"Pa, Ma, aku ingin bercerai dari Mas Ardan,"
Setelah digempur oleh Adan, masih dengan selangkangan yang nyeri Kirana mendatangi rumah keluarganya yang terletak satu jam perjalanan dari rumah. Ia sungguh berharap kalau ayah dan ibunya bisa membantu dia untuk bercerai dari Ardan sehingga dia bisa menjalani hidupnya sendiri yang bebas tanpa rasa sakit. "Jangan gila ya, kamu! Cerai apanya? Kamu lupa kalau Ardan dan keluarganya itu yang bantu kita?!" Tanya Bisma, sang ayah dengan menggebu-gebu. Kirana tertegun, “A-ayah?” "Jadi, kamu ke mari pagi-pagi buta begini hanya untuk mengatakan hal bodoh itu?!" Ibunya, Sinta, murka setengah mati. Ia berpikir, bagaimana bisa putrinya mempunyai pemikiran dangkal seperti itu? "Bukannya selama ini kakak sangat memuja suami kakak, ya? Lagipula Kak Ardan baik dan tampan. Bukannya bersyukur malah minta cerai." ujar Siska, adik Kirana, yang kini ikut menanggapi pembahasan panas di antara mereka. "Iya. Dasar tidak tahu diuntung. Pokoknya, tidak ada yang boleh bercerai. Pernikahanmu dan Ardan harus tetap berlangsung. Jangan mempermalukan keluarga kita dengan ide konyolmu itu. Apapun alasanmu, Papa tidak akan pernah membiarkan hal itu terjadi!" 'Mempermalukan? Papa berpikir aku hanya ingin mempermalukan keluarga?' Kirana semakin menunduk. Ia tak sanggup mendengar cacian kedua orang tuanya. Hanya karena harta, mereka tega mengabaikan putri kandungnya sendiri menderita. "T–tapi pah, Mas A—." "Cukup, Kirana. Jangan terlalu manja hanya karena sebuah pertengkaran kecil. Setiap pernikahan pasti ada ujiannya dan kamu harus melewati itu semua. Kami tau kalau kamu sedang mencari perhatian dari suamimu, tapi jangan keterlaluan seperti ini!" Bisma semakin memojokkannya sehingga membuat Kirana merasa kalau yang terjadi saat ini adalah kesalahannya seorang. "Mama akan hubungi Ardan dulu. Bisa kacau urusannya kalau dia marah dan tidak mau menggelontorkan dananya ke perusahaan kita lagi. Punya anak gak punya otak. Gak bisa mikir masa depan. Udah untung dikasih suami tajir, masih saja banyak tingkah." Sinta menggerutu tanpa henti, tanpa memikirkan perasaan Kirana. "Benar kata mamah. Jangan sampai Ardan murka dan memutuskan dananya untuk keluarga kita." "Denger tuh, kak. Memangnya kakak mau hidup miskin? Jadi orang kok egois banget. Nggak mikir apa dengan masa depan keluarga akan jadi kayak gimana?" Kirana sudah tak bisa mengatakan apapun lagi. Rasanya akan sia-sia meskipun ia menjelaskan sampai mulutnya berbusa. "Halo, Nak. Ardan? Ini mama. Maaf, tapi sebelumnya Mama ingin mengabarkan kalau Kirana sedang ada di sini. Iya, iya. Oh sudah dekat ternyata? Oke. Ya sudah kalau begitu mama tunggu kamu di sini, kita sarapan bersama." Sinta menghubungi Ardan dan memberitahu mengenai keberadaan Kirana dengan mudah. Padahal, Kirana sudah bersusah payah melarikan diri dari rumah suaminya tanpa membawa apa pun selain ponsel di tangannya. "Udah beres. Untung anak itu sudah di jalan ke sini buat jemput Kirana sambil sarapan bersama." kata Sinta. Mendengar itu, Bisma hanya menganggukkan kepala sebagai tanda mengerti dengan ucapan istrinya. Kirana meremas ujung bajunya saat merasakan perih di hati. Ia bingung ke mana harus pergi, sedangkan kedua orang tuanya pun tidak peduli. "Lain kali jangan melakukan hal ceroboh seperti ini. Buang jauh-jauh pemikiran bodoh itu." "Benar apa mamamu katakan. Lagi pula, ini wasiat mendiang kakekmu. Jika kamu memutuskan untuk bercerai dari Ardan, itu sama saja membuat keretakan dalam dua keluarga. Papa harap kamu mengerti dan berhentilah bersikap egois." Kirana benar-benar merasa hancur, merasa sendirian dan tidak punya tempat sandaran. Bagaimana bisa ia memiliki keluarga seperti ini? Setengah jam kemudian, seorang pria itu datang dengan setelan jas hitam yang pas melekat di tubuhnya. Membawa sekelebat aroma harum yang memasuki indera penciuman orang-orang yang ada di sana. Ardan. Kirana yang semula menundukkan kepala kini mendongak menatap wajah datar suaminya. Jantungnya berdetak kencang seraya membulatkan matanya sempurna. Wajah dingin yang dibalut dengan senyuman tipis itu kini terlihat menawan di mata Kirana. Kirana menggeleng dan berusaha menata tekadnya lagi, meski ia baru saja sadar kenapa dia bisa jatuh terlalu dalam pada pesona Ardan. "Pagi, Nak. Astaga, kamu sampai datang jauh-jauh datang ke sini untuk menjemput Kirana ya. Maafkan Kirana karena tidak meminta izin darimu. Harap maklum dengan sikapnya yang masih kekanak-kanakan." "Tidak apa-apa, Ma. Ini semua demi Kirana. Dia memang sempat mengatakan hal ini sebelumnya, tapi saya belum ada waktu. Mungkin Kirana sedang kesal dan akhirnya pulang sendiri." ujar Ardan. Kirana tersentak, saat pria itu justru merekayasa cerita yang tidak pernah ada. Ia terpaku, saat melihat tatapan Ardan. Tatapan yang terlihat lembut, tapi terasa dingin. "Kirana, kenapa kamu melamun? Suamimu sedang bicara di sini," ucap Mamanya hingga membuyarkan lamunan Kirana. Dengan terpaksa, ia mengangguk agar Ardan tidak mengatakan apapun lagi. Namun, tiba-tiba saja Kirana merasa sesak, penglihatannya semakin buram hingga akhirnya gelap seketika. Suara teriakan muncul dalam beberapa saat hingga ia tak mendengar apapun. Ia roboh tak sadarkan diri dalam sekejap. Saat ia sadar dan membuka matanya, suasana di sekitar menjadi sunyi. Ia telah kembali ke kamar mereka di rumah. "Sudah sadar?" Tiba-tiba saja pertanyaan muncul. Suaranya terdengar familiar. Ardan! “Sebaiknya, kamu jangan melakukan hal bodoh seperti ini lagi, Kirana. Di situasi ini, bukannya berat? Tidak akan ada orang yang mau memperdulikanmu. Bahkan keluargamu sendiri menyerahkan kamu kembali padaku.” kata Ardan. Pria itu duduk di sofa samping kasur sambil bertopang kaki dan bersedekap. Wajahnya terlihat datar dan aura dominan Ardan membuat Kirana menunduk. “Lihat, saat kau melarikan diri dari sini, justru keluargamu melemparmu kembali ke sisiku. Apa kau tau alasannya? Itu karena kau hanya alat tukar yang bisa menghasilkan uang untuk mereka. Mereka tau, kalau kau melarikan diri, maka mereka akan jatuh miskin." "Tidak! Itu tidak benar! Mereka.." Kirana terkejut saat Ardan berjalan mendekat dan berdiri di sampingnya. "Kenapa? Apa kau tidak mau menerima kenyataan bahwa kau hanya dijadikan alat tukar oleh keluargamu? Jangan bertingkah tidak tau diri dan berusaha untuk lari." Tanpa sadar, air mata Kirana mengalir membasahi pipinya. Apa yang dikatakan oleh Ardan memang benar. Ia hanya alat tukar untuk menghidupi keluarganya. Sejak dahulu, ia memang selalu bertanya-tanya. Kenapa semua yang buruk selalu terjadi padanya? Ia tidak pernah mendapat pendidikan yang layak hingga kuliah dan jarang makan dengan benar. Dia bahkan langsung dipaksa menikah saat usianya genap 20 tahun, dan sialnya, pernikahan itu dilakukan agar ayah dan ibunya mendapat suntikan dana lebih banyak. Saat itu kakeknya merasa sangat gembira saat mendengar usulan pernikahan itu dari anak laki-lakinya. Apalagi dengan alasan ‘mempererat hubungan persahabatan’. Oleh karenanya, dalam waktu tiga bulan, pernikahannya dan Ardan digelar dengan mewah dan pria itu harus putus dari kekasih yang sangat ia cintai, Zara. "Lepaskan aku, Ardan! Biarkan aku pergi." pinta Kirana sambil meringis, karena pipinya terasa panas. Namun, bukannya mengiyakan permintaan cerai dari Kirana, Ardan justru meraih leher Kirana dan melahap bibir mungil wanita itu dengan rakus. Tak lupa juga pria itu menjilat pipi Kirana yang basah karena air mata. "Memohonlah dengan baik, Kirana. Dengan begitu, mungkin aku akan memperlakukanmu dengan sedikit lembut." Ardan berdesis tepat di telinga istrinya."Bersiaplah untuk nanti malam. Bagas akan menjemputmu untuk pergi ke pesta Mama." Perintah Ardan tadi menuntut Kirana untuk mulai bersiap, tapi perlakuan pria itu sejak semalam membuat Kirana duduk termenung di kasur. Setelah melihat ke arah jam, wanita itu lalu bangkit dan segera bersiap-siap untuk menghadiri pesta ulang tahun ibu mertuanya yang akan dimulai dalam tiga jam. Ternyata, sudah selama itu ia tertidur. Bahkan ia belum makan siang. Dengan sendu Kirana berjalan ke arah dapur dan membuat sandwich sederhana untuk mengganjal perutnya yang mulai berteriak. Tubuhnya terasa remuk, tapi ia harus menyelesaikan hari ini agar rencananya bisa berjalan lancar. Setelah matahari terbenam, Kirana sudah bersiap dengan satin dress berwarna hitam dan kotak hadiah di tangannya. Kali ini, ia menggunakan uang bulanan Ardan yang hampir tak pernah ia sentuh, untuk memberikan kado bagi ibu mertuanya itu. Saat posisi mobil hampir berhenti di bangunan megah tempat pesta dilaksanakan, Kirana
"Berhenti di sini saja, Pak" pinta Kirana pada si sopir taksi. Setelah memberi supir itu beberapa lembar uang dan tips, karena perjalanan yang begitu jauh, Kirana segera turun di persimpangan jalan dan berjalan kaki untuk menuju ke sebuah rumah kecil yang tampak rapi di luar. Rumah itu merupakan peninggalan dari kakeknya untuknya. Bahkan kepemilikannya sudah atas nama Kirana sejak wanita itu berusia 16 tahun. Beberapa bulan belakangan, Kirana kembali mempekerjakan orang untuk merapikan rumah ini, karena dia memang berniat untuk tinggal di sini setelah bercerai dari Ardan. Namun, ternyata bukannya bercerai, dia malah kabur tanpa ada perceraian sama sekali. Kirana menatap rumah itu dengan rindu. Bentuknya sama sekali tidak berubah, selain beberapa pohon yang dulu ia tanam sudah mulai tumbuh semakin rimbun. Dulu kakeknya sering kali mengajaknya kabur ke sini kalau Mama dan Papanya melakukan sesuatu yang membuat perasaannya terluka. Biasanya mereka akan berjalan-jalan melihat perk
Keesokan harinya, Kirana yang baru saja selesai mandi berdiri di depan cermin dengan raut wajah datar. Keadaannya sudah jauh lebih baik, tapi beberapa tanda merah terlihat jelas di lehernya. Bekas percintaannya dengan Ardan. "Menjijikkan." gumam Kirana yang kini berlalu untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain. Ia ingat kalau hari ini Bik Sumi, pengurus rumah ini, akan datang. Semalam Kirana sudah meminta wanita paruh baya itu untuk menetap di rumahnya. "Bibi! Apa kabar?" ucap Kirana sebelum kemudian menghambur untuk memeluk Bik Sumi. Wanita paruh baya itu adalah bagian penting dari kenangannya bersama sang kakek saat berlibur dan menginap di rumah ini. "Nona Kirana! Ah, sudah lama sekali. Bibi juga merindukan Nona! Sejak menikah, Nona tidak pernah datang lagi ke sini. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bik Sumi dengan tulus. Namun, bukannya menjawab, Kirana langsung menangis tergugu di pelukan Bik Sumi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, Kirana berpikir jika
Ardan menyandarkan pinggangnya ke meja kerja yang kini sudah berantakan. Kedua alis pria itu menyatu dan matanya menatap tajam ke arah dua orang pria di depannya yang masing-masing berdiri sambil menunduk.Pria itu terlihat murka. Sebab, setelah dua minggu kepergian Kirana dari pesta, masih belum ada informasi yang bisa ia dapat tentang wanita itu. Bahkan jejak Kirana sama sekali tak bisa diketahui!"Apa sesulit itu untuk menemukan satu wanita?!" Suara Ardan menggema dengan lebih kencang dan kedua orang itu masih belum berani bersuara.Sebab, selama bekerja di bawah Ardan, baru kali ini mereka melihat pria itu marah besar dan terlihat sangat frustasi. Ditambah lagi dengan aura Ardan yang menekan dan membuat mereka susah bernapas.Namun, belum sempat ketegangan di antara mereka mereda, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari luar dan membuat para bawahan Ardan menghela napas lega."Masuk!" Titah Ardan."Pak, Nona Zara datang berkunjung dan meminta kesempatan untuk bertemu." Seoran
Satu hari berikutnya, Kirana ingin mulai terbiasa dan ingin mengakrabkan diri dengan para tetangga yang ada di sekitarnya.Kegiatannya semakin menyenangkan saat anak Bi Sumi, Denis, datang ke rumahnya untuk menemaninya. Kirana tak menyangka bahwa pria yang baru lulus SMA itu merupakan karyawan di pabrik milik ayah Barra. Pria yang Kirana temui beberapa waktu lalu.Hari ini Kirana sudah bersiap-siap sambil menenteng sebuah rantang berisi makanan untuk Denis. Dia merasa kasihan, karena anak itu harus mengantri di kantin yang masakannya diakui tidak enak."Apa Nona yakin mau mengantar makanan ini ke Denis? Padahal Bibi bisa memanggil Denis pulang untuk makan siang," ucap Bi Sumi tak enak hati."Tak apa, Bi. Lagi pula aku merasa jenuh di rumah terus. Ya sudah, kalau begitu aku pakai pergi dulu ya," ucap Kirana yang langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Bi Sumi, hingga membuat wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya.Dalam perjalanan menuju pabrik teh, Kirana terlihat sangat be
Ardan terus berjalan maju dan Kirana terus berjalan mundur hingga tanpa sadar, tubuh wanita itu sudah terpojok di pintu masuk. Dengan kesempatan itu, Ardan langsung mengunci pintunya."Ardan! Ba–bagaimana...""Kau penasaran dengan keberadaan ku di sini, atau penasaran bagaimana caranya aku bisa menemukanmu?"Ardan merapatkan tubuh mereka, hingga tak menyisakan jarak sedikit pun. Perlahan Ardan menjilat telinga istrinya, hingga wanita itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, merasa geli."Apa kau tau alasannya?" Tanya Ardan berbisik. Sedangkan Kirana masih diam dengan tubuh bergetar hebat, manakala pria itu mulai berpindah dari pinggang ke perut dan terus meraba tubuhnya yang lain."Sejauh apapun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Jadi, jangan harap ada lelaki lain yang bisa mendekatimu. Camkan itu baik-baik!""Bukankah ini yang kau harapkan? Menghancurkan keluargaku dan bebas dari pernikahan konyol ini?!"Entah dari mana Kirana mendapatkan keberanian untuk mengata
"Cukup," ucap Kirana terbata. Wanita itu terbatuk saat benda tumpul nan besar itu memenuhi rongga mulutnya. Namun, bukan Ardan namanya jika pria itu mau mendengarkan ucapan Kirana. Pria itu justru semakin menekan kepala Kirana dan menggerakkannya dengan lebih cepat."Tak ku sangka mulutmu bisa senikmat ini selain dipakai untuk berciuman, Kirana. Kamu memang berbakat," ucap Ardan sambil menikmati permainannya sendiri. Bahkan pria itu semakin menggila dan mengeluarkan cairan kental di mulut istrinya hingga wanita itu tersedak. Kirana ingin segera ke kamar mandi dan memuntahkannya, tapi Ardan segera menahannya agar tak pergi ke mana pun. "Mau ke mana? Telan itu! Aku tidak akan melepaskan mu, Kirana. Jadi cepat telan yang ada di mulutmu itu!"Dengan penuh keterpaksaan, Kirana mengikuti perintah Ardan sebelum kemudian terbaring lemas di kasur."Anak pintar. Seharusnya kau menurut seperti ini padaku, Kirana. Jadi aku tidak akan melakukan hal yang menjijikkan seperti sekarang. Apalagi kau
Setelah menyelesaikan permainannya, Ardan tak mengucapkan satu patah kata pun, dan justru kembali menyambar ponsel miliknya yang ada di atas nakas, untuk menghubungi seseorang.Sedangkan Kirana langsung menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Ia takut jika Ardan akan sembarangan menyentuhnya kembali. Kirana tahu jika suaminya saat ini sedang menghubungi seseorang."Bagas. Ya, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Cepat bawakan beberapa keperluanku ke sini. Akan ku kirim alamatnya padamu." Pria itu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak setelah menyampaikan keinginannya.Kirana yang mendengar hal itu langsung tersentak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Ardan. Apa maksud pria itu dengan meminta asistennya untuk membawakan keperluannya ke sini?"Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu pada Bagas?" Tanya Kirana sambil melototi Ardan dengan benci.Namun, Ardan hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh dan melirik Kirana sekilas lalu tersenyum misterius. Apa sebenarn
Ardan terhuyung ke belakang, tubuhnya terasa aneh. Apakah ia sakit? Ardan bingung karena selama ini ia jarang sakit, dan meskipun ia jatuh sakit, ia tidak akan merasa aneh seperti ini.Dengan buru-buru, Ardan menyiapkan makan malamnya dan juga Kirana. Mungkin ia kelelahan dan juga kurang makan.Sesampainya di dalam kamar, Ardan langsung meletakkan nampan berisi makanan dan kemudian membangunkan Kirana dari tidurnya."Kirana, makanlah. Aku sudah membawakannya ke sini. Ayo kita makan bersama," ucap Ardan sambil membantu Kirana untuk duduk.Kirana menguap dan meregangkan tubuhnya lantaran merasa pegal setelah tidur cukup lama. Namun, pandangannya langsung tertuju pada wajah suaminya yang terlihat aneh. Ardan terlihat pucat."Apa kau sakit?" Tanya Kirana penasaran. Sebenarnya ia merasa hal ini adalah karma untuk Ardan yang seorang maniak seks."Tidak, mungkin aku hanya kurang istirahat saja. Makan dan lanjut istirahat lagi. Apa kau mau mandi dulu?" Ardan bertanya dengan santai, tak sepert
"Jangan macam-macam! Bukankah sudah kubilang agar kau pergi dari sini bersama wanitamu?! Pergilah, aku juga tidak akan mempermasalahkannya," ucap Kirana terbata. Ia merasa gugup dan resah gelisah, ketika berhadapan dengan Ardan.Pria itu tersenyum lembut, tapi justru membuat ketakutan itu sendiri bagi Kirana. Tangan besar nan kokoh itu membelai lembut pipinya, seolah tak terusik dengan kalimat yang ia layangkan."Rupanya istriku sedang cemburu. Kau tidak perlu khawatir, aku tidak akan pergi ke manapun. Kau pasti sedang menguji ku, kan? Kau ingin aku tetap berada di sisimu kan? Kau mengatakan hal itu hanya untuk mencari perhatian dariku. Kirana, jangan menguji kesabaran ku, karena aku tidak bisa menahannya.""Eh, apa yang kau lakukan? Cepat turunkan aku!" Teriak Kirana sambil meronta dalam gendongan Ardan. Pria itu tiba-tiba saja membopongnya menuju kamar.Tak hanya itu, setelah mengunci pintu kamar, Ardan malah menarik Kirana ke dalam kamar mandi."Karena kau sudah keluar rumah tanpa
Ardan menoleh ke arah sumber suara dan langsung membulatkan matanya dengan sempurna, tatkala melihat seseorang yang masih berdiri di ambang pintu.Zara!Ardan bertanya-tanya mengenai keberadaan Zara yang ada di hadapannya. Bagaimana bisa wanita itu bisa tahu tempat ini? Begitulah kira-kira isi pikiran Ardan. Akan tetapi, Ardan langsung menetralkan suasana yang tiba-tiba menegang, agar Zara tidak ketakutan."Zara, ada apa kau ke sini? Bagaimana bisa kau tau tempat ini?" Tanya Ardan penasaran. Pria itu merasa sedikit cemas, takut Kirana datang dan melihat apa yang sedang terjadi.'Apa yang sedang aku pikirkan? Bukankah Kirana sudah tau mengenai hubungan kami? Jadi untuk apa aku merasa cemas. Ah, ini pasti gara-gara aku menumpang dan merasa bersalah saja,' batin Ardan yang kembali meyakinkan dirinya yang mulai aneh."Daripada menyambut ku, kau malah penasaran dengan keberadaan ku di sini? Apa yang kau lakukan hingga tak pernah menghubungiku lagi? Aku ke sini dengan susah payah untuk mene
Kini, Kirana sudah rapih mengenakan dress berwarna biru selutut dipadupadankan dengan make-up nya yang natural. Wanita itu sedang ada janji dengan seseorang di sebuah cafe yang tak jauh dari desanya. Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana, dan ia langsung memperhatikan seluruh penjuru cafe untuk menemukan temannya tersebut."Rana!" Teriak seseorang yang ada di meja pojok dekat jendela. Tentu saja Kirana langsung menoleh dan segera menghampiri orang tersebut. "Ah, maaf aku telat. Apa kau sudah menunggu lama, Barra?""Tidak, aku juga belum lama sampai. Silakan duduk dulu. Kita bahas masalahnya setelah makan, bagaimana menurutmu? Kebetulan sekali, sebentar lagi jam makan siang," ucap Barra dengan ragu dan terasa canggung."Hmm, oke." Kirana hanya mengangguk sebagai tanda persetujuan. Wanita itu melihat ada yang berbeda dengan pria yang ada di hadapannya."Apa ada masalah?" Tanya Kirana penasaran. Ia heran ketika Barra yang biasanya tersenyum hangat, kini hanya diam dan membuat suasa
Saat dalam perjalanan pulang, tak ada percakapan di antara mereka. Seharusnya Kirana merasa senang, tapi justru ada sesuatu hal yang mengganjal di hatinya.Bahkan pada saat sampai di rumah pun, pria itu masih bersikap acuh tak acuh. Ia tak berharap lebih, karena ini yang ia inginkan sejak awal. Ia ingin membatasi dirinya bersama Ardan, tapi apa ini? Kenapa hatinya merasakan firasat buruk."Setelah semua yang terjadi, kau mau tidur begitu saja?" Tiba-tiba saja Ardan membuyarkan lamunannya. Dan pertanyaan macam apa itu? Memang apa yang salah dengan kejadian hari ini? Justru dialah yang selalu membuatnya merasa muak. Kirana benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran suaminya."Memangnya ada apa lagi?" Tanya Kirana dengan wajah polosnya. Wanita itu benar-benar tak mengerti dengan apa yang Ardan maksud. Kirana merasa suaminya jauh lebih sulit ditebak dibandingkan dengan wanita."Apa kau sudah puas setelah bertemu bajingan itu?"Kirana melongo saat mendengar pernyataan Ardan. Ia sendi
"Tuan, perkenalkan ini putra saya, Barra. Dia baru pulang dari Amerika setelah ikut dengan ibunya," ucap tuan Anderson mencairkan suasana sambil memperkenalkan putranya.Pria paruh baya itu merasa heran, lantaran suasana berubah menjadi canggung tanpa sebab.Kirana pun tak kalah gelisah, takut sewaktu-waktu suaminya melakukan hal di luar batas. Apa lagi setelah melihat raut wajah Ardan yang tidak bisa ditebak."Saya mengerti, senang bertemu dengan anda," ucap Ardan sambil mengulurkan tangannya, dan segera dijabat oleh Barra.Sedangkan Kirana hanya diam, tak berani menatap wajah pria di hadapannya itu. Barra pun tak kalah diam seolah paham dengan batasan di antara mereka.Selama acara makan malam berlangsung, tak ada hal lain yang terjadi. Mereka menikmati makan malam mereka dengan khidmat hingga akhir."Ardan, aku ingin ke toilet sebentar," bisik Kirana pada suaminya, yang kini tengah membahas bisnis dengan tuan Anderson.Kirana celingukan mencari seseorang untuk mencari tahu letak to
Sesuai rencana, kini Kirana tengah bersiap untuk pergi bersama Ardan memenuhi undangan makan malam di kediaman keluarga Anderson.Dress merah maroon menjadi pilihannya saat ini, hingga kontras dengan kulitnya yang putih bersih. Rambutnya ia naikan ke atas dan memperlihatkan leher jenjangnya yang cantik."Apa kau sengaja berdandan seperti ini untuk menarik perhatian bajingan itu?" Tanya Ardan secara tiba-tiba. Pria itu muncul dari arah belakang dan memeluknya erat. Bahkan, Kirana dapat merasakan napas Ardan menerpa kulit lehernya."Aku tidak pernah berpikir hal semacam itu. Itu hanya pikiranmu saja," ungkap Kirana tak ingin menanggapi ucapan Ardan lebih banyak lagi."Lalu, apakah kau sedang menggodaku?"Kirana menghela nafasnya panjang. Ia lelah dengan prasangka Ardan yang selalu berpikiran buruk mengenai dirinya. Seolah apapun yang ia lakukan selalu salah di mata pria itu."Hentikan itu, bukankah kita harus segera pergi? Jadi, jangan merusak riasan ku," ucap Kirana sambil menghentikan
Mendengar ucapan Ardan, Kirana langsung memejamkan mata dan berpura-pura tidak mendengar apapun. Ia tahu jika Ardan tidak pernah main-main dengan ucapannya saat ini."Aku tau kau belum tidur. Bukankah tadi kau bilang, kalau kita bisa melanjutkannya setelah makan siang? Kirana, apa kau ingin aku layani sekarang?" Tanya pria itu tanpa tahu malu. Bulu kuduknya meremang saat Ardan meniup daun telinganya dengan lembut."Istirahatlah, karena nanti malam kita akan pergi untuk makan malam di kediaman keluarga Anderson." Sontak saja hal itu membuat Kirana terkejut hingga terpaksa membuka matanya.Keluarga Anderson? Bukankah itu keluarga Barra?"Benarkah?" Tanya Kirana terbata dan tanpa sadar berbalik menghadap ke arah Ardan. Pria itu langsung tersenyum menyeringai saat menciduk istrinya yang telah berbohong."Melihat reaksi mu, sepertinya kau mengenal baik keluarga itu. Apa kau benar-benar tertarik pada bajingan itu? Kirana, aku tak ingin mengatakan banyak hal. Namun, satu hal yang perlu kau i
Kirana tak menyangka jika Ardan mematuhi ucapannya. Pria itu langsung duduk manis sambil menunggu makanan dihidangkan."Makanan sudah siap. Ayo kita makan," ucap Kirana yang kini sudah siap untuk menyantap makanan tersebut.Akan tetapi, ia heran tatkala melihat Ardan yang masih bergeming di tempatnya. Suaminya hanya diam sambil menatap makanan yang ada di meja makan."Ada apa? Kau tak ingin makan?" Tanya Kirana penasaran. Apa Ardan tak ingin makan makanan yang sudah ia masak? Ah bener pasti begitu, karena selama ini, Ardan tak pernah sekalipun makan apa yang telah ia hidangkan."Kau belum melayani aku dan mendahulukan dirimu? Jika kau lupa, aku masih suamimu, Kirana." Ardan terlihat kesal dan itu membuat Kirana jadi semakin bingung. Kenapa Ardan begitu kesal hanya karena masalah sepele, yang bahkan sudah biasa bagi keduanya."Ah maaf. Aku tidak terbiasa dengan hal itu. Kau juga tau kan hubungan kita selama dua tahun terakhir ini? Nah, silahkan dimakan," ucap Kirana sambil meletakkan p