Share

Bab 6. Si Protektif Rasya (2)

“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang.

Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan.

“Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya.

Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum.

“Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.”

“Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil.

“Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya.

Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan.

Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa teknisi ketika menuruni tangga. Tidak terlihat sosok Rudi dan Aidan di mana pun. Sepertinya mereka sudah pulang atau masih bekerja.

“Hati-hati, Ka,” ucap Hani saat mereka sampai di halaman parkir.

“Iya, Teh, makasih. Teh Hani sama Bu Dina juga hati-hati, ya.”

“Cepet baikan!” seru Hani saat langkah Raika mulai menjauh. Gadis itu menoleh dan hanya mengganggukan kepalanya.

“Aaahh... Males pulang,” gumamnya dengan suara lesu.

***

Baru setahun ini Raika menggunakan kendaraan sendiri. Selama dua tahun berturut-turut Raika selalu diantar-jemput oleh ketiga kakaknya secara bergantian. Mengingat itulah syarat utama ketika Raika meminta izin untuk bekerja. Namun, karena tidak mau merepotkan ketiganya lagi, Raika mengusulkan ide untuk pergi ke kantor sendiri dengan motornya.

Tetapi, Raika malah dinasihati oleh ketiganya. Terutama oleh Rasya. Lelaki itu termasuk orang yang cukup tegas dan tidak membiarkan sesuatu yang buruk terjadi pada Raika. Padahal jika Rasya sudah mengizinkan dan membiarkan Raika menjalankannya, tidak ada hal buruk terjadi. Tidak seperti yang ia pikirkan.

“Nggak. Kita masih sanggup untuk anter-jemput Adek kok.” Rasya menolak ide Raika mentah-mentah. “Di jalan itu banyak bahayanya, Dek. Kalau ada apa-apa di jalan gimana?”

Raika gemas dan kesal bersamaan. Tangannya dikepal erat karena menahan hasrat mencekik kakaknya terlintas dalam benaknya. Kenapa sulit sekali menjalani hidup sesuai keinginannya? Setiap Raika ingin melakukan hal mandiri, pasti selalu ada halangan dari sang kakak.

“Aku juga tahu, Kak. Tapi kan aku nggak mungkin buat diri aku celaka di jalan. Aku bakal berhati-hati,” bujuk Raika lagi dengan memberi pengertian pada Rasya.

“Adek mungkin bakal hati-hati. Tapi orang lain? Ada aja yang ugal-ugalan di jalan, nggak merhatiin pengguna jalan yang lain.”

Raika menghela napasnya yang terasa berat. Pikiran untuk mencekik leher kakaknya kembali terlintas. Kemarin Raika sudah mendapatkan izin dari Raihan dan Rama. Dua kakaknya itu sedikit lebih pengertian dibandingkan Rasya.

“Kasih aja, Sya,” ucap Raihan ikut membujuk. “Nggak ada salahnya juga kita ngizinin Adek.”

Rasya mendelik pada Raihan. Membuat lelaki berkulit sawo matang itu langsung membungkam mulutnya. Rama hanya diam karena tidak ingin mendapat tatapan maut dari sang kakak.

“Kamu itu jangan terlalu keras sama adek sendiri, Sya,” Bandi ikut bergabung karena keributan si sulung dan si bungsu terdengar sampai ke kamar. “Coba kamu kasih sedikit kebebasan untuk adek kamu. Dia juga manusia yang punya keinginan,” lanjut Bandi seraya menatap dalam Rasya.

“Aku nggak maksud gitu, tapi aku cuma nggak mau ada apa-apa sama Adek, Yah,” tukasnya mencari pembenaran.

Bandi menghela napasnya. Anak sulungnya ini cukup keras kepala jika menyangkut adiknya. Lelaki paruh baya itu tidak mengerti kenapa Rasya bisa begitu protektif pada Raika.

“Kalau boleh Ayah usul. Gimana kalau kamu kasih kesempatan Adek bawa motor sendiri selama satu bulan? Kalau dalam sebulan itu nggak ada apa-apa, kamu harus mengizinkan Adek bawa motor sendiri ke kantor.” Bandi mencoba tawar-menawar dengan Rasya.

Usul tersebut mendapat persetujuan dari ketiga saudaranya yang lain. Lelaki yang memiliki gaya rambut Slick-back itu memijat pelan kepalanya. Beberapa detik kemudian akhirnya anggukan kepala Rasya terlihat.

Wajah Raika berubah cerah dan menggumamkan terima kasih pada ayahnya. Kedua kakaknya yang lain mengacungkan ibu jari seraya tersenyum.

“Satu bulan. Kalau ada apa-apa sama Adek, nggak akan ada lagi bawa motor send-“ belum tergenapi kalimatnya, Raika sudah melompat ke arah Rasya dengan memeluk leher kakaknya. Hilang sudah hasrat ingin mencekik kakaknya.

“Makasih Kak, makasih. Aku bakal hati-hati di jalan, nggak ugal-ugalan, dan selamat sampe rumah,” ujar gadis itu dengan kegembiraan yang tidak disembunyikan.

Rasya membalas pelukan adiknya itu dengan lembut. “Pokoknya kalau ada apa-apa Adek harus langsung hubungin kita,” ujar Rasya yang dibalas anggukan adiknya.

***

Motor Raika memasuki kawasan komplek perumahannya. Komplek di kawasan dekat daerah industri ini sudah ada sejak 15 tahun yang lalu. Sekarang komplek tersebut sudah menjadi komplek perumahan yang cukup terkenal di kota Cimahi.

Raika tiba di depan rumahnya yang berpagar coklat. Gadis itu mengerutkan keningnya ketika memasuki halaman rumah. Ada dua motor dan satu mobil terparkir di sana. Bukan hal aneh sih, tapi biasanya ketiga kendaraan itu jarang ada di jam-jam sekarang. Berusaha tidak memikirkannya, Raika melangkahkan kaki menuju pintu rumahnya.

Dan betapa terkejutnya perempuan itu ketika membuka pintu rumah setelah mengucapkan salam. Raika terdiam bagai patung melihat pemandangan di depannya. Di mana ketiga kakaknya berdiri sejajar. Namun, bukan itu yang membuatnya terpaku hingga tak sanggup bicara. Melainkan pada apa yang dibawa oleh ketiga kakaknya.

“Apa-apaan mereka bertiga ini?” gumam Raika pelan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status