"Bersiaplah untuk nanti malam. Bagas akan menjemputmu untuk pergi ke pesta Mama."
Perintah Ardan tadi menuntut Kirana untuk mulai bersiap, tapi perlakuan pria itu sejak semalam membuat Kirana duduk termenung di kasur. Setelah melihat ke arah jam, wanita itu lalu bangkit dan segera bersiap-siap untuk menghadiri pesta ulang tahun ibu mertuanya yang akan dimulai dalam tiga jam. Ternyata, sudah selama itu ia tertidur. Bahkan ia belum makan siang. Dengan sendu Kirana berjalan ke arah dapur dan membuat sandwich sederhana untuk mengganjal perutnya yang mulai berteriak. Tubuhnya terasa remuk, tapi ia harus menyelesaikan hari ini agar rencananya bisa berjalan lancar. Setelah matahari terbenam, Kirana sudah bersiap dengan satin dress berwarna hitam dan kotak hadiah di tangannya. Kali ini, ia menggunakan uang bulanan Ardan yang hampir tak pernah ia sentuh, untuk memberikan kado bagi ibu mertuanya itu. Saat posisi mobil hampir berhenti di bangunan megah tempat pesta dilaksanakan, Kirana berusaha untuk menetralkan perasaannya yang tiba-tiba merasa gugup. Selama ini, ia memang bisa dibilang sangat jarang diundang ke acara-acara besar dari keluarga Ardan, karena sanak saudara pria itu memang membencinya. Terlebih sejak kematian Kakek Ardan yang kerap membelanya, perbuatan mereka semakin menjadi-jadi. “Terima kasih, Bagas.” ujar Kirana, tapi pria yang dipanggil Bagas itu tak menjawab. Kirana tak mau mengambil pusing, karena pria itu memang pengikut setia suaminya yang tak akan membantah satu perintah Ardan sekalipun. Saat kaki Kirana melangkah memasuki ballroom, beberapa pasang mata langsung menatapnya dengan tatapan sinis. "Wow, lihat lintah darat sudah datang." Suara nyaring adik ipar Ardan, Laura, berhasil membuat semua orang yang ada di sana menoleh ke arahnya. Kirana meremas gaunnya untuk menenangkan diri. Kemudian, dengan percaya diri dia mendekat ke arah ibu mertuanya yang kini melihat dia ekspresi muram, sepertinya wanita itu menyesal telah mengundang Kirana untuk datang.. “Selamat ulang tahun, Ma. Ini Kirana bawakan hadiah, semoga Mama suka.” Monika menatap Kirana dengan sinis, sebelum kemudian membuka kado Kirana langsung di tempat. "Astaga.. Bisa-bisanya kamu memberi Ibu Mertuanya barang murahan seperti ini!" kata Laura saat melihat kado dari Kirana. Monika menatap Kirana dengan sinis, sebelum kemudian menutup kado itu dengan kasar. “Setiap tahun selalu begitu. Buat malu!” ujar Monika hingga memancing beberapa tamu untuk menatap Kirana dengan tajam. Sementara yang lain sudah mulai berbisik-bisik. “Astaga, dia memberikan kado berupa gelang murah seperti itu? Aku bahkan memberi Tante Monika tas Louis Vuitton keluaran terbaru”. "Kak Kirana, suamiku saja masih mampu loh untuk membeli hadiah mahal buat Mama, tapi bisa-bisanya kamu memberi gelang palsu itu sebagai hadiah mertuamu.” "Benar apa yang dikatakan Laura, Arkan yang tidak jadi ahli waris aja masih sanggup beli hadiah mahal. Ini istri Ardan kok pelit banget sama ibu mertuanya. Jangan-jangan memang uang Ardan dimakan sendiri sama keluarganya." Lagi dan lagi, para tamu undangan langsung berasumsi dan seolah mendapat hidangan segar dalam pesta dengan menjadikan orang lain sebagai bahan cacian. “Itu–” belum sempat Kirana menjawab, sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinganya. "Apa yang kalian lakukan?" Dari pintu masuk, Ardan yang datang bersama dengan Zara membuat Kirana tertegun. Keduanya lalu berjalan beriringan hingga akhirnya sampai di depan mereka. “Ardan! Lihat apa yang istrimu lakukan! Bisa-bisanya dia memberi Mama hadiah gelang murahan seperti ini!” Ardan menatap gelang yang dimaksud ibunya, lalu menatap Kirana. “Bukankah aku sudah memberimu dana yang cukup untuk memberi kado?” Semua orang yang kembali mendapatkan gosip hangat langsung berkerumun lagi seolah mendapat hidangan segar. Dihadapkan pada situasi tersebut, Kirana hanya terdiam. Dia tak mau membuka mulutnya, karena ia tahu kalau tak akan ada yang akan berada di sisinya sama sekali”. “Kirana!” Ardan merasa geram, saat melihat istrinya yang terus menutup mulut. Namun, sebelum dia sempat berkata-kata lagi, Zara telah lebih dulu menahan lengannya. “Sudahlah, Mas, Tante. Sebaiknya tidak perlu diperpanjang. Ini Zara bawakan hadiah juga untuk Tante. Silakan dibuka, semoga Tante suka”. “Wah! Itu kan tas Gucci edisi limited edition! Katanya hanya ada dua lho di Asia!” seru seorang tamu dengan heboh saat Monika mengeluarkan sebuah tas berwarna putih. “Ah, calon menantuku ini. Benar-benar pengertian. Tidak seperti seseorang, dia datang membawa kado yang berkelas seperti ini untukku. Terima kasih ya, Tante menyukainya”. Monika terlihat berseri-seri. Melihat itu, Laura kembali menyeletuk, “Gelang sampah macam apa yang dibawa Istri Mas Ardan? Padahal Zara yang merupakan orang luar saja bisa membawa kado yang berharga”. Tak tahan lagi, Kirana segera menjawab. “Sepertinya mata kalian buta karena kebencian. Jadi, kalian tidak bisa melihat material hadiah yang sebenarnya. Itu adalah gelang giok, dan di bawahnya ada set anting serta kalung”. Perkataan Kirana membuat semua orang terkejut, apalagi setelah melihat Kirana yang berbicara dengan raut wajah datar. “Kamu! Sungguh tidak sopan! Bisa-bisanya kamu berucap seperti itu kepada kami?!” ujar Monika. “Ma, sebaiknya Mama pakai gelang dan kalung giok itu setiap hari, sehingga Mama bisa terus sehat dan tak terkena darah tinggi. Aku pamit” ujar Kirana lagi dan berhasil membuat ekspresi semua orang berubah semakin marah. “Ohya, Zara. Es krim itu memang enak untuk dijilat, tapi tidak dengan manusia. Jangan sampai lidahmu penuh dengan daki. Kotor sekali!”. Tanpa peduli apa pun lagi, Kirana segera melangkahkan kaki untuk pergi dari sana. Sungguh, ia tak peduli lagi pada keluarga Wijaya atau para konglomerat lain. Sebab, ia sudah lelah. Hidup satu tahun dalam penderitaan bukanlah pengalaman yang menyenangkan. Oleh karena itu, ia akan mengakhirinya malam ini juga. Namun, sebelum dia sempat keluar dari gedung, Ardan telah lebih dulu menarik lengannya dan memutar tubuh Kirana untuk menghadap ke arah wajah tampan pria itu. “Mau ke mana kamu, Kirana? Apa kamu sadar apa yang telah kamu perbuat itu keterlaluan?” Kirana menatap Ardan dengan lelah. “Biarkan aku pergi, Ardan. Aku lelah dan aku ingin pulang”. “Kamu tidak akan ke mana-mana. Cepat masuk dan bergabung dengan yang lain, Kirana. Jangan membuatku marah”. “Untuk apa, Ardan? Untuk dipermalukan seperti tadi? Kamu yang suamiku saja tidak pernah membelaku dan mengharapkan kehadiranku. Untuk apa aku berada di tengah-tengah kalian?” kata Kirana. “Tenang saja, aku tidak akan membuat kalian muak lagi.” lanjut Kirana sebelum menghempaskan tangannya dari Ardan. Wanita itu lalu berjalan pergi ke arah gerbang hotel, sebelum kemudian menghilang di dalam taksi. Meninggalkan Ardan yang merasakan sesuatu yang asing dalam dadanya. Tanpa Ardan sadar, Kirana sudah tak memanggilnya dengan sebutan ‘Mas’ lagi."Berhenti di sini saja, Pak" pinta Kirana pada si sopir taksi. Setelah memberi supir itu beberapa lembar uang dan tips, karena perjalanan yang begitu jauh, Kirana segera turun di persimpangan jalan dan berjalan kaki untuk menuju ke sebuah rumah kecil yang tampak rapi di luar. Rumah itu merupakan peninggalan dari kakeknya untuknya. Bahkan kepemilikannya sudah atas nama Kirana sejak wanita itu berusia 16 tahun. Beberapa bulan belakangan, Kirana kembali mempekerjakan orang untuk merapikan rumah ini, karena dia memang berniat untuk tinggal di sini setelah bercerai dari Ardan. Namun, ternyata bukannya bercerai, dia malah kabur tanpa ada perceraian sama sekali. Kirana menatap rumah itu dengan rindu. Bentuknya sama sekali tidak berubah, selain beberapa pohon yang dulu ia tanam sudah mulai tumbuh semakin rimbun. Dulu kakeknya sering kali mengajaknya kabur ke sini kalau Mama dan Papanya melakukan sesuatu yang membuat perasaannya terluka. Biasanya mereka akan berjalan-jalan melihat perk
Keesokan harinya, Kirana yang baru saja selesai mandi berdiri di depan cermin dengan raut wajah datar. Keadaannya sudah jauh lebih baik, tapi beberapa tanda merah terlihat jelas di lehernya. Bekas percintaannya dengan Ardan. "Menjijikkan." gumam Kirana yang kini berlalu untuk melanjutkan aktivitasnya yang lain. Ia ingat kalau hari ini Bik Sumi, pengurus rumah ini, akan datang. Semalam Kirana sudah meminta wanita paruh baya itu untuk menetap di rumahnya. "Bibi! Apa kabar?" ucap Kirana sebelum kemudian menghambur untuk memeluk Bik Sumi. Wanita paruh baya itu adalah bagian penting dari kenangannya bersama sang kakek saat berlibur dan menginap di rumah ini. "Nona Kirana! Ah, sudah lama sekali. Bibi juga merindukan Nona! Sejak menikah, Nona tidak pernah datang lagi ke sini. Apa kamu baik-baik saja?" Tanya Bik Sumi dengan tulus. Namun, bukannya menjawab, Kirana langsung menangis tergugu di pelukan Bik Sumi yang sudah ia anggap seperti ibunya sendiri. Bahkan, Kirana berpikir jika
Ardan menyandarkan pinggangnya ke meja kerja yang kini sudah berantakan. Kedua alis pria itu menyatu dan matanya menatap tajam ke arah dua orang pria di depannya yang masing-masing berdiri sambil menunduk.Pria itu terlihat murka. Sebab, setelah dua minggu kepergian Kirana dari pesta, masih belum ada informasi yang bisa ia dapat tentang wanita itu. Bahkan jejak Kirana sama sekali tak bisa diketahui!"Apa sesulit itu untuk menemukan satu wanita?!" Suara Ardan menggema dengan lebih kencang dan kedua orang itu masih belum berani bersuara.Sebab, selama bekerja di bawah Ardan, baru kali ini mereka melihat pria itu marah besar dan terlihat sangat frustasi. Ditambah lagi dengan aura Ardan yang menekan dan membuat mereka susah bernapas.Namun, belum sempat ketegangan di antara mereka mereda, tiba-tiba seseorang mengetuk pintu dari luar dan membuat para bawahan Ardan menghela napas lega."Masuk!" Titah Ardan."Pak, Nona Zara datang berkunjung dan meminta kesempatan untuk bertemu." Seoran
Satu hari berikutnya, Kirana ingin mulai terbiasa dan ingin mengakrabkan diri dengan para tetangga yang ada di sekitarnya.Kegiatannya semakin menyenangkan saat anak Bi Sumi, Denis, datang ke rumahnya untuk menemaninya. Kirana tak menyangka bahwa pria yang baru lulus SMA itu merupakan karyawan di pabrik milik ayah Barra. Pria yang Kirana temui beberapa waktu lalu.Hari ini Kirana sudah bersiap-siap sambil menenteng sebuah rantang berisi makanan untuk Denis. Dia merasa kasihan, karena anak itu harus mengantri di kantin yang masakannya diakui tidak enak."Apa Nona yakin mau mengantar makanan ini ke Denis? Padahal Bibi bisa memanggil Denis pulang untuk makan siang," ucap Bi Sumi tak enak hati."Tak apa, Bi. Lagi pula aku merasa jenuh di rumah terus. Ya sudah, kalau begitu aku pakai pergi dulu ya," ucap Kirana yang langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Bi Sumi, hingga membuat wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya.Dalam perjalanan menuju pabrik teh, Kirana terlihat sangat be
Ardan terus berjalan maju dan Kirana terus berjalan mundur hingga tanpa sadar, tubuh wanita itu sudah terpojok di pintu masuk. Dengan kesempatan itu, Ardan langsung mengunci pintunya."Ardan! Ba–bagaimana...""Kau penasaran dengan keberadaan ku di sini, atau penasaran bagaimana caranya aku bisa menemukanmu?"Ardan merapatkan tubuh mereka, hingga tak menyisakan jarak sedikit pun. Perlahan Ardan menjilat telinga istrinya, hingga wanita itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, merasa geli."Apa kau tau alasannya?" Tanya Ardan berbisik. Sedangkan Kirana masih diam dengan tubuh bergetar hebat, manakala pria itu mulai berpindah dari pinggang ke perut dan terus meraba tubuhnya yang lain."Sejauh apapun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Jadi, jangan harap ada lelaki lain yang bisa mendekatimu. Camkan itu baik-baik!""Bukankah ini yang kau harapkan? Menghancurkan keluargaku dan bebas dari pernikahan konyol ini?!"Entah dari mana Kirana mendapatkan keberanian untuk mengata
"Cukup," ucap Kirana terbata. Wanita itu terbatuk saat benda tumpul nan besar itu memenuhi rongga mulutnya. Namun, bukan Ardan namanya jika pria itu mau mendengarkan ucapan Kirana. Pria itu justru semakin menekan kepala Kirana dan menggerakkannya dengan lebih cepat."Tak ku sangka mulutmu bisa senikmat ini selain dipakai untuk berciuman, Kirana. Kamu memang berbakat," ucap Ardan sambil menikmati permainannya sendiri. Bahkan pria itu semakin menggila dan mengeluarkan cairan kental di mulut istrinya hingga wanita itu tersedak. Kirana ingin segera ke kamar mandi dan memuntahkannya, tapi Ardan segera menahannya agar tak pergi ke mana pun. "Mau ke mana? Telan itu! Aku tidak akan melepaskan mu, Kirana. Jadi cepat telan yang ada di mulutmu itu!"Dengan penuh keterpaksaan, Kirana mengikuti perintah Ardan sebelum kemudian terbaring lemas di kasur."Anak pintar. Seharusnya kau menurut seperti ini padaku, Kirana. Jadi aku tidak akan melakukan hal yang menjijikkan seperti sekarang. Apalagi kau
Setelah menyelesaikan permainannya, Ardan tak mengucapkan satu patah kata pun, dan justru kembali menyambar ponsel miliknya yang ada di atas nakas, untuk menghubungi seseorang.Sedangkan Kirana langsung menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Ia takut jika Ardan akan sembarangan menyentuhnya kembali. Kirana tahu jika suaminya saat ini sedang menghubungi seseorang."Bagas. Ya, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Cepat bawakan beberapa keperluanku ke sini. Akan ku kirim alamatnya padamu." Pria itu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak setelah menyampaikan keinginannya.Kirana yang mendengar hal itu langsung tersentak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Ardan. Apa maksud pria itu dengan meminta asistennya untuk membawakan keperluannya ke sini?"Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu pada Bagas?" Tanya Kirana sambil melototi Ardan dengan benci.Namun, Ardan hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh dan melirik Kirana sekilas lalu tersenyum misterius. Apa sebenarn
Kirana tak menjawab pertanyaan Ardan. Ia bingung dengan apa yang telah dikatakan oleh suaminya. Pria lain? Jangan konyol. Ia bahkan sudah tak percaya dengan orang lain setelah keluarga dan suaminya sendiri merendahkannya sedemikian rupa.Apa itu cinta?! "Apa yang kamu katakan? Jangan mencurigaiku yang tidak-tidak!" Kirana mengalihkan pandangannya dari wajah Ardan, dan melangkah kembali menuju ke atas ranjang dan kemudian merebahkan diri di atas sana."Jangan memancing keributan di sini, sebaiknya kamu segera pergi sebelum malam mulai larut dan mengundang pertanyaan banyak orang yang ada di sekitar sini!" sambung Kirana tanpa menoleh dan menatap wajah Ardan. Akan tetapi harapan untuk tidur dengan nyenyak dan tenang malam itu sepertinya tidak akan pernah benar-benar terjadi karena Ardan ikut merebahkan diri di samping tubuh Kirana.Sontak saja hal itu langsung membuat Kirana membuka matanya lebar dan menatap wajah laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu dengan tajam. Bahkan sak
Pada akhirnya, Kirana tetap mengikuti keinginan Ardan untuk berkeliling di desa tersebut. Ia baru ingat, jika suaminya tidak pernah main-main dengan apa yang dia katakan. Jika mengingat hal itu, Kirana jadi merinding sendiri. "Apa kau sudah lapar?" Tanya Ardan melunak, tapi tak mengurangi intimidasinya. Pria itu bertanya tapi seolah tak menerima sebuah penolakan. "Iya, apa kita mau pulang?" Kirana benar-benar merasa lelah akibat berjalan cukup jauh dan juga kurang tidur semalam. Namun, tiba-tiba saja pria itu membungkuk di hadapannya. Kirana terkejut dan tak mengerti dengan apa dilakukan oleh Ardan. "Ardan, apa yang kamu lakukan?" Kirana bertanya untuk memastikan bahwa Ardan benar-benar baik-baik saja. "Apa lagi? Ayo cepat naik. Kau berjalan lambat, jadi ini cara agar kita cepat sampai ke rumah." Alasan macam apa itu? Tapi meskipun demikian, Kirana tetap patuh dan naik ke atas punggung suaminya. Ia memeluk punggung lebar Ardan yang terasa begitu kokoh. Apakah punggung Ardan sud
"Memangnya siapa yang setuju untuk bercerai? Oh, atau mungkin kau tertarik dengan bajingan itu, hingga mendesakku untuk menceraikanmu?" Tanya Ardan dengan tatapan sinis. Dalam hati, Ardan penasaran dengan jawaban Kirana. Ia ingin tahu, apakah istrinya benar-benar tertarik atau tidak."Ardan, jaga bicaramu! Apa kau sudah lupa, bahwa orang yang paling tidak menginginkan pernikahan ini hanyalah kamu! Jadi jangan berbicara omong kosong dan menuduhku hal yang tidak-tidak. Aku tidak seperti kamu yang memasukkan orang ketiga dalam pernikahan kita!"Kirana tak habis pikir, kenapa suaminya justru menuduhnya yang tidak-tidak? Padahal pria itulah yang bermain api hingga Kirana terbakar hebat. "Jangan mengelak lagi, Kirana. Aku tahu bahwa pria itu menunjukkan ketertarikannya padamu. Jadi, aku yakin kalau ka—""Apa aku terlihat tertarik padanya? Tertarik pada Barra seperti kamu tertarik pada Zara?" tanya Kirana setelah menyela ucapan Ardan. Menatap pria itu dengan tatapan benci.Mendengar itu, A
Suasana di tempat itu semakin tak karuan tatkala Barra datang ke sana. Sebab, tatapan Ardan menjadi sangat sinis dan tajam, seolah sedang menguliti Barra hingga ke inti jiwanya.Suasana yang menegangkan itu membuat Kirana berdehem sebelum kemudian menyapa Barra dengan ramah.Sebab, semenjak kedatangannya, pria itu terus terdiam dan saling adu tatapan tajam dengan Ardan tanpa ada yang mengalah. "Barra! Apa yang membawamu datang ke sini?" Tanya Kirana untuk memecahkan keheningan di antara mereka.Mendengar itu, Barra mengalihkan pandangannya dari Ardan dan hanya menggeleng pelan sebagai jawaban. “Aku hanya memastikan apa kamu baik-baik saja. Setelah…” Barra menggantung perkataannya sejenak. “Apa yang terjadi kemarin”.Mendengar itu, Kirana tersenyum canggung dan membalas perkataan Barra sambil melirik Ardan yang kini berdiri di sampingnya. “Aku tidak apa-apa, Barra. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Perkenalkan, ini Ardan. Dia baru datang kemarin.”Mendengar itu, Ardan tanpa sadar
Saat pagi menyingsing, Kirana mulai terusik lantaran beban berat yang dirasakan oleh tubuhnya. Wanita itu kesulitan untuk bergerak, bahkan untuk sekedar membalikkan tubuhnya.Ughh!'Apa ini? Tubuhku terasa berat. Apa aku sakit?' Kirana bertanya-tanya dalam hati. Namun, tiba-tiba saja ia terkejut, saat ternyata lehernya berbaring di atas sebuah tangan dan perutnya dililit oleh sebuah tangan kekar nan kokoh. Belum lagi, samar-samar Kirana bisa merasakan napas hangat pria itu di lehernya.Ardan!Ia baru sadar dengan kondisi Ardan yang menginap di rumahnya dan sekarang masih terlelap di belakang tubuhnya. Oleh karena itu, dengan hati-hati Kirana memindahkan lengan Ardan dari tubuhnya dan beranjak dari kasur. Namun, sebelum Kirana sempat melakukan itu, suara berat telah lebih dulu menegurnya."Mau ke mana?" Ardan bertanya tiba-tiba dengan suara khas bangun tidur. Sejak kapan pria itu bangun?"Ini sudah pagi. Jadi, tolong lepaskan aku!" jawab Kirana dengan kesal. Sebab, detik berikutnya,
Kirana tak menjawab pertanyaan Ardan. Ia bingung dengan apa yang telah dikatakan oleh suaminya. Pria lain? Jangan konyol. Ia bahkan sudah tak percaya dengan orang lain setelah keluarga dan suaminya sendiri merendahkannya sedemikian rupa.Apa itu cinta?! "Apa yang kamu katakan? Jangan mencurigaiku yang tidak-tidak!" Kirana mengalihkan pandangannya dari wajah Ardan, dan melangkah kembali menuju ke atas ranjang dan kemudian merebahkan diri di atas sana."Jangan memancing keributan di sini, sebaiknya kamu segera pergi sebelum malam mulai larut dan mengundang pertanyaan banyak orang yang ada di sekitar sini!" sambung Kirana tanpa menoleh dan menatap wajah Ardan. Akan tetapi harapan untuk tidur dengan nyenyak dan tenang malam itu sepertinya tidak akan pernah benar-benar terjadi karena Ardan ikut merebahkan diri di samping tubuh Kirana.Sontak saja hal itu langsung membuat Kirana membuka matanya lebar dan menatap wajah laki-laki yang berstatus sebagai suaminya itu dengan tajam. Bahkan sak
Setelah menyelesaikan permainannya, Ardan tak mengucapkan satu patah kata pun, dan justru kembali menyambar ponsel miliknya yang ada di atas nakas, untuk menghubungi seseorang.Sedangkan Kirana langsung menyelimuti tubuhnya dengan rapat. Ia takut jika Ardan akan sembarangan menyentuhnya kembali. Kirana tahu jika suaminya saat ini sedang menghubungi seseorang."Bagas. Ya, aku baik-baik saja. Tidak perlu khawatir. Cepat bawakan beberapa keperluanku ke sini. Akan ku kirim alamatnya padamu." Pria itu segera memutuskan sambungan telepon secara sepihak setelah menyampaikan keinginannya.Kirana yang mendengar hal itu langsung tersentak kaget dan langsung membalikkan tubuhnya ke arah Ardan. Apa maksud pria itu dengan meminta asistennya untuk membawakan keperluannya ke sini?"Apa maksudmu dengan mengatakan hal itu pada Bagas?" Tanya Kirana sambil melototi Ardan dengan benci.Namun, Ardan hanya menanggapinya dengan acuh tak acuh dan melirik Kirana sekilas lalu tersenyum misterius. Apa sebenarn
"Cukup," ucap Kirana terbata. Wanita itu terbatuk saat benda tumpul nan besar itu memenuhi rongga mulutnya. Namun, bukan Ardan namanya jika pria itu mau mendengarkan ucapan Kirana. Pria itu justru semakin menekan kepala Kirana dan menggerakkannya dengan lebih cepat."Tak ku sangka mulutmu bisa senikmat ini selain dipakai untuk berciuman, Kirana. Kamu memang berbakat," ucap Ardan sambil menikmati permainannya sendiri. Bahkan pria itu semakin menggila dan mengeluarkan cairan kental di mulut istrinya hingga wanita itu tersedak. Kirana ingin segera ke kamar mandi dan memuntahkannya, tapi Ardan segera menahannya agar tak pergi ke mana pun. "Mau ke mana? Telan itu! Aku tidak akan melepaskan mu, Kirana. Jadi cepat telan yang ada di mulutmu itu!"Dengan penuh keterpaksaan, Kirana mengikuti perintah Ardan sebelum kemudian terbaring lemas di kasur."Anak pintar. Seharusnya kau menurut seperti ini padaku, Kirana. Jadi aku tidak akan melakukan hal yang menjijikkan seperti sekarang. Apalagi kau
Ardan terus berjalan maju dan Kirana terus berjalan mundur hingga tanpa sadar, tubuh wanita itu sudah terpojok di pintu masuk. Dengan kesempatan itu, Ardan langsung mengunci pintunya."Ardan! Ba–bagaimana...""Kau penasaran dengan keberadaan ku di sini, atau penasaran bagaimana caranya aku bisa menemukanmu?"Ardan merapatkan tubuh mereka, hingga tak menyisakan jarak sedikit pun. Perlahan Ardan menjilat telinga istrinya, hingga wanita itu menggelengkan kepalanya ke kanan dan kiri, merasa geli."Apa kau tau alasannya?" Tanya Ardan berbisik. Sedangkan Kirana masih diam dengan tubuh bergetar hebat, manakala pria itu mulai berpindah dari pinggang ke perut dan terus meraba tubuhnya yang lain."Sejauh apapun kau pergi, aku pasti akan mendapatkanmu kembali. Jadi, jangan harap ada lelaki lain yang bisa mendekatimu. Camkan itu baik-baik!""Bukankah ini yang kau harapkan? Menghancurkan keluargaku dan bebas dari pernikahan konyol ini?!"Entah dari mana Kirana mendapatkan keberanian untuk mengata
Satu hari berikutnya, Kirana ingin mulai terbiasa dan ingin mengakrabkan diri dengan para tetangga yang ada di sekitarnya.Kegiatannya semakin menyenangkan saat anak Bi Sumi, Denis, datang ke rumahnya untuk menemaninya. Kirana tak menyangka bahwa pria yang baru lulus SMA itu merupakan karyawan di pabrik milik ayah Barra. Pria yang Kirana temui beberapa waktu lalu.Hari ini Kirana sudah bersiap-siap sambil menenteng sebuah rantang berisi makanan untuk Denis. Dia merasa kasihan, karena anak itu harus mengantri di kantin yang masakannya diakui tidak enak."Apa Nona yakin mau mengantar makanan ini ke Denis? Padahal Bibi bisa memanggil Denis pulang untuk makan siang," ucap Bi Sumi tak enak hati."Tak apa, Bi. Lagi pula aku merasa jenuh di rumah terus. Ya sudah, kalau begitu aku pakai pergi dulu ya," ucap Kirana yang langsung pergi tanpa menunggu jawaban dari Bi Sumi, hingga membuat wanita paruh baya itu menggelengkan kepalanya.Dalam perjalanan menuju pabrik teh, Kirana terlihat sangat be