Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri.
Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy.
Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla.
Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati oleh Aidan. Lalu ruang satunya berada tepat di seberang ruangan Rudi yang dipakai sebagai ruang rapat.
“Saya balik ke ruangan, ya,” ujar Rudi pada ketiganya.
Rudi pun meninggalkan ketiga wanita yang kini memasuki ruangannya. Ketiganya duduk di kursi masing-masing.
“Gimana Neng setelah ketemu Aidan?” tanya Bu Dina pada Raika sebelum melanjutkan pekerjaannya.
“Baik sih, Bu. Pas ngobrol juga lumayan seru, tapi kayak agak dingin, ya orangnya,” jawab Raika sedikit meringis karena takut salah bicara.
“Dari dulu dia mah punya kelakuan anyep gitu,” komentar Hani membuka kembali pekerjaannya. “Tapi lama-lama juga nggak, kok.”
“Iya, Neng. Tapi kadang kalau yang cakep gitu, sikapnya dingin teh malah bikin penasaran,” seloroh Bu Dina membuat Hani tertawa.
“Tapi tadi saya konyol banget nggak, sih? Nggak sopan makan kayak begitu di depan Pak Aidan.” Wajah Raika kembali murung mengingat kejadian di restoran tadi. “Belum lagi saya bengong pas salaman sama Pak Aidan.”
***
Raika menatap Hani dan Bu Dina bergantian. Mencoba mencari jawaban dari kedua rekan kerjanya itu.
Hani mengibaskan tangannya tidak peduli. “Santai aja, Aidan bukan orang yang ribet kok. Dan gue ngerti kenapa lo sampe bengong gitu. Cakep banget kan tuh orang?” tembak Hani membuat Raika sedikit malu, namun akhirnya gadis itu menganggukan kepalanya.
Bu Dina pun ikut tersenyum. “Nggak usah malu ngakuinnya, Neng. Ibu juga kalau lebih muda dikit mau aja sama Aidan,” guraunya mendapat tawa dari kedua bawahannya.
“Tapi malu, Bu. Baru ketemu udah ngasih kesan jelek,” tukas Raika.
“Udah tenang aja, lagian Aidan juga nggak kan mikirin hal begitu. Bukan orang yang bakal nyindir-nyindir karena cara makan lo,” tutur Hani mencoba menenangkan Raika. “Dan gue yakin Aidan juga bakal lupa sama terpesonanya lo tadi ama dia,” tambahnya.
“Iya, deh, kalau gitu. Aku coba lupain,” ucap Raika.
“Tapi tuh orang emang cakep banget, nggak sih? Dia kalau jadi artis juga bakal laku kalau kata gue,” ujar Hani yakin.
“Iya, Teh. Aku sampe mikir mukanya kayak Zayn Malik. Udah kayak ketemu artis aja aku tuh tadi,” puji Raika tidak mencoba menyembunyikannya.
“Hati-hati nanti jatuh cinta, Neng,” tutur Bu Dina menggoda Raika.
Raika segera mengibaskan kedua tangannya ke kiri dan ke kanan.
“Beda level, Bu,” balas Raika merendah. “Masa saya yang begini berani cinta-cintaan ke Pak Aidan.”
“Lah, kalau namanya jodoh siapa yang tahu, ya, Bu?” ujar Hani yang disetujui oleh Bu Dina.
“Aduh, Teh, asli deh kayaknya nggak mungkin banget terjadi,” sanggah Raika penuh keyakinan.
***
Sesampainya di rumah Raika langsung menuju kamarnya. Ingatannya kembali pada kejadian beberapa jam lalu seraya menghela napasnya. Gadis itu masih merasa malu dan kesal pada dirinya sendiri. Kenapa sikapnya bisa seceroboh itu pada orang yang baru ditemuinya. Apalagi dia adalah bos barunya di kantor.
“Hiks… Malu-maluin banget, sih,” gumam Raika seraya menutup wajahnya dengan kedua tangan.
“Kenapa, Dek?” Suara berat menginterupsi membuat Raika melepaskan tangannya.
“Oh, nggak apa-apa, Kak. Cuma agak cape aja tadi di Cimindi agak macet,” jawabnya bohong pada sang kakak sulung, Rasya.
“Kakak ambilin minum dulu, ya untuk Adek.” ujar lelaki 32 tahun itu seraya melangkah menuju dapur.
“Eh, nggak usah, Kak.” Raika setengah berdiri, namun Rasya mendudukannya lagi di ranjang.
“Udah Adek istirahat dulu, biar Kakak yang ambilin minum.”
Rasya pun meninggalkan Raika menuju dapur. Untuk beberapa saat Raika kembali teringat janji ketiga kakaknya ketika berkenalan dengan Aidan tadi. Lagi-lagi Raika menghela napas pelan.
Ketiga kakaknya memang begitu perhatian, melindungi, dan menyayanginya. Apapun keinginan Raika pasti dikabulkan, meski kadang ada beberapa hal yang sulit diwujudkan. Namun, jika hal tersebut berhubungan dengan laki-laki, tidak ada kata setuju dalam kamus ketiganya.
Bahkan pacar pertamanya saat kuliah saja harus merasakan bogeman mentah kakak keduanya karena mereka ketahuan berpegangan tangan. Yang menyebabkan Raika masuk daftar hitam dalam incaran laki-laki di kampusnya.
“Ini Dek, minumnya,” Rasya menyodorkan gelas berisi sirup jeruk dingin untuk adiknya.
Raika tersenyum kala menerimanya dan mengucapkan terima kasih.
“Seger bangettt!” ujar gadis itu girang. “Kakak tumben udah pulang?” tanya Raika.
“Tadi kakak dinas luar, terus langsung pulang,” jawab Rasya.
Raika hanya ber-oh ria dan kembali meneguk minumannya. Kali ini minuman itu dihabiskannya.
“Sini gelasnya Kakak bawa.” Raika menyerahkan gelas tersebut pada kakaknya. “Kakak ke bawah lagi, ya. Adek juga mandi gih, biar badannya seger lagi.”
Raika menganggukan kepalanya dan Rasya pun keluar dari kamar gadis itu.
Setelah Rasya pergi pikiran Raika kembali menerawang. Wajah tampan Aidan kembali memasuki pikirannya. Bagaimana Raika akan bekerja nanti jika wajah tampan itu akan selalu berseliweran setiap harinya? Apalagi Raika sudah memberi kesan memalukan pada Aidan. Mana mungkin lelaki itu akan suka pada-
“Eh, kok malah mikir ke situ sih?” tanyanya terkejut pada diri sendiri. Dengan cepat Raika menggelengkan kepalanya dan menepuk pelan pipinya. “Jangan mikir yang aneh-aneh. Inget, Ka! Dia itu atasan kamu, udah gitu cucu konglomerat lagi. Lagian cowok cakep gitu pasti udah punya pacar. Jangan ngehalu. Mending cari yang normal-normal aja.” Sesaat kemudian gadis itu menurunkan bahunya lemah.
“Jangankan mau dapetin cowok cakep dan kaya. Baru dapet kenalan aja udah kena ancaman duluan.”
Dan lagi-lagi Raika menghela napas.
***
“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.Kini Shinta mencoba menebak kon
Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya. Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan. “Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kaka
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager
Tiga minggu berlalu dan Aidan sudah mulai beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Pada minggu pertama, lelaki itu memulai pekerjaannya dengan berdiskusi bersama para teknisi dan bagian penjualan. Membahas kesulitan apa yang mereka hadapi dan keluhan apa yang sering diberikan oleh customer terkait mesin-mesin mereka.“Beberapa customer kadang nggak mau diganggu mesinnya pas mereka lagi beroperasi, Pak,” tutur salah satu teknisi, Yoga. “Padahal mereka nelepon karena mesinnya bermasalah.”Aidan terdiam sejenak. “Kamu udah cari solusi lain terkait hal ini?”“Udah, Dan. Saya ngasih solusi ke mereka untuk mematikan mesinnya hanya di saat itu aja. Tapi kata mereka produksi nggak boleh berhenti. Istilahnya buat mereka time is money,” Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa formal.“Apalagi di Cahaya Warna lebih aneh lagi, si bosnya minta kita cepet datang untuk benerin warna ya
Meski hampir satu bulan Aidan memimpin PDP Bandung, Raika masih belum terbiasa dengan keberadaan atasannya itu. Selain karena kejadian di restoran masih membuatnya malu. Raika pun belum bisa menatap Aidan secara langsung lebih dari lima detik. Wajah tampan lelaki itu sering membuat Raika lupa diri.Aidan memang bersikap seperti biasa, tidak pernah menggoda Raika apalagi bersikap genit. Aidan cenderung tenang dan kalem. Tapi, entah kenapa terkadang Raika merasa jika Aidan sering memperhatikannya. Apalagi jika lelaki itu sedang berada di ruangannya untuk membahas pekerjaan bersama Hani.Bukannya ge-er, tapi itulah yang dirasakannya selama hampir dua minggu ini. Terkadang terlintas di pikiran perempuan itu, apakah Aidan tahu sikapnya yang selalu menghindari lelaki itu? Hingga Aidan sengaja memperhatikannya dan sering mengajaknya bicara. Apa jangan-jangan itu sebagai sebuah penilaian Aidan pada pegawainya?Ah, harusnya Raika bersikap lebih baik lagi, bukan?
“Aku udah bilang ke Reza kalau toner bubuk itu sensi banget. Dia sih bilang iya, eh, tapi pas dia buka itu toner langsung nyembur. Kayak tepung yang ditiup. Kita semua kaget dong, dia apalagi. Itu muka si Reza udah kayak Smurf pokoknya. Biru bangeett.” Rudi sedang bercerita tentang teknisi baru yang terkena sial.Saat ini Aidan dan Rudi sedang berada di ruangan Bu Dina. Sekadar mengobrol disela bekerja.Semua yang ada di ruangan tertawa. Pasalnya, toner bubuk untuk mesin printing memang cukup rentan. Salah membuka, maka taburan bubuk tersebut akan bertebaran.“Kasian amat dia.” Hani memang merasa kasihan, namun tawanya tetap menggema.“ Asli. Itu tonernya kena baju dan celananya. Untung mukanya bisa dicuci.”“A Rudi parah, ih. Anak buahnya kena musibah malah ditawain,” omel Raika pada Rudi, padahal ia sendiri menutup mulutnya menahan tawa.A