Raika memasuki ruang kerjanya ketika Hani, rekan satu ruangannya sedang menerima telepon. Gadis itu hanya menyapa Hani lewat tangan dan berderap menuju meja kerjanya. Raika duduk dan menyimpan ranselnya di bawah meja.
Hani menutup telepon yang ada di ruangan mereka dan menatap Raika.
“Ka, Bu Dina bakal telat datang katanya, soalnya kudu ke kantor pajak dulu. Terus, Bu Dina minta faktur minggu kemarin ke lo,” ujar Hani menyampaikan pesan Bu Dina.
“Oke. Siap, Teh,” sahut Raika seraya mengacungkan jempolnya.
“Oh iya, besok BM yang baru datang. Lo nggak lupa, kan?”
“Nggak dong, Teh. Apalagi pas tahu kalau yang jadi BMnya cucu yang punya PDP,” jawab gadis itu.
PDP atau PT. Perdana Djaya Persada adalah perusahaan distributor mesin untuk beberapa brand luar ternama. Fokusnya, mereka memperjualbelikan produk luar secara resmi seperti, mesin fotocopy, mesin spanduk, dan mesin cetak. Kantor pusatnya bergerak di Jakarta, sementara Raika bekerja di kantor cabang yang terletak di kota Bandung.
Dan saat ini kantor cabang Bandung akan kedatangan Branch Manager baru, setelah Branch Manager sebelumnya pensiun. Selama sebulan ini kantor cabang Bandung ditangani sementara oleh Manager Regional.
Barulah seminggu yang lalu terdengar kabar jika Branch Manager baru akan mulai bekerja besok. Namun, berita yang mengejutkannya adalah Branch Manager baru mereka adalah salah satu cucu pemilik PDP. Bukan hal aneh sebenarnya untuk sebuah perusahaan turun temurun seperti PDP. Direktur perusahaan mereka adalah anak pemilik PDP, begitu juga untuk manager kantor pusat di Jakarta yang dibawahi oleh salah satu cucu pemilik PDP.
“Kepo dong, Teh. Orangnya kayak gimana?”
Hani menimbang-nimbang jawaban untuk Raika, seperti mencari kalimat yang tepat.
“Yang pasti dia bakal bikin lo nggak bisa berkata-kata.” Itulah jawaban Hani.
Raika yang tidak mengerti hanya bisa berkata, “Hah? Gimana, Teh?”
***
Hani tertawa kecil melihat ekspresi melongo Raika.
“Lo tahu kan kalau keluarga Pak Ahmad itu produk high quality semua,” jabar Hani dengan memuji keluarga pemilik PDP. “Gue aja hampir tergoda sama salah satu cucu Pak Ahmad kalau kagak inget anak sama laki gue,” gurau wanita berambut sebahu itu setengah tertawa.
“Teteh ih, serius,” protes Raika setengah merajuk.
“Sorry, sorry. Gimana, ya. Selama gue kenal sama dia sih, orangnya cukup asik. Cuma untuk yang belum kenal mungkin ngiranya dia ini agak jutek aja orangnya, sama pendiem gitu,” imbuh Hani untuk BM baru mereka. “Dan biarpun dia cucunya Pak Ahmad yang punya ni perusahaan, tapi dia nggak arogan. Eh, semua keluarganya juga nggak ada yang begitu, sih. Pak Direktur aja orangnya humble banget sama karyawan.”
Raika menganggukkan kepalanya. Sebelumnya Raika pernah melihat calon BM ini dari foto yang pernah ditunjukkan oleh Hani. Ketika di kantor pusat dulu Hani cukup dekat dengan calon BM mereka. Wajah lelaki itu tampan karena memiliki wajah keturunan setengah Timur-Tengah.
“Aku jadi nyesel deh nggak pernah bisa ikut acara tahunan PDP,” keluh Raika. “Padahal aku pengen tahu gimana wajah mereka secara langsung gitu, Teh.”
“Nanti juga ‘kan lo bakal ketemu sama salah satunya. Puas-puasin deh, lo liatin wajahnya,” ucap Hani blak-blakan.
“Ya, nggak gitu juga kali, Teh,” timpal Raika tertawa kecil.
Hani ikut tertawa. “Lagian lo nggak bisa ikut juga bukan ke pengen lo sendiri,” hibur Hani agar gadis itu tidak terlalu merasa sedih.
“Tapi kadang sebel aja gitu Teh Han, mau pergi kemana-mana masih diatur,” ucap Raika setengah lesu.
“Ya, namanya juga jadi kesayangan,” ujar Hani setengah mengolok dengan senyum usil.
“Ih, Teh Hani mah malah nyindir,” Gadis itu merengut seraya mengambil berkas di meja kerjanya. Lalu gadis itu teringat sesuatu. “Eh, by the way Teh, ini yang Sinar Jaya untuk sparepartnya kemarin nggak jadi, kan?”
“Iya kagak jadi. Udah gue konfirm ke gudang juga dan sparepartnya udah dibalikin kemarin sama si Roni,” jelas Hani yang diiyakan oleh Raika.
Keduanya masih melanjutkan obrolan sambil memulai pekerjaan yang menanti. Satu jam kemudian Bu Dina, atasan keduanya memasuki ruangan. Setelah berbasa-basi sebentar ketiganya kembali pada pekerjaan masing-masing.
***
Menjelang istirahat pintu ruangan ketiganya diketuk oleh seseorang. Ketiga orang di ruangan itu menoleh dan menyapa orang tersebut.
“Kenapa, Rud?” tanya Hani seraya membereskan pekerjaannya.
“Mau ikut makan siang bareng saya, nggak?” tanya balik lelaki itu, Rudi, Supervisor Teknisi. “Aidan lagi ada di BIP.”
Hani dan Bu Dina menampakan wajah terkejut, sementara Raika menampakan wajah bingung. Namun, beberapa saat kemudian wajahnya ikut terkejut bersamaan. Aidan kan nama BM baru mereka alias cucu dari pemilik PDP.
“Lah, ngapain dia di BIP?” tanya Hani setelah rasa terkejutnya hilang. “Dia kan baru kerja besok.”
Rudi mengangkat bahunya. “Jadi, mau ikut, nggak? Saya sih bilangnya mau ngajak kalian juga dan dia setuju.”
“Mau atuh. Udah lama saya nggak ketemu Aidan,” sahut Bu Dina. Perempuan 40 tahun itu menoleh ke arah Raika. “Makan siangnya jadi di BIP nggak apa-apa kan, Neng?”
Dengan ragu Raika menganggukan kepalanya. Gadis itu tidak masalah makan di mana saja. Tapi, makan bersama BM baru sepertinya akan menjadi hal yang cukup mendadak untuknya. Karena untuk pertama kalinya gadis itu akan bertemu dengan sosok yang selama ini hanya ia lihat lewat foto.
Perjalanan singkat menuju restoran yang berada di dalam mall tersebut, membuat Raika membayangkan bagaimana cara menyapa BM baru mereka. Berbagai skenario ia bayangkan, mulai dari bersikap sangat sopan hingga sesantai mungkin. Raika tidak tahu bagaimana harus bersikap. Ini pertama kalinya Raika akan bertemu dengan salah satu orang penting di PDP.
Monolog di kepala Raika yang berkelana harus pecah karena Rudi berkata, “Itu Aidan.” Lelaki itu menghampiri Aidan bersama Hani, Bu Dina, dan Raika.
Rudi memanggil Aidan setengah berteriak sehingga lelaki yang sedang memainkan ponselnya itu menengadahkan kepalanya. Melihat siapa yang datang Aidan berdiri dan menyambut ketiganya dengan senyum tipis. Lelaki itu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana.
Rudi yang pertama kali menghampiri Aidan dan bersalaman ala pria. Disusul oleh Hani yang terlihat senang bertemu kembali dengan Aidan dan Bu Dina yang bersikap lebih santai pada Aidan. Lalu lelaki itu melihat sosok asing di antara mereka bertiga. Dan dengan sigap Hani segera memperkenalkan keduanya.
“Oh iya, dia Raika. Admin baru di PDP Bandung. Dia masuk setelah lo balik ke Jakarta,” tutur Hani.
Raika maju beberapa langkah supaya lebih dekat dengan lelaki itu. Entah kenapa Raika merasa begitu gugup. Apa itu karena dia bertemu dengan salah satu orang penting di PDP atau karena lelaki yang ada di depannya ini ternyata sangat tampan?
Ya Allah, kirain cuma cakep doang. Ini mah dia cakeeppp banget!!! Mirip Zayn Malik ini mah wajahnya!!
Raika tanpa sadar menatap Aidan dengan lekat. Dari foto lelaki ini tampannya biasa saja, tapi lihatlah ketika Raika berhadapan langsung dengannya. Gadis itu menjadi tak bisa berkutik.
Tangan yang lebih besar darinya itu begitu kokoh digenggamannya. Memang ya, bibit unggul itu tidak pernah main-main hasilnya. Lihatlah lelaki ini, tubuhnya tinggi dengan badan yang ramping, wajah setengah Timur-Tengahnya begitu menarik perhatian, dagu tajam dengan sedikit janggut dan jambang tipis yang menghiasi wajahnya. Lekuk mata yang dalam dan alis tebal itu menambah poin ketampanan lelaki ini.
“Maaf, ada yang salah dengan wajah saya?” tanya Aidan membuat Raika tersadar.
“O-Oh, nggak ada, Pak. Maaf. Salam kenal, Pak. Saya Raika.” Gadis itu mencoba bersikap cool untuk menutupi rasa malunya yang sudah hampir menjalar ke pipinya. Kenapa pada perkenalan pertama ini Raika malah bersikap memalukan seperti ini?
Salahkan wajah tampan di depannya ini. Baru beberapa detik bertemu sudah bisa membuat jantung Raika berdegup kencang. Raika merasa seperti diserang cinta pada pandangan pertama.
“Pokoknya kita nggak akan nikah sebelum Adek nikah duluan!”
Ah, sial!
Kenapa di saat seperti ini ingatan itu malah terngiang kembali di kepalanya?
***
Raika tidak ingat kapan terakhir kali dirinya bermanja-manja pada ketiga kakaknya. Perempuan berumur 24 tahun itu hanya tahu jika ketiga kakaknya masih overprotektif padanya hingga saat ini. Ingatan Raika bukan kemanjaan dirinya pada ketiga kakaknya. Melainkan pada ingatan dimana dirinya menderita saat menjadi target fans-fans ketiganya ketika masih bersekolah.Masa-masa mengerikan untuknya karena waktunya habis untuk menghadapi semua fans ketiga kakaknya. Lalu, apa yang terjadi pada ketiga kakaknya? Tentu saja mereka tidak peduli sedikit pun. Namun, karena gadis itu sudah lelah, akhirnya Raika memarahi ketiga kakaknya. Dan entah bagaimana semua fans kakak-kakaknya sudah tidak mengganggunya lagi.Raika senang mendapat perlindungan dan kasih sayang berlimpah dari ketiga kakaknya. Namun, terkadang sikap mereka bisa sangat berlebihan. Salah satunya adalah dengan janji yang mereka mereka ikrarkan dua tahun lalu. Di mana mereka tidak akan menikah sebelum dirinya.Mes
Selesai acara makan siang itu keempatnya kembali ke kantor. Sementara Aidan memilih untuk pulang. Raika menjadi sedikit pendiam, apalagi setelah beberapa kejadian memalukan baginya di restoran tadi. Dari awal perkenalan hingga makan siang, sepertinya Raika hanya mempermalukan diri. Keempatnya memasuki halaman kantor PDP. Bangunan berlantai dua itu memiliki pintu kaca untuk masuk. Dan kita akan dihadapkan pada ruang depan yang memajang display contoh mesin percetakan dan mesin fotocopy. Di lantai satu terdapat gudang, serta ruangan staff gudang. Lalu, ada pantry sekaligus tempat penyimpanan alat kebersihan. Sisanya terdapat dua toilet serta satu ruangan yang disediakan sebagai musholla. Menuju lantai atas terdapat empat ruangan. Ruangan dekat tangga adalah ruangan Bu Dina bersama Hani dan Raika. Sebelahnya terdapat ruangan Rudi bersama para teknisi, bagian pemasaran, dan penjualan. Dan ruangan paling ujung menjadi ruangan yang akan ditempati
“Adek, Ya Allah! Kamu teh kenapa pagi-pagi udah teriak?!” omel Shinta setengah berteriak di ambang pintu. Kedua matanya mendapati pemandangan asing di kamar anak gadisnya. “Kalian ngapain di kamar Adek?” tanya Shinta curiga pada ketiga anak laki-lakinya.“Kita cuma lagi bangunin Adek kok, Bu,” jawab Rama, kakak ketiga Raika, tanpa berdosa dengan senyumnya, sementara Rasya, sang kakak sulung, sedang membangunkan Raihan yang terduduk di sisi ranjang Raika.“Terus kenapa adek kalian teriak-teriak gitu?”“Ah. Itu mah emang si Adek aja yang lebay ki-aaww,” lemparan bantal tidak sakit itu menghantam kepala Rama. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang adik.“Aku nggak lebay, ya. Ini Bu, mereka masuk kamar aku terus masa Kak Raihan tahu-tahu nyium pipi aku. Kan jijik,” adu Raika pada Shinta sambil mengusap pipinya yang dicium oleh Raihan.Kini Shinta mencoba menebak kon
Bekerja di PDP seperti mendapat hadiah utama sebuah undian bagi Raika. Selain karena ini pekerjaan pertamanya, izin untuk bekerja menjadi rintangan terberat gadis itu. Rintangan untuk mendapat izin tersebut bukan berasal dari ayahnya, melainkan dari ketiga kakaknya. Bukan hal mudah untuk membujuk ketiga kakaknya, apalagi kakak sulung Raika sangat tidak setuju Raika bekerja. Menurutnya, jika Raika bekerja maka kakaknya tidak akan bisa menjaga Raika. Yang tentu saja membuat gadis itu mual dan menganggap sikap Rasya berlebihan. “Adek tuh nggak perlu kerja, udah kita aja yang kerja. Adek nanti tinggal minta aja kalau mau apa-apa.” Itu adalah ucapan Rasya saat pertama kali Raika mengutarakan keinginannya untuk bekerja. Rasya menasihatinya ini itu hingga membuat Raika pusing. Berbagai alasan diutarakan Rasya mengenai resiko Raika jika bekerja nanti. Entah itu tentang pekerjaannya, jarak dari rumah ke kantor yang jauh, serta dunia kerja yang bisa saja kejam untuk Raika. Menurut Raika, kaka
“Jangan kelamaan lo keselnya, Ka,” tegur Hani pada Raika ketika mereka memasuki waktu pulang. Raika yang mengerti maksud Hani hanya mengangguk lemah dengan senyum dipaksakan. “Emang Neng kenapa?” tanya Bu Dina tidak mengerti sambil mengangkat tas untuk memasukan laptopnya. Hani pun menjelaskan pada Bu Dina mewakili Raika. Bu Dina mengerutkan keningnya. “Ada-ada aja, ya, kakak-kakaknya Neng.” Wanita berhijab itu menggelengkan kepalanya seraya tersenyum. “Iya, Bu. Masa saya udah segede gini masih dicium-cium kakaknya. Geli, Bu.” “Kalau sama pacar dicium juga seneng-seneng aja, ya, Neng,” goda Bu Dina membuat Raika tertawa kecil. “Bukan seneng lagi, Bu. Udah berbunga-bunga kalau dicium pacar mah,” imbuh Hani ditambah tawanya. Ketiganya mulai membereskan pekerjaan. Raika membuka ranselnya dan mengambil jaket, serta sarung tangan. Bu Dina, Hani, dan Raika keluar bersama. Mereka pun sempat berpapasan dengan beberapa
Menjadi anak perempuan satu-satunya, membuat Raika memiliki privilege tersendiri di rumah. Terutama keistimewaan yang sering ia dapatkan dari ketiga kakaknya. Entah dalam bentuk materi, kasih sayang, ataupun perhatian. Jika Raika ingin membeli sesuatu, gadis itu tidak perlu mengeluarkan uang sepeser pun. Kakak-kakaknya akan dengan sukarela membelikan apapun itu. Selama masih bisa mereka sanggupi dan bukan hal membahayakan. Raika tidak lagi minta dibelikan sesuatu sejak bekerja. Apalagi meminta hadiah dari ketiga kakaknya. Namun, ketiganya masih saja membelikan sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan gadis itu. Membuat Raika tidak enak untuk menolak apalagi mengembalikannya. “Uang punya Adek ditabung aja atau beli sesuatu yang memang Adek pengen. Untuk hal lain Adek minta aja ke Kakak. Kan kakak kerja juga untuk Adek.” Kalimat mengharukan Rasya itu membuat Raika trenyuh sekaligus merasa bersalah. “Nggak gitu juga dong, Kak. Kan kakak juga pas
Aidan Satya Assyraaf atau lebih sering dipanggil Aidan adalah lelaki dengan kehidupan mapan. Menjadi cucu dari pemilik perusahaan besar membuat Aidan menjalani hidup nyaman dan tidak kekurangan apapun. Ahmad Assyraaf, sang kakek, berhasil membangun perusahaannya menjadi sebesar sekarang agar keluarganya tidak memiliki hidup yang sulit dalam hal finansial maupun sosial. Aidan sendiri masuk ke perusahaan kakeknya setelah lulus kuliah. Lelaki 27 tahun itu memulai pekerjaannya dari bawah dengan menjadi sales marketing. Dan satu tahun yang lalu, lelaki itu diangkat menjadi manager penjualan. Meski terlihat sebagai sebuah nepotisme, tetapi Aidan tidak pernah main-main dengan pekerjaannya. Semua pekerjaannya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh tanggung jawab. Semua pekerjaan berjalan lancar sampai berita tentang pensiunnya BM cabang Bandung terdengar ke telinganya. Faris, paman sekaligus Direktur PDP meminta Aidan untuk menjadi Branch Manager
Tiga minggu berlalu dan Aidan sudah mulai beradaptasi dengan pekerjaan barunya. Pada minggu pertama, lelaki itu memulai pekerjaannya dengan berdiskusi bersama para teknisi dan bagian penjualan. Membahas kesulitan apa yang mereka hadapi dan keluhan apa yang sering diberikan oleh customer terkait mesin-mesin mereka.“Beberapa customer kadang nggak mau diganggu mesinnya pas mereka lagi beroperasi, Pak,” tutur salah satu teknisi, Yoga. “Padahal mereka nelepon karena mesinnya bermasalah.”Aidan terdiam sejenak. “Kamu udah cari solusi lain terkait hal ini?”“Udah, Dan. Saya ngasih solusi ke mereka untuk mematikan mesinnya hanya di saat itu aja. Tapi kata mereka produksi nggak boleh berhenti. Istilahnya buat mereka time is money,” Rudi menjawab pertanyaan tersebut dengan bahasa formal.“Apalagi di Cahaya Warna lebih aneh lagi, si bosnya minta kita cepet datang untuk benerin warna ya