“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.
“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.
“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”
“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.
“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.
Kini Shinta mencoba menebak kondisinya. Wanita paruh baya itu memejamkan mata karena kepalanya tiba-tiba pusing. Ini masih pagi dan ketiga anak laki-lakinya malah membuat ulah.
“Kalian,” panggil Shinta pada ketiga anaknya dengan tegas dan datar, ditambah spatula yang menunjuk ketiganya satu persatu. “Cepet turun ke bawah atau ibu seret kalian satu-satu.”
Tidak ada jawaban, namun gerakan mereka yang terburu-buru keluar dari kamar adiknya menjadi jawaban atas perintah ibu mereka. Tidak ada yang bisa melawan titah ibunda ratu di rumah. Meski nyatanya tetap saja mereka melakukan hal yang sama berkali-kali.
“Haduh, boga budak lalaki satilu-tilu teh euweuh nu bener—Haduh, punya tiga anak laki-laki nggak ada yang bener,” oceh Shinta setelah ketiganya keluar. “Kamu juga mending bangun Dek, nanti kesiangan.”
“Iya, Bu.”
Raika turun dari tempat tidurnya dan menyimpan kembali bantal dan guling yang tergeletak di lantai. Karena ketiga kakaknya mimpi indah paginya harus hilang. Padahal itu adalah mimpi pertamanya bertemu dengan idolanya.
“Nggak kebayang siapa nanti yang jadi jodoh mereka, Bu. Sekarang aja kelakuan mereka kayak bocah begini,” komentar Raika seraya membereskan tempat tidurnya.
“Bingung Dek, ibu juga. Perasaan mah ibu teh pas hamil nggak aneh-aneh,” respon Shinta dengan kening berkerut seraya mengingat-ngingat masa kehamilannya dulu. “Bukannya pada nyari pacar malah ganggu adeknya. Stress ibu lama-lama.” Raika memeluk bahu sang ibu dan mengusap lengannya tanda mengerti maksud Shinta.
“Ibu ke bawah dulu, ya.” Raika mengangguk dan Shinta mulai berjalan keluar kamar. “Lagian Rasya teh bukannya bantuin ibu malah ikutan Raihan sama Rama. Pangkolotna tapi ngilu bubudakeun, ya Gusti—paling tua tapi ikut kekanak-kanakan, Ya Allah .”
Raika hanya bisa tertawa kecil mendengar gerutuan Shinta yang masih terdengar olehnya dari dalam kamar. Ya, itulah ketiga kakak Raika. Umur mereka memang sudah tua, tapi untuk urusan mengganggu adiknya tetap menjadi nomor satu.
***
Tiga puluh menit kemudian Raika turun sambil menyangklokkan ranselnya di bahu menuju ruang makan. Di sana sudah ada ayah, Raihan, dan Rama. Sementara Rasya membantu ibu mereka di dapur. Di antara keluarga mereka, memang Rasya yang lebih sering membantu Shinta di dapur.
Apalagi Rasya memang lebih sering membantu ibu mereka sedari remaja. Dan entah bagaimana itu sudah menjadi rutinitas di keluarga mereka. Ketiga adiknya pun bergantian untuk membantu pekerjaan rumah. Namun, khusus untuk masalah dapur diserahkan pada Rasya.
Raika memilih duduk di kursi yang berseberangan dengan kedua kakaknya. Hatinya masih dongkol dengan kejadian hampir satu jam yang lalu itu. Di mana mimpinya bertemu dengan Shun Oguri harus kandas karena tragedi membangunkan tak senonoh tersebut.
Apalagi dirinya dengan sadar melihat Raihan mencium pipinya. Ya ampun, pipinya yang suci ini bukannya dicium oleh pacar, malah dicium oleh kakaknya yang sudah berumur tiga puluh tahun. Menggelikan sekaligus menyedihkan.
“Dek, kenapa duduk di situ?” tanya Raihan pada Raika yang memandang kakaknya sinis. “Sini dong.” Raihan menepuk kursi di sebelahnya seakan tak pernah melakukan kesalahan.
“Ogah. Aku masih kesel sama Kak Raihan. Lagian mau duduk di mana aja juga terserah aku,” jawab Raika sedikit ketus.
“Kalian kenapa lagi?” Bandi yang membaca koran berhenti karena melihat Raika bersikap ketus pada Raihan.
“Kesel aku tuh, Yah. Masa aku lagi tidur dicium Kak Rai,” lapor Raika pada Bandi seraya menunjuk pipi kanannya.
Bandi menggelengkan kepalanya. Pantas saja tadi ketika dirinya berada di kamar terdengar teriakan yang berasal dari kamar anak perempuannya. Sepertinya inilah penyebabnya.
“Aku cuma ngebangunin Adek kok, Yah,” ujar lelaki berotot itu membela diri. “Abisnya Adek dipanggil nggak bangun.”
“Idih, kalau mau bangunin, ya bangunin aja. Nggak harus pake cium-cium,” tukas Raika tambah kesal.
Bandi hanya mendengarkan pertengkaran kecil itu. Untung saja sarapan belum dimulai, karena jika itu terjadi pada saat makan maka Bandi tidak akan menolerirnya.
“Coba deh, Ayah kasih tahu anak-anak bujang ayah ini. Masa adeknya udah gede masih dicium-cium.” Shinta muncul dari dapur dengan membawa secangkir kopi ikut berkomentar.
Rasya yang menyusul dari dapur pun ikut bergabung sambil membawa nasi goreng seafood buatannya. Aroma nasi goreng tersebut menggugah perut yang lapar. Belum lagi kepulan asap yang masih keluar membuat perut semakin tidak sabar untuk menyantapnya.
“Iya, Yah. kasih tahu ke mereka kalau sekarang itu bukan lagi saatnya cium-cium adeknya, tapi ke pacarnya. Udah pada tua juga,” ujar Raika setengah mencibir berbalut emosi.
“Kayaknya ayah nggak harus ngomong apa-apa lagi. Udah diwakilin Adek,” kata Bandi dengan sikap santai. Pertengkaran seperti ini memang kerap terjadi di antara anak-anaknya. Jadi Bandi tidak ingin memperkeruh suasananya dengan marah-marah. Apalagi keempatnya sudah dewasa.
“Adek kok gitu sama kita? Kan kita belum nyari pacar itu karena kita pengen Adek duluan yang dapet pacar,” sanggah Rasya setelah duduk di kursi disusul Shinta.
***
Raika seketika memasang wajah melongo tidak percaya, kemudian menoleh pada ayahnya untuk ikut memahami maksud Rasya. Bandi hanya tertawa kecil khas orang tua, tetapi bagi Raika itu bukan hal yang lucu. Terkadang ayahnya ini tertawa di tempat yang tidak tepat.
“Ngomong doang, aslinya mah si Adek baru ada yang deketin udah disidak,” bukan Bandi, melainkan Shinta yang bicara. “Siga—Kayak- Satpol PP.”
“Karena nggak sembarang laki-laki bisa deketin Adek, Bu,” sahut Rama dengan percaya diri.
Raika menggelengkan kepalanya. Memangnya dia secantik apa sih? Sampai tidak bisa sembarang lelaki mendekatinya? Selebgram bukan, artis apalagi. Dasar kakaknya ini memang senang hiperbola. Membuat Raika kadang merinding dan geli sendiri mendengarnya.
“Udah ah, geli aku dengernya. Mending sarapan, aku hampir kesiangan,” Raika mengambil piring di depannya. “Eh iya, silakan Ayah ambil dulu nasi gorengnya.” Raika meringis malu dan menyodorkan piring besar pada Bandi.
Bandi tersenyum dan mulai mengambil nasi goreng serta lauk-pauk lain yang tersedia di atas meja. Selanjutnya Shinta kemudian menyusul keempat anak mereka.
Selesai sarapan Raika berdiri dan memakai ranselnya. Sambil memandang ketiga kakaknya Raika mengangkat telunjuknya dan berkata, “Kali ini aku bakal ngunci kamar kalau tidur, aku nggak mau diganggu sama kalian lagi. Aku berangkat.”
Raika menyalami tangan orangtuanya, namun tidak dengan ketiga kakaknya. Hal itu membuat ketiganya terkejut sekaligus memandang Raika sendu. Padahal biasanya Raika begitu bersemangat menyalami ketiganya jika berangkat bekerja.
“Assalamu’alaikum.”
“Walaikumsalam.”
"Nah kan, liat adeknya kesel aja baru deh nyesel. Waktu ganggunya mah nggak mikir ke situ," tegur Bandi ketika Raika sudah tidak terlihat. “Lain kali pikirin dulu kalau mau berbuat apa-apa.”
***
Semua sudah selesai sarapan. Shinta dibantu oleh Raihan dan Rama membereskan meja makan. Sementara Bandi dan Rasya sudah berangkat bekerja sepuluh menit yang lalu. Shinta mencuci piring yang kotor, Raihan merapikan sisa makanan ke lemari makan, dan Rama membersihkan meja makan.
Meski ketiganya laki-laki, mereka tidak malu untuk melakukan pekerjaan rumah. Bagi mereka tidak ada istilah perempuan yang harus melakukan semua pekerjaan rumah. Mereka sudah terbiasa membagi pekerjaan rumah, apalagi ibu mereka sudah tidak muda lagi. Bisa dibayangkan bagaimana bahagianya calon pasangan mereka nanti. Iya, nanti. Karena sekarang semua itu masih terlalu jauh untuk dipikirkan. Jodoh adik mereka saja masih entah di mana, apalagi untuk ketiganya.
“Kita minta maaf, yuk, Kak. Adek keliatan kesel banget tadi,” ucap Rama ikut bergabung di dapur dengan Raihan dan Shinta. Lelaki 28 tahun itu selesai dengan pekerjaannya.
Belum Raihan menjawab, Shinta ke buru menyambar, “Yang bener minta maaf teh. Jangan iya iya minta maaf, tapi dilakuin lagi,”tegurnya.
“Iya, ibu. Kita nggak akan ngulangin lagi, kok,” sahut Raihan menyesal. “Kita kasih apa, ya supaya Adek maafin kita?” tanyanya pada Rama meminta ide.
“Lalaki-Cowok,” sosor Shinta sambil lalu dan pergi dari dapur meski tidak mendengar jawaban apapun dari kedua anaknya.
“Nggak ada!”
“Nggak boleh!” seru keduanya hampir bersamaan. Kesadaran mereka baru kembali setelah Shinta menghilang dari dapur.
***
Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya. Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan. “Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kaka
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager
Tiga minggu berlalu dan Aidan sudah mulai beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Pada minggu pertama, lelaki itu memulai pekerjaannya dengan berdiskusi bersama para teknisi dan bagian penjualan. Membahas kesulitan apa yang mereka hadapi dan keluhan apa yang sering diberikan oleh customer terkait mesin-mesin mereka.“Beberapa customer kadang nggak mau diganggu mesinnya pas mereka lagi beroperasi, Pak,” tutur salah satu teknisi, Yoga. “Padahal mereka nelepon karena mesinnya bermasalah.”Aidan terdiam sejenak. “Kamu udah cari solusi lain terkait hal ini?”“Udah, Dan. Saya ngasih solusi ke mereka untuk mematikan mesinnya hanya di saat itu aja. Tapi kata mereka produksi nggak boleh berhenti. Istilahnya buat mereka time is money,” Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa formal.“Apalagi di Cahaya Warna lebih aneh lagi, si bosnya minta kita cepet datang untuk benerin warna ya
Meski hampir satu bulan Aidan memimpin PDP Bandung, Raika masih belum terbiasa dengan keberadaan atasannya itu. Selain karena kejadian di restoran masih membuatnya malu. Raika pun belum bisa menatap Aidan secara langsung lebih dari lima detik. Wajah tampan lelaki itu sering membuat Raika lupa diri.Aidan memang bersikap seperti biasa, tidak pernah menggoda Raika apalagi bersikap genit. Aidan cenderung tenang dan kalem. Tapi, entah kenapa terkadang Raika merasa jika Aidan sering memperhatikannya. Apalagi jika lelaki itu sedang berada di ruangannya untuk membahas pekerjaan bersama Hani.Bukannya ge-er, tapi itulah yang dirasakannya selama hampir dua minggu ini. Terkadang terlintas di pikiran perempuan itu, apakah Aidan tahu sikapnya yang selalu menghindari lelaki itu? Hingga Aidan sengaja memperhatikannya dan sering mengajaknya bicara. Apa jangan-jangan itu sebagai sebuah penilaian Aidan pada pegawainya?Ah, harusnya Raika bersikap lebih baik lagi, bukan?
“Aku udah bilang ke Reza kalau toner bubuk itu sensi banget. Dia sih bilang iya, eh, tapi pas dia buka itu toner langsung nyembur. Kayak tepung yang ditiup. Kita semua kaget dong, dia apalagi. Itu muka si Reza udah kayak Smurf pokoknya. Biru bangeett.” Rudi sedang bercerita tentang teknisi baru yang terkena sial.Saat ini Aidan dan Rudi sedang berada di ruangan Bu Dina. Sekadar mengobrol disela bekerja.Semua yang ada di ruangan tertawa. Pasalnya, toner bubuk untuk mesin printing memang cukup rentan. Salah membuka, maka taburan bubuk tersebut akan bertebaran.“Kasian amat dia.” Hani memang merasa kasihan, namun tawanya tetap menggema.“ Asli. Itu tonernya kena baju dan celananya. Untung mukanya bisa dicuci.”“A Rudi parah, ih. Anak buahnya kena musibah malah ditawain,” omel Raika pada Rudi, padahal ia sendiri menutup mulutnya menahan tawa.A
"Nggak kemana-mana, Dek?" tanya Raihan duduk di sofasingledengan penampilan kasualnya. Kaosroundneckketat yang memperlihatkan ototnya dan celana denim. Raika yang sedang berbaring santai di sofa hanya menoleh sekilas. "Nggak, Kak. Di rumah aja hari ini. Lagian males kemana-mana juga," jawab Raika kembali memainkan ponselnya. Beberapa detik kemudian ponsel Raika berbunyi tanda telepon masuk. Melihat nama yang tertera di layarnya senyum Raika mengembang. "Assalamu'alaikum.." "Walaikumsalam. Kamu hari ini di rumah kan, Ka?" tanya seseorang dari balik telepon. "Iya, aku nggak kemana-mana kok. Mau ke rumah, Ki?" tanya Raika balik. "Iya, aku mau maen ke rumah. Ini aku baru mau jalan. Aku tutup, ya teleponnya. Assalamu'alaikum." "Iya. Hati-hati di jalan ya, Ki. Walaikumsalam." Raika menutup teleponnya dan bangun dari posisi berbaringnya menjadi duduk di sofa.