Ardan terus berjalan maju dan Kirana terus berjalan mundur hingga tanpa sadar, tubuh wanita itu sudah terpojok di pintu masuk. Dengan kesempatan itu, Ardan langsung mengunci pintunya."Ardan! Ba–bagaimana...""Kau penasaran dengan keberadaan ku di sini, atau penasaran bagaimana caranya aku bisa menemukanmu?"Ardan merapatkan tubuh mereka, hingga tak menyisakan jarak sedikit pun. Perlahan Ardan menjilat telinga istrinya, hingga wanita itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, merasa geli."Apa kau tau alasannya?" Tanya Ardan berbisik. Sedangkan Kirana masih diam dengan tubuh bergetar hebat, manakala pria itu mulai berpindah dari pinggang ke perut dan terus meraba tubuhnya yang lain."Sejauh apapun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Jadi, jangan harap ada lelaki lain yang bisa mendekatimu. Camkan itu baik-baik!""Bukankah ini yang kau harapkan? Menghancurkan keluargaku dan bebas dari pernikahan konyol ini?!"Entah dari mana Kirana mendapatkan keberanian untuk mengata
"Cukup," ucap Kirana terbata. Wanita itu terbatuk saat benda tumpul nan besar itu memenuhi rongga mulutnya. Namun, bukan Ardan namanya jika pria itu mau mendengarkan ucapan Kirana. Pria itu justru semakin menekan kepala Kirana dan menggerakkannya dengan lebih cepat."Tak ku sangka mulutmu bisa senikmat ini selain dipakai untuk berciuman, Kirana. Kamu memang berbakat," ucap Ardan sambil menikmati permainannya sendiri. Bahkan pria itu semakin menggila dan mengeluarkan cairan kental di mulut istrinya hingga wanita itu tersedak. Kirana ingin segera ke kamar mandi dan memuntahkannya, tapi Ardan segera menahannya agar tak pergi ke mana pun. "Mau ke mana? Telan itu! Aku tidak akan melepaskan mu, Kirana. Jadi cepat telan yang ada di mulutmu itu!"Dengan penuh keterpaksaan, Kirana mengikuti perintah Ardan sebelum kemudian terbaring lemas di kasur."Anak pintar. Seharusnya kau menurut seperti ini padaku, Kirana. Jadi aku tidak akan melakukan hal yang menjijikkan seperti sekarang. Apalagi kau
Setelah menyelesaikan permainannya, Ardan tak mengucapkan satu patah kata pun, dan justru kembali menyambar ponsel miliknya yang ada di atas nakas, untuk menghubungi seseorang.Sedangkan Kirana langsung menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Ia takut jika Ardan akan sembarangan menyentuhnya kembali. Kirana tahu jika suaminya saat ini sedang menghubungi seseorang."Bagas. Ya, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Cepat bawakan beberapa keperluanku ke sini. Akan ku kirim alamatnya padamu." Pria itu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak setelah menyampaikan keinginannya.Kirana yang mendengar hal itu langsung tersentak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Ardan. Apa maksud pria itu dengan meminta asistennya untuk membawakan keperluannya ke sini?"Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu pada Bagas?" Tanya Kirana sambil melototi Ardan dengan benci.Namun, Ardan hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh dan melirik Kirana sekilas lalu tersenyum misterius. Apa sebenarn
Kirana tak menjawab pertanyaan Ardan. Ia bingung dengan apa yang telah dikatakan oleh suaminya. Pria lain? Jangan konyol. Ia bahkan sudah tak percaya dengan orang lain setelah keluarga dan suaminya sendiri merendahkannya sedemikian rupa.Apa itu cinta?! "Apa yang kamu katakan? Jangan mencurigaiku yang tidak-tidak!" Kirana mengalihkan pandangannya dari wajah Ardan, dan melangkah kembali menuju ke atas ranjang dan kemudian merebahkan diri di atas sana."Jangan memancing keributan di sini, sebaiknya kamu segera pergi sebelum malam mulai larut dan mengundang pertanyaan banyak orang yang ada di sekitar sini!" sambung Kirana tanpa menoleh dan menatap wajah Ardan. Akan tetapi harapan untuk tidur dengan nyenyak dan tenang malam itu sepertinya tidak akan pernah benar-benar terjadi karena Ardan ikut merebahkan diri di samping tubuh Kirana.Sontak saja hal itu langsung membuat Kirana membuka matanya lebar dan menatap wajah laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu dengan tajam. Bahkan sak
Saat pagi menyingsing, Kirana mulai terusik lantaran beban berat yang dirasakan oleh tubuhnya. Wanita itu kesulitan untuk bergerak, bahkan untuk sekedar membalikkan tubuhnya.Ughh!'Apa ini? Tubuhku terasa berat. Apa aku sakit?' Kirana bertanya-tanya dalam hati. Namun, tiba-tiba saja ia terkejut, saat ternyata lehernya berbaring di atas sebuah tangan dan perutnya dililit oleh sebuah tangan kekar nan kokoh. Belum lagi, samar-samar Kirana bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya.Ardan!Ia baru sadar dengan kondisi Ardan yang menginap di rumahnya dan sekarang masih terlelap di belakang tubuhnya. Oleh karena itu, dengan hati-hati Kirana memindahkan lengan Ardan dari tubuhnya dan beranjak dari kasur. Namun, sebelum Kirana sempat melakukan itu, suara berat telah lebih dulu menegurnya."Mau ke mana?" Ardan bertanya tiba-tiba dengan suara khas bangun tidur. Sejak kapan pria itu bangun?"Ini sudah pagi. Jadi, tolong lepaskan aku!" jawab Kirana dengan kesal. Sebab, detik berikutnya,
Suasana di tempat itu semakin tak karuan tatkala Barra datang ke sana. Sebab, tatapan Ardan menjadi sangat sinis dan tajam, seolah sedang menguliti Barra hingga ke inti jiwanya.Suasana yang menegangkan itu membuat Kirana berdehem sebelum kemudian menyapa Barra dengan ramah.Sebab, semenjak kedatangannya, pria itu terus terdiam dan saling adu tatapan tajam dengan Ardan tanpa ada yang mengalah. "Barra! Apa yang membawamu datang ke sini?" Tanya Kirana untuk memecahkan keheningan di antara mereka.Mendengar itu, Barra mengalihkan pandangannya dari Ardan dan hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. “Aku hanya memastikan apa kamu baik-baik saja. Setelah…” Barra menggantung perkataannya sejenak. “Apa yang terjadi kemarin”.Mendengar itu, Kirana tersenyum canggung dan membalas perkataan Barra sambil melirik Ardan yang kini berdiri di sampingnya. “Aku tidak apa-apa, Barra. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Perkenalkan, ini Ardan. Dia baru datang kemarin.”Mendengar itu, Ardan tanpa sadar
"Memangnya siapa yang setuju untuk bercerai? Oh, atau mungkin kau tertarik dengan bajingan itu, hingga mendesakku untuk menceraikanmu?" Tanya Ardan dengan tatapan sinis. Dalam hati, Ardan penasaran dengan jawaban Kirana. Ia ingin tahu, apakah istrinya benar-benar tertarik atau tidak."Ardan, jaga bicaramu! Apa kau sudah lupa, bahwa orang yang paling tidak menginginkan pernikahan ini hanyalah kamu! Jadi jangan berbicara omong kosong dan menuduhku hal yang tidak-tidak. Aku tidak seperti kamu yang memasukkan orang ketiga dalam pernikahan kita!"Kirana tak habis pikir, kenapa suaminya justru menuduhnya yang tidak-tidak? Padahal pria itulah yang bermain api hingga Kirana terbakar hebat. "Jangan mengelak lagi, Kirana. Aku tahu bahwa pria itu menunjukkan ketertarikannya padamu. Jadi, aku yakin kalau ka—""Apa aku terlihat tertarik padanya? Tertarik pada Barra seperti kamu tertarik pada Zara?" tanya Kirana setelah menyela ucapan Ardan. Menatap pria itu dengan tatapan benci.Mendengar itu, A
Pada akhirnya, Kirana tetap mengikuti keinginan Ardan untuk berkeliling di desa tersebut. Ia baru ingat, jika suaminya tidak pernah main-main dengan apa yang dia katakan. Jika mengingat hal itu, Kirana jadi merinding sendiri. "Apa kau sudah lapar?" Tanya Ardan melunak, tapi tak mengurangi intimidasinya. Pria itu bertanya tapi seolah tak menerima sebuah penolakan. "Iya, apa kita mau pulang?" Kirana benar-benar merasa lelah akibat berjalan cukup jauh dan juga kurang tidur semalam. Namun, tiba-tiba saja pria itu membungkuk di hadapannya. Kirana terkejut dan tak mengerti dengan apa dilakukan oleh Ardan. "Ardan, apa yang kamu lakukan?" Kirana bertanya untuk memastikan bahwa Ardan benar-benar baik-baik saja. "Apa lagi? Ayo cepat naik. Kau berjalan lambat, jadi ini cara agar kita cepat sampai ke rumah." Alasan macam apa itu? Tapi meskipun demikian, Kirana tetap patuh dan naik ke atas punggung suaminya. Ia memeluk punggung lebar Ardan yang terasa begitu kokoh. Apakah punggung Ardan sud
Pada akhirnya, Kirana tetap mengikuti keinginan Ardan untuk berkeliling di desa tersebut. Ia baru ingat, jika suaminya tidak pernah main-main dengan apa yang dia katakan. Jika mengingat hal itu, Kirana jadi merinding sendiri. "Apa kau sudah lapar?" Tanya Ardan melunak, tapi tak mengurangi intimidasinya. Pria itu bertanya tapi seolah tak menerima sebuah penolakan. "Iya, apa kita mau pulang?" Kirana benar-benar merasa lelah akibat berjalan cukup jauh dan juga kurang tidur semalam. Namun, tiba-tiba saja pria itu membungkuk di hadapannya. Kirana terkejut dan tak mengerti dengan apa dilakukan oleh Ardan. "Ardan, apa yang kamu lakukan?" Kirana bertanya untuk memastikan bahwa Ardan benar-benar baik-baik saja. "Apa lagi? Ayo cepat naik. Kau berjalan lambat, jadi ini cara agar kita cepat sampai ke rumah." Alasan macam apa itu? Tapi meskipun demikian, Kirana tetap patuh dan naik ke atas punggung suaminya. Ia memeluk punggung lebar Ardan yang terasa begitu kokoh. Apakah punggung Ardan sud
"Memangnya siapa yang setuju untuk bercerai? Oh, atau mungkin kau tertarik dengan bajingan itu, hingga mendesakku untuk menceraikanmu?" Tanya Ardan dengan tatapan sinis. Dalam hati, Ardan penasaran dengan jawaban Kirana. Ia ingin tahu, apakah istrinya benar-benar tertarik atau tidak."Ardan, jaga bicaramu! Apa kau sudah lupa, bahwa orang yang paling tidak menginginkan pernikahan ini hanyalah kamu! Jadi jangan berbicara omong kosong dan menuduhku hal yang tidak-tidak. Aku tidak seperti kamu yang memasukkan orang ketiga dalam pernikahan kita!"Kirana tak habis pikir, kenapa suaminya justru menuduhnya yang tidak-tidak? Padahal pria itulah yang bermain api hingga Kirana terbakar hebat. "Jangan mengelak lagi, Kirana. Aku tahu bahwa pria itu menunjukkan ketertarikannya padamu. Jadi, aku yakin kalau ka—""Apa aku terlihat tertarik padanya? Tertarik pada Barra seperti kamu tertarik pada Zara?" tanya Kirana setelah menyela ucapan Ardan. Menatap pria itu dengan tatapan benci.Mendengar itu, A
Suasana di tempat itu semakin tak karuan tatkala Barra datang ke sana. Sebab, tatapan Ardan menjadi sangat sinis dan tajam, seolah sedang menguliti Barra hingga ke inti jiwanya.Suasana yang menegangkan itu membuat Kirana berdehem sebelum kemudian menyapa Barra dengan ramah.Sebab, semenjak kedatangannya, pria itu terus terdiam dan saling adu tatapan tajam dengan Ardan tanpa ada yang mengalah. "Barra! Apa yang membawamu datang ke sini?" Tanya Kirana untuk memecahkan keheningan di antara mereka.Mendengar itu, Barra mengalihkan pandangannya dari Ardan dan hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. “Aku hanya memastikan apa kamu baik-baik saja. Setelah…” Barra menggantung perkataannya sejenak. “Apa yang terjadi kemarin”.Mendengar itu, Kirana tersenyum canggung dan membalas perkataan Barra sambil melirik Ardan yang kini berdiri di sampingnya. “Aku tidak apa-apa, Barra. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Perkenalkan, ini Ardan. Dia baru datang kemarin.”Mendengar itu, Ardan tanpa sadar
Saat pagi menyingsing, Kirana mulai terusik lantaran beban berat yang dirasakan oleh tubuhnya. Wanita itu kesulitan untuk bergerak, bahkan untuk sekedar membalikkan tubuhnya.Ughh!'Apa ini? Tubuhku terasa berat. Apa aku sakit?' Kirana bertanya-tanya dalam hati. Namun, tiba-tiba saja ia terkejut, saat ternyata lehernya berbaring di atas sebuah tangan dan perutnya dililit oleh sebuah tangan kekar nan kokoh. Belum lagi, samar-samar Kirana bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya.Ardan!Ia baru sadar dengan kondisi Ardan yang menginap di rumahnya dan sekarang masih terlelap di belakang tubuhnya. Oleh karena itu, dengan hati-hati Kirana memindahkan lengan Ardan dari tubuhnya dan beranjak dari kasur. Namun, sebelum Kirana sempat melakukan itu, suara berat telah lebih dulu menegurnya."Mau ke mana?" Ardan bertanya tiba-tiba dengan suara khas bangun tidur. Sejak kapan pria itu bangun?"Ini sudah pagi. Jadi, tolong lepaskan aku!" jawab Kirana dengan kesal. Sebab, detik berikutnya,
Kirana tak menjawab pertanyaan Ardan. Ia bingung dengan apa yang telah dikatakan oleh suaminya. Pria lain? Jangan konyol. Ia bahkan sudah tak percaya dengan orang lain setelah keluarga dan suaminya sendiri merendahkannya sedemikian rupa.Apa itu cinta?! "Apa yang kamu katakan? Jangan mencurigaiku yang tidak-tidak!" Kirana mengalihkan pandangannya dari wajah Ardan, dan melangkah kembali menuju ke atas ranjang dan kemudian merebahkan diri di atas sana."Jangan memancing keributan di sini, sebaiknya kamu segera pergi sebelum malam mulai larut dan mengundang pertanyaan banyak orang yang ada di sekitar sini!" sambung Kirana tanpa menoleh dan menatap wajah Ardan. Akan tetapi harapan untuk tidur dengan nyenyak dan tenang malam itu sepertinya tidak akan pernah benar-benar terjadi karena Ardan ikut merebahkan diri di samping tubuh Kirana.Sontak saja hal itu langsung membuat Kirana membuka matanya lebar dan menatap wajah laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu dengan tajam. Bahkan sak
Setelah menyelesaikan permainannya, Ardan tak mengucapkan satu patah kata pun, dan justru kembali menyambar ponsel miliknya yang ada di atas nakas, untuk menghubungi seseorang.Sedangkan Kirana langsung menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Ia takut jika Ardan akan sembarangan menyentuhnya kembali. Kirana tahu jika suaminya saat ini sedang menghubungi seseorang."Bagas. Ya, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Cepat bawakan beberapa keperluanku ke sini. Akan ku kirim alamatnya padamu." Pria itu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak setelah menyampaikan keinginannya.Kirana yang mendengar hal itu langsung tersentak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Ardan. Apa maksud pria itu dengan meminta asistennya untuk membawakan keperluannya ke sini?"Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu pada Bagas?" Tanya Kirana sambil melototi Ardan dengan benci.Namun, Ardan hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh dan melirik Kirana sekilas lalu tersenyum misterius. Apa sebenarn
"Cukup," ucap Kirana terbata. Wanita itu terbatuk saat benda tumpul nan besar itu memenuhi rongga mulutnya. Namun, bukan Ardan namanya jika pria itu mau mendengarkan ucapan Kirana. Pria itu justru semakin menekan kepala Kirana dan menggerakkannya dengan lebih cepat."Tak ku sangka mulutmu bisa senikmat ini selain dipakai untuk berciuman, Kirana. Kamu memang berbakat," ucap Ardan sambil menikmati permainannya sendiri. Bahkan pria itu semakin menggila dan mengeluarkan cairan kental di mulut istrinya hingga wanita itu tersedak. Kirana ingin segera ke kamar mandi dan memuntahkannya, tapi Ardan segera menahannya agar tak pergi ke mana pun. "Mau ke mana? Telan itu! Aku tidak akan melepaskan mu, Kirana. Jadi cepat telan yang ada di mulutmu itu!"Dengan penuh keterpaksaan, Kirana mengikuti perintah Ardan sebelum kemudian terbaring lemas di kasur."Anak pintar. Seharusnya kau menurut seperti ini padaku, Kirana. Jadi aku tidak akan melakukan hal yang menjijikkan seperti sekarang. Apalagi kau
Ardan terus berjalan maju dan Kirana terus berjalan mundur hingga tanpa sadar, tubuh wanita itu sudah terpojok di pintu masuk. Dengan kesempatan itu, Ardan langsung mengunci pintunya."Ardan! Ba–bagaimana...""Kau penasaran dengan keberadaan ku di sini, atau penasaran bagaimana caranya aku bisa menemukanmu?"Ardan merapatkan tubuh mereka, hingga tak menyisakan jarak sedikit pun. Perlahan Ardan menjilat telinga istrinya, hingga wanita itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, merasa geli."Apa kau tau alasannya?" Tanya Ardan berbisik. Sedangkan Kirana masih diam dengan tubuh bergetar hebat, manakala pria itu mulai berpindah dari pinggang ke perut dan terus meraba tubuhnya yang lain."Sejauh apapun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Jadi, jangan harap ada lelaki lain yang bisa mendekatimu. Camkan itu baik-baik!""Bukankah ini yang kau harapkan? Menghancurkan keluargaku dan bebas dari pernikahan konyol ini?!"Entah dari mana Kirana mendapatkan keberanian untuk mengata
Satu hari berikutnya, Kirana ingin mulai terbiasa dan ingin mengakrabkan diri dengan para tetangga yang ada di sekitarnya.Kegiatannya semakin menyenangkan saat anak Bi Sumi, Denis, datang ke rumahnya untuk menemaninya. Kirana tak menyangka bahwa pria yang baru lulus SMA itu merupakan karyawan di pabrik milik ayah Barra. Pria yang Kirana temui beberapa waktu lalu.Hari ini Kirana sudah bersiap-siap sambil menenteng sebuah rantang berisi makanan untuk Denis. Dia merasa kasihan, karena anak itu harus mengantri di kantin yang masakannya diakui tidak enak."Apa Nona yakin mau mengantar makanan ini ke Denis? Padahal Bibi bisa memanggil Denis pulang untuk makan siang," ucap Bi Sumi tak enak hati."Tak apa, Bi. Lagi pula aku merasa jenuh di rumah terus. Ya sudah, kalau begitu aku pakai pergi dulu ya," ucap Kirana yang langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Bi Sumi, hingga membuat wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya.Dalam perjalanan menuju pabrik teh, Kirana terlihat sangat be