Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian.
Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan.
Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya.
“Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah.
“Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pasti punya keperluan sendiri. Ingin beli ini itu pake uang sendiri. Aku masih bisa beli sesuatu pake uang sendiri, Kak. Aku nggak mau ngerepotin Kak Rasya, Kak Raihan, dan Kak Rama lagi. Aku udah gede. Malu,” tutur Raika panjang lebar.
“Kita mah banyak uangnya, Dek. Kamu nggak usah khawatir,” ujar si Raihan Dwi Wiharja ini menyombongkan diri.
“Iya, iya, aku percaya.” Tentu saja Raika berpura-pura mempercayainya.
“Tapi muka kamu nggak bilang gitu. Kasih tahu sama adek kita, Ram. Berapa jumlah tabungan kita.” Raihan menoleh pada Rama masih menyombongkan diri.
“Uh, berjeti-jeti, deh pokoknya. Kalau Adek lihat, pasti bakal bingung lihat angkanya,” ucap Rama tak kalah berlebihan.
“Iya, bingung karena angkanya pada nggak ada,” sahut Raihan mendapat high five dari Rama dan keduanya tertawa bersama.
“Apa sih, ih? Kalian nggak jelas banget.” Raika ikut tertawa mendengar lelucon garing kedua kakaknya. Rasya pun ikut tertawa.
Dan kebiasaan membelikan adik mereka hadiah tidak akan pernah berhenti. Apalagi jika keadaan menuntut mereka membeli hadiah untuk adik mereka yang sedang marah. Tentu saja hal itu wajib menjadi senjata andalan mereka untuk mendapatkan maaf dari Raika.
***
Raika masih terdiam. Dihadapannya, tepatnya dua meter dari gadis itu berdiri, ada ketiga kakaknya yang berdiri gagah dan masing-masing menggenggam sesuatu di tangan mereka dengan senyum semanis madu untuk Raika.
Dalam hati Raika mendengus geli ketika melihat ketiga kakaknya begitu niat untuk membujuknya yang sedang kesal. Kenapa Raika bisa bilang ketiga kakaknya ini sangat niat? Mari kita bedah satu-persatu.
Di sisi kanan ada Rama yang menggenggam buket bunga. Di tengah ada Rasya yang memegang boneka beruang besar berwarna coklat. Sementara di sisi kiri ada Raihan yang memangku satu keranjang makanan berisi beberapa ayam goreng tepung ternama kesukaan Raika.
See? Ketiga kakaknya ini memang romantis dan Raika yakin siapa pun yang menjadi pasangan mereka nanti akan bahagia. Tingkah mereka yang kadang sulit ditebak, membuat Raika sering terkejut sekaligus bahagia memiliki tiga kakak yang menyayanginya. Kecuali janji konyol mereka tentu saja.
"Hai, Dek," sapa lelaki bernama lengkap Rama Tria Wiharja ini memecah keheningan seraya menampilkan senyumnya.
Raika hanya mengangkat kedua alisnya pada Rama.
Oke, sepertinya tidak akan mudah membujuk adik mereka jika respon yang didapat hanya gerakan angkat alis Raika.
Kini Raihan berdeham untuk meredakan suasana canggung.
"Kita mau minta maaf sama kamu, Dek."
Sekarang Raika melipat kedua tangannya di depan dada. Sebenarnya Raika sudah tidak marah lagi, tapi ia akan tetap mempertahankan posisi ini untuk menunjukkan marah pura-puranya. Sekalian saja ia jahili ketiga kakaknya supaya kapok.
"Yakin minta maaf? Yakin nggak akan kayak gitu lagi?” tanya Raika sedikit sinis padahal dalam hatinya berusaha keras menahan tawa.
"Dek, udah dong, jangan marah gitu. Kita minta maaf, beneran deh. Dan kita janji nggak akan begitu lagi sama Adek." kini Rasya mengeluarkan suara yang sedikit memelas.
Ucapan Rasya barusan diangguki oleh Raihan dan Rama dengan tempo cepat. Membuat Raika berasumsi leher keduanya bisa saja lepas jika mengangguk secepat itu. Raika menghela napasnya kemudian matanya tertuju pada benda-benda yang ada di tangan ketiga kakaknya.
***
Dengan memicingkan matanya Raika menatap curiga benda-benda yang dipegang oleh ketiga kakaknya. "Terus itu apa maksudnya?" tanya Raika seraya menunjuk benda-benda tersebut dengan dagunya.
Ketiganya langsung menyengir kuda dan menghampiri Raika lalu menyodorkan ketiga benda tersebut padanya.
"Untuk Adek," ucap Rama dengan senyum manisnya.
"Untuk aku?" ketiganya langsung mengangguk. "Nyogok gitu ceritanya?" tuding Raika.
"Ey, bukan dong, kita bukan nyogok Adek. Ini cuma wujud permintaan maaf kita untuk kamu," kilah Raihan walau sebenarnya makna yang tersirat tidak beda jauh.
Raika menatap ketiga kakaknya bergantian. Wajah ketiganya tampak memelas dan berharap dimaafkan olehnya. Kejadian tadi pagi itu memang bukan hal besar, tapi yang membuat Raika kesal ketiganya ini seperti tidak risih. Sikap mereka layaknya bukan seperti orang dewasa.
"Yakin nggak akan ulangin lagi kayak tadi?” pertanyaan gadis itu mendapat anggukan dari ketiganya. “Jujur aku tuh risih. Kita ini udah pada dewasa, Kak. Aku emang adik kalian, tapi aku kan perempuan dewasa. Bukan lagi anak umur enam tahun yang suka dicium-cium begitu," tutur Raika panjang lebar menasehati ketiganya yang menundukkan kepala.
Maaf, Dek," seru ketiganya serempak.
Bahkan si sulung yang sering melarang Raika ini itu menjadi ciut jika melihat Raika versi marah dan menjadi penasihat dadakan. Sikap tegas dan kerasnya hilang begitu saja, menguap ke udara.
Raika kembali menghela napas.
"Ya udah, aku maafin." Seketika ucapan Raika tersebut membuat wajah ketiganya berbinar. "Tapi janji ya, nggak akan diulangi lagi?"
Ketiganya mengangguk dan langsung menghampiri Raika kemudian memeluknya. Kini mereka terlihat seperti teletubies yang sedang berpelukan dan tubuh Raika seperti ditelan karena tertutup oleh badan besar ketiga kakaknya.
Shinta yang sedari tadi memperhatikan dari pintu kamarnya hanya bisa tersenyum dan menggelengkan kepala. Meski anak bungsu, Raika bukanlah anak manja dan cengeng hanya karena memiliki ketiga kakak laki-laki yang memanjakannya. Malah terkadang Raika memiliki pemikiran yang lebih dewasa dibanding ketiganya. Seperti kejadian barusan yang bisa membuat ketiganya bungkam.
"Udah ah, pelukannya. Sesak nih," protes Raika dengan menggeliatkan badannya.
Mereka pun menguraikan pelukan sambil tersenyum satu sama lain. Rasa lega menghampiri ketiga anak laki-laki keluarga Wiharja tersebut karena sang adik sudah memaafkan mereka.
"Nah, kalau gitu, ini Kakak kasih untuk Adek." Rasya menyodorkan boneka beruang besar pada Raika yang langsung dipeluk oleh Raika.
"Bonekanya hampir segede kamu, Dek," sindir Raihan pada Raika yang dibalas lirikan tajam oleh adiknya. "Ahaha, ngambek lagi. Jadi, ayamnya nggak mau nih?"
"Ih, ya mau dong." Gadis itu mencebik, tidak rela ayam gorengnya hilang.
"Terus ini bunga dari kakak gimana?" tanya Rama sambil mengangkat buket bunganya.
"Nanti Adek masukin ke vas bunga. Makasih, ya, Kak," ujar Raika dengan senyum tiga jarinya.
"Sama-sama.”
"Kamu lapar, Dek?" tanya Rasya sambil merangkul Raika yang masih memeluk boneka.
Raika mengangguk.
"Kakak bikin makaroni schotel tadi, Adek mau?"
Senyum cerah menghiasi wajah Raika. "Mau dong. Mana bisa aku nolak makanan buatan Kakak. Oh iya, sama ayam gorengnya, ya."
***
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager
Tiga minggu berlalu dan Aidan sudah mulai beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Pada minggu pertama, lelaki itu memulai pekerjaannya dengan berdiskusi bersama para teknisi dan bagian penjualan. Membahas kesulitan apa yang mereka hadapi dan keluhan apa yang sering diberikan oleh customer terkait mesin-mesin mereka.“Beberapa customer kadang nggak mau diganggu mesinnya pas mereka lagi beroperasi, Pak,” tutur salah satu teknisi, Yoga. “Padahal mereka nelepon karena mesinnya bermasalah.”Aidan terdiam sejenak. “Kamu udah cari solusi lain terkait hal ini?”“Udah, Dan. Saya ngasih solusi ke mereka untuk mematikan mesinnya hanya di saat itu aja. Tapi kata mereka produksi nggak boleh berhenti. Istilahnya buat mereka time is money,” Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa formal.“Apalagi di Cahaya Warna lebih aneh lagi, si bosnya minta kita cepet datang untuk benerin warna ya
Meski hampir satu bulan Aidan memimpin PDP Bandung, Raika masih belum terbiasa dengan keberadaan atasannya itu. Selain karena kejadian di restoran masih membuatnya malu. Raika pun belum bisa menatap Aidan secara langsung lebih dari lima detik. Wajah tampan lelaki itu sering membuat Raika lupa diri.Aidan memang bersikap seperti biasa, tidak pernah menggoda Raika apalagi bersikap genit. Aidan cenderung tenang dan kalem. Tapi, entah kenapa terkadang Raika merasa jika Aidan sering memperhatikannya. Apalagi jika lelaki itu sedang berada di ruangannya untuk membahas pekerjaan bersama Hani.Bukannya ge-er, tapi itulah yang dirasakannya selama hampir dua minggu ini. Terkadang terlintas di pikiran perempuan itu, apakah Aidan tahu sikapnya yang selalu menghindari lelaki itu? Hingga Aidan sengaja memperhatikannya dan sering mengajaknya bicara. Apa jangan-jangan itu sebagai sebuah penilaian Aidan pada pegawainya?Ah, harusnya Raika bersikap lebih baik lagi, bukan?
“Aku udah bilang ke Reza kalau toner bubuk itu sensi banget. Dia sih bilang iya, eh, tapi pas dia buka itu toner langsung nyembur. Kayak tepung yang ditiup. Kita semua kaget dong, dia apalagi. Itu muka si Reza udah kayak Smurf pokoknya. Biru bangeett.” Rudi sedang bercerita tentang teknisi baru yang terkena sial.Saat ini Aidan dan Rudi sedang berada di ruangan Bu Dina. Sekadar mengobrol disela bekerja.Semua yang ada di ruangan tertawa. Pasalnya, toner bubuk untuk mesin printing memang cukup rentan. Salah membuka, maka taburan bubuk tersebut akan bertebaran.“Kasian amat dia.” Hani memang merasa kasihan, namun tawanya tetap menggema.“ Asli. Itu tonernya kena baju dan celananya. Untung mukanya bisa dicuci.”“A Rudi parah, ih. Anak buahnya kena musibah malah ditawain,” omel Raika pada Rudi, padahal ia sendiri menutup mulutnya menahan tawa.A
"Nggak kemana-mana, Dek?" tanya Raihan duduk di sofasingledengan penampilan kasualnya. Kaosroundneckketat yang memperlihatkan ototnya dan celana denim. Raika yang sedang berbaring santai di sofa hanya menoleh sekilas. "Nggak, Kak. Di rumah aja hari ini. Lagian males kemana-mana juga," jawab Raika kembali memainkan ponselnya. Beberapa detik kemudian ponsel Raika berbunyi tanda telepon masuk. Melihat nama yang tertera di layarnya senyum Raika mengembang. "Assalamu'alaikum.." "Walaikumsalam. Kamu hari ini di rumah kan, Ka?" tanya seseorang dari balik telepon. "Iya, aku nggak kemana-mana kok. Mau ke rumah, Ki?" tanya Raika balik. "Iya, aku mau maen ke rumah. Ini aku baru mau jalan. Aku tutup, ya teleponnya. Assalamu'alaikum." "Iya. Hati-hati di jalan ya, Ki. Walaikumsalam." Raika menutup teleponnya dan bangun dari posisi berbaringnya menjadi duduk di sofa.
Ruangan Bu Dina hening seperti biasanya. Namun, hari ini beliau tidak ada karena sedang menghadiri sosialisasi dari kantor pajak mengenai peraturan terbaru. Beliau pun mengatakan pada Raika dan Hani jika dirinya tidak akan kembali ke kantor hari ini.Tok..tok..tok..Pintu ruangan mereka diketuk oleh seseorang hingga membuat keduanya menoleh. Aidan masuk ke ruangan mereka, namun masih berdiri di antara meja Raika dan Hani."Eh, Dan. Ada apa?" tanya Hani menghentikan pekerjaannya. "Duduk.” Lelaki itu duduk di kursi yang ada di antara meja Raika dan Hani."Ini laporan data penjualan kemarin udah saya periksa. Sisanya tolong dilengkapin aja." Aidan menyerahkan selembar kertas A4 pada Hani.Hani menerima kertas tersebut, sementara Raika tetap bekerja. Melihat Raika yang tampak serius dengan pekerjaannya, membuat Aidan tidak tahan untuk tidak menyapa gadis itu."Halo, Raika," sapa Aidan mendapat delikan geli dari Hani disela memerik
Raika memandangi ponselnya dengan mata menyipit seperti menyelidiki sesuatu di sana. Bukan tanpa alasan Raika melakukan hal tersebut. Ini karena semalam dirinya mendapat pesan tak terduga dari seseorang.Karena terlalu asyik menonton drama Korea, Raika tidak mengecek ponselnya sama sekali. Dan saat dirinya akan tidur barulah gadis itu mengecek ponselnya. Betapa terkejutnya Raika ketika mendapat pesan dari Aidan alias Zayn Malik kw yang sering ia sematkan pada Aidan.Raika tidak langsung membuka pesannya. Layar notifikasilah yang menunjukkan pesan Aidan. Raika meneguk ludahnya gugup.Ada apa Pak Aidan ngirim chat malem-malem? Pake nanya aku udah tidur atau belum segala? Pikir gadis itu bingung.Setelah berhasil meredakan gugup dan bingungnya, barulah ia membalas pesan yang hampir setengah jam tidak ia balas.Namun, hingga pagi ini pesannya tidak mendapat balasan. Bahkan tidak ada tanda jika pesannya sudah dibaca. Membuatnya semakin
Raika menghembuskan napas gusar. Seharian ini ia tidak berkonsentrasi bekerja. Entah bagaimana, Raika beberapa kali melakukan kesalahan saat menginput angka dari kuitansi ke komputer. Hitungannya sering tidakbalancedan menyebabkan dirinya pusing sendiri karena tidak fokus. Dalam perjalanan pulang pun Raika tidak berkonsentrasi. Beberapa kali pengendara lain mengklakson dirinya. Untung saja Raika cepat tersadar, jika tidak sudahwassalam. Merasa lelah, Raika duduk di sofa sembari memejamkan mata setelah sampai di rumah. Hanya beberapa detik, karena selanjutnya perempuan itu mengambil ponselnya dan- Raika sedikit terperanjat karena ada telepon masuk. Bagaimana ini bisa terjadi? “Assalamu’alaikum,” kata Raika. “Walaikumsalam. Weh, cepet banget angkat teleponnya,” balas Khalif setengah mengejek. Raika terkekeh. “Soalnya aku juga ada niat mau nelepon kamu. Eh, ternyata kamu udah nelepon duluan. Ad