Divya melamun sepanjang kelas yang dia lalui. Gadis itu tidak mampu menarik kesadarannya dari kejadian semalam. Merasa penasaran sekaligus bersalah pada suaminya. Begitu mengingat kata suami, senyum terulas di bibirnya.“Kesambet kamu?!” celetuk Ivy dengan penuh tekanan karena harus menahan suaranya agar tidak didengar oleh dosen mereka.“Gue rasa, iya. Kesambet timun roman Ghazi,” ujarnya blak-blakan.Ivy menoyor kepala Divya tanpa ragu. Selain bar-bar kini bertambah lagi kegilaan Divya yaitu, mesum. “Bisa-bisanya pikiranmu sekotor itu, Div?” bisik Ivy lagi.“Nggak bisa dilupain. Lo tahu, Ghazi— ugh!” Matanya setengah terpejam layaknya orang mabuk. Sekali lagi Ivy mendorong dahi Divya, hingga gadis itu tertawa terbahak.“Maaf, Pak,” sesalnya lekas menutup mulutnya karena takut pada sang pembimbing. Semua mata kini menatap ke arahnya.Obrolan kasak-kusuk mereka terus berlanjut hingga kelas usai. Divya merogoh tasnya untuk mencari ponselnya.“Keknya gue mo balik aja, deh. Nggak betah g
Secara impulsif, Ghazi lekas menggeser Divya untuk berdiri di belakang punggungnya. Pria itu mendekati laki-laki yang berani menyentuh sang istri tadi.“Apa maumu?” tegas, Ghazi dengan tatapan yang tajam.“Sorry. Gue hanya nyapa Divya. Gue temen kuliahnya. Nggak deket, sih. Hanya calon adik ipar yang gagal,” ujarnya.“Oh, si minimal?” sergah Divya. Pantas dia tampak tidak asing. Keduanya hanya bertemu sekali di taman kala itu.Ghazi pun langsung ingat akan pertemuan mereka. Namun tidak lantas menyingkir untuk melindungi Divya. Pria itu masih intens menatap Sunu menjelaskan masalahnya menemui gadis itu.“Minimal?” ulang Sunu.“Ya! Gue pernah bilang kalau lo ngelindur dengan bilang calon kakak ipar waktu itu. Karena lo nggak mandi, minimal cuci muka. Ingat?” Divya melebarkan senyumnya. Seakan ejekan itu hanya sebuah candaan yang lucu.“Oh— ya, gue inget. Gue tahu alasannya sekarang. Gue rasa kalian emang lebih cocok, sih,” timpal Sunu.“Sepakat! Lo nggak bakal balas dendam atas nama kak
“Aku kira tidak lagi ada pertanyaan, Divya,” timpal Ghazi dengan memberikan sunggingan senyum.“Bukti kalau aku bukan wanita yang bisa menepati janji.” Keduanya tertawa. Hingga kedekatan itu terasa begitu intens. Divya terhenti dengan bola mata memusat pada bibir Ghazi. Dia sungguh ingin mencium bibir laki-laki yang tidak pernah menyentuh rokok. Benarkah?Namun, kali ini Ghazi yang justru membuat permulaan. Seakan dia tahu ke mana mata Divya bertengger. Pria itu lantas menangkup wajah Divya dan mendaratkan bibirnya pada mulut Divya. Melumatnya dengan lembut. Namun, Divya justru membalasnya dengan brutal. Ia mengubah posisinya yang semula duduk dengan posisi miring kini membuka lebar kedua kakinya dan kembali duduk di pangkuan Ghazi.Leguhan kecil itu keluar dari mulut Divya di tengah pautan mesra mereka. Bukan hanya sebuah kuluman mesra, tetapi kini ciuman itu suatu hal yang menggiring mereka pada tuntunan lebih. Divya tersentak kaget kala telapak tangan Ghazi bersarang pada buah dada
Tangan Divya terampil memotong dan menggiling rempah-rempah bakal ia buat makan malam ini. Ia sudah menyiapkan satu buah nanas utuh serta daging bagian iga yang tebal. Gadis itu menggulung nanasnya dengan daging sapi. Kemudian menusuknya dengan tusuk gigi agar tidak terlepas dan membalurnya dengan potongan tomat, paprika serta rempah-rempah yang sudah ia haluskan. Kemudian memanggangnya.Sembari menunggu ia menyiapkan white wine yang sesuai dengan olahan dagingnya malam ini. Ghazi terlihat menuruni tangga dan berjalan ke arahnya. Senyumnya sudah ia tunjukkan pada wanita yang sekarang seperti seorang koki betulan.“Butuh bantuan?” Divya berbalik badan, menyandarkan pinggangnya pada meja dan menggeleng.“Tidak ada. Sebentar lagi usai. Boleh aku mandi dulu?” izinnya.“Tentu. Aku bisa mengangkatnya nanti.” Gadis itu mendekatkan diri pada Ghazi dan menyambar satu ciuman singkat pada bibir Ghazi.Namun, di luar dugaan, pria itu justru menahan Divya agar tidak melepaskan pautannya. Ia mencek
Divya keluar dari ruangan dosen pembimbing. Wajahnya kusut, muram, dan tidak menampakkan sama sekali semangat di sana. Ivy lekas mendekati sahabatnya begitu melihat gadis itu keluar. Merangkulnya sembari sedikit berjinjit.“Kenapa? Revisinya gagal?” tanya Ivy. Menarik lengan Divya agar duduk di kursi yang tidak jauh dari mereka.“Bukan gagal lagi, tapi kacau. Lo, tahu kemarin gue hanya butuh revisi sedikit doang, tapi sekarang malah gue suruh milih buat ulang dengan tema lain atau ikutan KKN. Cuma gegara gue telat setor revisian, gilak! Masa iya gue kudu blusukan ke desa-desa,” keluh Divya dengan wajah memberengut. Ia menyandarkan punggungnya di sandaran kursi kayu tersebut.“Nggak ada keringanan gitu, buat lo revisi yang pertama? Minta tenggang waktu seminggu gitu,” papar Ivy. Divya menggeleng sebagai jawaban bahwa keputusan dosen sudah final.“Lagian kamu, sih. Ngapain aja? Kemarin kamu juga bolos kan? Kenapa nggak ngerjain revisian? Udah dikasih enak juga,” gerutu Ivy ikut geram.“
Lima hari penuh, Divya berkutat dengan pikirannya sendiri. Keputusannya mentok pada KKN, setidaknya di sana dia bisa mengerjakan tugas dan kembali dengan beban yang tidak akan membuat kepalanya pecah, kecuali rindu yang harus dia tanggung. Sampai hari ini, mereka pun gagal mencoba penetrasi. Sialnya, Divya justru haid di hari-hari terakhir sebelum wanita itu berangkat.Untuk kali pertama, Divya jauh dari Ivy. Gadis itu justru berada dalam tim lain dan kian miris karena wilayahnya lebih pelosok dibanding Divya yang lokasinya bisa ditempuh dengan kendaraan sewajarnya. Sementara Ivy, gadis itu harus menggunakan mobil lalu berpindah getek untuk menyeberangi sungai, serta konon di sana susah jaringan internet.Sekarang, Ghazi dan Divya berada dalam perjalanan bersama rombongannya yang terpisah kendaraan dengan Divya. Gadis itu meminta Ghazi untuk mengantarnya. Setidaknya pria itu harus tahu di mana gadisnya akan tinggal dan dengan harapan bahwa Ghazi tidak akan kembali ke kota.“Lo yakin n
Hari pertama Divya tidur tanpa Ghazi setelah mereka menikah. Dipan dengan alas kasur kapas harus dibagi bertiga. Sempit dan udara dingin dari luar masuk melalu celah-celah dinding bambu. Dua temannya tampak sudah terlelap. Divya menanti telepon dari Ghazi, tetapi ponselnya kehilangan jaringan internet alhasil malam ini tidak ada suara Ghazi. Ia berusaha memejamkan mata, tetapi hal itu sulit dilakukan.“Divya, lo laperkah? Kenapa belum tidur?” celetuk Alin yang terganggu atas setiap gerak Divya. Gadis itu tidur di tengah.“Sorry, gue ganggu lo tidur, ya? Apa sebaiknya gue keluar biar nggak ganggu lo?” lirih Divya. Dia tidak enak hati karena membuat istirahat rekannya terganggu.“Gue hanya tanya, Div. Lo laper? Bukan maksud buat ngusir lo, kok,” timpal Alin.“Dikit. Tapi gue nggak bisa tidur bukan karena laper, sih,” ucapnya sepelan mungkin agar gadis berkepang itu tidak terbangun juga.“Karena lo kangen cowo lo kan?” celetuk Alin yang masih belum memahami ikatan resmi mereka. Mungkin c
Ghazi menatap rumah Divya cukup lama sampai seorang pria yang bertugas untuk menjaga rumah tersebut menghampiri laki-laki itu.Kaca jendela Ghazi terketuk dan pria bermuka kaku itu membukanya. “Ada apa, Tuan terus berada di sini? Kenapa tidak masuk?” tanya sang satpam setelah tahu siapa orang di dalam mobil itu. Awalnya pria berseragam itu hendak memaki tetapi urung.“Tuan Hen ada, Pak?”“Ada, Tuan. Silakan masuk saja.” Ia lantas membuka pintu pagar besar itu. Kendati ia sudah diwanti-wanti untuk tidak membukakan pintu bagi Ghazi dan Divya akan tetapi laki-laki itu melanggar perintahnya hanya demi Ghazi ataupun Divya melihat kondisi sang pemilik rumah. Setelah mobil Ghazi melenggang memasuki pelataran rumah. Ia lantas dengan cepat membuka pintu untuk Ghazi.“Terima kasih, Pak. Bagaimana keadaan mereka?”“Sebaiknya Tuan lihat sendiri saja. Biar lebih enak,” timpalnya terkesan menyembunyikan fakta besar. Ghazi mengangguk dan kemudian berlalu.Ia membuka pintu yang sudah pasti tidak terk