak khawatir tadi begitu melihat Dadang dan istrinya bersama-sama mendatangi mereka.Selama itulah, Rayyan menangis, selama kepergian Divya satu ja
Tengah malam, Rayyan menangis tidak henti, padahal suhu tubuhnya snagat normal, tetapi dia benar-benar rewel. Istri Dadang tidak lagi mampu membuatnya tenang. Sampai, Divyalah yang harus turun tangan.“Mau ke mana, Bee?” tanya Ghazi saat melihat sang istri turun dari ranjang.“Kayanya, Ray nangis, Big. Aku turun dulu, ya,” pamit Divya. Ia sudah meninggalkan bayi itu setelah makan malam tadi. Ivy pun juga sudah menyempatkan menelepon mereka. Gadis itu tempak sangat sibuk, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menatap wajah bayinya.Sebetulnya dia enggan untuk tidur di atas. Inilah yang dia takutkan, Rayyan rewel dan menangis tidak bisa ditenangkan kecuali dengan Divya.“Sama aku, Bee.” Pria itu memutuskan untuk ikut turun tangan, takut jika sang istri kelelahan.Mereka turun dan begitu tiba di lantai bawah keduanya melihat Dadang dan istrinya kewalahan mengurus bayi yang terus menangis dengan sangat kencang itu. Divya ingat saat pertama kali mendengar tangisan bocah itu saat hari perta
[Aku harus keluar kota, Divya. Bisakah titip Rayyan sampai besok sore?]Sebuah pesan singkat diterima oleh Divya tepat pukul lima petang, sang ibu dari bayi itu tampak sangat sibuk.Divya justru tersenyum bahagia. Ia membalas dengan ujaran yang penuh keikhlasan. Mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan akan hal itu. Rayyan adalah bagian dari kebahagiaan Divya saat ini.Di saat cobaan pernikahannya masalah kehamilan, Ivy justru hadir dengan bayi yang menjadi idaman gadis cantik itu.[Terima kasih, Div]Setelah itu, Divya memandikan Rayyan. Mereka tertawa dan sesekali bermain air dan bebek air dalam bak mandi."Rayyan, doakan Ibumu ini bisa memberimu teman, ya. Ibu juga pengen mengurus bayi setiap hari," lirih Divya.Namun, sambutan yang tidak disangka justru diberikan Rayyan. Dia merengek, mencelupkan tangannya ke air sangat kencang hingga menyemprot ke muka Divya."Oh, sepertinya kamu tidak setuju, ya? Cemburuan sekali kamu, hm." Divya menggosok pelan kulit Rayyan. Membaluri tubuh itu