Begitu tiba di rumah, Divya semakin bertekuk muka. Semangatnya sudah tidak membara sama sekali. Membayangkan dirinya terkurung di kamar. Makan malam membosankan, ia ingin berteriak sekencang yang dia bisa.
"Mari makan dulu, Nak!" panggil Greta, ia sudah siap dengan segala macam olahan ikan kesukaan Divya dan juga suaminya.
"Divya mau mandi. Kalian makan duluan aja, nanti kalau Div laper juga bakal makan," celetuknya tanpa menghentikan langkahlangkah ataupun menoleh pada sang ibu.
Wanita bertubuh kecil, tetapi seksi itu menapaki satu demi satu anak tangga menuju ke kamar. Membanting pintu dengan cukup keras saat berhasil menghilang di baliknya.
"Biarkan saja, Ma. Dia kembali saja sudah untung. Biar dia lakukan sesukanya, Divya tidak akan mengurung diri semalaman."
Hendery mencoba menenangkan istrinya. Greta juga meyakini akan hal itu. Pasalnya anak semata wayang mereka tidak akan pernah bisa tidur jika kelaparan. Entah itu tengah malam, Divya tetap akan makan.
"Dia belum makan malam, kan Ghaz?"
"Belum, Tuan." Ghazi membalas dengan cepat dan tenang.
"Baiklah, kamu bisa bersihkan diri dulu. Kemudian ikutlah makan bersama kami," ajak Greta.
"Terima kasih, Nyonya. Sebaiknya Anda dan Tuan terlebih dulu. Saya bisa nanti," timpal pria berjas hitam itu dengan sopan.
Pria itu memilih untuk meninggalkan ruangan tersebut. Ia keluar, begitu tiba di halaman depan, Ghazi mengendurkan dasi serta melepaskan satu kancing baju yang sudah mencekiknya seharian penuh.
Ia mengambil sebatang rokok yang ada di mobil kemudian duduk di depan taman tepat di bawah jendela kamar Divya. Pria itu mendongak dan bisa melihat sorot lampu kamar milik majikan mudanya.
Kursi terletak di emperan halaman tersebut. Ghazi menikmati isapan nikotin dengan damai di sana. Sedikit racun yang menenangkan meski hanya sesaat.
Semilir angin yang terbawa malam ini, seolah membawa rasa penat Ghazi menguar. Laki-laki itu merentangkan kedua tangannya meniti sandaran kayu dan memejamkan matanya. Rokok yang sebelumnya bersarang di bibirnya sudah ia singkirkan.
"Huh—" rintihnya. Seperti sebuah keluhan yang tidak terucap secara langsung.
Tiba-tiba ia mendengar sesuatu yang janggal. Ghazi membuka mata dan menegakkan posisi duduknya. Pria itu melihat sesuatu bergelantung di hadapannya persis.
Ghazi merapatkan bibirnya dan melipat kedua tangan di dada tanpa mau beranjak. Ia bahkan menumpangkan sebelah kakinya di satu kaki yang lain.
Benda yang dia yakini sebagai sarana tali itu bergerak, disertai dengan suara napas yang semakin lama semakin jelas.
Kemudian suara derap kaki melompat. Pelaku berhasil mendarat dengan sempurna.
"Huh! Berhasil. Divya, Lo emang pemain andal!" serunya tertahan. Bangga dengan pencapaiannya yang bisa kabur dan mendarat dengan selamat.
Posisi yang membelakangi Ghazi tidak membuatnya sadar bahwa seseorang telah mengintainya. Memerhatikan setiap gerak-geriknya.
Perempuan berambut curly warna cokelat itu membenarkan pakaiannya. Jeans belel dengan tanktop dibalut jaket. Ia membiarkan angin meniup untaian surai lembut nun indah.
"Waktunya berpesta, Divya," gumamnya. Ia melangkahkan kaki dan—
"Tidak untuk hari ini." Ghazi berdiri, dia tetap melipat tangannya di dada dengan santai.
Seringai setan kini tampak di mukanya. Jauh berbeda dengan penampilan Ghazi pagi hingga sore tadi.
"Ll— Lo?! Ngapain di situ? Mo maling, Lo?!" tuduh Divya. Matanya berapi-api seolah melihat musuh bebuyutannya.
"Gajiku sudah cukup besar. Kenapa musti maling?" jawab Ghazi enteng. Ia mendekati Divya dan mencekal pergelangan tangannya.
"Waktunya kembali ke kamar." Ghazi menyeret wanita mungil itu. Di mata Ghazi, Divya memang sekecil itu.
"Nggak! Gue nggak bakal mau ndekem di kamar sialan itu! Lepas atau gue bakal teriak maling!"
Ghazi lagi-lagi menarik sebelah sudut bibir mengejek wanita itu.
"Berteriaklah, bukan aku yang harus khawatir, tapi justru kamu," tandasnya.
Divya mengepalkan tangan dengan mimik muka yang murka. Bibirnya mengatup erat siap untuk berperang melawan pria di hadapannya.
"Oh— oke, gue bakal masuk. Ayo!" Ia mengulurkan tangannya pada Ghazi secara suka rela.
Ghazi memicing mencari tahu pemikiran licik yang dimiliki oleh Divya.
"Oh, ayolah! Lo mau gue balik ke kamar, kan? Ya udah, ayo!" desaknya.
Ia mendekati, Ghazi. Mendongak seolah menantang pria itu, tetapi dengan wajah yang dibuat sepolos mungkin.
Ghazi masih tidak mudah untuk percaya. Ia tetap mematung tanpa kesiapan.
Sampai kaki kecil Divya terangkat menendang sesuatu yang ada di antara kedua paha pria tersebut.
"Akh! Div—" Ghazi memekik, meringis kesakitan seraya membungkuk memegang bagian yang terasa lara.
"Gadis, sialan!" umpatnya.
Sementara itu, Divya lari terbirit-birit meninggalkan halaman samping rumahnya. Membuka gerbang dengan mudahnya dan menghentikan taksi tepat di depan pagar.
Ghazi kembali menegakkan tubuhnya. Ia bergegas mengejar Divya. Jika dirinya kehilangan wanita itu, maka bukan tidak mungkin Hendery akan memenggal kepalanya.
Mobil kembali melaju di jalanan. Bersalipan dengan pengendara lain dan matanya fokus pada satu titik. Taksi yang membawa Divya.
"Gadis cilik, sialan! Ke mana kamu, huh?!" gumam Ghazi geram. Dia terus menekan gas dengan dalam.
Sayangnya rambu lalu lintas menghentikannya secara paksa. Rem terinjak dengan dalam. Mobil merah Ghazi berhasil berhenti tepat di belakang garis.
"Sial!" kesalnya. Ia memukul kemudinya. Sementara taksi di depannya. Menjauh secara berkala.
Bukan hanya itu, Divya melongokkan kepalanya, tersenyum lebar dan mengacungkan jari tengahnya pada Ghazi. Tawa itu benar-benar tampak penuh dengan kemenangan.
"Aku bakal seret tubuh kecilmu dan kumasukkan ke bagasi!" geram Ghazi.
Dia hanya tinggal mencari ke kelab yang biasa Divya datangi. Ghazi juga yakin bahwa gadis itu akan mengajak rekannya.
Lampu hijau menyala, Ghazi lekas melaju cepat. Memutar setir menuju ke kediaman Ivy. Ia turun dan mengetuk pintu guna memastikan kebenaran pemikirannya.
"Abang ganteng? Ada perlu apa?" tanya Ivy.
Ghazi menaikkan sebelah alisnya, menilik raut muka Ivy mencari kebenaran apakah wanita di depannya benar-benar tidak tahu keberadaan sahabatnya.
"Di mana, Divya?" tanya Ghazi datar.
"Divya? Bukannya kalian pulang bareng tadi, kan?"
"Dia tidak di sini?" Ivy menggeleng polos. Wajahnya tampak jujur.
"Sial!" decak Ghazi. Tanpa menunggu lebih lama lagi, pria tinggi besar itu membalikkan badan dan meninggalkan Ivy.
"Mau aku bantu cari?!" teriak Ivy. Ia bisa membaca situasi yang terjadi dan dia juga sangat mengenal temannya itu.
Namun, Ghazi sama sekali tidak menjawab. Ia dengan cepat mengendarai mobilnya dan langsung melesat pergi.
Kelab langganan Divya. Ghazi merangsek masuk memutar pandang ke segala penjuru demi mencari sosok yang dia cari. Pria berjas hitam tidak terkancing itu menyibak kerumunan. Satu demi satu wanita dia tatap untuk memastikan agar dirinya tidak terlewat.
"Di mana, kamu, Div?!" erangnya menahan gejolak emosi. Ini sudah bukan lagi jam kerja seharusnya. Namun, dia tetap melakukan tugasnya demi Hendery yang telah membayarnya dengan harga yang tidaklah murah.
Itu juga sebabnya Ghazi diizinkan tinggal di rumah mereka hanya agar penjagaan Divya paripurna. Hendery tidak ingin anaknya membuat masalah sampai hari pertunangannya dengan Liam Madhava.
"Sialan! Pergi, Lo!" Suara teriakan yang sangat dikenal oleh Ghazi.
Tepat di depan meja bartender Divya mencoba menyingkirkan tangan-tangan yang mencoba mencolek-colek tubuhnya.
Laki-laki bertato itu memegang kedua pipi Divya hendak memaksakan keinginannya untuk meraup bibir Divya. Gadis itu memberontak sebisanya. Kakinya menendang apa pun sebagai tindakan perlawanan.
Semua orang yang ada di sana layaknya orang buta. Mereka sibuk dengan diri mereka sendiri. Sibuk dengan kesenangan masing-masing.
Ghazi berderap cepat dan mencengkeram bahu pria kurang ajar tersebut,lalu langsung memberondong mukanya dengan tinju tenaga maksimal. Ia sudah menahan emosi sejak Divya kabur dari pengawasannya, kini amarahnya tersalurkan dengan benar.
"Mampus, Lo! Laki-laki sampah!" umpat Ghazi. Wajahnya bengis dan emosinya meluap sempurna.
Laki-laki kurang adab itu sudah jatuh tersungkur. Dia kalah telak, sama sekali tidak mendapat kesempatan membalas.
"Ghazi! Ghazi, stop! Kita cabut! Kita cabut!" ajak Divya. Wanita dengan dandanan yang sudah acak-acakan itu berusaha menahan lengan keras Ghazi untuk berhenti menghajar pria bajingan itu.
"Dia harus mati!" teriaknya.
"Ghazi!" teriak Divya. Dia menampar pipi pria itu. Ini sudah menjadi masalah besar. Dua penjaga di depan pintu mulai mendengar aduan dari pengunjung lain.
Mata Ghazi yang merah menatap Divya. Wanita itu membalasnya dengan tajam. Bahunya naik turun karena perasaan yang bercampur aduk. Takut, marah, dan juga lelah akibat memberontak.
Ghazi meninggalkan laki-laki itu. Ia kembali menyeret Divya. Mencengkeram kuat pergelangan tangan wanita kecil itu.
"Sakit, gila! Lo mau bunuh gue!" keluh Divya. Ia menghempaskan tangannya berharap mampu lepas dari cekalan jemari Ghazi yang besar.
Setelah tiba di samping mobil mereka. Ghazi baru melepaskan genggamnya.
"Puas?! Sampai kapan mau memperburuk keadaan, huh?!" bentak Ghazi. Dia belum reda dengan kekesalannya.
"Tahu apa Lo tentang idup gue, huh?! Lo hanya laki-laki asing yang tiba-tiba datang ngancurin semuanya!"
"Benarkah? Adakah orang-orang teler di dalam sana yang bantu kamu?!"
"Persetan!"
Divya membuka pintu mobil merah itu. Duduk di bangku belakang dan menutup pintunya dengan sangat kencang.
Ghazi menghela napas kasar. Ia kembali ke balik kemudi dan menyalakan mesin lalu meninggalkan kelab.
Divya bisa melihat tangan Ghazi yang mencengkeram kemudi itu memerah. Ini karena dirinya. Demi menyelamatkan dia dari pria yang sudah menggunakan wajahnya untuk video murahannya.
Divya tidak pernah mencoba masuk ke kelab lain selain tempat itu. Dia tahu bakal ketemu dengan pria tempo hari. Niatnya ingin membuat perhitungan dengan laki-laki itu. Namun, ternyata melawan tenaga pria tersebut tidak mudah untuknya.
Tamparan Divya justru menyulut emosinya. Ponsel yang sudah dia rusak pun menjadi pemicu pria itu bertindak kian nekat dengan Divya.
Gadis itu membuang napas kasar dan menyandarkan kepala di head board. Terpejam dengan harapan bisa melupakan kejadian ini.
Sampai di rumah. Divya lekas turun. Dia ingin menghindari Ghazi. Merasa bersalah?
Ghazi menyusul, dia menuju kamar yang sudah disiapkan tuan rumah untuknya. Ruangan yang berada di sudut rumah. Jauh dari dapur dan menghadap tepat di kolam rumah.
Pria itu melemparkan tubuhnya di ranjang. Membiarkan badan besar itu mengaso. Ini memang bukan hari yang terberat dalam hidupnya. Namun, ini adalah hari yang menyebalkan di dalam sejarah karirnya.
Divya pun melakukan hal yang sama. Menelungkupkan tubuhnya membiarkan kakinya menggantung di bibir ranjang.
Lambat laun ia terpejam karena lelah. Deru napasnya mulai teratur. Divya terlelap dan berhasil menyingkirkan segala kejadian buruk yang menimpanya malam ini.
Alarm berbunyi membangunkan sang pemilik jam. Sejatinya sang pria sudah terjaga dua jam sebelum jam itu berbunyi. Ia membuka lebar jendela kacanya kemudian duduk di kusen tanpa mengenakan pakaian. Hanya dengan balutan celana boxer yang membungkus pinggang sampai lututnya. Mata hitam terangnya menelisik dedaunan yang bergoyang tertiup oleh angin pagi. Udara di pagi hari memang sangat menyegarkan. Ghazi, menyahut kaos oblong berwarna hitam kemudian mengenakan sepatu olahraga dan siap untuk mencari keringat. Berkeliling komplek sampai jam kerja dimulai. “Pagi, Pak. Kopi.” Pria itu menyodorkan kopi pada satpam yang sudah berjaga di pos. Senyumnya mengembang sempurna. Jauh berbeda kala ia menghadapi Divya. “Terima kasih, Mas. Mau olahraga?” Ghazi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia mulai mengambil langkah kecil sebagai pemanasan sebelum mulai berlari. “Hati-hati, Mas!” teriak satpam itu. "Keren pisan euy! Baru kali ini ada yang buatkan kopi," tambahnya. Matahari mas
Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah. Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut. "Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu. Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari. Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi. "Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan. "Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung. "Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tenta
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima."Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget.""Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!""Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi k
"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya. "Terima kasih, Tan," ucap Liam. "Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."Senyumnya selalu mengembang. Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi. Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya. Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak. "Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan t
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki bajingan itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan bajingan itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gu
Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu.Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sen
"Anda butuh banyak istirahat Nona Divya. Beruntung hanya demam biasa. Obat-obat yang saya resepkan bisa Anda minum secara rutin sampai habis."Kini Divya berada di sebuah klinik kepercayaan keluarga Hendery ditemani Ghazi. Sudah jelas! Greta untuk kesekian kalinya tidak akan ada disisi wanita itu."Saya pastikan Nona Divya menghabiskan sesuai resep, Dok. Terima kasih," jawab Ghazi. Pria itulah yang justru menimpali. Divya enggan untuk mengeluarkan suaranya. Setelah berpamitan, Ghazi siap membantu Divya keluar dari ruangan pemeriksaan tersebut. "Anda mampu berjalan, Nona?" lirih Ghazi saat keduanya sudah berhasil cukup jauh dari pintu ruangan. "Gue cuma sakit dan sedikit lemes, Ghaz! Bukan lumpuh! Atau yang lebih buruk dari itu," sarkas Divya. Ia mempererat kain tipis yang membungkus tubuhnya. Kemudian menarik langkah menjauh dari Ghazi. Akan tetapi, baru beberapa tapak kaki, tubuhnya hampir tersungkur. Beruntung dengan tangkas Ghazi berhasil menahan beban tubuhnya yang ringan. "
Ivy pulang tepat saat jarum jam pukul satu siang. Gadis itu rela meninggalkan kelas paginya demi menghibur dan menemani Divya. "Istirahatlah, Div. Aku pulang dulu, aku akan telepon kamu, nanti," pamit Ivy. Gadis itu melayangkan senyum pada sahabat karibnya. "Thanks, Iv. Lo sahabat terbaik," balas Divya. Keduanya berpelukan dan Ivy benar-benar pergi. Ghazi setia di samping pintu kamar Divya. Menjadi penjaga sampai jam lima tepat. "Hai! Babang ganteng. Jangan bilang kau berdiri di sana sejak tadi dan akan berlanjut sampai jam kerjamu berakhir," tuduh Ivy. Melontarkan pertanyaan yang dikemas selayaknya ketidakpercayaan. "Yap. Memang begitu adanya.""O—ke—" Ivy mengerucutkan bibir dan sedikit membungkuk. Seakan terkejut. "Baiklah, kurasa aku harus pergi. Semangat Babang ganteng. Mungkin kamu butuh duduk?" Ghazi menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal itu. Pria itu bekerja dan tidak ingin memakan gaji buta. Pukul tiga, Greta pulang. Dari pagi sampai sore tidak ada pemilik rumah yan