Alarm berbunyi membangunkan sang pemilik jam. Sejatinya sang pria sudah terjaga dua jam sebelum jam itu berbunyi. Ia membuka lebar jendela kacanya kemudian duduk di kusen tanpa mengenakan pakaian. Hanya dengan balutan celana boxer yang membungkus pinggang sampai lututnya.
Mata hitam terangnya menelisik dedaunan yang bergoyang tertiup oleh angin pagi. Udara di pagi hari memang sangat menyegarkan.
Ghazi, menyahut kaos oblong berwarna hitam kemudian mengenakan sepatu olahraga dan siap untuk mencari keringat. Berkeliling komplek sampai jam kerja dimulai.
“Pagi, Pak. Kopi.” Pria itu menyodorkan kopi pada satpam yang sudah berjaga di pos. Senyumnya mengembang sempurna. Jauh berbeda kala ia menghadapi Divya.
“Terima kasih, Mas. Mau olahraga?” Ghazi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia mulai mengambil langkah kecil sebagai pemanasan sebelum mulai berlari.
“Hati-hati, Mas!” teriak satpam itu.
"Keren pisan euy! Baru kali ini ada yang buatkan kopi," tambahnya.
Matahari masih belum menampakkan sinarnya. Benar saja, masih terlalu dini untuk sang surya hadir. Jam masih berada di angka lima. Sebagian orang masih berkelung hangat dengan selimut.
*
Tiba giliran Divya yang membuka mata tepat di jarum jam berada diangka enam. Kepalanya tidak merasakan pening. Namun, badannya remuk. Dia sudah terlalu banyak pemberontakan kemarin.
Gadis berambut panjang itu menuju ke balkon. Matanya langsung melihat satu sosok yang begitu dia benci. Pushup di halaman rumah tepat semalam dirinya mencoba turun dari kamar.
"Pikir Divya! Gimana caranya buat laki-laki sialan itu enyah dari idup lo!" gerutunya.
Suara ketukan pintu membuat konsentrasinya memudar. Ia menoleh dan pelayan yang diminta untuk membangunkannya sudah masuk dengan senyuman kikuk.
"Maaf, Nona. Saya kira Anda belum bangun. Tuan dan Nyonya sudah menunggu Anda."
"Oke, pergilah!" usir Divya. Sikap wanita itu memang tidak pernah kasar. Akan tetapi, kata-katanya tidak juga bisa disebut lembut.
Divya terlalu dimanjakan oleh ke dua orangtuanya. Sehingga kini tingkahnya semakin brutal. Belum lagi perhatian dari ibu yang kurang. Greta terlalu sibuk dengan kawan-kawan sosialitanya. Memasrahkan Divya pada semua pelayan di rumah.
Apa saja yang diinginkan oleh Divya dengan mudah dikabulkan oleh mereka. Menjadikan gadis muda itu tidak lagi tahu bagaimana caranya berjuang melawan kerasnya hidup yang sesungguhnya.
"Selamat pagi, Tuan, Nyonya."
"Ghaz. Kamu sudah bangun, aku minta maaf untuk yang semalam," sesal Hendery. Ia sudah mendengar apa yang dialami oleh laki-laki yang baru bekerja dengan dirinya sehari-hari dari satpam.
"Kamu bisa kembali ke rumahmu, kalau pekerjaan ini di luar kendali, Ghaz. Kamu bisa kembali saat jam kerjamu tiba. Tidak perlu menginap di sini."
"Tidak masalah, Tuan. Ini sesuai dengan harga yang Anda tawarkan. Terima kasih atas kesempatan yang diberikan."
"Tidak, Ghaz. Kami yang harus berterima kasih. Kami percayakan anakku Anda," tukas Hendery.
Greta mengangguk setuju. Dia tidak akan membantah apa pun yang difatwakan Hendery.
"Baik, bersihkan dirimu dan ayo! Kita sarapan bersama," ajak Hendery.
"Tidak Tuan, Anda dan Nyonya terlebih dulu, saya bisa nanti."
Selalu penolakan itu yang ditinggalkan pada majikannya. Ghazi tahu diri dan sadar akan posisinya. Sebelum masuk ke kamar. Pria berusia enam tahun lebih tua dari Divya itu menyempatkan diri ke dapur. Hanya untuk mencari air dingin, serta beberapa buah untuk sarapannya.
Divya turun saat semua orang telah meninggalkan meja makan. Ghazi sudah bersiap dengan berlayar. Berdiri di samping tangga menantikan Divya.
Divya memutar bola matanya, malas melihat pemandangan membosankan itu. Lagi-lagi pengaturan hitam itu menyambutnya di pagi hari.
"Warna pink jauh lebih cocok untukmu daripada hitam," sindirnya.
Namun, Ghazi sama sekali tidak menghiraukan ucapan itu. Dia tetap berdiri mematung dengan memutar lurus ke depan.
Gadis itu mendekati meja dan mencomot satu roti lapis juga membawa satu botol air kemudian keluar berjalan keluar rumah.
Ia kelaparan karena melewatkan makan lalu tertidur karena rasa lelah yang menggebu.
Ghazi membuka pintu mobil seperti sebelumnya. Akan tetapi, untuk kesekian kali, Divya membuka pintu depan. Duduk di samping Ghazi.
Pria berpakaian rapi itu menutup kembali pintu dan berjalan memutar. Ghazi mulai menjalankan mobil. Tanpa ada perbincangan yang terjadi.
Divya sibuk dengan roti lapisnya hingga mulut penuh. Sementara Ghazi menatap ke luar tanpa mau melirik Divya sedikit pun.
"Jemput Ivy!" perintah Divya, dengan mulut yang penuh. Sampai dia bertanya-tanya.
Ghazi meraih botol minum yang ada di sebelahnya dan mengulurkan tangan pada Divya.
"Ngak usah sok baik!" seru Divya setelah merasa baikan usai meneguk air. Mendorong roti yang tersangkut di tenggorokan.
"Sama-sama, Nona. Sudah tugasku," timpal Ghazi. Seolah Divya mengucapkan kata terima kasih. Sekaligus sindiran keras untuk gadis itu.
"Sotoy! Inget ya! Lu gak akan bertahan lebih dari satu minggu!"
"Kita lihat saja nanti. Jika saya bertahan lebih dari itu, apa yang Anda tawarkan padaku?"
"Ngarep banget lo! Sumpah demi bumi ini, gue benci banget sama lo!" geram Divya.
Ghazi bungkam. Mobil merah sudah berhenti di depan kostan Ivy. Gadis itu sudah berdiri di ambang pintu. Siap untuk memulai hari. Bahkan Divya tidak perlu repot-repot keluar dari mobil.
"Kok udah siap aja, sih?! Harusnya lo tuh nungguin gue dateng. Baru mandi!" kesal Divya.
"Lhah? Gimana ceritanya? Yang ada aku telat, Div. Kamu, ya. Kadang-kadang," keluh Ivy.
Ia merasa bahwa temannya itu sudah mulai aneh.
"Div, kamu baik-baik aja, kan? Ke mana semalam?" celetuk Ivy. Kala mengingat pencarian yang dilakukan Ghazi.
"Gue pengen minggat asli! Idup gue udah kagak baek-baek, Ivy. Ini udah keterlaluan!"
"Apanya yang nggak baek? Kamu kan yang kabur, coba kalau nurut sama papa dan mamamu. Semua akan baik-baik aja lho," saran Ivy.
Divya menoleh dan memelotot pada gadis berambut keriting itu.
"Sejak kapan Lo mulai kasih wejangan nggak guna, huh?! Sumpah! Ada apa, sih sama Lo?!"
"Aku— aku hanya—" Ivy hanya mengingat kata-kata ayah dari sahabatnya itu. Dia sudah mengatakan memengaruhi kehidupan Divya, bukan? Akan tetapi, Ivy tidak ingin mengungkapkan pada Divya.
"Apa?! Ini karena Lo suka ama dia kan?! Ambil tuh! Bawa dia pergi dari idup gue! Gedeg banget ama kalian berdua!"
Divya keluar dari mobil tepat saat roda berhenti berputar. Universitas Briona sudah di depan mata. Lagi-lagi pintu terbanting dengan kuat.
"Dia emang gitu Bang. Biarin aja, aku yakin, kok kalau Divya bakalan nurut nanti. Hanya masalah waktu," kata Ivy.
Namun, Ghazi tidak mendengar sepenuhnya ucapan Ivy. Ia sudah keluar mobil dan mengikuti Divya.
"Dih! Bener kali, ya. Kalau pria itu menyebalkan! Tapi, sumpah! Dia ganteng dan keren!" gumam Ivy. Dia menyusul. Keluar dari mobil yang hendak diparkir oleh satpam.
"Berhenti di situ! Ini kelas! Nggak ada yang boleh masuk kecuali siswa!" hardik Divya.
"Saya sudah mendapatkan izin dari Tuan Hendery juga para dosen."
"Sumpah! Ih—" Divya sudah dibuat sangat marah pagi-pagi. Kedua jemarinya mengepal erat. Ia ingin melayangkan tinju di muka datar Ghazi yang ada di depannya.
"Jika Lo ikutan masuk, gue bersumpah akan terus buat masalah sama lo!"
"Kalau saya berhenti, apakah ada jaminan Anda menurut?" tanya Ghazi.
Mata Divya melebar. Dia malas menjawab karena tentu saja hal itu tidak mungkin terjadi.
"Baiklah. Ini artinya tidak akan ada perdamaian diantara kita." Ghazi hendak merangsek masuk bersama dengan Divya.
"Oke! Oke! Lo dapat yang lo mau! Persetan! Laki-laki brengsek!" Divya menendang tulang betis Ghazi kemudian masuk ke kelas.
Entah terbuat dari apa laki-laki itu. Mengaduh pun tidak. Posisinya tetap tegak tanpa ekspresi
Ivy menggeleng pelan sebelum menyusul masuk.
"Bye abang ganteng. Kalem-kalem, ya ama Divya." Ivy menyamakan tangan pada Ghazi dan menyusul Divya.
Ghazi berdiri di samping pintu sampai Kelas berakhir dua jam kedepan.
Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah. Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut. "Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu. Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari. Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi. "Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan. "Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung. "Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tenta
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima."Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget.""Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!""Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi k
"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya. "Terima kasih, Tan," ucap Liam. "Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."Senyumnya selalu mengembang. Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi. Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya. Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak. "Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan t
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki bajingan itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan bajingan itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gu
Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu.Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sen
"Anda butuh banyak istirahat Nona Divya. Beruntung hanya demam biasa. Obat-obat yang saya resepkan bisa Anda minum secara rutin sampai habis."Kini Divya berada di sebuah klinik kepercayaan keluarga Hendery ditemani Ghazi. Sudah jelas! Greta untuk kesekian kalinya tidak akan ada disisi wanita itu."Saya pastikan Nona Divya menghabiskan sesuai resep, Dok. Terima kasih," jawab Ghazi. Pria itulah yang justru menimpali. Divya enggan untuk mengeluarkan suaranya. Setelah berpamitan, Ghazi siap membantu Divya keluar dari ruangan pemeriksaan tersebut. "Anda mampu berjalan, Nona?" lirih Ghazi saat keduanya sudah berhasil cukup jauh dari pintu ruangan. "Gue cuma sakit dan sedikit lemes, Ghaz! Bukan lumpuh! Atau yang lebih buruk dari itu," sarkas Divya. Ia mempererat kain tipis yang membungkus tubuhnya. Kemudian menarik langkah menjauh dari Ghazi. Akan tetapi, baru beberapa tapak kaki, tubuhnya hampir tersungkur. Beruntung dengan tangkas Ghazi berhasil menahan beban tubuhnya yang ringan. "
Ivy pulang tepat saat jarum jam pukul satu siang. Gadis itu rela meninggalkan kelas paginya demi menghibur dan menemani Divya. "Istirahatlah, Div. Aku pulang dulu, aku akan telepon kamu, nanti," pamit Ivy. Gadis itu melayangkan senyum pada sahabat karibnya. "Thanks, Iv. Lo sahabat terbaik," balas Divya. Keduanya berpelukan dan Ivy benar-benar pergi. Ghazi setia di samping pintu kamar Divya. Menjadi penjaga sampai jam lima tepat. "Hai! Babang ganteng. Jangan bilang kau berdiri di sana sejak tadi dan akan berlanjut sampai jam kerjamu berakhir," tuduh Ivy. Melontarkan pertanyaan yang dikemas selayaknya ketidakpercayaan. "Yap. Memang begitu adanya.""O—ke—" Ivy mengerucutkan bibir dan sedikit membungkuk. Seakan terkejut. "Baiklah, kurasa aku harus pergi. Semangat Babang ganteng. Mungkin kamu butuh duduk?" Ghazi menggeleng. Ia tidak akan melakukan hal itu. Pria itu bekerja dan tidak ingin memakan gaji buta. Pukul tiga, Greta pulang. Dari pagi sampai sore tidak ada pemilik rumah yan
Ghazi mendongak menatap satu ruang tertutup di lantai atas saat, telinganya mendengar berdebatan panjang yang terjadi. Raut mukanya tampak seperti biasa, tenang. Namun, ada satu perasaan yang lain dari biasa Ghazi rasakan. Kasihan. Kemudian, ia masuk. Tidak berniat untuk menguping amarah serta umpatan demi umpatan yang keluar dari mulut sang penguasa di rumah itu. Hendery Kagendra. Ghazi mencari beberapa peralatan di lemarinya. Mengeluarkan satu kotak kayu. Ia ingin memakai waktu luang malam ini membuat karya fisik. Ghazi memang suka memodifikasi segala macam benda. Barangkali ada mainan yang rusak, dia akan memperbaikinya lebih menarik dari sebelumnya. Brak! Pintu kamarnya terbuka dengan kasar. Sontak Ghazi yang masih sibuk dengan dunianya sendiri lekas menoleh. "Tuan Hen? Ada yang bisa saya kerjakan?" tanyanya. Ia membungkuk setengah badan memberi hormat. Sungguh, Ghazi tampak seperti tidak mengetahui apa pun yang barusan terjadi di lantai atas. Berpura-pura tuli."Aku mau bil