"Div—" Ivy yang sedari tadi fokus dengan ponsel di tangannya terkejut bukan main kala melihat satu video yang di dalamnya mempertontonkan Divya dengan seorang pria.
"Eum? Apaan?!" ketus Divya. Ia hanya mengaduk makanan di piringnya. Bahkan juga minuman di gelas hanya diputar-putar menggunakan sedotan.
"Lihat deh!" Ivy menyodorkan benda persegi panjang itu pada sahabatnya.
Divya menyahutnya brutal. Matanya melotot marah.
"Apa-apaan, nih?! Laki-laki bajingan!" marahnya.
Sebuah video yang Divya tidak pernah lakukan sama sekali. Ia tengah bermesraan di salah satu kelab yang sangat dia kenali. Bersama dengan laki-laki yang Divya sendiri tidak mengenalnya.
"Ada masalah, Nona?" Ghazi mendekat pada Divya. Perhatian yang merujuk pada tanggung jawabnya sebagai pengawal pribadi Divya. Ghazi diharuskan tahu segalanya tentang Divya.
"Siapa, sih Lo? Bisa nggak sedetik aja jauh-jauh dari, gue?!" bentak Divya. Dia kesal bertambah kesal. Memberikan ponsel Ivy kembali secara kasar.
"Tidak bisa. Tugas saya menjaga Anda tetap aman dan baik-baik saja," jawab Ghazi dengan santai.
"Dengan adanya Lo. Idup gue, tuh udah kagak baik-baik aja! Paham, Lo?!"
Ghazi bergeming. Apa pun yang dikatakan Divya hanya melintas seperti embusan angin lembut.
Gadis itu duduk dengan raut muka yang lusuh. Jelas terlihat kemarahan di wajahnya.
"Siapa tahu dia bisa bantu kan?" celetuk Ivy. "Ini kesempatanmu buat memanfaatkan keberadaannya kan? Kalian bisa jadi semacam partner untuk membalas berita sampah ini."
Solusi yang cukup baik— seharusnya. Akan tetapi, Divya masih sangat tidak menerima keberadaan Ghazi. Hidupnya dihantui bayang-bayang pria asing yang muncul secara tiba-tiba.
"Lo jadi ngandelin dia banget, sih? Lo kira gue nggak bisa kelarin masalah ini sendiri?! Jangan harap gue bakal minta bantuan ke dia!"
Divya menunjuk muka Ghazi dengan bengis. Namun, tetap saja pria itu berdiri mematung. Tersenyum tipis pun tidak. Dia tidak peduli pendapat Divya sama sekali.
"Ya, bukan aku ngandalin dia. Tapi, kamu—"
"Stop! Gue tahu Lo tertarik ama dia! Tapi gue muak liat mukanya! Lo tahu jalan tol kan?! Seperti itulah dia! Datar! Nggak ada ekspresi. Pen muntah gue!" dengusnya kesal.
"Jangan gitulah, nanti cinta gimana?"
"Buka kuping, Lo. Denger baik-baik, gue Divya Elvaretta Kagendra nggak bakalan jatuh cinta atau pun suka sama cowok modelan kek gitu! Catet, tuh," katanya lantang. Seolah ingin dunia mendengar danmengabadikan momen tersebut.
Ivy memanyunkan bibirnya dan menganggukkan kepalanya pelan. Ia tidak percaya dengan ucapan temannya itu.
"Oke," liriknya kemudian, sebagai formalitas.
"Baiklah, aku harus pulang Div. Banyak tugas yang harus kukerjakan. Kurasa kamu juga kan?"
"Nggak asik, Lo. Kenapa sih bahas tugas mulu? Kita ke mall, yuk! Shopping," ajak Divya dengan mata berbinar.
"Ya elah, aku belum ada kirim—"
"Gue traktir!" sela Divya.
"Nggak, Div. Kamu—"
"Nggak ada penolakan! Gue ngajak Lu. Nggak ngasih penawaran!" Gadis itu bangkit dan mencekal pergelangan tangan Ivy, menyeretnya untuk lekas menarik pantatnya dari kursi.
Wanita berambut keriting itu sedikit terhuyung mengikuti langkah Divya yang terlampau bersemangat. Ghazi membuntuti dan lekas mendahului mereka untuk membuka pintu mobil.
Entah untuk kali berapa Divya mencampakkan niat baik itu. Ia memilih untuk membuka pintu lain, tetap pintu bagian depan yang menjadi alternatifnya.
"Terima kasih, abang ganteng," celetuk Ivy. Terpaksa wanita itulah yang masuk. Ghazi tidak menjawab, dia lekas duduk di balik kemudi.
Hening, belum ada yang membuka obrolan. Divya dengan segala kekesalannya. Ivy yang canggung dan tidak tahu mau membahas apa. Ghazi yang fokus pada jalanan.
"PPB, kan?" Tiba-tiba suara Ghazi memecah keheningan.
"Daebak! Bagaimana Abang bisa tahu mall tempat Divya biasa belanja?"
"Bukan hal yang sulit," jawab Ghazi tanpa melirik sedikit pun lawan bicaranya.
"Apakah kalian pernah bertemu? Atau— Divya jangan-jangan kamu mantan kekasihnya?"
Sebuah jitakan ringan melayang di kepala Ivy. Gadis bertubuh padat itu mengaduh pelan.
"Sakit, tahu Div. Hari ini kamu terlalu sering menganiaya aku," keluh Ivy.
"Suka aja nggak mungkin apalagi mantan pacar! Yang betul lah. Kira-kira kalau nyeletuk tuh!"
"Ya kan, aku cuma nebak gitu, lho. Nggak ada salahnya kan?"
"Nggak ada!" sergah Divya.
Mobil merah yang ketiganya tunggangi telah berhenti tepat di lobi sebuah pusat perbelanjaan kota Briona.
Ghazi lekas turun sebelum Divya berhasil membuka pintu. Namun, langkahnya tetaplah terasa lamban dan unggul dari ketangkasan Divya.
Ghazi melemparkan kunci mobil itu pada seorang penjaga di sana. Ia tidak bisa meninggalkan Divya hanya sekadar untuk parkir mobil. Bisa jadi wanita itu kabur.
Jangan kehilangan sedetik pun pandangan dari Divya, dia gadis yang nakal. Ucapan Hendery masih begitu lekat diingatan.
"Ck, penguntit," cela Divya dengan gumaman.
"Tapi ganteng," imbuh Ivy.
Lirikan tajam Divya tertuju untuk Ivy. Akan tetapi wanita itu hanya terkekeh. Seolah lucu melihat Divya yang biasanya heboh dan ceria, secara drastis menjadi pemarah.
"Gini, deh. Kamu tetap bisa senang-senang kan? Anggap aja dia nggak ada gitu, lho," papar Ivy. Memberikan satu gagasan yang sepertinya mampu meluluhkan hati sahabatnya.
"Nice idea! Oke, let's go! Gue bakal bikin dia, nih ngeluh karena cape!" Tawanya meluncur begitu saja. Tidak peduli pengunjung lain menatapnya dengan sorot mata yang sinis.
Beberapa jam berlalu, kedua tangan Ghazi sudah penuh dengan paper bag dan itu belum juga menghentikan langkah dua gadis yang tengah seru menjajakan duit Divya di hampir semua kios dalam mall tersebut.
"Iya, Tuan Hen. Kami ada di PPB. Nona aman," lapor Ghazi pada Hendery yang sudah langsung tersambung pada earphone yang dia kenakan.
"Bagus, awasi dia. Pulang sebelum jam sembilan."
"Baik, Tuan."
Panggilan itu usai dan Ghazi melirik jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
Jarum jam jelas terlihat tepat diangka lima. Sudah empat jam mereka berputar-putar tempat itu.
Dua wanita yang tampak senang dan menikmati akhir hari ini.
"Tuan Hen menelepon, sebelum jam sembilan kita sudah harus tiba di rumah," jelas Ghazi.
Seketika Divya menghentikan langkahnya, hampir saja laki-laki itu menabrak tubuh mungil di depannya itu. Beruntung dia selalu sigap menjaga langkahnya.
"What?! Sumpah ini gila, Ivy. Lo denger kan? Jam sembilan! Itu juga seharusnya baru mulai kan?!" teriaknya tertahan.
"Ya— mungkin khusus buat malam ini, papamu pengen ngobrol sama anak gadisnya. Nggak masalah kan?" timpal Ivy dengan lembut.
"Nggak asik, Lo! Semenjak ada dia, nih! Lo dan kalian semua nggak ada yang seru!"
Divya melenggang meninggalkan keduanya. Ivy berusaha untuk mengejarnya.
"Divya, tunggu! Bukan gitu, selama ini emang kamu udah terlalu sering keluar malam kan? Lagian ini juga demi kamu. Kalau kamu keluar malam ini, lalu pemberitaan itu belum selesai diperbincangkan, kamu juga kan yang kena. Kamu nggak mau kan namamu jelek?" bujuk Ivy.
"Lo liat nggak, sih. Ini udah macam hukuman buat gue. Belum lagi tentang perjodohan setan itu!"
"Apa?! Perjodohan apa?"
Ivy tampak kaget. Sejak pagi keduanya bertemu mereka tidak ada membahas tentang perjodohan apa pun.
Divya duduk begitu saja di kursi yang jelas-jelas ditempati oleh orang lain di sisi lainnya. Ia tidak peduli. Pikirannya sudah terlalu penuh.
"Bokap gue udah jodohin gue sama anak temen dia. Kesel kan? Udah idup dibuntuti, masih juga nggak ada hak uat nentuin pilihan gue. Kesel gue, pengen minggat tahu nggak?" terang Divya.
Begitu tiba di rumah, Divya semakin bertekuk muka. Semangatnya sudah tidak membara sama sekali. Membayangkan dirinya terkurung di kamar. Makan malam membosankan, ia ingin berteriak sekencang yang dia bisa. "Mari makan dulu, Nak!" panggil Greta, ia sudah siap dengan segala macam olahan ikan kesukaan Divya dan juga suaminya. "Divya mau mandi. Kalian makan duluan aja, nanti kalau Div laper juga bakal makan," celetuknya tanpa menghentikan langkahlangkah ataupun menoleh pada sang ibu. Wanita bertubuh kecil, tetapi seksi itu menapaki satu demi satu anak tangga menuju ke kamar. Membanting pintu dengan cukup keras saat berhasil menghilang di baliknya. "Biarkan saja, Ma. Dia kembali saja sudah untung. Biar dia lakukan sesukanya, Divya tidak akan mengurung diri semalaman." Hendery mencoba menenangkan istrinya. Greta juga meyakini akan hal itu. Pasalnya anak semata wayang mereka tidak akan pernah bisa tidur jika kelaparan. Entah itu tengah malam, Divya tetap akan makan. "Dia belum makan ma
Alarm berbunyi membangunkan sang pemilik jam. Sejatinya sang pria sudah terjaga dua jam sebelum jam itu berbunyi. Ia membuka lebar jendela kacanya kemudian duduk di kusen tanpa mengenakan pakaian. Hanya dengan balutan celana boxer yang membungkus pinggang sampai lututnya. Mata hitam terangnya menelisik dedaunan yang bergoyang tertiup oleh angin pagi. Udara di pagi hari memang sangat menyegarkan. Ghazi, menyahut kaos oblong berwarna hitam kemudian mengenakan sepatu olahraga dan siap untuk mencari keringat. Berkeliling komplek sampai jam kerja dimulai. “Pagi, Pak. Kopi.” Pria itu menyodorkan kopi pada satpam yang sudah berjaga di pos. Senyumnya mengembang sempurna. Jauh berbeda kala ia menghadapi Divya. “Terima kasih, Mas. Mau olahraga?” Ghazi hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian ia mulai mengambil langkah kecil sebagai pemanasan sebelum mulai berlari. “Hati-hati, Mas!” teriak satpam itu. "Keren pisan euy! Baru kali ini ada yang buatkan kopi," tambahnya. Matahari mas
Tepat pukul empat lebih tiga puluh menit serangkaian kelas Divya usai. Sekarang gadis bermata cantik itu duduk di taman dengan muka tertekuk karena lelah. Sebuah tangan kekar mengulurkan satu minuman isotonik padanya. Divya meniti tangan yang begitu putih tersebut. "Kamu pasti lelah kan? Aku bawakan minum untukmu," tawarnya. Tidak kehilangan senyum meski hanya setipis tisu. Divya sama sekali tidak menyahut atau bahkan meraih botol yang terulur. Gadis itu masih setia memangku kepalanya dengan bantalan lengan. Tenaganya benar-benar habis. Otaknya telah terkuras sampai ke inti sari. Satu minggu lagi, skripsian bakal menumpuk dan hal itu kian membuat Divya frustasi. "Siapa, Anda?" Ghazi yang baru datang terkunci pandang pada sesosok laki-laki yang setia berdiri di samping tubuh sang majikan. "Hanya teman. Aku tidak tahu kalau Divya benar-benar membawa pengawal ke kampus," ejeknya. Kemudian senyum setan ikut terbit setelah ucapannya rampung. "Pergilah! Tidak ada urusan untukmu tenta
"Gaes, sepertinya aku nggak bisa ikut rundingan kalian, deh. Teman kostku butuh bantuan," lirih Ivy kala menatap ponselnya. Di mana baru saja pesan singkat dia terima."Yah! Padahal gue pengen lo jadi saksi, Ivy. Siapa, sih? Nggak tahu waktu banget!" keluh Divya yang tidak mengizinkan sahabat karibnya pergi. "Bukan nggak tahu waktu, tapi emang ini udah jam aku balik, kan? Udah nggak perlu saksi, lagian nggak mungkin Abang ganteng berkhianat, kok," ucap Ivy. Tak! "Auh! Div! Kenapa, sih jadi galak banget.""Sorry, lo kalau ngomong suka nggak ada filter!""Oke, aku balik dah. Baek-baek klean berdua! Awas kalau sampai ada drama kejar-kejaran lagi," ancam Ivy. Melayangkan tatapan serius pada Divya. Akan tetapi, gadis bermata cokelat itu hanya menimpalinya dengan sorot mata yang tidak kalah galak. Sepeninggalan Ivy, Ghazi dan Divya mulai berbicara serius. Pria itu sudah mendapatkan satu lembar kertas dari salah satu penjual makanan di sana. Robekan tepat bagian tengah akan jadi saksi k
"Liam?! Wah, ayo! Ikut sarapan dengan Tante dan Divya. Kamu rajin banget udah bangun udah rapi pagi-pagi."Waktu sarapan yang lain dari hari sebelumnya. Suara Greta sudah kembali menggema di seluruh ruang makan tersebut. Ia menggiring Liam serta menarik kursi untuk pria yang jauh lebih muda darinya. "Terima kasih, Tan," ucap Liam. "Santai saja. Padahal Divya malah belum siap jam segini. Kamu tunggu dulu, biar Tante yang panggil, ya."Senyumnya selalu mengembang. Menunjukkan rasa bahagia pada putra Madhava. Pria yang akan menjadi menantunya tidak lama lagi. Liam mengangguk, ia kembali memerhatikan sekeliling. Takjub dengan kemegahan rumah calon istrinya. Sampai di lantai dua, Greta hendak mengetuk pintu kamar anaknya. Namun, pintu sudah terbuka dengan lebar. Hal itu membuat Greta kian senang. Dirinya tidak perlu repot berteriak untuk menyerukan nama sang anak. "Mama? Ngapain kemari?" tanya Divya. Gadis cantik dengan balutan jeans belel dan turtleneck rajut warna maroon. Lekukan t
Saat keluar dari kelas, jauh dari pandangan Divya, ia melihat dua pria yang tengah berbincang. Gadis ayu bermata cokelat itu sangat mengenal keduanya. Siapa lagi jika bukan Ghazi dan Liam. "Div, gila! Kamu beruntung banget dikelilingi dua cowok keren. Bagi aku satu, tapi aku nggak mau cowok putih itu," seloroh Ivy yang berdiri tepat di samping Divya. Seakan menyadari keberadaan Divya, Ghazi menoleh dan menjauh dari Liam. Pria itu pun membuntuti di belakang Ghazi. Raut wajah Divya mulai kucel. Dia tidak mau sama sekali bertemu dengan laki-laki bajingan itu. Ia memutuskan untuk melenggang pergi. "Eh! Div?! Kemana?" teriak Ivy. Wanita berambut keriting itu mengejar sahabatnya. "Gue males banget liat muka setan bajingan itu," terang Divya. Ivy tahu siapa yang dimaksud oleh gadis itu. "Tapi dia tetep ngejar, Div. Kurasa Ghazi udah memperingatkan dia juga. Dasar aja laki-laki bebal," timpal Ivy. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk mengetahui perkembangan di sana. "Maka dari itu, gu
Divya terlihat sangat bahagia, gadis itu berkejaran bersama dengan Ivy. Bermain air hingga pakaian mereka cukup basah. Kini, hamparan pasir itu tampak terang berkat pancaran indusrami. Senyum dibibir Divya tidak pernah padam. "Sumpah! Ini seru, Iv." Divya merubuhkan tubuhnya diatas pasir-pasir halus. Ia lelah sudah bermain sejak dua jam lalu.Tidak terasa waktu bergerak sangat cepat. Bahkan sekarang, Divya tidak peduli dengan tubuhnya yang kotor ataupun lengket. Kebahagiaan sudah merenggut segala amarah yang sempat meletup. "Iya. Seandainya dari dulu kamu sadar, kalau alam jauh lebih menakjubkan ketimbang club malam," tandas Ivy. "Aku setuju dengan Ivy," celetuk Ghazi. Dia yang sedari tadi hanya bungkam mengawasi mereka berdua kini angkat suara. Saat tarikan pertama intonasinya pun merendah. Suara Ghazi serak karena kelamaan mengatupkan kedua bibirnya. Divya tidak menggubris. Dia tidak ingin merusak kebahagiaan yang sudah teramat rekat dengan jiwanya. Divya rindu pada dirinya sen
"Anda butuh banyak istirahat Nona Divya. Beruntung hanya demam biasa. Obat-obat yang saya resepkan bisa Anda minum secara rutin sampai habis."Kini Divya berada di sebuah klinik kepercayaan keluarga Hendery ditemani Ghazi. Sudah jelas! Greta untuk kesekian kalinya tidak akan ada disisi wanita itu."Saya pastikan Nona Divya menghabiskan sesuai resep, Dok. Terima kasih," jawab Ghazi. Pria itulah yang justru menimpali. Divya enggan untuk mengeluarkan suaranya. Setelah berpamitan, Ghazi siap membantu Divya keluar dari ruangan pemeriksaan tersebut. "Anda mampu berjalan, Nona?" lirih Ghazi saat keduanya sudah berhasil cukup jauh dari pintu ruangan. "Gue cuma sakit dan sedikit lemes, Ghaz! Bukan lumpuh! Atau yang lebih buruk dari itu," sarkas Divya. Ia mempererat kain tipis yang membungkus tubuhnya. Kemudian menarik langkah menjauh dari Ghazi. Akan tetapi, baru beberapa tapak kaki, tubuhnya hampir tersungkur. Beruntung dengan tangkas Ghazi berhasil menahan beban tubuhnya yang ringan. "