“Pokoknya kita nggak akan nikah sebelum Adek nikah duluan. Cowoknya harus yang bisa kita percaya buat jagain dan sayang sama Adek. Karena kalau kita nikah duluan, pasti nanti Adek bakal sembarangan milih cowok tanpa kita tahu gimana cowok itu, keluarganya, kerjaannya. Yah, intinya bibit, bebet, dan bobotnya.”
Raika mengerutkan keningnya ketika kakak sulungnya mengatakan hal tidak masuk akal tersebut di depan orang tua mereka. Dan kedua kakaknya yang lain malah mengangguk setuju tanpa ragu. Membuat kepala gadis itu tiba-tiba menjadi pening tanpa diminta. Bahkan Raika belum bisa berkata apa-apa untuk menyanggah ucapan kakaknya tersebut karena masih terkejut.
Bukan tanpa sebab kakaknya mengatakan hal itu. Semua ini karena bibi mereka yang tiba-tiba menawarkan Raika untuk dikenalkan pada anak laki-laki teman sang bibi. Ketiga kakak laki-lakinya tentu saja tidak setuju, karena menurut mereka Raika tidak boleh sembarangan dikenalkan pada laki-laki. Padahal bibi mereka bilang jika laki-laki tersebut anak keluaran pesantren. Sudah pasti lelaki tersebut soleh, agamanya baik, dan tidak mungkin macam-macam.
Tetapi dasar memang ketiganya ini protektif pada Raika, mereka tetap menyatakan ketidaketujuannya. Padahal Raika sendiri belum mengatakan apa pun dan ketiganya seperti tidak ingin mendengar pendapat adik bungsu mereka. Sungguh kakak-kakak yang sangat pengertian sekali.
Dan sekarang tanpa diskusi terlebih dahulu, mereka mengatakan hal konyol tentang tidak akan menikah sebelum dirinya. Ingin rasanya tertawa tepat di depan wajah ketiganya dan menoyor kening mereka. Apa mereka sadar bahwa yang mereka katakan sangat berbanding terbalik dengan kenyataannya? Bahkan Raika ragu akan mendapatkan lelaki yang tepat dalam waktu dekat ketika mengetahui semua lelaki itu akan diseleksi oleh ketiga kakaknya.
Bagaimana Raika akan mendapatkan lelaki yang sesuai kriteria kakak-kakaknya? Bahkan lelaki keluaran pesantren saja ditolak mentah-mentah oleh ketiganya. Apalagi laki-laki lain? Entah standar seperti apa yang mereka inginkan. Padahal Raika sendiri tidak punya kriteria atau standar untuk lelaki yang akan mendekatinya atau menjadi pacarnya nanti. Membayangkannya saja sudah sulit karena dirinya akan langsung teringat ketiga kakaknya ketika ada laki-laki yang mencoba mendekatinya.
Selama ini Raika sangat sulit mendapatkan seorang pacar karena ketiga kakaknya selalu ikut campur. Padahal untuk urusan yang lain ketiga kakaknya sangat terbuka. Namun, jika urusannya tentang lelaki, ketiganya akan sangat tegas dan tidak pernah mau mendengarkan pendapatnya. Meski terkadang kesal, dirinya mengerti jika ketiganya hanya terlalu menyayanginya dan tidak ingin adiknya disakiti oleh lelaki manapun.
“Dan kenapa adek kalian harus setuju dengan semua kata-kata kalian? Adek kalian itu bebas untuk menentukan siapapun pasangannya nanti,” komentar sang ayah seraya melipat kedua tangannya di dada.
“Karena itu semua untuk kebaikan Adek,” balas si kakak sulung.
“Kebaikan apanya? Selama ini tiap aku punya cowok selalu kalian jahatin,” tukas Raika setengah emosi.
“Bukan ngejahatin, Dek. Kita itu menjaga kamu dari laki-laki yang berpotensi berbuat kurang ajar sama kamu,” ucap kakak kedua Raika meluruskan sanggahan sang adik.
Wajah gadis itu berubah cemberut kala ucapannya diputarbalikan dengan mudah. Kini Raika kembali menatap ayahnya untuk mendapat pembelaan. Sementara ibunya lebih banyak diam. Perempuan paruh baya itu hanya mendengarkan perdebatan anak-anaknya.
“Ayah bisa aja setuju dengan ucapan kalian,” ujar sang ayah tenang.
Raika menatap tidak percaya pada ayahnya dan wajah ketiga kakaknya sekarang berubah cerah mendengar ucapan mereka mendapat sedikit angin segar dari ayah mereka.
Gadis itu ingin menyuarakan pendapatnya ketika sang ayah melanjutkan, “Tapi apa kalian harus sampe segininya? Merelakan kehidupan asmara kalian sendiri untuk Adek?”
Suara lelaki paruh baya itu terdengar sedikit sendu. Tentu ia ingin semua anaknya memiliki pasangan, bukan hanya anak perempuannya. Mendengar ucapan anak sulungnya membuat lelaki itu bangga sekaligus sedih. Bangga karena ketiganya begitu menyayangi adik mereka meski ketiganya terkadang berlebihan. Merasa sedih karena ketiganya menjadi tidak ada keinginan untuk mencari pasangan untuk diri mereka sendiri.
Anggukan mantap dari ketiganya menjadi jawaban atas pertanyaan sang ayah. Melihat bagaimana kegigihan ketiga kakaknya membuat Raika bagai ditindih dua batu besar di pundaknya. Namun perempuan itu juga tidak bisa mengecewakan ketiganya yang ia tahu sangat menyayangi dirinya.
Ayah menganggukkan kepalanya. “Oke. Ayah ngerti.” Mata lelaki itu menatap ketiga anak lelakinya bergantian seraya mengacungkan telunjuk kanannya. “Dengan satu syarat. Ketika adik kalian sudah menemukan pasangan pilihannya, kalian harus menerima keputusan tersebut. Dan ayah nggak mau dengar penolakan apapun dari kalian soal ini,” katanya dengan tegas.
Tanpa berpikir dua kali ketiganya serentak menganggukkan kepalanya.
“Adek?” panggil ayahnya pada Raika. “Gimana?”
Sang anak yang ditanya berpikir selama tiga detak jantung sebelum menganggukkan kepalanya. Meski ragu, tapi tidak ada salahnya untuk setuju Setidaknya ayah mereka memberi jalan tengah untuk ucapan janji konyol kakaknya.
Karena sudah seperti itu akhirnya semua-ayah, ibu, Raika- setuju (secara terpaksa) pada keputusan sang anak sulung dengan syarat yang diajukan ayah mereka. Wajah ketiganya yang terlihat senang berbanding terbalik dengan wajah Raika yang cemberut dan sinis pada ketiganya.
Kini Raika bingung harus mengambil langkah bagaimana supaya keinginan ketiga kakaknya bisa terwujud. Sekarang saja dirinya tidak sedang dekat dengan lelaki mana pun. Apalagi memiliki seorang pacar yang jelas jauh dari angan-angannya. Bisa saja Raika meminta dikenalkan dengan laki-laki pada temannya, tapi jelas tidak akan mudah jika ketiga kakaknya nanti mengetahuinya. Malah ucapan konyol ketiganya seperti menjadi beban untuk Raika sendiri meski Raika tidak mengucapkannya.
“Ya Tuhan, tolong dekatkanlah jodohku dan berilah ketiga kakakku hati yang terbuka untuk menerima lelaki pilihanku dan yang sudah Engkau ridhoi. Dan wahai jodohku, datangnya jangan lama-lama, ya.”
Raika memasuki ruang kerjanya ketika Hani, rekan satu ruangannya sedang menerima telepon. Gadis itu hanya menyapa Hani lewat tangan dan berderap menuju meja kerjanya. Raika duduk dan menyimpan ranselnya di bawah meja. Hani menutup telepon yang ada di ruangan mereka dan menatap Raika. “Ka, Bu Dina bakal telat datang katanya, soalnya kudu ke kantor pajak dulu. Terus, Bu Dina minta faktur minggu kemarin ke lo,” ujar Hani menyampaikan pesan Bu Dina. “Oke. Siap, Teh,” sahut Raika seraya mengacungkan jempolnya. “Oh iya, besok BM yang baru datang. Lo nggak lupa, kan?” “Nggak dong, Teh. Apalagi pas tahu kalau yang jadi BMnya cucu yang punya PDP,” jawab gadis itu. PDP atau PT. Perdana Djaya Persada adalah perusahaan distributor mesin untuk beberapa brand luar ternama. Fokusnya, mereka memperjualbelikan produk luar secara resmi seperti, mesin fotocopy, mesin spanduk, dan mesin cetak. Kantor pusatnya bergerak di Jakarta, sementara
Raika tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bermanja-manja pada ketiga kakaknya. Perempuan berumur 24 tahun itu hanya tahu jika ketiga kakaknya masih overprotektif padanya hingga saat ini. Ingatan Raika bukan kemanjaan dirinya pada ketiga kakaknya. Melainkan pada ingatan dimana dirinya menderita saat menjadi target fans-fans ketiganya ketika masih bersekolah.Masa-masa mengerikan untuknya karena waktunya habis untuk menghadapi semua fans ketiga kakaknya. Lalu, apa yang terjadi pada ketiga kakaknya? Tentu saja mereka tidak peduli sedikit pun. Namun, karena gadis itu sudah lelah, akhirnya Raika memarahi ketiga kakaknya. Dan entah bagaimana semua fans kakak-kakaknya sudah tidak mengganggunya lagi.Raika senang mendapat perlindungan dan kasih sayang berlimpah dari ketiga kakaknya. Namun, terkadang sikap mereka bisa sangat berlebihan. Salah satunya adalah dengan janji yang mereka mereka ikrarkan dua tahun lalu. Di mana mereka tidak akan menikah sebelum dirinya.Mes
Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri. Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy. Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla. Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati
“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.Kini Shinta mencoba menebak kon
Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya. Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan. “Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kaka
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager