"Berhenti di sini saja, Pak" pinta Kirana pada si sopir taksi.
Setelah memberi supir itu beberapa lembar uang dan tips, karena perjalanan yang begitu jauh, Kirana segera turun di persimpangan jalan dan berjalan kaki untuk menuju ke sebuah rumah kecil yang tampak rapi di luar. Rumah itu merupakan peninggalan dari kakeknya untuknya. Bahkan kepemilikannya sudah atas nama Kirana sejak wanita itu berusia 16 tahun. Beberapa bulan belakangan, Kirana kembali mempekerjakan orang untuk merapikan rumah ini, karena dia memang berniat untuk tinggal di sini setelah bercerai dari Ardan. Namun, ternyata bukannya bercerai, dia malah kabur tanpa ada perceraian sama sekali. Kirana menatap rumah itu dengan rindu. Bentuknya sama sekali tidak berubah, selain beberapa pohon yang dulu ia tanam sudah mulai tumbuh semakin rimbun. Dulu kakeknya sering kali mengajaknya kabur ke sini kalau Mama dan Papanya melakukan sesuatu yang membuat perasaannya terluka. Biasanya mereka akan berjalan-jalan melihat perkebunan, atau memancing di sungai yang tak jauh dari rumah. Kemudian, mereka akan membakar ikan yang mereka tangkap menggunakan api unggun. Ingatan itu membuat Kirana merasakan matanya berembun. Kini ia pasti telah mengecewakan kakeknya sangat dalam dengan kabur dari pernikahannya dengan Ardan. Kirana menghela napasnya panjang sembari meredakan rasa sesak di hatinya. Walaupun fisiknya bisa bertahan, tapi hatinya benar-benar sudah lelah dan tidak ingin berhubungan dengan keluarga Wijaya ataupun keluarganya lagi. Kirana lalu membuka pintu rumah itu dengan perlahan. Indera penglihatannya semakin tajam lantaran pencahayaan yang kurang. "Syukurlah, masih ada jaringan internet. Jadi aku bisa mengakses ponsel baruku." Kirana lalu berjalan menuju ke kamar dan mengeluarkan semua amunisi yang sudah ia persiapkan. Ponsel baru, kartu baru, hingga semua berkas-berkas tersusun rapi di laci meja kamarnya. Semua itu sudah ia seludupkan sejak seminggu lalu. Ternyata rencananya berhasil. Kirana tersenyum tipis, kemudian mulai mengganti gaunnya dengan pakaian yang lebih santai. Sedangkan di sisi lain, Ardan tengah murka mencari keberadaan sang istri. Bahkan Bagas tak luput dari kemarahan bosnya. "Apa dia sudah bisa dihubungi?" Tanya Ardan tak sabaran. Pria itu sudah berkali-kali mencoba untuk menghubungi Kirana, tapi hasilnya tetap sama. Bagas yang mendengar pertanyaan dari sang bos tersentak kaget, bercampur rasa takut yang menyelimuti dirinya. Baru kali ini ia merasa tertekan selama bekerja di bawah naungan Ardan Wijaya. Dengan cepat ia mengecek semua hal yang berkaitan dengan istri bosnya tersebut. Hingga akhirnya ia menemukan sebuah titik terang, yang bisa menyelamatkan dirinya dari amarah yang tak terbendung milik Ardan. "Pak, GPS di ponsel Nyonya sudah aktif dan kini keberadaannya sudah bisa dilacak." Bagas tergopoh, berlari untuk menunjukkan temuannya saat ini pada sang bos. Ardan yang mendengar hal itu langsung bangkit dari duduknya. "Apa yang kau tunggu? Cepat cari wanita itu!" Tanpa menunggu lebih lama lagi, Bagas pun membawa Ardan ke tempat lokasi di mana ponsel Kirana terlacak. Namun, sesampainya di lokasi, Ardan hanya bisa mengerutkan kening dengan kesal. Sebab, lokasi yang ditunjukkan adalah di sebuah taman kota yang kosong. Tidak ada siapa pun di sana. "Bagas, sebaiknya kamu berhenti bermain-main!" "Saya yakin lokasi ponsel Nyonya ada di sekitar sini, Pak. Sebab titik koordinatnya menunjukkan demikian. "Cepat cari wanita itu sampai dapat dan jangan biarkan dia pergi!" 'Kirana, kamu ini benar-benar. Sebegininya kamu menginginkan perhatianku.” gumam Ardan dengan geram. "Pak! Saya menemukan ponsel Nyonya!" Pekik Bagas menghampiri Ardan. Pria itu berlari sambil menunjukan ponsel tersebut. Secepat kilat, Ardan meraih ponsel Kirana dari tangan Bagas. "Sial! Berani-beraninya dia mempermainkanku! Bagas, cabut semua fasilitas untuk keluarganya sekarang juga, termasuk uang saham di perusahaan ayahnya. Aku ingin melihat dia keluar dari lubang persembunyian dan memohon padaku!” Perkataan Ardan membuat Bagas terdiam. Lalu, dengan hormat ia menganggguk dan kembali masuk ke dalam mobil. Kini Bagas berpikir kalau riwayat Kirana sudah tamat, karena dia tahu kalau bosnya itu sama sekali tidak pernah main-main dengan ucapannya. Sesampainya di kantor, Ardan langsung menerima telepon dari keluarga Kirana. Pria itu menyunggingkan seringai tipis dan matanya menatap tajam ke arah ponsel. "Lihatlah, Kirana. Apa keluargamu akan melepaskan kepergianmu begitu saja?" "Ardan, tolong jelaskan kenapa kamu menarik saham yang ada di perusahaan kami? Apa terjadi sesuatu?" tanya Bisma. Suara pria itu terdengar gusar. "Itu memang benar. Aku yang memerintahkan semua saham itu ditarik". "Kenapa?" Tanya Bisma terbata. "Kirana pergi dari rumah dan tidak tahu ke mana. Bukankah kalian yang menyuruhnya pergi?" ucap Ardan dengan santai. "Apa? Tidak, Ardan. Kami tak pernah menyuruhnya pergi. Tunggu sebentar ya, Papa akan mencari anak tidak tahu diuntung itu secepatnya dan akan mengirimnya kembali.” Setelah itu, Bisma tak lagi bicara dan langsung memutuskan sambungan telepon secara sepihak.Keesokan harinya, Kirana yang baru saja selesai mandi berdiri di depan cermin dengan raut wajah datar. Keadaannya sudah jauh lebih baik, tapi beberapa tanda merah terlihat jelas di lehernya.Bekas percintaannya dengan Ardan."Menjijikkan." gumam Kirana yang kini berlalu untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain.Ia ingat kalau hari ini Bik Sumi, pengurus rumah ini, akan datang. Semalam Kirana sudah meminta wanita paruh baya itu untuk menetap di rumahnya."Bibi! Apa kabar?" ucap Kirana sebelum kemudian menghambur untuk memeluk Bik Sumi. Wanita paruh baya itu adalah bagian penting dari kenangannya bersama sang kakek saat berlibur dan menginap di rumah ini."Nona Kirana! Ah, sudah lama sekali. Bibi juga merindukan Nona! Sejak menikah, Nona tidak pernah datang lagi ke sini. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bik Sumi dengan tulus.Namun, bukannya menjawab, Kirana langsung menangis tergugu di pelukan Bik Sumi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, Kirana berpikir jika Bik Sumi
"Sebegitu inginnya kamu mencari perhatianku sampai rela melakukan segala cara, Kirana?!" Kirana menunduk dan tak sanggup melihat reaksi Ardan yang murka setelah menerima surat perceraian darinya.Alis tebal pria itu menukik dan wajah tampannya mengeras."Jawab aku!" Ardan mengeraskan suaranya lagi, hingga membuat Kirana menggelengkan kepala untuk mengusir pikiran kotor dari kepalanya. "Aku serius, Mas. Ayo kita bercerai dan silakan lanjutkan hubunganmu dengan Zara. Setelah itu, aku akan pergi dan hidup sendiri." Kirana menatap wajah Ardan dalam-dalam untuk mencari setitik cinta baginya agar ia tak perlu melakukan keputusan ini. Namun, seperti biasa, hal itu sia-sia karena Ardan tidak mungkin mencintainya. Oleh karena itu, kali ini keputusannya sudah bulat. Ia ingin memutuskan hubungan yang sejak awal dipaksakan, dengan sebuah perceraian.Namun, reaksi Ardan begitu mengejutkan bagi Kirana. “Begitu menurutmu?”Bukannya mengambil bolpoin dan menandatangani kertas yang telah ia sia
"Pa, Ma, aku ingin bercerai dari Mas Ardan," Setelah digempur oleh Adan, masih dengan selangkangan yang nyeri Kirana mendatangi rumah keluarganya yang terletak satu jam perjalanan dari rumah. Ia sungguh berharap kalau ayah dan ibunya bisa membantu dia untuk bercerai dari Ardan sehingga dia bisa menjalani hidupnya sendiri yang bebas tanpa rasa sakit."Jangan gila ya, kamu! Cerai apanya? Kamu lupa kalau Ardan dan keluarganya itu yang bantu kita?!" Tanya Bisma, sang ayah dengan menggebu-gebu.Kirana tertegun, “A-ayah?”"Jadi, kamu ke mari pagi-pagi buta begini hanya untuk mengatakan hal bodoh itu?!" Ibunya, Sinta, murka setengah mati. Ia berpikir, bagaimana bisa putrinya mempunyai pemikiran dangkal seperti itu?"Bukannya selama ini kakak sangat memuja suami kakak, ya? Lagipula Kak Ardan baik dan tampan. Bukannya bersyukur malah minta cerai." ujar Siska, adik Kirana, yang kini ikut menanggapi pembahasan panas di antara mereka."Iya. Dasar tidak tahu diuntung. Pokoknya, tidak ada yang bo
"Bersiaplah untuk nanti malam. Bagas akan menjemputmu untuk pergi ke pesta Mama."Perintah Ardan tadi menuntut Kirana untuk mulai bersiap, tapi perlakuan pria itu sejak semalam membuat Kirana duduk termenung di kasur. Setelah melihat ke arah jam, wanita itu lalu bangkit dan segera bersiap-siap untuk menghadiri pesta ulang tahun ibu mertuanya yang akan dimulai dalam tiga jam.Ternyata, sudah selama itu ia tertidur.Bahkan ia belum makan siang.Dengan sendu Kirana berjalan ke arah dapur dan membuat sandwich sederhana untuk mengganjal perutnya yang mulai berteriak. Tubuhnya terasa remuk, tapi ia harus menyelesaikan hari ini agar rencananya bisa berjalan lancar.Setelah matahari terbenam, Kirana sudah bersiap dengan satin dress berwarna hitam dan kotak hadiah di tangannya. Kali ini, ia menggunakan uang bulanan Ardan yang hampir tak pernah ia sentuh, untuk memberikan kado bagi ibu mertuanya itu.Saat posisi mobil hampir berhenti di bangunan megah tempat pesta dilaksanakan, Kirana berusah