Rasya dan kedua adiknya bergegas keluar rumah mencari Raika. Rasa khawatir, cemas, dan bersalah kini menghantui Rasya. Tak pernah ia menginginkan pertengkaran seperti ini dengan adik bungsunya. Ia hanya ingin melindungi sang adik. Memberi yang terbaik agar adiknya tak tersakiti. Namun, sepertinya semua itu tak sama dengan yang dipikirkan Raika.Tok… tok… tok…Rama mengetuk pintu rumah Khalif dengan sopan walau perasaannya sedang tak karuan saat ini. Saat akan mencari Raika tadi, Rama berpamitan pada Shinta. Wanita paruh baya itu memberitahu Rama jika dirinya sudah menghubungi Khalif melalui ibunya. Semoga saja saat ini sang adik ada di rumah Khalif.“Assalamu’alaikum.”“Walaikumsalam,” sahut suara wanita dari dalam rumah.Seseorang membuka pintu dan terkejut menatap tiga orang lelaki tinggi berdiri di depan rumahnya.“Eh, Rasya, Raihan, Rama? Ada apa ini?” tanya Rini, Ibu Khalif.“Maaf ganggu malem-malem, Tan. Adek ada datang ke sini, nggak?” tanya Rama dengan wajah cemas.“Raika? Ngg
Untuk pertama kali dalam hidupnya, Raika melarikan diri dari rumah. Dari semua adu mulut dan pertengkaran yang pernah terjadi dengan tiga kakaknya, baru kali ini rasanya Raika benar-benar marah. Bahkan keputusan ini tak pernah terbayangkan olehnya. “Mau kemana, Mbak?” tanya sang Supir ramah seraya menatap lewat kaca spion dalam. Raika terdiam. Saat menghentikan taksi barusan ia tak memikirkan ke mana akan pergi. Yang ia tahu, ia hanya ingin pergi dari rumah. Pergi dari kakaknya yang protektif. “Jalan aja dulu, Pak. Nanti saya kasih tahu lagi.” Hanya itu jawaban yang bisa Raika berikan. Gadis itu mengusap pipinya yang basah saat berteriak pada kakaknya tadi. Ia menangis. Sang Supir hanya menganggukkan kepala dan melajukan taksinya keluar komplek perumahan. Raika menatap jalanan melalui jendela mobil seraya menggigit bibir bawahnya menahan marah. “Aku doain jodoh Kak Rasya lebih nyebelin dari aku. Dasar Kakak dzalim…” gumamnya geram kembali menitikan airmata. “Haah… astaghfirullah…
“Kamu nggak lagi ngelindur kan ngomong kayak gini?” Raihan mendelik tajam pada Rama yang duduk di sampingnya. Sementara Rasya menatap dalam diam, tapi jelas sangat menusuk. Rama menggelengkan kepalanya seraya menatap bergantian pada kedua kakaknya. “Aku nggak lagi ngelindur atau bercanda, Kak. Aku serius sama ucapan aku.” Rasya mendesah setengah gusar. “Apa karena pacar Adek udah pernah nolongin kamu waktu itu, jadi sekarang kamu balas dengan ngedukung mereka?” Rama melipat bibirnya karena ucapan Rasya cukup tepat sasaran. Tak mau menyembunyikannya, lelaki kurus itu pun menganggukkan kepalanya. “Kamu jadi subjektif kalau gitu, Ram. Hanya karena dia pernah nolongin kamu, nggak berarti sekarang kamu harus balas dengan cara kayak gini,” protes Raihan tak terima dengan alasan sang adik. “Itu cuma salah satunya, Kak,” Rama menjeda ucapannya dan melanjutkan, “kemarin dia datang nemuin aku dan kami ngobrol banyak.” Kedua kakaknya tampak terkejut. Tentu saja kejadian itu hal langka bagi
“Pokoknya kita nggak akan nikah sebelum Adek nikah duluan. Cowoknya harus yang bisa kita percaya buat jagain dan sayang sama Adek. Karena kalau kita nikah duluan, pasti nanti Adek bakal sembarangan milih cowok tanpa kita tahu gimana cowok itu, keluarganya, kerjaannya. Yah, intinya bibit, bebet, dan bobotnya.”Raika mengerutkan keningnya ketika kakak sulungnya mengatakan hal tidak masuk akal tersebut di depan orang tua mereka. Dan kedua kakaknya yang lain malah mengangguk setuju tanpa ragu. Membuat kepala gadis itu tiba-tiba menjadi pening tanpa diminta. Bahkan Raika belum bisa berkata apa-apa untuk menyanggah ucapan kakaknya tersebut karena masih terkejut.Bukan tanpa sebab kakaknya mengatakan hal itu. Semua ini karena bibi mereka yang tiba-tiba menawarkan Raika untuk dikenalkan pada anak laki-laki teman sang bibi. Ketiga kakak laki-lakinya tentu saja tidak setuju, karena menurut mereka Raika tidak boleh sembarangan dikenalkan pada laki-laki. Padahal bibi m
Raika memasuki ruang kerjanya ketika Hani, rekan satu ruangannya sedang menerima telepon. Gadis itu hanya menyapa Hani lewat tangan dan berderap menuju meja kerjanya. Raika duduk dan menyimpan ranselnya di bawah meja. Hani menutup telepon yang ada di ruangan mereka dan menatap Raika. “Ka, Bu Dina bakal telat datang katanya, soalnya kudu ke kantor pajak dulu. Terus, Bu Dina minta faktur minggu kemarin ke lo,” ujar Hani menyampaikan pesan Bu Dina. “Oke. Siap, Teh,” sahut Raika seraya mengacungkan jempolnya. “Oh iya, besok BM yang baru datang. Lo nggak lupa, kan?” “Nggak dong, Teh. Apalagi pas tahu kalau yang jadi BMnya cucu yang punya PDP,” jawab gadis itu. PDP atau PT. Perdana Djaya Persada adalah perusahaan distributor mesin untuk beberapa brand luar ternama. Fokusnya, mereka memperjualbelikan produk luar secara resmi seperti, mesin fotocopy, mesin spanduk, dan mesin cetak. Kantor pusatnya bergerak di Jakarta, sementara
Raika tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bermanja-manja pada ketiga kakaknya. Perempuan berumur 24 tahun itu hanya tahu jika ketiga kakaknya masih overprotektif padanya hingga saat ini. Ingatan Raika bukan kemanjaan dirinya pada ketiga kakaknya. Melainkan pada ingatan dimana dirinya menderita saat menjadi target fans-fans ketiganya ketika masih bersekolah.Masa-masa mengerikan untuknya karena waktunya habis untuk menghadapi semua fans ketiga kakaknya. Lalu, apa yang terjadi pada ketiga kakaknya? Tentu saja mereka tidak peduli sedikit pun. Namun, karena gadis itu sudah lelah, akhirnya Raika memarahi ketiga kakaknya. Dan entah bagaimana semua fans kakak-kakaknya sudah tidak mengganggunya lagi.Raika senang mendapat perlindungan dan kasih sayang berlimpah dari ketiga kakaknya. Namun, terkadang sikap mereka bisa sangat berlebihan. Salah satunya adalah dengan janji yang mereka mereka ikrarkan dua tahun lalu. Di mana mereka tidak akan menikah sebelum dirinya.Mes
Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri. Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy. Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla. Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati
“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.Kini Shinta mencoba menebak kon