Halo semua pembaca Raika dan Aidan... Mohon maaf saya baru bisa update setelah 2 bulan purnama krn keadaan di rl cukup (sok) menyibukan. Semoga kalian para pembaca masih setia dan selalu dalam keadaan sehat, ya. Doakan Raika dan Aidan, ya. Terima Kasih~~
“Pokoknya kita nggak akan nikah sebelum Adek nikah duluan. Cowoknya harus yang bisa kita percaya buat jagain dan sayang sama Adek. Karena kalau kita nikah duluan, pasti nanti Adek bakal sembarangan milih cowok tanpa kita tahu gimana cowok itu, keluarganya, kerjaannya. Yah, intinya bibit, bebet, dan bobotnya.”Raika mengerutkan keningnya ketika kakak sulungnya mengatakan hal tidak masuk akal tersebut di depan orang tua mereka. Dan kedua kakaknya yang lain malah mengangguk setuju tanpa ragu. Membuat kepala gadis itu tiba-tiba menjadi pening tanpa diminta. Bahkan Raika belum bisa berkata apa-apa untuk menyanggah ucapan kakaknya tersebut karena masih terkejut.Bukan tanpa sebab kakaknya mengatakan hal itu. Semua ini karena bibi mereka yang tiba-tiba menawarkan Raika untuk dikenalkan pada anak laki-laki teman sang bibi. Ketiga kakak laki-lakinya tentu saja tidak setuju, karena menurut mereka Raika tidak boleh sembarangan dikenalkan pada laki-laki. Padahal bibi m
Raika memasuki ruang kerjanya ketika Hani, rekan satu ruangannya sedang menerima telepon. Gadis itu hanya menyapa Hani lewat tangan dan berderap menuju meja kerjanya. Raika duduk dan menyimpan ranselnya di bawah meja. Hani menutup telepon yang ada di ruangan mereka dan menatap Raika. “Ka, Bu Dina bakal telat datang katanya, soalnya kudu ke kantor pajak dulu. Terus, Bu Dina minta faktur minggu kemarin ke lo,” ujar Hani menyampaikan pesan Bu Dina. “Oke. Siap, Teh,” sahut Raika seraya mengacungkan jempolnya. “Oh iya, besok BM yang baru datang. Lo nggak lupa, kan?” “Nggak dong, Teh. Apalagi pas tahu kalau yang jadi BMnya cucu yang punya PDP,” jawab gadis itu. PDP atau PT. Perdana Djaya Persada adalah perusahaan distributor mesin untuk beberapa brand luar ternama. Fokusnya, mereka memperjualbelikan produk luar secara resmi seperti, mesin fotocopy, mesin spanduk, dan mesin cetak. Kantor pusatnya bergerak di Jakarta, sementara
Raika tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bermanja-manja pada ketiga kakaknya. Perempuan berumur 24 tahun itu hanya tahu jika ketiga kakaknya masih overprotektif padanya hingga saat ini. Ingatan Raika bukan kemanjaan dirinya pada ketiga kakaknya. Melainkan pada ingatan dimana dirinya menderita saat menjadi target fans-fans ketiganya ketika masih bersekolah.Masa-masa mengerikan untuknya karena waktunya habis untuk menghadapi semua fans ketiga kakaknya. Lalu, apa yang terjadi pada ketiga kakaknya? Tentu saja mereka tidak peduli sedikit pun. Namun, karena gadis itu sudah lelah, akhirnya Raika memarahi ketiga kakaknya. Dan entah bagaimana semua fans kakak-kakaknya sudah tidak mengganggunya lagi.Raika senang mendapat perlindungan dan kasih sayang berlimpah dari ketiga kakaknya. Namun, terkadang sikap mereka bisa sangat berlebihan. Salah satunya adalah dengan janji yang mereka mereka ikrarkan dua tahun lalu. Di mana mereka tidak akan menikah sebelum dirinya.Mes
Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri. Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy. Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla. Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati
“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.Kini Shinta mencoba menebak kon
Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya. Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan. “Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kaka
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas