Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah.
Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut.
"Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu.
Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari.
Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi.
"Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan.
"Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung.
"Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tentang hal itu," usir Ghazi.
"Mana minuman gue?!" bentak Divya.
Ghazi mengulurkan air mineral dingin yang telah diminta olehnya tepat saat menyembulkan kepala di balik pintu kelas.
"Div, Abangku udah balik. Cuma mau kasih info aja, sih. Kudengar kau bakal jadi kakak iparku kan?" katanya lagi. Siapa sangka kalau pengusiran Ghazi sama sekali tidak diindahkan olehnya.
"What?! Sinting Lo?! Ngelindur, kalau mau kelas tuh minimal cuci muka dulu! Baru ngampus!" Divya terperanjat. Matanya melebar sempurna. Namun, sepersekian detik berikutnya ia mulai mengontrol diri dan kembali menjadi Divya yang bermulut dingin nun pedas.
Ia bangkit dan sengaja menabrak bahu laki-laki yang tidak dia kenal. Sungguh, sekalipun Divya sudah hapal seluk beluk universitas tersebut. Akan tetapi mengenali manusia-manusia di sana tidak termasuk dalam ketertarikan Divya. Dia tak acuh pada semua orang yang tidak ada sangkut paut dengan dirinya.
"Div! Eh— Div. Aku baru mau nyusul! Kamu mau ke mana?!" Lengan Ivy lekas dicekal oleh sang pemilik nama. Kemudian menjauh dari bangku taman dan menuju ke parkiran.
"Gue laper. Kita cari tempat makan yok! Suntuk banget di sini! Gerah!" keluhnya.
Sebetulnya yang terjadi dia marah. Geram pada hari yang diluar kendalinya. Divya ingin lekas lepas dari kehidupan yang menjemukan ini. Dalam benaknya hanya ada kesenangan.
Ghazi tidak lagi membuka pintu untuk Divya. Ia yakin betul bahwa gadis itu tidak akan mau. Namun—
"Pengawal macam apa Lo! Masuk sebelum majikan duduk tenang, huh?!" sergah Divya.
Sang pengawal mengerutkan dahi. Alisnya yang tebal hampir bertubrukan.
Ghazi mendengus lirih tanpa terdengar oleh Divya dan kembali keluar mobil hanya untuk membuka pintu.
"Gue mau duduk di depan!"
"Baik," sahut Ghazi tenang.
"Lha, maksudya aku tetap di belakang sendiri? Dasar aneh," gerutu Ivy.
Setelah dipastikan semuanya duduk dengan aman. Ghazi menyalakan mesin dan mulai melajukan mobil merah tersebut. Menuju ke salah satu tempat yang Divya tidak pernah datangi.
"Ke mana kita?" tanya Ivy. Dia memang tidak tahu banyak di Briona. Sejauh ini Divya yang selalu mengajaknya jalan-jalan. Tidak jarang pula Divya selalu mentraktir dirinya.
"Tau'! Dia yang akan cari tempat makan buat kita sebelum balik! Ah— lelah banget hari ini, astaga!" keluh Divya untuk kesekian kalinya.
"Tumben bener kamu ngeluh terus, deh. Keknya aku tahu, mau bulanan kamu, ya?"
Tak!
Jitakan yang tidak disangka, kembali dirasakan oleh Ivy. "Punya rem kagak?! Lo gila, yak! Ada Ghazi ngomongin bulanan! Setan lo!"
"Dih?! Sejak kapan peduli? Dari kemarin juga santai-santai aja, kan?"
"Diam, Ivy! Diam!" tekan Divya.
Ivy mengangkat tangan. Mundur dan menyandarkan punggungnya pada head board.
Setengah jam membelah jalanan kota. Ketiga mahluk yang kelaparan itu tiba di sebuah bendungan besar. Di sampingnya ada berderet-deret penjual makanan dengan berbagai menu.
"Tunggu! Ini tempat apaan?! Lo gila?! Lo ngajakin gue makan di— tempat seperti ini?!"
"Makanannya tidak buruk." Ghazi melirik jam di tangannya. Seharusnya jam kerjanya usai tepat pukul lima. Itu sebab dia mengucapkan kata-kata yang tidak formal pada Divya.
Di luar jam lima, Ghazi bisa memperlakukan Divha selayaknya teman. Tidak perlu berucap terlalu kaku. Semua sudah tertulis dalam kontrak yang telah disetujui oleh Hendery. Ghazi adalah pria terjadwal. Dia bisa sangat patuh pada aturan.
"Dih! Nggak! Balik atau gue bakal aduin lo ke bokap gue!" ancam Divya.
"Iya, Tuan. Kami sedang makan di dekat bendungan Briona. Apakah Nona Divya diizinkan untuk singgah?"
"Tentu saja, Ghaz. Biarkan anak gadisku menyatu dengan semua yang ada di dunia ini kecuali dunia malam," tandas Hendery dari seberang telepon.
Tepat saat Divya memberontak, Hendery menghubungi Ghazi. Memastikan bahwa laki-laki itu melakukan tugas dengan baik. Pasalnya dua jam lalu, terakhir kali Ghazi melapor.
Divya geram, ia mengepalkan genggaman jari dan menghentakkan kakinya. Kemudian berlalu meninggalkan Ivy dan Ghazi.
"Huh— sabar-sabar, ya, Babang ganteng. Divya, tuh aslinya baek, kok."
"Santai aja, Iv. Ini sudah tugasku, tidak ada hal sulit dalam menanganinya," timpal Ghazi.
Kali pertama pria itu menyahut ucapan Ivy dengan santai dan tetap dalam pembawaannya yang tenang.
"Oke! Yok! Kita makan, kalau di mari mah, uang sakuku nggak bakal menjerit!" kelakar Ivy.
Ghazi menimpalinya dengan setengah senyum sebagai stabilitas diri. Supaya Ivy tidak terlampau malu juga.
Mereka duduk dalam satu meja. Pemandangan yang disuguhkan benar-benar genangan air yang luas. Bola raksasa di cakrawala itu mulai redup tertelan oleh singasana kegelapan. Namun, sorot jingga pekat itu masih mampu menyinari seraut wajah Divya yang terlampau loyo.
Makanan mereka telah siap. Divya memesan kepiting asam manis. Ivy dengan gurame pedas manis. Sementara Ghazi hanya memesan penyetan lele dengan sambal ijo.
"Mau aku bantu pisahkan tulang dan dagingnya, Divya?" tawar Ghazi dengan tutur kata yang tenang selayaknya berucap dengan Ivy sebelumnya.
Divya bungkam. Pikirannya masih berkecamuk. Di tengah kesibukan Ghazi memisahkan tulang dan daging kepiting itu, tiba-tiba suara Divya meluncur.
"Dia adik temen papa yang mau dijodohin ama gue? Sumpah, gue nggak mau nikah muda! Ini— gila!" gerutu Divya. Namun, ucapannya bisa ditangkap telinga Ivy dan Ghazi.
Pria itu menghentikan aksinya dan membersihkan tangannya.
"Siapa? Maksudmu, Sunu?"
"Sunu? Nama apaan, tuh? Huh— siapapun dia, bodoamat! Gue kagak mau dijodohin ama siapapun!" tandas Divya. Ia melipat kakinya dan menggenggam ujung jari kakinya yang terasa dingin.
Angin memang berembus dengan cukup kencang. Segar dan aroma air tawar itu seperti hujan mengguyur tanah kering.
"Emang bokapmu positif bakal ngejodohin, kamu sama anak temennya? Barangkali ini hanya gertakan," ujar Ivy menenangkan.
"Nggak, Iv. Papa serius. Selama ini dia yang menentang aku dengan hubungan-hubungan berstatus. Tapi, malam itu, dia bener-bener kalap banget."
"Tapi, kamu tenang aja. Aku yakin, pria itu adalah orang baik. Kalau nggak, nggak mungkinkan bokapmu milih dia."
"Nggak juga, kadang pilihan orang tua tidak selalu benar," timpal Ghazi dengan tenang tanpa dosa. Bahkan dia sudah hampir melahap habis makanan yang telah dipesan.
"His! Bang ganteng, bisa nggak kita sefrekuensi nenangin, temenku?" bisik Ivy seraya menyikut lengan Ghazi.
Sumpah demi apa pun lengan itu terasa sangat keras.
"Gue juga kira gitu. Oke, Ghaz. Kita punya kesepakatan kan tadi? Sekarang gue mau buat kesepakatan itu. Hitam diatas putih!" terang Divya, yang mulanya kehilangan semangat. Seolah kini kembali membara dengan secercah harapan.
"Nah gitu, kek dari kemarin, akur. Kalau gini kan, aku bisa tenang," tutur Ivy. Ia mulai mencomot daging gurame yang sudah disiram dengan rempah-rempah berwarna merah. Sangat menggoda lidah untuk lekas mencicipnya.
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima."Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget.""Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!""Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi k
"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya. "Terima kasih, Tan," ucap Liam. "Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."Senyumnya selalu mengembang. Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi. Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya. Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak. "Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan t
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki bajingan itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan bajingan itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gu
Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu.Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sen
"Anda butuh banyak istirahat Nona Divya. Beruntung hanya demam biasa. Obat-obat yang saya resepkan bisa Anda minum secara rutin sampai habis."Kini Divya berada di sebuah klinik kepercayaan keluarga Hendery ditemani Ghazi. Sudah jelas! Greta untuk kesekian kalinya tidak akan ada disisi wanita itu."Saya pastikan Nona Divya menghabiskan sesuai resep, Dok. Terima kasih," jawab Ghazi. Pria itulah yang justru menimpali. Divya enggan untuk mengeluarkan suaranya. Setelah berpamitan, Ghazi siap membantu Divya keluar dari ruangan pemeriksaan tersebut. "Anda mampu berjalan, Nona?" lirih Ghazi saat keduanya sudah berhasil cukup jauh dari pintu ruangan. "Gue cuma sakit dan sedikit lemes, Ghaz! Bukan lumpuh! Atau yang lebih buruk dari itu," sarkas Divya. Ia mempererat kain tipis yang membungkus tubuhnya. Kemudian menarik langkah menjauh dari Ghazi. Akan tetapi, baru beberapa tapak kaki, tubuhnya hampir tersungkur. Beruntung dengan tangkas Ghazi berhasil menahan beban tubuhnya yang ringan. "
Ivy pulang tepat saat jarum jam pukul satu siang. Gadis itu rela meninggalkan kelas paginya demi menghibur dan menemani Divya. "Istirahatlah, Div. Aku pulang dulu, aku akan telepon kamu, nanti," pamit Ivy. Gadis itu melayangkan senyum pada sahabat karibnya. "Thanks, Iv. Lo sahabat terbaik," balas Divya. Keduanya berpelukan dan Ivy benar-benar pergi. Ghazi setia di samping pintu kamar Divya. Menjadi penjaga sampai jam lima tepat. "Hai! Babang ganteng. Jangan bilang kau berdiri di sana sejak tadi dan akan berlanjut sampai jam kerjamu berakhir," tuduh Ivy. Melontarkan pertanyaan yang dikemas selayaknya ketidakpercayaan. "Yap. Memang begitu adanya.""O—ke—" Ivy mengerucutkan bibir dan sedikit membungkuk. Seakan terkejut. "Baiklah, kurasa aku harus pergi. Semangat Babang ganteng. Mungkin kamu butuh duduk?" Ghazi menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal itu. Pria itu bekerja dan tidak ingin memakan gaji buta. Pukul tiga, Greta pulang. Dari pagi sampai sore tidak ada pemilik rumah yan
Ghazi mendongak menatap satu ruang tertutup di lantai atas saat, telinganya mendengar berdebatan panjang yang terjadi. Raut mukanya tampak seperti biasa, tenang. Namun, ada satu perasaan yang lain dari biasa Ghazi rasakan. Kasihan. Kemudian, ia masuk. Tidak berniat untuk menguping amarah serta umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut sang penguasa di rumah itu. Hendery Kagendra. Ghazi mencari beberapa peralatan di lemarinya. Mengeluarkan satu kotak kayu. Ia ingin memakai waktu luang malam ini membuat karya fisik. Ghazi memang suka memodifikasi segala macam benda. Barangkali ada mainan yang rusak, dia akan memperbaikinya lebih menarik dari sebelumnya. Brak! Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Sontak Ghazi yang masih sibuk dengan dunianya sendiri lekas menoleh. "Tuan Hen? Ada yang bisa saya kerjakan?" tanyanya. Ia membungkuk setengah badan memberi hormat. Sungguh, Ghazi tampak seperti tidak mengetahui apa pun yang barusan terjadi di lantai atas. Berpura-pura tuli."Aku mau bil
"Ivy! Kangen banget, padahal cuma sehari doang nggak ketemu, Lo!" seru Divya begitu bertemu dengan sahabatnya di kampus. Keduanya berpelukan sangat erat dan cukup lama. Ivy dan Divya tiba tidak lama jaraknya. Ghazi benar-benar menepati janjinya bahwa akan mengikuti Divya. Begitu tiba di kostan Ivy, gadis itu lekas masuk mobil dan kendaraan itu melesat cepat. Begitu berbelok di pelataran kampus, mobil Liam baru saja selesai terparkir. "Sorry, kemarin nggak jadi dateng. Gue nyicil tugas," jawab Ivy dengan wajah memelas. Mengharapkan belas kasih dari Divya. "Santai aja, kali. Gue juga nggak berharap kemarin lo datang," jawab Divya. Liam mendekati mereka. Begitu juga dengan Ghazi. Akan tetapi, pria itu masih menjaga jarak. Dia ingat apa yang dikatakan oleh Hendery bahwa Liam akan menggantikan posisinya saat Divya dan pria itu bersama. "Tunggu! Kamu kenapa?" Ivy hendak melepaskan kacamata Divya. Kan tetapi, Divya mencegahnya. Belum waktunya bagi Ivy tahu kondisinya saat ini.Liam ha
Sepasang sorot mata yang dulunya bersinar indah dan teduh terus menyorot televisi dengan layar besar di hadapannya. Tanpa dia sadari dari pelupuk kelopak mata tetesan air mata luruh membasahi pipi.Ini bukan tangis kesedihan, ini tangis haru yang dia rasakan setelah bertahun-tahun melewati hidup dalam kesedihan yang nyata. Air mata yang tidak berkesudahan."Mom, sudah dong. Masa tiap liat aku malah nangis. Lama-lama tuh tivi kujual juga," sungut Zie. Sekarang, wanita itu tumbuh menjadi gadis ayu dengan rambut hitam yang panjang. Sama seperti Divya yang selalu menyukai rambut panjang. Berkat kelebihan yang dia miliki saat ini, bukan hanya sang ibu yang mampu memandang dengan tatapan kagum pada Liorazie Fahar Aurora. Namun, seluruh pencinta film yang dia bintangi bisa menikmati wajah yang tidak membosankan itu."Kamu tahu ini tangis bahagia, Nak. Mama bangga sama kamu, mama tidak bisa berkata-kata setiap melihatmu di balik layar.""Semua yang terjadi, semua yang Zie miliki berkat Momm
Bocah perempuan kecil dengan rambut sebahu itu meraung sangat keras, hingga hidungnya memerah. Sama halnya seperti sang kakak, ia bisa tenang setelah didekap oleh ayahnya.“Kakak siapa? Besok kita beli yang baru okey,” bujuk Ghazi seraya berjalan keluar dari kamar, membiarkan istrinya mengatur emosi serta membetulkan pakaiannya.Setelah tiba di ruang tamu, ternyata bukan hanya Ghea yang menangis, si Zie pun tidak kalah kesalnya terhadap sang kakak yang selalu usil di setiap kesempatan.“Sky, bisa jelaskan?” Ghazi menatap anak keduanya. Jelas dialah pelaku utamanya. Tidak ada yang berani mengusik si kembar jika bukan bocah itu. “Aku hanya meminjam. Aku bersumpah hanya pinjam, Yah. Dia saja yang cengeng, kalian berdua sama-sama cengeng,” efeknya pada Ghea dan Zie. Bukannya merasa bersalah bocah enam tahun itu justru menjulurkan lidahnya. Hal itu kian membuat si kembar menangis dan membuat gaduh seantero rumah. “Sky! Please, minta maaf lalu kembali ke kamarmu!” hardik Divya yang
Suara tangisan seorang gadis kecil terdengar sangat kencang sejak kaki kecilnya melewati pintu utama rumah. Ia meraung dan berderai air mata guna mencari keberadaan sang ayah. Tangisannya tidak akan berhenti sebelum satu ritual bersama laki-laki pertama dalam hidupnya itu merengkuh tubuh kecilnya. "Hei, ada apa, Sayang?" tanya Ghazi lembut. Ia berjongkok dan mengulurkan tangannya pada balita itu. Usianya baru empat tahun, ia telah menikmati taman bermainnya sekarang. "Huh— kumat lagi, dah," keluh Divya di belakang tubuh si gadis kecil itu. "Diam, mommy! Kamu membuat aku semakin sesak," sergahnya. "Hem— ada apa ini?" Kembali tangisannya memekikkan telinga. Divya mengerutkan keningnya untuk menghalau dengung di telinganya. "Daddy, you can dance with me?" "Oh— ss— sure, Baby." Ghazi membopong tubuh anaknya. Ya— anak keduanya yang kerap dipanggil baby, itu. Gadis kecil manja yang selalu berhasil merebut hati Ghazi dari keduanya kakaknya. Pria dewasa itu melangkah ke kiri dan ka
Setelah pemakaman Hendery usai, Ghazi dan Divya harus kembali ke rumah sakit. Di tengah acara pemakaman, gadis itu kembali pingsan. Beban berat yang dia tanggung mengguncang pikirannya. Hubungan Divya dengan sang ayah memanglah tidak baik di awal. Namun, ditinggal untuk selamanya tetaplah hal yang sangat menyesakkan. "Aku minta maaf, Ghaz. Aku tahu ini salahku," sesal Ivy. Dia benar-benar merasa bersalah atas segalanya. Jika tidak sibuk mengurus anaknya, Divya akan memiliki banyak waktu untuk Hendery. Bahkan di detik-detik terakhirnya, Divya bisa berada di sisi sang ayah. Akan tetapi, setelah memilih kesibukan bersama dengan kedua anak Ivy, hal itu membuatnya jauh dan mengharuskan diri menjauh dari rumah sakit. Divya tidak ingin kedua anak asuhnya terpapar penyakit dari orang-orang di sana. "Bukan salahmu. Perlu kamu tahu, selama ini ternyata Divya hamil. Sudah menginjak usia empat bulan, Iv. Bisa kamu bayangkan bagaimana lelah dan lemasnya dia?" "Apa?! Kamu serius?" Seraut wajah
Ditengah kondisi, Divya yang masih sangat rapuh, gadis itu duduk di bangku mobil dengan gusar. Tidak sabar ingin bertemu dengan sang ayah. “Lebih cepat, Big. Aku takut Papa kenapa-kenapa,” cemasnya. “Ini udah cepat, Bee.” Tangan Divya terus meremas jarinya sendiri. Pandangannya kesana kemari. Wanita itu benar-benar khawatir atas mimpi yang baru saja dia dapatkan. Ia juga lupa tentang Wynne dan juga Rayyan. Begitu tiba di rumah sakit, Divya berlarian di koridor untuk menuju ke ruangan sang ayah. Jantungnya kian berdegup dengan cepat. Bahkan ia tak acuh dengan kondisinya sendiri. Banyak yang dikorbankan oleh wanita itu, sangat banyak, secara fisik, Divya sudah sangat jauh berbeda dari dulu. Ia kehilangan kebiasaannya berdandan, kehilangan kebahagiaan yang dia upayakan setiap harinya. Waktunya terus ia habiskan dengan Wynne dan Rayyan. Dia benar-benar membunuh waktu agar melupakan kesialan nasibnya. “Pelan-pelan, Bee,” pinta Ghazi yang membuntuti langkah istrinya. Meskipun, D
Rengekan gadis kecil dalam gendongan Divya membuat kepalanya kian pening. Tubuhnya juga dipenuhi dengan keringat dingin dan juga dalam kondisi lemas, membuatnya seolah hampir tumbang. Namun, bocah kecil itu masih juga tidak mau terlelap. Biasanya, ketika berada dalam dekapan Divya, ia akan cepat tertidur. Hari ini sangat berbeda, dia rewel dan tidak mau berhenti diayun dalam gendongan Divya. Alhasil Divya harus menahan rasa meriang yang sudah menyerangnya sejak pagi tadi."Tenanglah, girl. Jangan rewel, please," lirih Divya. Berharap anak asuhnya mampu memahami kondisinya. Akan tetapi, bayi berusia satu tahun bisa apa? Dia akan terus menangis jika tidak menemukan kenyamanan yang diinginkan. Jarum sudah menunjukkan pukul tiga sore. Jam pulang Rayyan sudah tiba. Divya semakin kebingungan. Biasanya dia cekatan menjemput anak pertama Ivy itu. Kali ini, dia benar-benar butuh bantuan."Aku pu— Bee!" Belum usai Ghazi menyapa sang istri yang sudah dia nikahi selama dua belas tahun lalu itu
Bab 89Ghazi dan Divya segera berlari ke arah kamar, di mana Rayyan meraung-raung di sana. membuat pasangan tua, Dadang dan istrinya kewalahan. Sungguh bocah itu tidak bisa jauh dari Divya. Hanya wanita inilah yang mampu membuatnya tenang.“Sayang, anak Ibu. Kenapa nangis lagi? Ibu hanya keluar sebentar,” tutur Divya lembut. Dia merasa bersalah karena harus keluar pagi itu. Seharunya momen ini menjadi lebih indah jika saja ia tidak keluar, dia bisa menikmati pagi bersama bayi laki-laki itu.Akan tetapi, Divya juga tidak bisa membiarkan suaminya sendirian lagi. Dia sudah berjanji kalau tidak akan keras kepala atau bahkan membuat laki-lakinya kecewa. Sudah cukup keegoisan itu membuat hubungan mereka selalu dalam pertengkaran.“Dasar bocah tengil. Bisa tidak sehari kau beri istriku waktu hanya bersamaku?” Ghazi sungguh geram. Mereka sangat tampak khawatir tadi begitu melihat Dadang dan istrinya bersama-sama mendatangi mereka.Selama itulah, Rayyan menangis, selama kepergian Divya satu ja
Tengah malam, Rayyan menangis tidak henti, padahal suhu tubuhnya snagat normal, tetapi dia benar-benar rewel. Istri Dadang tidak lagi mampu membuatnya tenang. Sampai, Divyalah yang harus turun tangan.“Mau ke mana, Bee?” tanya Ghazi saat melihat sang istri turun dari ranjang.“Kayanya, Ray nangis, Big. Aku turun dulu, ya,” pamit Divya. Ia sudah meninggalkan bayi itu setelah makan malam tadi. Ivy pun juga sudah menyempatkan menelepon mereka. Gadis itu tempak sangat sibuk, sehingga tidak ada banyak waktu untuk menatap wajah bayinya.Sebetulnya dia enggan untuk tidur di atas. Inilah yang dia takutkan, Rayyan rewel dan menangis tidak bisa ditenangkan kecuali dengan Divya.“Sama aku, Bee.” Pria itu memutuskan untuk ikut turun tangan, takut jika sang istri kelelahan.Mereka turun dan begitu tiba di lantai bawah keduanya melihat Dadang dan istrinya kewalahan mengurus bayi yang terus menangis dengan sangat kencang itu. Divya ingat saat pertama kali mendengar tangisan bocah itu saat hari perta
[Aku harus keluar kota, Divya. Bisakah titip Rayyan sampai besok sore?]Sebuah pesan singkat diterima oleh Divya tepat pukul lima petang, sang ibu dari bayi itu tampak sangat sibuk.Divya justru tersenyum bahagia. Ia membalas dengan ujaran yang penuh keikhlasan. Mengatakan bahwa dirinya tidak keberatan akan hal itu. Rayyan adalah bagian dari kebahagiaan Divya saat ini.Di saat cobaan pernikahannya masalah kehamilan, Ivy justru hadir dengan bayi yang menjadi idaman gadis cantik itu.[Terima kasih, Div]Setelah itu, Divya memandikan Rayyan. Mereka tertawa dan sesekali bermain air dan bebek air dalam bak mandi."Rayyan, doakan Ibumu ini bisa memberimu teman, ya. Ibu juga pengen mengurus bayi setiap hari," lirih Divya.Namun, sambutan yang tidak disangka justru diberikan Rayyan. Dia merengek, mencelupkan tangannya ke air sangat kencang hingga menyemprot ke muka Divya."Oh, sepertinya kamu tidak setuju, ya? Cemburuan sekali kamu, hm." Divya menggosok pelan kulit Rayyan. Membaluri tubuh itu