"Sebegitu inginnya kamu mencari perhatianku sampai rela melakukan segala cara, Kirana?!"
Kirana menunduk dan tak sanggup melihat reaksi Ardan yang murka setelah menerima surat perceraian darinya. Alis tebal pria itu menukik dan wajah tampannya mengeras. "Jawab aku!" Ardan mengeraskan suaranya lagi, hingga membuat Kirana menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran kotor dari kepalanya. "Aku serius, Mas. Ayo kita bercerai dan silakan lanjutkan hubunganmu dengan Zara. Setelah itu, aku akan pergi dan hidup sendiri." Kirana menatap wajah Ardan dalam-dalam untuk mencari setitik cinta baginya agar ia tak perlu melakukan keputusan ini. Namun, seperti biasa, hal itu sia-sia karena Ardan tidak mungkin mencintainya. Oleh karena itu, kali ini keputusannya sudah bulat. Ia ingin memutuskan hubungan yang sejak awal dipaksakan, dengan sebuah perceraian. Namun, reaksi Ardan begitu mengejutkan bagi Kirana. “Begitu menurutmu?” Bukannya mengambil bolpoin dan menandatangani kertas yang telah ia siapkan, pria itu malah berjalan mendekat dengan dasi yang perlahan dilonggarkan. Kirana yang takut segera beringsut hingga ke pojokan dapur. "Mas, apa yang kamu lakukan? Cepat lepaskan aku!" Kirana terkejut saat Ardan tiba-tiba membopongnya seperti karung beras. "Cerai? Jangan mimpi, Kirana. Setelah seenaknya datang merusak kehidupanku, kamu berharap untuk pergi begitu saja?" Ardan lalu melempar tubuh Kirana di atas ranjang mereka yang selama ini tak pernah dia gunakan. Dengan satu tangan pria itu mengunci tubuh Kirana, sedangkan satu tangannya lagi ia gunakan untuk melepas dasi yang ia pakai sebelum mengikatkannya ke tangan gadis itu. Dalam satu hentakan, kedua tangan gadis itu telah terangkat dan disudutkan ke atas kepala. Kirana memberontak dan berusaha melepaskan diri dari serangan Ardan yang sangat tiba-tiba. Namun, kini Ardan membalikkan posisinya, hingga Kirana sudah ada di bawah kukungannya masih dengan tangan terikat. Kirana terus memberontak, tapi mata sang suami telah berkabut gairah. “Lepaskan aku!” bentak Kirana berusaha melepaskan diri. Ia lalu berusaha mundur dan beringsut ke pojok tempat tidur saat melihat sang suami tengah membuka kancing kemejanya dan membuang kain itu ke sembarang arah. Perut Ardan yang terbentuk sempurna membuat Kirana memalingkan wajahnya ke arah lain, tapi Ardan telah lebih dulu menariknya mendekat. “Kenapa? Bukankah selama ini kamu haus akan sentuhan dariku?” kata Ardan saat dress tidur yang berbahan satin milik Kirana terangkat hingga memperlihatkan pahanya yang mulus. Arah pandang Ardan membuat Kirana buru-buru memperbaiki posisi duduknya. Ia malu, bukan hubungan seperti ini yang ia inginkan. “Apa maksudmu? Aku tid-,” “Sekarang kamu mengelak. Apa kau begitu mendambakan sentuhan seorang pria dan ingin mencari pria lain diluar sana sehingga kau ingin bercerai?” tanya Ardan dengan tajam. Ardan mencengkram kedua pipi Kirana, hingga wanita cantik itu mendongak ke arahnya dengan kesakitan. “Lepas! Lepas! Kau adalah pria paling gila yang pernah aku temui. Aku-!” Kirana berteriak segera setelah tangan Ardan melepaskan pipinya, tetapi Ardan segera menyambar bibir wanita itu dengan rakus. Kirana yang merasa perlakuan Ardan mulai kelewat batas berusaha untuk memberontak semakin kencang. Ardan lalu meraba lekuk tubuh wanita itu dengan tangannya yang lain tanpa melepaskan ciuman panasnya. Perlakuan ini membuat Kirana bingung. Sebenarnya, apa yang merasuki pria itu? Setelah satu tahun menikah, mereka sudah melakukan pisah ranjang dan tak saling berkomunikasi selain di acara formal. Ardan bahkan memiliki kekasih yang ia cintai, lalu untuk apa semua perlakuan ini? Lamunan Kirana terhenti karena Ardan merobek dress satin yang dikenakan wanita itu. Tindakan Ardan membuat dada Kirana yang masih terbungkus bra merah terpampang jelas. Kirana yang terkejut berusaha untuk menutupi dadanya dengan membalikkan badan, tapi Ardan telah lebih dulu menahan tangan Kirana dan mengembalikan tubuh wanita itu kembali menghadapnya. “Ardan! Ap-ahh” Tubuh Kirana menggelinjang saat napas Ardan dihembuskan tepat belahan dadanya. “Bisa-bisanya kamu minta cerai, Kirana? Bukankah kau diutus sebagai jalang oleh orang tuamu untuk mengacaukan hubunganku dengan Zara?” racau Ardan hingga membuat Kirana semakin takut mendengarnya. Bahkan kini hatinya sangat sakit dan harga dirinya juga ikut hancur disebabkan oleh pria gila yang ada di hadapannya. "Jadi, jangan salahkan aku karena aku menganggapmu sebagai wanita barter yang bisa kunikmati. Begitu?” Ardan berkata lagi. Pria itu kemudian menurunkan lengan tali bra yang dikenakan Kirana dengan giginya, sebelum menghisap lengan wanita itu dengan intens. "Ayahmu menyerahkanmu padaku untuk ditiduri dan kamu juga sangat menginginkan tubuhku. Iya kan? Kalau tidak, kamu pasti sudah menolak perjodohan ini sejak awal”. Kali ini, Ardan menggigit cuping telinga Kirana dan membuat si wanita menoleh ke kanan dan kiri. Setelah puas bermain-main dengan istrinya, Ardan melepaskan semua pakaiannya hingga tak tersisa. Bahkan dia tak segan menampilkan kejantanan miliknya yang semakin membuat Kirana ketakutan. "Mau kemana kau? Nikmati saja, kau pasti menyukainya. Aku janji akan memuaskanmu sayang," desis Ardan sambil menarik kembali tubuh istrinya dan membuka pangkal paha milik gadis itu. "Jangan, Mas! Aku tidak mau! Akhhhh!" teriak Kirana saat sesuatu yang tumpul di bawah sana sedang menerobos masuk dengan paksa, membuat Kirana semakin terisak menahan perih yang teramat sangat. Ardan yang merasakan sesuatu yang hangat mengalir di bawah sana tertegun. Namun, beberapa saat kemudian dia tersenyum tipis, karena itu berarti dia bisa membalas dendam pada wanita yang sudah menghancurkan hidupnya. Ardan ingin kirana jauh lebih menderita. "Aku pikir kamu sudah dinikmati oleh pria lain. Namun, ternyata aku lupa kalau keluargamu memang hebat. Demi memperlancar uang keluargaku mengalir ke kalian, mereka bahkan menyediakan wanita eksklusif untukku.” ucap Ardan lagi. "Mas, sakit! Cepat lepaskan aku.." pinta Kirana memelas. "Semakin sakit yang kamu rasakan, maka semakin membuatku bahagia juga, Kirana. Bermain dengan Zara memang menyakitimu. Itu membuatku puas. Namun, aku baru sadar, kenapa tidak dari dulu aku melampiaskan nafsuku padamu, sehingga aku bisa menjaga Zara untuk pernikahan kami kelak?” Ardan berkata santai. Kemudian, sambil melihat ke arah Kirana, Ardan mulai menggerakkan pinggulnya dengan pelan. Kirana sendiri berusaha untuk tak menikmati apapun yang dilakukan Ardan, tapi perlahan ekspresi yang diharapkan Ardan mulai muncul hingga membuat pria itu kembali tersenyum tipis. Entah kenapa, Ardan menikmati ekspresi yang Kirana tampilkan dan seakan membuatnya candu untuk melihat lebih banyak. Setelah beberapa menit memompa, Ardan ambruk di atas tubuh Kirana setelah mendapat pelepasannya yang entah mengapa terasa begitu hebat. Ia lalu menatap ke arah Kirana untuk kembali melihat ekspresi wanita itu, tapi Kirana malah memalingkan wajahnya ke arah lain. Kirana kemudian menatap ke arah dinding dengan datar dan jejak air mata yang mengering terlihat di pipinya. Ia sudah tak bertenaga lagi walaupun hanya untuk sekedar berbicara saat ini. Bukan hanya fisiknya yang lelah, tapi hatinya ikut hancur hingga tak mampu mengeluarkan sepatah katapun untuk Ardan. 'Mas, sebesar apa kebencianmu padaku? Jika kamu memang tersiksa dengan pernikahan ini, kenapa kamu menolak untuk bercerai denganku? Aku tidak bisa bertahan lagi bersamamu.' Kirana meratap dalam hati. Ia lalu bangkit menuju kamar mandi dan meninggalkan Ardan yang tertidur di sebelahnya. Ia ingin membersihkan noda bekas percintaannya dengan Ardan dan berharap dapat menghapuskan rasa sakit di hatinya. Dinginnya guyuran shower yang membasahi tubuh Kirana membuat ia kembali menangis. Ia benci pada kehidupan yang tak pernah berpihak padanya. "Kakek, maafkan aku. Maaf karena sudah mengecewakan kakek yang sudah berharap pada pernikahan kami. Aku sudah menyerah, Kek. Ternyata pria pilihan kakek tidak seperti pangeran dalam buku dongeng yang sering aku baca. Aku salah karena sudah berharap padanya.""Pa, Ma, aku ingin bercerai dari Mas Ardan," Setelah digempur oleh Adan, masih dengan selangkangan yang nyeri Kirana mendatangi rumah keluarganya yang terletak satu jam perjalanan dari rumah. Ia sungguh berharap kalau ayah dan ibunya bisa membantu dia untuk bercerai dari Ardan sehingga dia bisa menjalani hidupnya sendiri yang bebas tanpa rasa sakit."Jangan gila ya, kamu! Cerai apanya? Kamu lupa kalau Ardan dan keluarganya itu yang bantu kita?!" Tanya Bisma, sang ayah dengan menggebu-gebu.Kirana tertegun, “A-ayah?”"Jadi, kamu ke mari pagi-pagi buta begini hanya untuk mengatakan hal bodoh itu?!" Ibunya, Sinta, murka setengah mati. Ia berpikir, bagaimana bisa putrinya mempunyai pemikiran dangkal seperti itu?"Bukannya selama ini kakak sangat memuja suami kakak, ya? Lagipula Kak Ardan baik dan tampan. Bukannya bersyukur malah minta cerai." ujar Siska, adik Kirana, yang kini ikut menanggapi pembahasan panas di antara mereka."Iya. Dasar tidak tahu diuntung. Pokoknya, tidak ada yang bo
"Bersiaplah untuk nanti malam. Bagas akan menjemputmu untuk pergi ke pesta Mama."Perintah Ardan tadi menuntut Kirana untuk mulai bersiap, tapi perlakuan pria itu sejak semalam membuat Kirana duduk termenung di kasur. Setelah melihat ke arah jam, wanita itu lalu bangkit dan segera bersiap-siap untuk menghadiri pesta ulang tahun ibu mertuanya yang akan dimulai dalam tiga jam.Ternyata, sudah selama itu ia tertidur.Bahkan ia belum makan siang.Dengan sendu Kirana berjalan ke arah dapur dan membuat sandwich sederhana untuk mengganjal perutnya yang mulai berteriak. Tubuhnya terasa remuk, tapi ia harus menyelesaikan hari ini agar rencananya bisa berjalan lancar.Setelah matahari terbenam, Kirana sudah bersiap dengan satin dress berwarna hitam dan kotak hadiah di tangannya. Kali ini, ia menggunakan uang bulanan Ardan yang hampir tak pernah ia sentuh, untuk memberikan kado bagi ibu mertuanya itu.Saat posisi mobil hampir berhenti di bangunan megah tempat pesta dilaksanakan, Kirana berusah
"Berhenti di sini saja, Pak" pinta Kirana pada si sopir taksi. Setelah memberi supir itu beberapa lembar uang dan tips, karena perjalanan yang begitu jauh, Kirana segera turun di persimpangan jalan dan berjalan kaki untuk menuju ke sebuah rumah kecil yang tampak rapi di luar.Rumah itu merupakan peninggalan dari kakeknya untuknya. Bahkan kepemilikannya sudah atas nama Kirana sejak wanita itu berusia 16 tahun.Beberapa bulan belakangan, Kirana kembali mempekerjakan orang untuk merapikan rumah ini, karena dia memang berniat untuk tinggal di sini setelah bercerai dari Ardan.Namun, ternyata bukannya bercerai, dia malah kabur tanpa ada perceraian sama sekali.Kirana menatap rumah itu dengan rindu. Bentuknya sama sekali tidak berubah, selain beberapa pohon yang dulu ia tanam sudah mulai tumbuh semakin rimbun.Dulu kakeknya sering kali mengajaknya kabur ke sini kalau Mama dan Papanya melakukan sesuatu yang membuat perasaannya terluka.Biasanya mereka akan berjalan-jalan melihat perkebunan,
Keesokan harinya, Kirana yang baru saja selesai mandi berdiri di depan cermin dengan raut wajah datar. Keadaannya sudah jauh lebih baik, tapi beberapa tanda merah terlihat jelas di lehernya.Bekas percintaannya dengan Ardan."Menjijikkan." gumam Kirana yang kini berlalu untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain.Ia ingat kalau hari ini Bik Sumi, pengurus rumah ini, akan datang. Semalam Kirana sudah meminta wanita paruh baya itu untuk menetap di rumahnya."Bibi! Apa kabar?" ucap Kirana sebelum kemudian menghambur untuk memeluk Bik Sumi. Wanita paruh baya itu adalah bagian penting dari kenangannya bersama sang kakek saat berlibur dan menginap di rumah ini."Nona Kirana! Ah, sudah lama sekali. Bibi juga merindukan Nona! Sejak menikah, Nona tidak pernah datang lagi ke sini. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bik Sumi dengan tulus.Namun, bukannya menjawab, Kirana langsung menangis tergugu di pelukan Bik Sumi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, Kirana berpikir jika Bik Sumi