Rafin mencium bau masakan yang sangat wangi, mungkinkah tetangga sebelah sedang memasak? Perutnya mendadak meronta untuk diisi. Apalagi semalam ia telah melewatkan ritual mengisi perut karena kejadian itu. Ia segera bangkit menuju kamar mandi, waktu masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor, masih ada waktu sekitar tiga jam lagi.
Sebelum keluar dari kamar, ia sempatkan untuk membuka emailnya, beberapa pesan telah ia Terima dari semalam, namun ada satu pesan yang sangat menarik perhatiannya, saputratommy621@g***l.com.
***
Malam ini Mila nyaris tak mampu memejamkan matanya, sebagian besar pikirannya tertuju pada Riska. Ia bahkan tak sempat untuk membawa gawainya saat Paman Kasto menyeretnya semalam. Jangankan gawai, uang saja hanya selembar sepuluh ribu, sejatinya uang itu ia persiapkan untuk biaya angkot kembali dari tempat kerja kemarin. Karena ia menerima tumpangan dari bosnya, maka uang itu masih utuh di sana. Ia baru menyadari, lain kali ia akan menyiapkan uang lebih pada kantongnya jika suatu saat terjadi hal mendadak lagi. Semoga saja tidak, batinnya. Ia melihat jam dinding, angka pendek bahkan baru menunjuk di angka tiga. Ia ingat, dalam lemari di kamar ini ia menemukan sebuah mukena. Kemudian ia memutuskan untuk melakukan sholat malam, dan ia sambung dengan berzikir hingga adzan subuh berkumandang.
Hatinya terasa lebih ringan saat ia selesai berzikir. Kembali diedarkan pandangannya ke seluruh isi kamar. Ia sangat yakin, ini adalah kamar perempuan, bahkan pakaian yang ada didalam almari pun semuanya pakaian perempuan. Mungkinkah pria itu tinggal bersama seorang wanita? Entahlah. Mila tak ingin menerka-nerka. Ia kemudian memutuskan untuk keluar kamar, membuat sarapan untuk mereka berdua sepertinya sebuah ide bagus dan tidak berlebihan.
Ia edarkan pandangan keseluruhan ruangan, lampu-lampu yang tak perlu, ia padamkan, membuat pencahayaan menjadi lebih temaram. Mila menuju ke ujung sebuah ruangan, ia lihat pantry minimalis. Semua peralatan masak sederhana tersedia lengkap di sana, terlihat rapi dan sama sekali tak berdebu. Mungkinkah pria itu sering memasak? Ia melangkah menuju kulkas dan membukanya.
Hhmm ..., hanya ada telur, sosis dan bahan instan lainnya. Nyaris tak ada sayuran, namun beberapa minuman kaleng khas pria dewasa ada didalamnya. Dengan bahan seadanya, Mila memutuskan untuk membuat nasi goreng, semoga pria itu tidak keberatan dengan apa yang dilakukannya.
***
Rafin sama sekali tak menduga jika bau masakan ini berasal dari kitchennya sendiri. Seorang gadis berhijab terlihat cekatan memasak di sana. Memakai sebuah kaos lengan panjang dan celana jeans yang masih sama dengan yang tadi malam, Mila menikmati kegiatan memasaknya, tak menyadari bahwa seseorang telah berada dekat dengan pantry. Rafin tak mau mengganggu kesibukan gadis itu, ia memilih untuk menyalakan laptopnya, memeriksa laporan-laporan kantor yang masuk pada email nya.
Mila sendiri seakan baru menyadari bahwa ada pemilik rumah di ruangan yang bersebelahan dengannya. Dengan canggung ia meletakkan dua porsi nasi goreng, lengkap dengan toping telur mata sapinya dan mentimun. Irisan cabe merah dan daun bawang menambah indah tampilan menu sederhana itu, apalagi ditambah dengan taburan bawang goreng kesukaannya, membuat selera makannya bangkit pagi itu. Namun Rafin berusaha untuk bersikap acuh dan dingin. Tak bergeming meskipun gadis itu telah duduk di hadapannya.
"Aku hanya ingin mencoba untuk membalas kebaikanmu, maaf atas kelancanganku membuat rumahmu berantakan. Kupukir, seporsi nasi goreng akan baik untuk sarapan sebelum kita sama-sama beraktifitas di pagi ini, " ujar Mila sedikit sulit untuk menemukan kata-kata karena pria itu terlihat sangat kaku dan dingin.
Rafin hanya berdehem, sama sekali tak mengalihkan pandangan dari laptop dihadapannya. Mila hanya memahami bahwa deheman tadi adalah sebagai ungkapan persetujuannya.
"Kau biasa minum kopi atau susu untuk menemani sarapan, maaf, biar aku buatkan," tanya Mila.
"Kopi ... ," jawabnya tanpa menoleh.
Mila segera bangkit dan tersenyum, setidaknya ia merasa lega karena hal yang ditakutkannya tidak terjadi.
"Dengan sedikit gula ... " pria itu kembali menambahkan kalimatnya.
Mila menghentikan langkah sesaat dan akhirnya ia kembali berkutat dengan dua buah gelas. Air putih untuknya, dan kopi untuk pria itu.
Mila kembali dengan membawa sebuah gelas pada masing-masing tangannya. Ia meletakkan kopi dan duduk dengan mengambil jarak pada pria itu.
Rafin menyeruput kopinya. Sekilas ia lirik gadis pembuat kopi itu, tampak sedang duduk dengan gelisah dan meremas-remas jemari tangannya. Seolah sedang menyusun kata-kata yang tepat untuk diucapkan.
"Bolehkah aku pulang pagi ini? Aku harus kembali bekerja dan besok aku akan kemari lagi untuk mengembalikan baju ini."
Rafin sebenarnya tengah berusaha untuk menahan tawanya, sungguh menggelikan melihat mimik muka gadis ini saat mengatakan permohonannya. Namun pada kenyataannya tak ada secuil pun senyum yang terbit di bibirnya. Wajahnya sungguh dingin. Ia menghela nafas dalam. Kali ini tatapannya mengarah pada Mila, membuat gadis itu semakin salah tingkah.
"Kamu tiba-tiba datang padaku dengan masalah rumitmu, menyeretku dalam ceritamu yang bikin pusing, membuatku harus berhadapan dengan bajingan tengik itu semalam, mengharuskanku melunasi hutangnya, dan kini kau mau pergi begitu saja, lalu akan kembali esok hari hanya untuk mengembalikan baju? " ucap Rafin panjang lebar kepada Mila.
Sementara gadis itu seperti terkejut dengan semua penuturan pria itu. Tapi, bukankah memang benar apa yang diucapkannya barusan? Kecuali ... , tentang hutang Pamannya. Ia harus menegaskan kembali kebenarannya.
"Maaf, tentang hutang paman, Insya Allah akan saya cicil jika saya menerima gaji." Mila mencoba meyakinkan pria itu.
Rafin hanya mampu membuang kasar nafasnya, mencoba untuk membaca raut wajah Mila yang terlihat bersungguh-sungguh.
"Kau mau menghabiskan gajimu seumur hidup untuk mencicil hutangmu?" tanya Rafin.
"Berapa hutang Pamanku? " tanya Mila yang merasa diremehkan oleh kata-kata Rafin.
" Lima ratus juta rupiah. Tidak kurang dari itu, tapi kamu boleh jika ingin membayar lebih dari itu."
"LIMA RATUS JUTA?! " tanya Mila berteriak tak percaya.
"Biasa aja kaleeee, gak usah teriak begitu. Aku belum budeg, " kata Rafin santai sambil kembali menyesap kopinya.
Mila baru saja merasa bahwa nyawanya melayang, dan kini telah kembali dengan keadaan yang membingungkan. Ia seperti bermimpi, mungkinkah ini sebuah kenyataan? Ia mengerjapkan matanya berkali-kali.
Pasti ada yang salah dengan semua ini. Ia yakin bahwa orang yang berada di depannya adalah orang baik, apakah mungkin Pamannya telah berbohong? Bukankah semalam Paman hanya meminta uang senilai tiga juta saja? Kenapa sekarang berubah jadi ratusan kali lipat? Untuk memberi tiga juta saja ia perlu mencicilnya, lalu harus sampai berapa lama ia melunasi hutang yang sebegitu besarnya? Bukan hanya seumur hidup ia harus mencicil hutang, bisa-bisa sampai ia mati juga masih menyisakan hutang.
"Tak perlu bingung, aku punya penawaran untukmu. Selesai kau menjalankan penawaran dariku, hutangmu ku anggap lunas, " Rafin mencoba memberinya sebuah penawaran pada gadis yang terlihat kebingungan itu.
"Apa penawarannya? " tanya Mila antusias.
" Nanti, kita sarapan dulu. Kulihat kau sudah menyiapkan nasi goreng untukku."
Rafin lantas mulai menyuapkan nasi gorengnya. Sesaat ia menaikkan alisnya, sungguh masakan gadis ini sangatlah sempurna. Terlihat sederhana, namun memiliki cita rasa seperti chef restoran bintang lima.
"Masakanmu enak, apa kau bekerja sebagai chef?" tanya Rafin di sela sarapannya.
"Bukan, aku bekerja hanya sebagai karyawan toko kue."
Kemudian tak ada lagi obrolan di antara mereka, hingga Rafin menghabiskan sarapannya dan membawa piring kotornya serta mencucinya sekaligus. Ia kemudian kembali dengan segelas air putih. Sementara Mila masih menghabiskan sarapannya.
***
Mila meninggalkan kamar apartemen itu dengan perasaan sedikit bimbang.
(30 menit yang lalu)
"Menikahlah denganku, lahirkan seorang anak laki-laki untukku, aku akan mencukupi semua kebutuhanmu dengan mewah. Dan kita akhiri kerjasama kita. Aku akan memberikan pesangon yang besar untuk untukmu. Mudahkan? " Rafin menyelesaikan kalimatnya sementara Mila membelalakkan matanya tak percaya.
"Bagaimana?" tanya Rafin pongah.
"Cukup. Ijinkan aku pulang sekarang. Akan ku bayar hutang ku jika memang harus menghabiskan waktu seumur hidup," ucap Mila yang sungguh diluar dugaannya. Ternyata Mila adalah orang yang sulit untuk ditaklukkan dengan uang.
Mila baru saja melangkah keluar dari lift saat pintu lift di sebelahnya juga terbuka dan muncul pria sombong yang tadi. Berusaha menghentikan langkah kakinya, bahkan mencekal tangannya.
"Sebelumnya aku tak pernah melakukan ini pada siapapun, kumohon ... , menikahlah denganku." Mila bahkan semakin heran dengan tingkah pemuda itu, bagaimana bisa ia mengajak orang asing untuk menikah?
" Maaf, aku tidak berminat. Sudah kukatakan bahwa aku akan rela menghabiskan seumur hidupku untuk membayar cicilan hutang Pamanku. Apakah kau tak memiliki kekasih? Harusnya kau ajak ia menikah, bukannya malah aku yang jelas-jelas adalah orang asing bagimu," ucap Mila berapi-api.
"Tolong pertimbangkan lagi," Rafin masih berharap gadis itu menerima tawarannya.
"Pernikahan bukanlah permainan, aku tak mungkin menyerahkan kesucianku pada orang yang tak ku kenal," ujar Mila sambil berlalu meninggalkan pemuda itu.
"Bagaimana jika sebagai tambahannya aku akan memerintahkan orang-orangku untuk menemukan ayahmu? Aku janji ... , sampai dapat."
Mila yang sudah melangkah meninggalkannya, kembali menoleh dan terkejut saat didengarnya kalimat yang terucap dari bibir pria itu.
"Dari mana kau tau perihal ayahku?" tanya Mila keheranan.
"Uang membuatku dapat melakukan apapun yang kuinginkan." Rafin mencoba untuk menunjukkan pada gadis itu, betapa kayanya ia.
...
"Maaf, simpan saja uangmu untuk hal-hal yang lebih bermanfaat. Aku tak tertarik dengan penawaranmu. Meskipun berat dan mungkin akan menyakitkan, aku lebih memilih untuk mencicil hutang ku dan menunggu kepulangan ayah di rumah kami. Terimakasih banyak atas pertolonganmu dan maafkan aku karena tak mampu memenuhi permintaanmu. Permisi."
Kini Mila melangkah pergi dengan sangat yakin. Tak ingin lagi menoleh ataupun kembali lagi. Dengan selembar kertas sepuluhan ribu, ia kini berada di sebuah halte bus bersama dengan penumpang lain yang juga akan menaiki armada yang sama, searah dengan dirinya.
***
"Bagaimana keadaan kakak. Apakah kakak baik-baik saja, semalam kakak tidur dimana, mengapa tidak memberiku kabar apapun?" Riska langsung memberondong Mila dengan pertanyaan saat melihat saudaranya telah kembali pagi ini.
Mereka berpelukan dalam tangis haru. Riska bercerita banyak mengenai kejadian tadi malam, bagaimana ia yang harus tidur di rumah pak RT dan tentang reaksi warga yang melindunginya. Mila sangat bersyukur, karena Riska baik-baik saja.
"Kamu belum sarapan kan?" tanya Mila pada adiknya.
"Sudah kak, tadi di tempat pak RT."
"Ya sudah, bersiap-siaplah ke sekolah. Jangan sampai terlambat. Kakak juga akan masuk kerja."
-TBC
By. Rinto Amicha
Rafin menatap kepergian gadis itu dengan tangan terkepal erat. Ia sungguh tak menyangka bahwa gadis itu ternyata sangat keras kepala."Tom, luangkan waktu untukku! " Rafin memberikan perintah pada Tommy.Kemudian ia segera kembali masuk ke dalam apartemennya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.***Kasto dibawa ke sebuah ruangan yang sama sekali tidak ia kenali. Entah sudah berapa jam ia pingsan. Yang pasti ia bangun menjelang subuh. Ia tidur di sebuah ruangan yang lebih mirip seperti gudang. Tumpukan barang tak terpakai teronggok di setiap sudut. Sebuah sofa usang dan kursi-kursi rusak ada di sudut yang lainnya.Bau debu jelas sekali terasa, ditambah lagi suara tikus yang sesekali terdengar mencicit. Kasto masih bertanya-tanya, dimanakah ia berada saat ini, cahaya masuk melalui sebuah pintu yang tak tertutup sempurna me
Hampir seminggu Kasto tak pulang ke rumah, namun sepulang dari bekerja, Mila terkejut saat Riska mengatakan bahwa Paman Kasto baru saja pulang."Kamu gak kenapa-napa kan Ris?" tanya Mila khawatir."Gak kak, Paman bawa banyak makanan enak lhoh kak, tumben. Kata Paman semua untuk kita. Bahkan Paman beliin juga kebutuhan dapur, tu ada mie instan dalam kardus dan beras di karung. Apa Paman menang judi ya kak? Berarti haram dong ... , gimana kak?" tanya Riska kebingungan pada kakaknya."Sudah, tak usah kau pikir Paman dapat uang darimana, syukurlah kalau Paman tak lagi berbuat kasar."Mila tahu pasti, uang Paman banyak karena ia baru saja mendapatkan tiga ratus juta dari Rafin. Uang sialan yang kini ditanggungnya dan entah hingga kapan akan lunas. Keningnya terasa berdenyut saat memikirkan hutangnya.***Hubungan Pram da
Rafin memesankan sepaket makan siang lengkap dengan buah dan puding, kemudian ia kirimkan ke apartemennya. Ia sendiri bahkan melewatkannya, hanya memesan snack dan secangkir kopi, demi untuk segera menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung.Tiba-tiba sebuah ketukan menginterupsi kegiatan kebutnya. Rupanya Tommy."Berita apa yang kau bawa, sehingga membuatmu datang menemuiku?" tanya Rafin kepada sahabatnya."Apakah aku harus memiliki alasan penting hanya untuk menemui sahabat baikku sendiri?" tanya Tommy yang balas bertanya pada pemuda yang super sibuk itu.Rafin hanya diam saja, tangannya masih sibuk menari-nari di atas tumpukan berkas yang telah lebih dari separuh ia selesaikan."Tadinya aku mampir untuk mengajakmu makan siang, tapi sepertinya kau tak tertarik." Tommy mengemukakan alasan kedatangannya."Ak
Rafin telah memberikan perintah pada Tommy, untuk segera memperkarakan kasus Mila ke pihak yang berwajib. Dan hanya dalam beberapa jam saja, Kasto telah ditangkap dengan tuduhan penganiayaan.Rafin melakukan itu karena Mila tak bersedia untuk meninggalkan rumah itu. Padahal keselamatan hidup mereka tidak terjamin jika pria brengsek itu masih berkeliaran.Rafin bahkan telah menawarkan apartemennya untuk ditinggali bersamanya dan Riska, demi keamanan. Namun Mila tetap menolak dengan alasan karena mereka belum menikah. Dan itulah jalan keluar satu-satunya yang terbaik menurut Rafin, dengan cara menyingkirkan Kasto. Sebenarnya bisa saja ia mengirim orang-orangnya untuk menyingkirkan pria kurang ajar itu, tapi biarlah Kasto merasakan hidup dibalik jeruji besi bercampur dengan pelaku kriminal yang lain, tanpa ia harus susah-susah bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Biar Kasto juga merasakan perlakuan bur
Di dalam sebuah restoran bergaya Eropa, terdapat sebuah ruang VIP yang hanya akan ditempati jika melakukan pemesanan sebelumnya. Seorang pria setengah baya, mengenakan setelan resmi lengkap dengan jas dan dasi, ditemani oleh dua orang wanita yang mengenakan gaun indah. Seorang wanita berusia hampir setengah abad, dengan potongan rambut sebatas bahu, jepit pita hitam minimalis menghiasinya, menambah kesan elegan pada tatanan rambutnya,seorang wanita yang lainnya berusia lebih tua, kisaran lebih dari tujuh puluh tahun, namun secara fisik ia masih terlihat berusia enam puluhan, masih jernih berpikir dan masih beraktivitas normal meskipun hanya aktivitas ringan."Aku tak akan menyetujui jika nanti yang dibawa bocah tengik itu adalah perempuan yang suka mengumbar pusar dan payudaranya itu." Wanita yang lebih sering disapa Oma itu mulai membuka pembahasan kala menu pembuka telah dihidangkan." Aku juga tidak akan
"Aku menyukai gadis itu. Semoga ia bisa merubah sifat-sifat buruk bocah tengik macam Rafin. Walaupun terkesan lugu, aku yakin ia memiliki kepribadian yang kuat. Aku benar-benar tak peduli ia berasal dari keluarga mana, tapi yang jelas aku merestui hubungan mereka. Lekas tentukan tanggal pernikahan mereka, jangan lebih dari tujuh hari. Buat momen yang mewah untuk acara ini. Secepatnya." Oma berkata panjang lebar yang disetujui oleh putra dan menantunya."Aku ingin, besok mereka segera pindah ke rumah ini, aku tak ingin terjadi sesuatu dengan keduanya karena ulah paman mereka.Setelah menikah barulah Mila bisa ikut Rafin ke apartemen," ujar Ny. Nara."Boleh." Tn. Arkan menyetujui usulan dari istrinya.Sudah terbayang betapa rumah itu akan menjadi lebih ramai dengan kehadiran dua anak perempuan. Sudah lebih dari lima tahun rumah itu ditinggalkan oleh putri Tuan Arkan. Cintia namanya.
Seorang lelaki keluar dari pekarangan nya yang sederhana, dengan menenteng sebuah arit dan tomblok atau tempat untuk menampung rumput, berbentuk bulat biasa terbuat dari anyaman bambu. Ia berniat untuk pergi menuju kebun sambil mencari rumput untuk ternak sapinya. Urat-urat di tangannya menandakan betapa keras ia bekerja. Pagi ini perutnya telah terisi dengan sepotong Ubi bakar yang berukuran besar.Desa itu bukanlah tanah kelahirannya, namun ia begitu mencintai tempat itu. Beberapa tahun yang lalu, ia datang ketempat ini, menyewa kamar untuk hidupnya selama beberapa bulan. Namun saat dirasa ia cocok dengan tempat itu, maka dihabiskannya uang yang ia bawa untuk membeli sepetak tanah dan kemudian mendirikan sebuah rumah sederhana yang hingga saat ini ia tempati sendirian.Usia yang belum terlalu tua membuatnya masih sanggup untuk mengurus seekor sapi dan beberapa ayam peliharaan. Sepetak sawah yang tak
Mila dan Rafin berangkat bersama pada penerbangan siang, sedangkan Riska, Mama, Papa dan Oma akan menyusul pada sore hari karena Tn. Wijaya ada urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.Selama perjalanan, Mila dan Rafin sama sekali tidak bercakap-cakap. Tak ada keakraban atau candaan. Mereka seperti orang asing. Rafin yang masih sibuk dengan laporan-laporan dan Mila memilih untuk mendengarkan musik dari ponselnya menggunakan headset.Hingga saat memasuki pesawat, Mila masih tak ada niatan untuk membuka percakapan. Lagipula pria di sampingnya ini bukanlah orang yang asik diajak ngobrol lebih baik tidur batinnya. Rafin sendiri malah memilih untuk membaca buku.Setelah dua jam, akhirnya mereka telah sampai di kota tujuan. Mereka sudah mendapatkan jemputan oleh orang-orang suruhan Tn. Wijaya. Dan sekitar setengah jam kemudian sampailah mereka pada sebuah rumah mewah. Terlihat asr