"Pa, Ma, aku ingin bercerai dari Mas Ardan,"
Setelah digempur oleh Adan, masih dengan selangkangan yang nyeri Kirana mendatangi rumah keluarganya yang terletak satu jam perjalanan dari rumah. Ia sungguh berharap kalau ayah dan ibunya bisa membantu dia untuk bercerai dari Ardan sehingga dia bisa menjalani hidupnya sendiri yang bebas tanpa rasa sakit. "Jangan gila ya, kamu! Cerai apanya? Kamu lupa kalau Ardan dan keluarganya itu yang bantu kita?!" Tanya Bisma, sang ayah dengan menggebu-gebu. Kirana tertegun, “A-ayah?” "Jadi, kamu ke mari pagi-pagi buta begini hanya untuk mengatakan hal bodoh itu?!" Ibunya, Sinta, murka setengah mati. Ia berpikir, bagaimana bisa putrinya mempunyai pemikiran dangkal seperti itu? "Bukannya selama ini kakak sangat memuja suami kakak, ya? Lagipula Kak Ardan baik dan tampan. Bukannya bersyukur malah minta cerai." ujar Siska, adik Kirana, yang kini ikut menanggapi pembahasan panas di antara mereka. "Iya. Dasar tidak tahu diuntung. Pokoknya, tidak ada yang boleh bercerai. Pernikahanmu dan Ardan harus tetap berlangsung. Jangan mempermalukan keluarga kita dengan ide konyolmu itu. Apapun alasanmu, Papa tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi!" 'Mempermalukan? Papa berpikir aku hanya ingin mempermalukan keluarga?' Kirana semakin menunduk. Ia tak sanggup mendengar cacian kedua orang tuanya. Hanya karena harta, mereka tega mengabaikan putri kandungnya sendiri menderita. "T–tapi pah, Mas A—." "Cukup, Kirana. Jangan terlalu manja hanya karena sebuah pertengkaran kecil. Setiap pernikahan pasti ada ujiannya dan kamu harus melewati itu semua. Kami tau kalau kamu sedang mencari perhatian dari suamimu, tapi jangan keterlaluan seperti ini!" Bisma semakin memojokkannya sehingga membuat Kirana merasa kalau yang terjadi saat ini adalah kesalahannya seorang. "Mama akan hubungi Ardan dulu. Bisa kacau urusannya kalau dia marah dan tidak mau menggelontorkan dananya ke perusahaan kita lagi. Punya anak gak punya otak. Gak bisa mikir masa depan. Udah untung dikasih suami tajir, masih saja banyak tingkah." Sinta menggerutu tanpa henti, tanpa memikirkan perasaan Kirana. "Benar kata mamah. Jangan sampai Ardan murka dan memutuskan dananya untuk keluarga kita." "Denger tuh, kak. Memangnya kakak mau hidup miskin? Jadi orang kok egois banget. Nggak mikir apa dengan masa depan keluarga akan jadi kayak gimana?" Kirana sudah tak bisa mengatakan apapun lagi. Rasanya akan sia-sia meskipun ia menjelaskan sampai mulutnya berbusa. "Halo, Nak. Ardan? Ini mama. Maaf, tapi sebelumnya Mama ingin mengabarkan kalau Kirana sedang ada di sini. Iya, iya. Oh sudah dekat ternyata? Oke. Ya sudah kalau begitu mama tunggu kamu di sini, kita sarapan bersama." Sinta menghubungi Ardan dan memberitahu mengenai keberadaan Kirana dengan mudah. Padahal, Kirana sudah bersusah payah melarikan diri dari rumah suaminya tanpa membawa apa pun selain ponsel di tangannya. "Udah beres. Untung anak itu sudah di jalan ke sini buat jemput Kirana sambil sarapan bersama." kata Sinta. Mendengar itu, Bisma hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti dengan ucapan istrinya. Kirana meremas ujung bajunya saat merasakan perih di hati. Ia bingung ke mana harus pergi, sedangkan kedua orang tuanya pun tidak peduli. "Lain kali jangan melakukan hal ceroboh seperti ini. Buang jauh-jauh pemikiran bodoh itu." "Benar apa mamamu katakan. Lagi pula, ini wasiat mendiang kakekmu. Jika kamu memutuskan untuk bercerai dari Ardan, itu sama saja membuat keretakan dalam dua keluarga. Papa harap kamu mengerti dan berhentilah bersikap egois." Kirana benar-benar merasa hancur, merasa sendirian dan tidak punya tempat sandaran. Bagaimana bisa ia memiliki keluarga seperti ini? Setengah jam kemudian, seorang pria itu datang dengan setelan jas hitam yang pas melekat di tubuhnya. Membawa sekelebat aroma harum yang memasuki indera penciuman orang-orang yang ada di sana. Ardan. Kirana yang semula menundukkan kepala kini mendongak menatap wajah datar suaminya. Jantungnya berdetak kencang seraya membulatkan matanya sempurna. Wajah dingin yang dibalut dengan senyuman tipis itu kini terlihat menawan di mata Kirana. Kirana menggeleng dan berusaha menata tekadnya lagi, meski ia baru saja sadar kenapa dia bisa jatuh terlalu dalam pada pesona Ardan. "Pagi, Nak. Astaga, kamu sampai datang jauh-jauh datang ke sini untuk menjemput Kirana ya. Maafkan Kirana karena tidak meminta izin darimu. Harap maklum dengan sikapnya yang masih kekanak-kanakan." "Tidak apa-apa, Ma. Ini semua demi Kirana. Dia memang sempat mengatakan hal ini sebelumnya, tapi saya belum ada waktu. Mungkin Kirana sedang kesal dan akhirnya pulang sendiri." ujar Ardan. Kirana tersentak, saat pria itu justru merekayasa cerita yang tidak pernah ada. Ia terpaku, saat melihat tatapan Ardan. Tatapan yang terlihat lembut, tapi terasa dingin. "Kirana, kenapa kamu melamun? Suamimu sedang bicara di sini," ucap Mamanya hingga membuyarkan lamunan Kirana. Dengan terpaksa, ia mengangguk agar Ardan tidak mengatakan apapun lagi. Namun, tiba-tiba saja Kirana merasa sesak, penglihatannya semakin buram hingga akhirnya gelap seketika. Suara teriakan muncul dalam beberapa saat hingga ia tak mendengar apapun. Ia roboh tak sadarkan diri dalam sekejap. Saat ia sadar dan membuka matanya, suasana di sekitar menjadi sunyi. Ia telah kembali ke kamar mereka di rumah. "Sudah sadar?" Tiba-tiba saja pertanyaan muncul. Suaranya terdengar familiar. Ardan! “Sebaiknya, kamu jangan melakukan hal bodoh seperti ini lagi, Kirana. Di situasi ini, bukannya berat? Tidak akan ada orang yang mau memperdulikanmu. Bahkan keluargamu sendiri menyerahkan kamu kembali padaku.” kata Ardan. Pria itu duduk di sofa samping kasur sambil bertopang kaki dan bersedekap. Wajahnya terlihat datar dan aura dominan Ardan membuat Kirana menunduk. “Lihat, saat kau melarikan diri dari sini, justru keluargamu melemparmu kembali ke sisiku. Apa kau tau alasannya? Itu karena kau hanya alat tukar yang bisa menghasilkan uang untuk mereka. Mereka tau, kalau kau melarikan diri, maka mereka akan jatuh miskin." "Tidak! Itu tidak benar! Mereka.." Kirana terkejut saat Ardan berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. "Kenapa? Apa kau tidak mau menerima kenyataan bahwa kau hanya dijadikan alat tukar oleh keluargamu? Jangan bertingkah tidak tau diri dan berusaha untuk lari." Tanpa sadar, air mata Kirana mengalir membasahi pipinya. Apa yang dikatakan oleh Ardan memang benar. Ia hanya alat tukar untuk menghidupi keluarganya. Sejak dahulu, ia memang selalu bertanya-tanya. Kenapa semua yang buruk selalu terjadi padanya? Ia tidak pernah mendapat pendidikan yang layak hingga kuliah dan jarang makan dengan benar. Dia bahkan langsung dipaksa menikah saat usianya genap 20 tahun, dan sialnya, pernikahan itu dilakukan agar ayah dan ibunya mendapat suntikan dana lebih banyak. Saat itu kakeknya merasa sangat gembira saat mendengar usulan pernikahan itu dari anak laki-lakinya. Apalagi dengan alasan ‘mempererat hubungan persahabatan’. Oleh karenanya, dalam waktu tiga bulan, pernikahannya dan Ardan digelar dengan mewah dan pria itu harus putus dari kekasih yang sangat ia cintai, Zara. "Lepaskan aku, Ardan! Biarkan aku pergi." pinta Kirana sambil meringis, karena pipinya terasa panas. Namun, bukannya mengiyakan permintaan cerai dari Kirana, Ardan justru meraih leher Kirana dan melahap bibir mungil wanita itu dengan rakus. Tak lupa juga pria itu menjilat pipi Kirana yang basah karena air mata. "Memohonlah dengan baik, Kirana. Dengan begitu, mungkin aku akan memperlakukanmu dengan sedikit lembut." Ardan berdesis tepat di telinga istrinya."Bersiaplah untuk nanti malam. Bagas akan menjemputmu untuk pergi ke pesta Mama."Perintah Ardan tadi menuntut Kirana untuk mulai bersiap, tapi perlakuan pria itu sejak semalam membuat Kirana duduk termenung di kasur. Setelah melihat ke arah jam, wanita itu lalu bangkit dan segera bersiap-siap untuk menghadiri pesta ulang tahun ibu mertuanya yang akan dimulai dalam tiga jam.Ternyata, sudah selama itu ia tertidur.Bahkan ia belum makan siang.Dengan sendu Kirana berjalan ke arah dapur dan membuat sandwich sederhana untuk mengganjal perutnya yang mulai berteriak. Tubuhnya terasa remuk, tapi ia harus menyelesaikan hari ini agar rencananya bisa berjalan lancar.Setelah matahari terbenam, Kirana sudah bersiap dengan satin dress berwarna hitam dan kotak hadiah di tangannya. Kali ini, ia menggunakan uang bulanan Ardan yang hampir tak pernah ia sentuh, untuk memberikan kado bagi ibu mertuanya itu.Saat posisi mobil hampir berhenti di bangunan megah tempat pesta dilaksanakan, Kirana berusah
"Berhenti di sini saja, Pak" pinta Kirana pada si sopir taksi. Setelah memberi supir itu beberapa lembar uang dan tips, karena perjalanan yang begitu jauh, Kirana segera turun di persimpangan jalan dan berjalan kaki untuk menuju ke sebuah rumah kecil yang tampak rapi di luar.Rumah itu merupakan peninggalan dari kakeknya untuknya. Bahkan kepemilikannya sudah atas nama Kirana sejak wanita itu berusia 16 tahun.Beberapa bulan belakangan, Kirana kembali mempekerjakan orang untuk merapikan rumah ini, karena dia memang berniat untuk tinggal di sini setelah bercerai dari Ardan.Namun, ternyata bukannya bercerai, dia malah kabur tanpa ada perceraian sama sekali.Kirana menatap rumah itu dengan rindu. Bentuknya sama sekali tidak berubah, selain beberapa pohon yang dulu ia tanam sudah mulai tumbuh semakin rimbun.Dulu kakeknya sering kali mengajaknya kabur ke sini kalau Mama dan Papanya melakukan sesuatu yang membuat perasaannya terluka.Biasanya mereka akan berjalan-jalan melihat perkebunan,
Keesokan harinya, Kirana yang baru saja selesai mandi berdiri di depan cermin dengan raut wajah datar. Keadaannya sudah jauh lebih baik, tapi beberapa tanda merah terlihat jelas di lehernya.Bekas percintaannya dengan Ardan."Menjijikkan." gumam Kirana yang kini berlalu untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain.Ia ingat kalau hari ini Bik Sumi, pengurus rumah ini, akan datang. Semalam Kirana sudah meminta wanita paruh baya itu untuk menetap di rumahnya."Bibi! Apa kabar?" ucap Kirana sebelum kemudian menghambur untuk memeluk Bik Sumi. Wanita paruh baya itu adalah bagian penting dari kenangannya bersama sang kakek saat berlibur dan menginap di rumah ini."Nona Kirana! Ah, sudah lama sekali. Bibi juga merindukan Nona! Sejak menikah, Nona tidak pernah datang lagi ke sini. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bik Sumi dengan tulus.Namun, bukannya menjawab, Kirana langsung menangis tergugu di pelukan Bik Sumi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, Kirana berpikir jika Bik Sumi
"Sebegitu inginnya kamu mencari perhatianku sampai rela melakukan segala cara, Kirana?!" Kirana menunduk dan tak sanggup melihat reaksi Ardan yang murka setelah menerima surat perceraian darinya.Alis tebal pria itu menukik dan wajah tampannya mengeras."Jawab aku!" Ardan mengeraskan suaranya lagi, hingga membuat Kirana menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran kotor dari kepalanya. "Aku serius, Mas. Ayo kita bercerai dan silakan lanjutkan hubunganmu dengan Zara. Setelah itu, aku akan pergi dan hidup sendiri." Kirana menatap wajah Ardan dalam-dalam untuk mencari setitik cinta baginya agar ia tak perlu melakukan keputusan ini. Namun, seperti biasa, hal itu sia-sia karena Ardan tidak mungkin mencintainya. Oleh karena itu, kali ini keputusannya sudah bulat. Ia ingin memutuskan hubungan yang sejak awal dipaksakan, dengan sebuah perceraian.Namun, reaksi Ardan begitu mengejutkan bagi Kirana. “Begitu menurutmu?”Bukannya mengambil bolpoin dan menandatangani kertas yang telah ia sia