PYARR!!!
Suara gaduh terdengar dari sebuah ruangan dalam rumah sederhana yang dihuni oleh tiga orang.
JDUG!!!
Suara-suara yang sarat dengan kekerasan itu kembali menciptakan sebuah asumsi, bahwa siapapun pasti tahu, telah terjadi keributan di sana.
Seorang gadis manis berambut panjang sepinggang, terpaku di sebuah sudut ruangan. Matanya nanar, basah oleh lelehan air mata yang deras mengalir. Sementara bibirnya ia bekap rapat dengan telapak tangan. Berusaha agar tangisnya tidak lolos terdengar oleh seorang lelaki paruh baya yang saat ini sangat dibencinya. Bahkan ia memaksa untuk menggigit bibir hingga ia merasakan sedikit rasa asin pada indra pengecapnya. Nama gadis itu adalah Riska Prawesti.
Hatinya menjerit, seolah memberikan perintah pada seseorang untuk menghentikan kekacauan ini, namun kakinya bahkan tidak sanggup untuk sekedar menopang berat tubuhnya.
Sementara itu, di sudut ruangan yang lain seorang lelaki paruh baya tengah menyiksa seorang gadis yang lebih dewasa dari gadis sebelumnya.
"Beri aku uang!" kata Kasto, lelaki paruh baya itu pada gadis di depannya sambil menjambak rambut panjangnya. Mila Prameswari namanya.
"Aku tak punya," jawab Mila, gadis yang sedang tidak beruntung itu dengan tatapan dingin dan menantang. Tak ada air mata atau ucapan minta ampun yang lolos dari bibirnya, membuat si pria yang ternyata adalah pamannya sendiri semakin geram.
"Bohong!" sebuah tamparan mendarat tepat pada pipi kanan si gadis.
"Kamu dari kemarin bekerja, masa tak punya duit sedikitpun!" kata Kasto kepada keponakannya. Sementara Mila tetap memilih untuk diam dan tak menjawab apapun pernyataan dari pria itu.
Kasto yang merasa tak memiliki peluang untuk mendapatkan keinginannya, mengambil sebuah buku bertuliskan Kamus Bahasa Inggris di meja belajar sang keponakan, lantas melemparkannya ke tubuh lelah gadis itu. Lemparan itu tentulah terasa sakit, bagaimana tidak? Kamus yang sudah pasti berhalaman hingga ratusan lembar itu mendarat tepat pada tulang keringnya. Bukannya ia tak mampu membalas, namun sebuah alasan kuat membuatnya harus bertahan pada posisi ini. Menerima semuanya.
"Kuberi waktu sampai besok, sediakan uang tiga juta untukku!" ucap Kasto.
"Besok aku belum gajian, dan seandainya gajian pun uang itu akan aku gunakan untuk biaya sekolah Riska," ucap Mila dingin, membuat Kasto kembali mengurungkan niat untuk pergi dari rumah itu.
"Apa kamu kira hidup itu tak perlu uang? Sudah lama aku menampung kalian berdua, memberi tempat tinggal, memberi makan dan menyembunyikan keberadaan kalian dari para rentenir itu. Kamu pikir tak pakai uang?" gertak Kasto.
"Apa gunanya sekolah, menghabiskan waktu dan biaya. Kalau hidup itu seadanya saja, tak perlu muluk-muluk, harusnya Riska itu kau ajak bekerja. Bukannya malah menghabiskan uang banyak hanya untuk duduk-duduk dan berteduh di sekolahan. Belum lagi uang saku tiap harinya. Aku cuma minta tiga juta, itu jumlah yang tak seberapa dibanding dengan biaya yang dikeluarkan untuk kalian berdua selama ini!" tambah Kasto sembari mengayunkan kakinya keluar dari ruangan itu. Membanting pintu kayu,dan meninggalkan mereka berdua.
"Kakak ... ," Riska menghambur menuju kearah Mila, kakaknya. Ia bahkan sudah tak mampu berkata apapun ketika gadis itu merengkuhnya dalam pelukan lembut. Hanya menangis yang mampu ia lakukan. Tapi kali ini ia lepaskan rasa itu, tak mampu lagi ia menahan sesak di dadanya, yang sedari tadi ia redam. Sementara si Sulung terlihat lebih tegar, kedewasaan masih mampu membuatnya bersikap kuat.
Mila melepaskan pelukan, mengusap rambut adik kesayangannya dan menghapus lelehan air yang masih saja mengalir.
"Sudah ... , kakak tak apa-apa, lekaslah bersiap ke sekolah. Keburu siang. Sholatlah dulu, waktunya masih bisa untuk sholat. Kakak mau mandi dulu." Yang dijawab anggukan oleh gadis SMA itu.
Mila lantas berjalan masuk ke kamar mandi, ditutupnya pintu yang terbuat dari seng itu, ia menghidupkan air kran dengan keras, mencoba untuk menyamarkan tangisnya yang sudah sedari tadi ditahan. Ia merosot luruh di lantai dingin nan basah, ia biarkan air terus saja mengalir karena bak mandi yang telah terisi penuh.
Sakit ... , bukan hanya luka di tubuhnya yang terasa perih. Namun justru luka dihatinya yang kini semakin terbuka lebar, berdarah dan tersayat begitu dalam. Gadis itu terlihat begitu rapuh dan lemah.
***
Riska terpaksa menuruti permintaan kakaknya untuk berangkat ke sekolah. Dia termasuk siswa teladan di sekolahnya, selalu tertib dan nilai akademiknya memuaskan. Sekali-sekali meliburkan diri tak masalahkan? batinnya. Tapi ide itu ditolak mentah-mentah oleh Mila. Kejadian tadi pagi tak cukup menjadi alasan untuk tidak masuk sekolah.
"Ya jangan bilang tentang kejadian tadi dong kak. Bilang saja kalau aku lagi tak enak badan," kata Riska mengungkapkan idenya.
"Eh ... , belajar bohong ya?! sudah sana, pakai seragam mu, lekas sarapan lalu berangkat. Uang jajan ada di atas meja. Nanti kakak juga akan berangkat kerja." Mila memang tak terbantahkan. Meski dengan bersungut-sungut, Riska akhirnya nurut juga, setengah jam kemudian ia telah berpamitan untuk berangkat ke sekolah.
"Apa kakak yakin, mau berangkat kerja? Sesekali libur dan beristirahat kan boleh kak. Atau mau ku mintakan izin ke kak Pram?" tanya Riska menggoda sambil menaik turunkan alisnya. Tak lupa, senyuman jahil juga menghiasi wajah ayunya.
"Haisshh ... , sudah sana, berangkat," ucap Mila sambil mendorong adiknya keluar pintu. Si bungsu hanya tertawa menang, memang ia kerap kali menggoda kakaknya itu. Respon Mila yang selalu berpipi merah membuat Riska selalu mengulang kebiasaannya menggoda saudaranya itu.
Namun Riska mendadak membalikkan tubuhnya, membuat Mila berhenti melakukan aksi dorongnya. Gadis SMA itu mendadak memeluk tubuh kakaknya. Meski sempat terkejut, akhirnya Mila membalas pelukan adiknya.
"Kenapa ... ?" bisiknya sambil mengusap lembut helaian rambut orang terkasihnya.
"Kakak baik-baik ya ... " ucap Riska sambil menahan tangis, dan menenggelamkan wajahnya pada gadis yang ternyata lebih tinggi darinya itu.
"Pasti, kita pasti akan baik-baik saja. Paman tadi hanya terpengaruh dengan alkohol. Semoga nanti sudah tidak lagi." Mila mencoba mencari kalimat yang menurutnya mampu untuk menenangkan hati sang adik, meskipun sebenarnya hatinya sendiri juga mengingkarinya.
"Sudah sana, berangkat. Keburu siang, nanti telat malah kena hukuman kamu."
Akhirnya Riska meninggalkan kakaknya dengan mencium tangan dan mengucap salam.
Selepas kepergian Riska dan menutup pintu, gadis itu seperti menimbang sesuatu. Berpikir keras, mencari sebuah keputusan yang mungkin tak harus ia tanggung sendiri jika orang tuanya masih ada.
Mila memaksakan diri untuk tetap bekerja, meskipun sekujur tubuhnya terasa sakit. Ia memilih baju yang panjang untuk ia gunakan hari ini. Sekedar untuk menutup lebam yang ia dapatkan tadi pagi. Untung ia berjilbab, sehingga kerudung yang ia pakai setidaknya mampu menyamarkan luka di tempat-tempat yang biasanya terekspos oleh wanita yang tak berhijab.
***
Mila berjalan lambat di trotoar saat ia dikejutkan oleh suara klakson, membuatnya mau tak mau menoleh pada sumber suara yang berhasil menginterupsi lamunannya. Terlihat di belakangnya, sebuah mobil mewah yang familiar di netranya.
"Ayo naik ... " perintah si pemilik mobil yang ternyata adalah Shella, temannya di tempat kerja. Dan tanpa ragu-ragu Mila segera menerima ajakan temannya.
Mereka bekerja disebuah toko "Hanum Bakery" milik wanita bernama Hanum. Dan Shella ini sebenarnya adalah keponakan dari pemilik sebelumnya, bahkan sepertiga saham perusahaan adalah miliknya. Hanya saja Shella adalah seorang gadis aktif yang tentunya tak mampu jika harus berdiam diri tanpa kegiatan apapun. Maka ia mengajukan diri untuk ikut terjun langsung di perusahaan itu, sebenarnya Ny. Hanum menawarkan sebuah jabatan yang tinggi padanya, namun lagi-lagi ia tolak karena ia akan merasa bosan jika harus seharian berada di balik meja dalam sebuah ruangan tertutup. Maka ia mengajukan diri sebagai kasir di toko roti itu. Shella lebih memilih untuk bekerja di ruangan luas, bertemu langsung dengan customer memasang senyum sumringah dan saling melempar canda dengan karyawan lainnya.
"Ada apa lagi denganmu? Si brengsek itu lagi kan?" tanya Shella yang kini sudah tak lagi terkejut jika mendapati luka-luka di tubuh sahabatnya itu.
"Biasalah ... " jawab Mila sekenanya.
"Mil, ini sudah sangat keterlaluan. Harusnya kau ijinkan aku untuk membuat laporan pada kepolisian. Bukan kamu yang melapor Mil, tapi aku! Kejadian seperti ini bukan satu, atau dua kali lho ... , tapi seringkali. Ayolah Mil, kuatkan dirimu, buanglah rasa bahwa ia adalah pamanmu, karena pada kenyataanya kau sendiri tidak dianggap keponakan olehnya," Shella sangat iba melihat keadaan sahabatnya yang selalu muncul dengan luka-luka lebam.
Mila terlihat tegar, ia hanya membalas kata-kata sahabatnya dengan senyuman, dan Shella cukup tahu, apa artinya itu. Dia hanya menggelengkan kepalanya, tak mengerti dengan jalan pikiran wanita yang duduk disebelahnya itu.
"Terserah kamulah!" kata Shella pada akhirnya, sambil membuang nafasnya dengan sebal.
Mobil itupun akhirnya melaju, menuju kearah "Hanum Bakery".
TBC
by. Rinto Amicha
Di toko itu, Mila merupakan waitress favorit pelanggan, tidak hanya oleh kaum lelaki muda saja, bahkan banyak ibu-ibu yang menginginkan untuk dilayani olehnya. Sikap yang ramah serta wajah ayu, membuatnya banyak disukai. Termasuk Pram, pemuda pemilik bakery itu. Ia adalah satu-satunya anak dari Ny. Hanum. Jadi dialah pewaris tunggal usaha dari ibunya.***Mila sedang mengelap etalase besar toko saat dirasa ada seseorang yang memandangnya. Namun saat ia mengedarkan pandangannya, ia tidak menemukan siapapun yang memperhatikannya.Sementara itu, Pram yang berada di ruangannya memang sedang memperhatikan setiap gerak gerik gadis yang disukainya. Kaca gelap satu arah membuat orang yang berada diluar sama sekali tidak mengetahui aktifitas dibalik kaca. Ini sangat menguntungkan bagi Pram. Ia dapat memandangi gadis itu sepuasnya tanpa harus takut ketahuan.Tapi mendada
Seorang pria muda terlihat serius dengan tumpukan berkas yang menggunung, hampir menutupi sebagian wajahnya. Pulpen itu pasti akan menjerit jika ia bisa bersuara. Karena sejak pagi hingga hampir sore, ia digunakan. Bahkan makan siang telah lewat tiga jam yang lalu. Sementara si pemegang pulpen masih terus saja tenggelam dalam kesibukannya. Ikatan dasi telah mengendur, kancing kemeja juga telah terbuka, namun pria itu masih enggan untuk sekedar mengistirahatkan otak dan sejenak menghirup udara segar dengan ditemani cemilan mungkin.Tok ... tok ... tok ...Ketukan pada pintu nyatanya tak mampu mengalihkan pandangan matanya dari tumpukan berkas itu."Hemmm ... " jawabnya singkat."Selamat sore pak, Tuan Arkhan Wijaya datang berkunjung, beliau bersama Nyonya. Saat ini sedang menuju kemari," kata seorang Sekpri dengan berhati-hati. Pasalnya ia hafal betul dengan karakter keras bosnya itu. Tak
"MILA ... !"Meski hatinya merasa khawatir, tapi ia beranjak dan menemui seseorang yang berteriak memanggilnya. Paman Kasto."Mana uang tiga juta ku?" pinta Kasto padanya."Bagaimana bisa paman mengatakan tiga jutaku? sedangkan aku pernah meminjam apapun pada paman?" Mila mencoba untuk mengulur percakapan." Tapi kau sudah menjanjikan tiga juta itu padaku," ujar Kasto enteng." Aku tak pernah menjanjikan apapun padamu Pamanku ... " Mila sengaja menekankan kata Pamanku pada pria dewasa itu. seolah menegaskan, bahwa sangat tidak layak seorang Paman memeras uang pada keponakannya sendiri."Apalagi berjanji padamu untuk sesuatu yang tak mampu aku sanggupi," tambah gadis itu. Sementara Riska terlihat ketakutan, berlindung di balik meja makan, mengambil jarak aman dari keberadaan sang Paman."Aku kalah berjudi. Jika ka
Riska berlari keluar dari rumahnya saat Mila berteriak padanya untuk segera lari menyelamatkan diri. Dan secara tak sengaja, ia bertemu dengan Pak RT. Sejumlah warga yang tadi sempat bertemu dengan Kasto dan Mila ternyata berinisiatif untuk melaporkan kejadian itu pada perangkat kampung. Untuk sementara Riska aman berada di rumah pak RT. Warga kampung telah membuat kesepakatan untuk tidak menerima Kasto kembali ditinggal diantara mereka. Bagaimanapun juga Mila dan Riska sudah tak memiliki siapapun untuk melindungi mereka, sehingga warga kampung berkeputusan bahwa keamanan mereka berdua adalah tanggungjawab bersama.***Tommy berhasil merangkul Rafin yang masih membabi buta memukuli Kasto."Berhenti Fin, ia sudah tak bergerak. Berabe urusannya kalau ia sampai mati." Setelah diperiksa, ternyata pria itu hanya pingsan. Setidaknya kasus tak akan berbuntut panjang. Roy, yang ternyata ad
Rafin mencium bau masakan yang sangat wangi, mungkinkah tetangga sebelah sedang memasak? Perutnya mendadak meronta untuk diisi. Apalagi semalam ia telah melewatkan ritual mengisi perut karena kejadian itu. Ia segera bangkit menuju kamar mandi, waktu masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor, masih ada waktu sekitar tiga jam lagi.Sebelum keluar dari kamar, ia sempatkan untuk membuka emailnya, beberapa pesan telah ia Terima dari semalam, namun ada satu pesan yang sangat menarik perhatiannya, saputratommy621@gmail.com.***Malam ini Mila nyaris tak mampu memejamkan matanya, sebagian besar pikirannya tertuju pada Riska. Ia bahkan tak sempat untuk membawa gawainya saat Paman Kasto menyeretnya semalam. Jangankan gawai, uang saja hanya selembar sepuluh ribu, sejatinya uang itu ia persiapkan untuk biaya angkot kembali dari tempat kerja kemarin. Karena ia menerima tumpangan dari bosnya,
Rafin menatap kepergian gadis itu dengan tangan terkepal erat. Ia sungguh tak menyangka bahwa gadis itu ternyata sangat keras kepala."Tom, luangkan waktu untukku! " Rafin memberikan perintah pada Tommy.Kemudian ia segera kembali masuk ke dalam apartemennya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.***Kasto dibawa ke sebuah ruangan yang sama sekali tidak ia kenali. Entah sudah berapa jam ia pingsan. Yang pasti ia bangun menjelang subuh. Ia tidur di sebuah ruangan yang lebih mirip seperti gudang. Tumpukan barang tak terpakai teronggok di setiap sudut. Sebuah sofa usang dan kursi-kursi rusak ada di sudut yang lainnya.Bau debu jelas sekali terasa, ditambah lagi suara tikus yang sesekali terdengar mencicit. Kasto masih bertanya-tanya, dimanakah ia berada saat ini, cahaya masuk melalui sebuah pintu yang tak tertutup sempurna me
Hampir seminggu Kasto tak pulang ke rumah, namun sepulang dari bekerja, Mila terkejut saat Riska mengatakan bahwa Paman Kasto baru saja pulang."Kamu gak kenapa-napa kan Ris?" tanya Mila khawatir."Gak kak, Paman bawa banyak makanan enak lhoh kak, tumben. Kata Paman semua untuk kita. Bahkan Paman beliin juga kebutuhan dapur, tu ada mie instan dalam kardus dan beras di karung. Apa Paman menang judi ya kak? Berarti haram dong ... , gimana kak?" tanya Riska kebingungan pada kakaknya."Sudah, tak usah kau pikir Paman dapat uang darimana, syukurlah kalau Paman tak lagi berbuat kasar."Mila tahu pasti, uang Paman banyak karena ia baru saja mendapatkan tiga ratus juta dari Rafin. Uang sialan yang kini ditanggungnya dan entah hingga kapan akan lunas. Keningnya terasa berdenyut saat memikirkan hutangnya.***Hubungan Pram da
Rafin memesankan sepaket makan siang lengkap dengan buah dan puding, kemudian ia kirimkan ke apartemennya. Ia sendiri bahkan melewatkannya, hanya memesan snack dan secangkir kopi, demi untuk segera menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung.Tiba-tiba sebuah ketukan menginterupsi kegiatan kebutnya. Rupanya Tommy."Berita apa yang kau bawa, sehingga membuatmu datang menemuiku?" tanya Rafin kepada sahabatnya."Apakah aku harus memiliki alasan penting hanya untuk menemui sahabat baikku sendiri?" tanya Tommy yang balas bertanya pada pemuda yang super sibuk itu.Rafin hanya diam saja, tangannya masih sibuk menari-nari di atas tumpukan berkas yang telah lebih dari separuh ia selesaikan."Tadinya aku mampir untuk mengajakmu makan siang, tapi sepertinya kau tak tertarik." Tommy mengemukakan alasan kedatangannya."Ak