Rafin memesankan sepaket makan siang lengkap dengan buah dan puding, kemudian ia kirimkan ke apartemennya. Ia sendiri bahkan melewatkannya, hanya memesan snack dan secangkir kopi, demi untuk segera menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung.
Tiba-tiba sebuah ketukan menginterupsi kegiatan kebutnya. Rupanya Tommy.
"Berita apa yang kau bawa, sehingga membuatmu datang menemuiku?" tanya Rafin kepada sahabatnya.
"Apakah aku harus memiliki alasan penting hanya untuk menemui sahabat baikku sendiri?" tanya Tommy yang balas bertanya pada pemuda yang super sibuk itu.
Rafin hanya diam saja, tangannya masih sibuk menari-nari di atas tumpukan berkas yang telah lebih dari separuh ia selesaikan.
"Tadinya aku mampir untuk mengajakmu makan siang, tapi sepertinya kau tak tertarik." Tommy mengemukakan alasan kedatangannya.
"Aku hanya ingin pekerjaan cepat selesai."
"Oh, ayolah bro, janganlah kau bersikap berlebihan seperti ini. Kau butuh istirahat. Jangan cuma mengejar harta, uangmu itu tak akan habis jika dipakai hingga tujuh turunan tanpa bekerja. Jangan lupa, kau itu masih terlalu muda untuk beruban. Kan jadi terlihat gak keren kalau sahabatku yang kaya dan keren ini terlihat lebih tua dari umurnya," ujar Tommy menyindir Rafin. Namun rupanya sindiran itu tak berlaku bagi Rafin, karena pada kenyataannya pemuda itu tetap berjibaku pada belahan jiwanya yang berwujud tumpukan kertas itu.
"Tunggu Tom, aku akan menyelesaikan satu kasus saja, setelah ini aku akan membicarakan sesuatu padamu."
Tommy hanya mengiyakan permintaan sahabatnya itu, sedangkan ia sendiri memilih untuk menyibukkan diri dengan membaca majalah yang ada dibawah meja tamu Rafin, sesekali ia menikmati kudapan yang ia ambil dari kulkas mini yang sengaja Rafin sediakan untuk pribadi.
***
Mila perlahan keluar dari kamar saat didengarnya bunyi bel di pintu. Kepalanya masih agak berdenyut saat ia lebih banyak bergerak. Nyeri.
Apa mungkin yang datang adalah pemuda itu? Tapi bukankah aneh jika ada seseorang yang memencet bel di apartemennya sendiri?
Berarti jelas bukan pria itu. Batinnya berperang sendiri. Mencoba menebak-nebak siapa gerangan seseorang yang memencet bel di sana.
Saat ia melihat dari lubang lensa, terlihat wajah seorang pria dengan memakai seragam khas jasa online. Maka Mila segera membuka pintu. Tampaklah seorang pria dengan wajah yang ramah, tampak tersenyum dengan menenteng sebuah bungkusan yang mengeluarkan bau yang lezat.
Pria itu lantas memintanya untuk menandatangani faktur pembelian sebagai tanda bukti bahwa pengiriman barang telah berhasil.
"Terimakasih banyak kak."
Pria itu hanya mengiyakan.
Mila membukanya di kamar, ia tahu bahwa isinya adalah makanan. Baunya sungguh menggoda. Di dalamnya ada sup daging sapi lengkap bakso dan sosis. Ada juga ayam crispy dan sambal. Sedangkan untuk minumannya ia mendapati es buah dengan isian lengkap. Sungguh menu yang sangat lengkap dengan porsi besar. Disela-sela nya terselip sebuah memo yang bertuliskan "HABISKAN DAN JANGAN KEMANA-MANA!" Mila cukup tahu, siapa lagi yang akan mengucapkan kata-kata lugas dan terkesan kasar, selain pria itu.
Diam-diam Mila tersenyum, ia hanya mengambil es buah dan ayam crispy saja. Selebihnya ia masukkan kedalam kulkas, yang kini telah terisi penuh dengan bahan makanan. Rupanya pria itu habis belanja. Mila hanya mengambil piring dan gelas saja. Lantas kembali masuk kedalam kamar.
Menikmati makan siangnya didalam diam, sambil menikmati lagu slow yang diputar dengan volume sedang. Cukup membuat hatinya yang sedang sedih menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Setelah semua telah habis, ia meminum obatnya, membereskan semua bekas makannya dan kembali masuk kedalam kamar. Perut yang telah terisi dan alunan musik yang tenang membuat matanya menjadi berat. Dan tak lama kemudian ia telah masuk kedalam dunia mimpi.
***
"Persiapkan seorang pengacara untuk Mila. Semalam ia datang ke apartemen dengan keadaan yang sangat mengenaskan." Rafin membuka percakapannya.
"Maksudmu?" tanya Tommy yang masih belum paham dengan kata "mengenaskan" yang tadi disebutkan oleh Rafin.
Semalam Mila datang dengan wajah yang hampir seluruhnya tertutup oleh darah. Aku kurang tau pasti apa yang terjadi sesungguhnya. Karena semalam ia langsung pingsan dan hingga aku berangkat ia bahkan belum siuman. Namun dari kurir yang aku kirimkan untuk mengantar makan siangnya tadi mengatakan bahwa paketnya diterima oleh gadis dengan kapas di keningnya. Berarti ia sudah siuman." Rafin memberikan penjelasan yang panjang.
Tommy tak menyangka jika Kasto akan berbuat kasar pada Mila kembali. Walaupun Rafin belum berhasil mengorek informasi sebab Mila terluka, namun Tommy yakin bahwa pelakunya pastilah lelaki brengsek itu lagi. Sungguh tak dapat dipercaya, bahkan uang senilai tiga ratus juta tak mampu membuat lelaki itu jera. Memang harus segera diambil tindakan.
***
Rafin pulang tiga jam lebih awal dari biasanya. Namun ia heran saat didapatinya apartemennya yang sepi seperti tak berpenghuni. Kemanakah gadis itu? Batin Rafin bertanya-tanya. Mungkinkah ia pergi tanpa berpamitan kepadanya? Lalu bagaimana dengan lukanya semalam? Benak pemuda itu masih diliputi rasa penasaran. Namun saat ia mendengar musik yang mengalun lembut dari sebelah kamarnya, Rafin sedikit merasa lega. Kakinya ia ayunkan menuju ruangan itu. Tidak dikunci. Pelan-pelan ia membuka kamar, terlihat gadis itu masih tertidur pulas, selimut menutupi sebagian tubuhnya. Kapas berplester juga masih menempel di dahinya. Rafin tak mau mengganggu istirahat Mila. Ia hanya menyalakan lampu kamar saja dan langsung keluar.
Ia kemudian memasuki kamarnya sendiri, sekedar bebersih diri dan meluruskan punggung.
Rrrrrrrrrrr...
Tiba-tiba sebuah suara terdengar cukup keras terdengar dari perutnya, ia baru ingat, bahwa sudah melewatkan makan siangnya tadi. Ia melangkah kearah kitchen nya, membuka kulkas, berniat untuk mencari biskuit, sekedar untuk mengganjal perutnya. Namun pandangannya tertuju pada bungkusan asing, yang setelah ia buka ternyata menu yang ia pesanan tadi siang. Lalu mengapa makanan ini masih ada, bahkan sup itu terlihat utuh, juga segelas susu putih, itu berarti susu yang ia siapkan untuk sarapan gadis itu pagi tadi. Mungkinkah menu yang ia pilihkan tidak sesuai dengan seleranya?
Ia sebenarnya masih penasaran, apa yang membuat gadis keras kepala itu kembali menemuinya. Ia akan menanyakannya nanti. Rafin hanya mengambil susu putih dingin buatannya tadi pagi, ia yakin susu itu masih utuh. Ia juga mengambil sekotak biskuit, kemudian ia kembali ke kamarnya. Meneruskan pekerjaan yang ia tinggalkan tadi.
***
Mila sedikit heran, bukankah tadi ia tidak menghidupkan lampu? Kenapa sekarang jadi terang? Apa mungkin pria itu masuk ke kamarnya dan menghidupkan lampu kamar ini? Itu berarti bahwa posenya yang sedang tertidur sudah dilihat oleh Rafin. Ada semburat merah di pipinya, wajahnya sedikit menghangat. Benar-benar memalukan.
Mila bangkit dan duduk di pinggiran ranjang, mencoba untuk sedikit menyesuaikan keadaan. Kepalanya masih terasa agak pening, ada denyutan seiring dengan detak jantung di bagian keningnya yang terluka. Dengan masih berhati-hati, Mila mulai berdiri dan melangkah menuju kamar mandi. Sekedar untuk membersihkan diri sendiri dan mengambil air wudhu. Setelahnya ia keluar dari kamarnya.
Tak ada siapapun. Sepi. Tapi ia yakin bahwa pria itu telah pulang dari kantor. Beberapa lampu telah menyala dan itu bukanlah hasil dari perbuatannya,dan itu menandakan bahwa ada pria itu disini.
Ia berinisiatif untuk menyiapkan makan malam untuk mereka berdua. Ia ingat bahwa masih ada beberapa menu di kulkas. Menu makan siangnya tadi. Bagi Mila bukan suatu hal yang harus dipaksakan saat harus makan dengan menu yang dihangatkan kembali, entah dengan pria itu, Mila tak akan ambil pusing. Yang ingin ia lakukan hanya menyiapkan makan malam, jika pria itu tak mau ya sudah. Toh ia adalah orang kaya, bukan perkara yang sulit untuk mengorder makanan kesukaannya nanti.
***
Rafin membuka pintu kamarnya, melihat seseorang sedang sibuk berkutat dengan kesibukannya di pantry. Ada sebersit rasa lega yang terbit di hatinya. Lega karena gadis itu bisa kembali beraktifitas, meskipun masih terlihat lemah. Rafin mendekatinya dan berdehem untuk memberitahu gadis itu,kalau mereka sudah berada dalam jarak yang dekat.
Mila lantas menoleh sekilas dan kemudian melanjutkan kegiatannya kembali. Memindahkan soup yang sudah dipanaskan ke dalam sebuah mangkuk. Tangannya membuka lemari penyimpanan piring dan mangkuk, namun sayang ia tak mampu menggapainya. Rafin sedikit menertawakan tingkah Mila yang menurutnya terlihat lucu. Mila bahkan sampai berjinjit untuk mengambilnya. Dan anehnya,Mila sama sekali tidak minta bantuannya untuk mengambil barang yang di maksud.
"Kau mau ambil yang mana?" tanya Rafin mendekat pada gadis itu, berniat untuk menolong.
"Mangkuk untuk sup dan tiga buah piring," jawab Mila yang terlihat malu.
Rafin tentu saja dengan mudah dapat mengambil barang yang dibutuhkan oleh Mila.
“Terima kasih," ucap gadis itu yang hanya dijawab dengan sebuah deheman oleh Rafin. Mila kemudian dengan cekatan menuangkan isi panci itu kedalam mangkuk, memindahkan nasi beserta lauknya.
Mila lantas melewati pemuda itu sambil membawa menu santapan makan malam mereka, dan Rafin membawakan piring yang tersisa tanpa diminta.
Rafin sudah menunggu, namun gadis itu masih bolak-balik mengambil sesuatu, hingga akhirnya meja telah hampir penuh.
"Duduk dan makanlah, agar kau bisa minum obat." Rafin seakan memberikan perintah yang akhirnya segera dituruti oleh Mila. Mereka makan malam dalam diam, nyaris tak ada obrolan di antara Mila dan Rafin.
Hingga akhirnya Mila telah menyelesaikan aktivitasnya. Rafin kemudian berinisiatif untuk membereskan bekas makan mereka. Mila sedang beranjak dari duduknya saat Rafin memberikan perintah untuk tetap diam ditempat, dengan alasan bahwa tak seharusnya Mila banyak beraktifitas. Jika hanya mencuci piring Rafin sudah biasa melakukannya.
Dan benar saja, Mila masih berada ditempat saat Rafin telah selesai membersihkan semuanya.
Rafin mengambil tempat duduk seperti tempatnya semula.
"Apa yang terjadi padamu?" tanya pria itu.
Mila sulit mencari jawaban untuk pertanyaan Rafin yang terdengar sangat sepele itu. Namun sungguh sulit baginya untuk menemukan kata-kata yang tepat.
"Aku memutuskan datang padamu bukan tanpa alasan, sebenarnya aku benci dengan keputusanku kali ini. Tapi kupikir aku tak memiliki pilihan lain lagi." Mila mengatakannya dengan kepala yang tertunduk penuh,seakan-akan ingin membicarakan aib sendiri. Antara rasa malu dan takut, namun dia rasa ini harus tetap ia ungkapkan.
Rafin bahkan hampir menahan nafas dalam setiap tarikannya. Menunggu kelanjutan kalimat yang akan dikatakan oleh gadis itu.
"Apakah tawaran mu waktu itu masih berlaku?" Mila mencoba memberanikan diri untuk mengangkat wajahnya,dan tampaklah Rafin yang tengah menatapnya dengan raut wajah keheranan.
"Kumohon, berikan padaku tawaran itu." Mila mengatakannya saat tak ada satu katapun yang terlontar dari pria di hadapannya itu.
"Aku tak pernah menawarkan kembali kepada orang yang sama, sesuatu yang pernah ditolak," ucap Rafin dingin. Ia masih ingat betapa angkuhnya gadis ini saat menolak tawarannya waktu itu. Betapa hatinya juga merasa terabaikan pasca penolakan itu.
" Aku bersedia menikah kontrak denganmu, melahirkan anak laki-laki dan kemudian pergi dari kehidupanmu setelahnya. Bukankah kau berjanji untuk mencarikan Papaku, aku mohon. Berikan tawaran itu lagi. Aku ingin bertemu dengan Papa. Aku tau dia masih hidup dan sedang mencariku. Kumohon, temukan dia. Aku bersedia melakukan apapun untuk bertemu kembali dengan Papa." Air mata nya mulai meleleh, bahkan wajahnya telah memerah. Gadis itu mulai tak mampu menahan suara tangisnya, ia tergugu dengan sangat memilukan. Rafin bahkan merasa kebingungan, tak tau apa yang harus dilakukannya.
Mila terlihat begitu rapuh. Rafin memutuskan untuk memberinya sebuah pelukan, bukan bermaksud untuk melecehkan, ia hanya merasa ikut terluka saat melihat gadis itu menangis dengan cara seperti itu.
Mila bahkan menangis lebih keras saat berada di dalam pelukan pria itu. Ia tumpahkan segala sesak yang ia tahan selama ini, hingga kaos yang digunakan pria itu menjadi basah.
Setelah dilihatnya gadis itu mulai tenang, Rafin perlahan melepaskan pelukannya dan beranjak dari tempat itu, mengambilkan gadis itu segelas air putih untuk sekedar memberikan ketenangan.
" Maafkan aku," ucap Mila.
Suasana menjadi hening, Mila tetap berada ditempatnya, menahan nafas seakan menanti sebuah keputusan eksekusi mati.
" Kalian pasti akan bertemu, aku janji akan berusaha semampuku, mengerahkan orang-orangku untuk mencari ayahmu." Ucapan itu diartikan oleh Mila sebagai pernyataan bahwa penawaran itu masih berlaku untuknya.
"Tenangkan dirimu, minum obat dan beristirahatlah," ucap Rafin kemudian.
"Apakah itu karena orang yang kemarin?" tanya Rafin sambil menunjuk bekas luka dengan dua jahitan di dahinya itu. Mila membenarkan dan kembali melipat wajahnya. Air mata nya kembali meleleh.
" Kau aman bersamaku, sekarang beristirahatlah. Kau terlihat sangat pucat."
Mila hanya mengangguk. Kemudian memutuskan kembali ke kamarnya untuk beristirahat. Namun baru beberapa langkah, Mila hampir ambruk. Namun ia masih sempat berpegangan pada meja.
Beruntung Rafin masih sempat untuk menangkap tubuh ringkih itu, hingga gadis itu tak sempat ambruk di lantai. Rafin kemudian membawanya memasuki kamarnya semula. Membantunya berbaring dan memasang selimut. Rafin kemudian mengangsurkan beberapa obat yang ia tebus semalam, setelahnya ia mengganti lampu kamar dengan lampu tidur yang lebih redup. Meninggalkan gadis itu untuk beristirahat.
-TBC
By. Rinto Amicha
Rafin telah memberikan perintah pada Tommy, untuk segera memperkarakan kasus Mila ke pihak yang berwajib. Dan hanya dalam beberapa jam saja, Kasto telah ditangkap dengan tuduhan penganiayaan.Rafin melakukan itu karena Mila tak bersedia untuk meninggalkan rumah itu. Padahal keselamatan hidup mereka tidak terjamin jika pria brengsek itu masih berkeliaran.Rafin bahkan telah menawarkan apartemennya untuk ditinggali bersamanya dan Riska, demi keamanan. Namun Mila tetap menolak dengan alasan karena mereka belum menikah. Dan itulah jalan keluar satu-satunya yang terbaik menurut Rafin, dengan cara menyingkirkan Kasto. Sebenarnya bisa saja ia mengirim orang-orangnya untuk menyingkirkan pria kurang ajar itu, tapi biarlah Kasto merasakan hidup dibalik jeruji besi bercampur dengan pelaku kriminal yang lain, tanpa ia harus susah-susah bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Biar Kasto juga merasakan perlakuan bur
Di dalam sebuah restoran bergaya Eropa, terdapat sebuah ruang VIP yang hanya akan ditempati jika melakukan pemesanan sebelumnya. Seorang pria setengah baya, mengenakan setelan resmi lengkap dengan jas dan dasi, ditemani oleh dua orang wanita yang mengenakan gaun indah. Seorang wanita berusia hampir setengah abad, dengan potongan rambut sebatas bahu, jepit pita hitam minimalis menghiasinya, menambah kesan elegan pada tatanan rambutnya,seorang wanita yang lainnya berusia lebih tua, kisaran lebih dari tujuh puluh tahun, namun secara fisik ia masih terlihat berusia enam puluhan, masih jernih berpikir dan masih beraktivitas normal meskipun hanya aktivitas ringan."Aku tak akan menyetujui jika nanti yang dibawa bocah tengik itu adalah perempuan yang suka mengumbar pusar dan payudaranya itu." Wanita yang lebih sering disapa Oma itu mulai membuka pembahasan kala menu pembuka telah dihidangkan." Aku juga tidak akan
"Aku menyukai gadis itu. Semoga ia bisa merubah sifat-sifat buruk bocah tengik macam Rafin. Walaupun terkesan lugu, aku yakin ia memiliki kepribadian yang kuat. Aku benar-benar tak peduli ia berasal dari keluarga mana, tapi yang jelas aku merestui hubungan mereka. Lekas tentukan tanggal pernikahan mereka, jangan lebih dari tujuh hari. Buat momen yang mewah untuk acara ini. Secepatnya." Oma berkata panjang lebar yang disetujui oleh putra dan menantunya."Aku ingin, besok mereka segera pindah ke rumah ini, aku tak ingin terjadi sesuatu dengan keduanya karena ulah paman mereka.Setelah menikah barulah Mila bisa ikut Rafin ke apartemen," ujar Ny. Nara."Boleh." Tn. Arkan menyetujui usulan dari istrinya.Sudah terbayang betapa rumah itu akan menjadi lebih ramai dengan kehadiran dua anak perempuan. Sudah lebih dari lima tahun rumah itu ditinggalkan oleh putri Tuan Arkan. Cintia namanya.
Seorang lelaki keluar dari pekarangan nya yang sederhana, dengan menenteng sebuah arit dan tomblok atau tempat untuk menampung rumput, berbentuk bulat biasa terbuat dari anyaman bambu. Ia berniat untuk pergi menuju kebun sambil mencari rumput untuk ternak sapinya. Urat-urat di tangannya menandakan betapa keras ia bekerja. Pagi ini perutnya telah terisi dengan sepotong Ubi bakar yang berukuran besar.Desa itu bukanlah tanah kelahirannya, namun ia begitu mencintai tempat itu. Beberapa tahun yang lalu, ia datang ketempat ini, menyewa kamar untuk hidupnya selama beberapa bulan. Namun saat dirasa ia cocok dengan tempat itu, maka dihabiskannya uang yang ia bawa untuk membeli sepetak tanah dan kemudian mendirikan sebuah rumah sederhana yang hingga saat ini ia tempati sendirian.Usia yang belum terlalu tua membuatnya masih sanggup untuk mengurus seekor sapi dan beberapa ayam peliharaan. Sepetak sawah yang tak
Mila dan Rafin berangkat bersama pada penerbangan siang, sedangkan Riska, Mama, Papa dan Oma akan menyusul pada sore hari karena Tn. Wijaya ada urusan yang harus diselesaikan terlebih dahulu.Selama perjalanan, Mila dan Rafin sama sekali tidak bercakap-cakap. Tak ada keakraban atau candaan. Mereka seperti orang asing. Rafin yang masih sibuk dengan laporan-laporan dan Mila memilih untuk mendengarkan musik dari ponselnya menggunakan headset.Hingga saat memasuki pesawat, Mila masih tak ada niatan untuk membuka percakapan. Lagipula pria di sampingnya ini bukanlah orang yang asik diajak ngobrol lebih baik tidur batinnya. Rafin sendiri malah memilih untuk membaca buku.Setelah dua jam, akhirnya mereka telah sampai di kota tujuan. Mereka sudah mendapatkan jemputan oleh orang-orang suruhan Tn. Wijaya. Dan sekitar setengah jam kemudian sampailah mereka pada sebuah rumah mewah. Terlihat asr
Pram berangkat ke acara reuni dengan menggunakan pesawat. Ada sedikit rasa kecewa yang hadir dalam hatinya. Seperti tahun-tahun sebelumnya, kali ini ia pun menghadiri acara ini sendirian. Biasanya ia akan datang ke kota itu berhari-hari sebelumnya. Ia akan menghabiskan waktunya untuk menjelajah kota terlebih dahulu, berbelanja dan berwisata. Namun kali ini ia tak ada semangat untuk berpiknik, karena sesungguhnya ia menginginkan melalui kegiatan itu bersama dengan gadis yang dicintainya.Ah... Mengapa sekarang jadi kangen ya? Namun ia kembali merasakan kekecewaan saat panggilan pada gawai nya tidak terhubung. Mungkin gadis itu sedang menyelesaikan urusannya dan tak ingin diganggu. Ada setitik rasa nyeri yang ia rasakan di sudut dadanya. Mengapa ia merasa bahwa hanya dirinya yang mencintai? Ia tak ingin berprasangka buruk pada kekasihnya, karena setahu Pram, Mila memang gadis pendiam yang terlihat sulit untuk mengungkapkan perasaanya. Namun yan
Selepas acara pengenalan tadi, Mila minta ijin pada Papa untuk ke toilet."Disebelah sana," Rafin menunjukkan satu arah, yang segera di iyakan oleh Mila.Sesampai di sana Mila memasuki toilet yang terlihat sepi itu. Hanya terlihat dua orang lainnya yang juga sedang ada di sana. Mila segera melepaskan tangisannya, menghidupkan keran air sekeras mungkin untuk menyamarkan suara tangisnya.Hingga entah telah berapa lama ia berada di sana. Saat akan kembali ke dalam gedung, tiba-tiba ia bertemu dengan Pram. Keduanya hanya terdiam. Hanya pandangan mata yang saling mengisyaratkan rasa sakit yang sangat dalam. Ada sisa air mata pada kelopak mata Pram yang masih memerah."Siapa yang mengajakmu menikah terlebih dahulu. Aku atau Rafin. Tolong jawab aku dengan jujur, karena jawabanmu menentukan langkah yang harus ku ambil selanjutnya."Dan dengan
Rafin masih meneruskan pekerjaannya hingga lebih dari waktu maghrib, dan hanya terjeda saat mandi. Ia sedari tadi hanya memakan roti tawar sebagai pengganjal perutnya. Oh iya, tadi Derry juga membawakannya martabak manis. Jadi pantas saja jika perutnya tak merasa lapar."Aku mau keluar sebentar," Mila berpamitan pada Rafin yang masih terlihat sangat sibuk."Mau kemana?" tanya Rafin sambil mengamati gaya berpakaian Mila. Ia menggunakan celana jeans dan kaos lengan panjang longgar dilapisi dengan jaket, hijabnya ia biarkan tergerai sebatas dada dan gadis itu masih menggunakan masker. Wuiihh ... Rapet bener. Batin Rafin."Cari mie instan. Kamu mau? Nanti aku beliin sekalian." Mila memberikan tawaran padanya."Gak, aku gak pernah makan yang begituan." Rafin menjawab dengan asal."Oh ... " Mila hampir sampai di pintu keluar saat Rafin berteriak padany