Di toko itu, Mila merupakan waitress favorit pelanggan, tidak hanya oleh kaum lelaki muda saja, bahkan banyak ibu-ibu yang menginginkan untuk dilayani olehnya. Sikap yang ramah serta wajah ayu, membuatnya banyak disukai. Termasuk Pram, pemuda pemilik bakery itu. Ia adalah satu-satunya anak dari Ny. Hanum. Jadi dialah pewaris tunggal usaha dari ibunya.
***
Mila sedang mengelap etalase besar toko saat dirasa ada seseorang yang memandangnya. Namun saat ia mengedarkan pandangannya, ia tidak menemukan siapapun yang memperhatikannya.
Sementara itu, Pram yang berada di ruangannya memang sedang memperhatikan setiap gerak gerik gadis yang disukainya. Kaca gelap satu arah membuat orang yang berada diluar sama sekali tidak mengetahui aktifitas dibalik kaca. Ini sangat menguntungkan bagi Pram. Ia dapat memandangi gadis itu sepuasnya tanpa harus takut ketahuan.
Tapi mendadak senyumnya hilang, berganti dengan kernyitan keheranan saat ia mendapati lebam di pipi kanan gadis pujaannya itu. Bahkan ia berusaha untuk menajamkan pandangannya,dan benar ... , lebam itu terlihat, meskipun Mila sudah menutupnya dengan kerudung.
"Apa yang terjadi dengannya?" bathin Pram bertanya-tanya.
***
Di sekolahan, Riska terlihat tidak tenang. Bagaimanapun juga, pamannya telah menorehkan luka yang begitu dalam dihatinya. Luka karena di tinggalkan oleh ayah, disusul dengan kematian ibunya yang berjarak hanya tiga bulan setelah kepergian ayah, membuatnya harus tinggal dengan paman Kasto, satu-satunya kerabat yang ia ketahui. Namun naas, pamannya malah memperlakukan mereka dengan sangat tidak baik. Bahkan seringkali mereka mendapatkan perlakuan fisik yang menyakitkan, dengan meninggalkan luka yang membekas ditubuh, saat mereka tak memberikan sejumlah uang yang disebut oleh pamannya.
Kasto tak memiliki pekerjaan tetap. Dia akan bekerja apapun yang diminta untuk mengerjakannya. Kadang buruh bangunan, kadang jasa kurir ataupun jasa angkut-angkut barang. Tapi kini, sejak wabah corona melanda, hampir tak ada orang yang membutuhkan tenaganya. Pekerjaannya kini hanyalah bermain judi. Beberapa kali menang, tapi lebih sering kalah. Jika sudah begitu, dua gadis bersaudara itu yang menjadi korbannya.
Sebenarnya Riska pernah mengusulkan ide untuk pindah tempat tinggal, namun Mila menolaknya. Satu-satunya yang membuat mereka bertahan adalah ayahnya. Ayah yang sudah lama pergi, tanpa ada kabar berita. Mila yakin, bahwa suatu saat ayahnya akan datang kembali untuk menemui mereka. Dan karena Paman Kasto adalah satu-satunya kerabat, jadi kemungkinan besar ayahnya pasti akan datang ke rumah itu.
***
"Nona Mila, bapak pimpinan ingin bertemu!" ucap Shella yang terdengar sangat menggelikan di telinganya. Tampak Shella yang tersenyum jahil ke arahnya, sedangkan gagang telepon masih menempel di telinganya. Sepertinya panggilan dari Pram. Suara Shella yang keras cukup terdengar oleh seluruh karyawan Hanum Bakery. Ada yang menyoraki Mila, namun ada juga yang mencibir.
"Tuh ... , karyawan kesayangan di panggil bos," celetuk seorang gadis berkulit kuning langsat sambil melirik Mila tak suka. Meskipun hanya berupa gumaman, namun tak urung kalimat bernada pedas itu terdengar juga di telinganya. Membuatnya merasa tak enak hati untuk langsung mengiyakan panggilan dari Pram.
"Mil! Buruan!" celetuk Shella yang hanya dibalas anggukan oleh Mila.
"Kenapa? Apa ada yang salah?" tanya Shella pada karyawan yang mencibir tadi. Sementara orang yang dimaksud langsung menundukkan wajah, tak berani untuk menjawab pertanyaan Shella, pasalnya, seluruh karyawan juga tahu, siapa Shella sebenarnya. Bisa-bisa SP keluar jika berurusan dengannya.
***
Tok Tok Tok
Mila sengaja mengetuk pintu ruangan atasannya sebelum ia membuka pintu.
"Masuk ... " sebuah suara seorang pria mempersilahkannya memasuki ruangan.
Mila dengan ragu-ragu melangkahkan kakinya masuk kedalam ruangan pimpinan.
"Duduk dulu, tunggu sebentar," ujar pria itu sambil pandangannya tak lepas dari laptop di hadapannya. Jarinya masih menari-nari dengan lincah diatas tombol keyboard, sementara gadis dihadapannya terlihat bingung harus berbuat apa. Duduk sambil menundukkan wajah, mencoba untuk meminimalisir kontak wajah dengan orang lain. Diremas-remasnya jari tangannya, sambil sesekali ia mencuri pandang pada atasannya itu.
Tidak dipungkiri, ia adalah seorang gadis normal yang juga memiliki rasa tertarik kepada lawan jenisnya. Apalagi di usianya yang saat ini. Sebenarnya ia menaruh hati pada Pram, tapi ia sangat tau diri. Siapalah ia yang dengan lancangnya menaruh hati pada pria yang menurutnya sangatlah sempurna. Punya jabatan tinggi, kaya, dari keluarga terhormat, dan ditambah lagi ia memiliki wajah tampan. Sungguh tanpa cela menurutnya. Belum lagi tutur kata dan perilaku sang bos yang terkesan sopan dan lemah lembut kepada semua orang.
"Kenapa lagi?" sebuah suara sukses menginterupsi lamunan Mila tentang pria di depannya.
"Eh ... , apa? maksudku ... , aku tak mengerti dengan maksud pertanyaanmu," kata gadis itu tergagap.
Sedangkan pria itu hanya tersenyum mendapati Mila terlihat gugup, bahkan pipinya yang putih langsung bersemu merah.
Pram berdehem, kemudian bertanya dengan pertanyaan yang sama seperti sebelumnya.
"Tentang apa?" tanya Mila yang menghindari tatapan tajam dari atasannya itu.
"Wajahmu," kata Pram singkat.
Mila hanya menghela nafas dalam, tak ingin jujur pada semua orang bahwa ia sedang tidak baik-baik saja. Sementara sang penanya masih setia menunggu jawaban dari sosok yang berada di seberang mejanya. Kini terlihat sangat kentara, pelipis dan pipi yang memar, bahkan sedikit terlihat membiru.
"Tadi pagi jatuh dari sepeda," jawab Mila mencoba untuk meyakinkan pria dihadapannya.
Alis Pram mengernyit, mencoba untuk mencari kejujuran pada wajah gadis itu. Namun Mila segera menundukkan kembali wajahnya.
Pram membuang nafasnya dengan berat, sungguh penglihatannya tidak mudah dibohongi. Ia mendapati kenyataan bahwa gadis yang disukainya terlihat tak nyaman dengan pertanyaan yang diajukannya, terlihat sekali bahwa Mila menyembunyikan sesuatu darinya.
"Baiklah ... , lain kali berhati-hatilah." Pram akhirnya berniat untuk berhenti mencecar Mila kali ini.
"Apa kau ingin memiliki waktu untuk beristirahat? tiga atau empat hari mungkin?" tawar Pram pada karyawan favoritnya itu.
"Tidak ... , ijinkan aku untuk tetap bekerja hari ini, maafkan aku jika wajahku membuat semua orang merasa tidak nyaman. Aku kan bekerja di bagian kitchen saja. Agar para pelanggan tidak jijik melihatku," ucap Mila yang langsung memotong tawaran atasannya itu.
Sementara Pram malah sama sekali tidak mengira bahwa gadis itu akan salah paham dengan maksud tawarannya tadi. Feelingnya mengatakan bahwa gadis itu sedang berada dalam posisi tidak baik. Maka ia menawarkan waktu untuk beristirahat. Tentunya tanpa potongan gaji, seperti yang mungkin saja dikhawatirkan oleh karyawannya itu.
"Mila ... , jika kau khawatir tentang gaji, jangan risaukan hal itu. Aku tak akan memotong gajimu atas waktumu untuk beristirahat. Ini murni tawaranku," ucap Pram dengan lugas.
"Bukan ... , bukan itu, tolong ijinkan aku tetap bekerja hari ini, aku akan sangat stres jika tidak melakukan apapun di rumah. Maaf jika aku memaksa. Maafkan aku," kali ini Mila bahkan mengiba dengan bayang-bayang kaca di netranya.
Pram terkesiap, merasa sedikit bersalah, mencoba mengoreksi kalimat yang ia lontarkan barusan. Tetapi nihil, seberat itukah beban yang sedang dihadapi gadis dihadapannya ini, sehingga harus mencari kegiatan agar tak merasa sendirian di rumah? Bukankah disana ia bisa merilekskan tubuhnya yang lebam akibat terjatuh dari sepeda? Tunggu! Jelas bukan karena terjatuh. Pasti ada alasan lain sehingga gadis ini memilih untuk menyibukkan diri padahal tubuhnya kesakitan. Sangat dipaksakan.
"Baiklah, jika itu permintaanmu. Di sana ada kotak P3K, obati luka-lukamu. Dan kembalilah bekerja," perintah Pram.
"Tak perlu ... "
"Pulang, atau obati lukamu. Hanya itu saja pilihanmu," kata Pram tegas.
Mila hanya mengangguk. Sementara Pram mengerti dengan ketidaknyamanan gadis itu berada di ruangan itu.
"Obati lukamu," kata Pram sambil beranjak berdiri, menutup laptop dan pergi meninggalkan Mila sendirian di sana. Sebelumnya ia menepuk pundak gadis itu. Menutup pintu dari luar dengan perlahan.
Hufftt ...
Mila membuang nafasnya dengan lega. Berada di dekat lelaki itu membuat kemampuan menghirup oksigen nya menjadi hilang. Sesak. Padahal Pram tidak setiap hari melakukan kunjungan di cabang ini. Harusnya ini menjadi momen yang menyenangkan bagi Mila, karena memandang pria itu seperti mood booster baginya. Namun sial, ia harus menemui atasannya itu dengan keadaan yang sangat buruk.
Tak lama kemudian, ia meninggalkan ruangan itu dengan sebuah plaster kecil yang menempel pada sudut keningnya. Sedangkan untuk luka memar dipipinya, ia memilih untuk mengompresnya saja dengan es batu. Nanti saat istirahat tentunya.
Tatapan bertanya ia dapatkan saat keluar dari ruangan bosnya. Ia mencoba untuk mengacuhkannya, dan memilih untuk meneruskan pekerjaannya yang tadi tertunda.
- TBC
By. Rinto Amicha
Seorang pria muda terlihat serius dengan tumpukan berkas yang menggunung, hampir menutupi sebagian wajahnya. Pulpen itu pasti akan menjerit jika ia bisa bersuara. Karena sejak pagi hingga hampir sore, ia digunakan. Bahkan makan siang telah lewat tiga jam yang lalu. Sementara si pemegang pulpen masih terus saja tenggelam dalam kesibukannya. Ikatan dasi telah mengendur, kancing kemeja juga telah terbuka, namun pria itu masih enggan untuk sekedar mengistirahatkan otak dan sejenak menghirup udara segar dengan ditemani cemilan mungkin.Tok ... tok ... tok ...Ketukan pada pintu nyatanya tak mampu mengalihkan pandangan matanya dari tumpukan berkas itu."Hemmm ... " jawabnya singkat."Selamat sore pak, Tuan Arkhan Wijaya datang berkunjung, beliau bersama Nyonya. Saat ini sedang menuju kemari," kata seorang Sekpri dengan berhati-hati. Pasalnya ia hafal betul dengan karakter keras bosnya itu. Tak
"MILA ... !"Meski hatinya merasa khawatir, tapi ia beranjak dan menemui seseorang yang berteriak memanggilnya. Paman Kasto."Mana uang tiga juta ku?" pinta Kasto padanya."Bagaimana bisa paman mengatakan tiga jutaku? sedangkan aku pernah meminjam apapun pada paman?" Mila mencoba untuk mengulur percakapan." Tapi kau sudah menjanjikan tiga juta itu padaku," ujar Kasto enteng." Aku tak pernah menjanjikan apapun padamu Pamanku ... " Mila sengaja menekankan kata Pamanku pada pria dewasa itu. seolah menegaskan, bahwa sangat tidak layak seorang Paman memeras uang pada keponakannya sendiri."Apalagi berjanji padamu untuk sesuatu yang tak mampu aku sanggupi," tambah gadis itu. Sementara Riska terlihat ketakutan, berlindung di balik meja makan, mengambil jarak aman dari keberadaan sang Paman."Aku kalah berjudi. Jika ka
Riska berlari keluar dari rumahnya saat Mila berteriak padanya untuk segera lari menyelamatkan diri. Dan secara tak sengaja, ia bertemu dengan Pak RT. Sejumlah warga yang tadi sempat bertemu dengan Kasto dan Mila ternyata berinisiatif untuk melaporkan kejadian itu pada perangkat kampung. Untuk sementara Riska aman berada di rumah pak RT. Warga kampung telah membuat kesepakatan untuk tidak menerima Kasto kembali ditinggal diantara mereka. Bagaimanapun juga Mila dan Riska sudah tak memiliki siapapun untuk melindungi mereka, sehingga warga kampung berkeputusan bahwa keamanan mereka berdua adalah tanggungjawab bersama.***Tommy berhasil merangkul Rafin yang masih membabi buta memukuli Kasto."Berhenti Fin, ia sudah tak bergerak. Berabe urusannya kalau ia sampai mati." Setelah diperiksa, ternyata pria itu hanya pingsan. Setidaknya kasus tak akan berbuntut panjang. Roy, yang ternyata ad
Rafin mencium bau masakan yang sangat wangi, mungkinkah tetangga sebelah sedang memasak? Perutnya mendadak meronta untuk diisi. Apalagi semalam ia telah melewatkan ritual mengisi perut karena kejadian itu. Ia segera bangkit menuju kamar mandi, waktu masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor, masih ada waktu sekitar tiga jam lagi.Sebelum keluar dari kamar, ia sempatkan untuk membuka emailnya, beberapa pesan telah ia Terima dari semalam, namun ada satu pesan yang sangat menarik perhatiannya, saputratommy621@gmail.com.***Malam ini Mila nyaris tak mampu memejamkan matanya, sebagian besar pikirannya tertuju pada Riska. Ia bahkan tak sempat untuk membawa gawainya saat Paman Kasto menyeretnya semalam. Jangankan gawai, uang saja hanya selembar sepuluh ribu, sejatinya uang itu ia persiapkan untuk biaya angkot kembali dari tempat kerja kemarin. Karena ia menerima tumpangan dari bosnya,
Rafin menatap kepergian gadis itu dengan tangan terkepal erat. Ia sungguh tak menyangka bahwa gadis itu ternyata sangat keras kepala."Tom, luangkan waktu untukku! " Rafin memberikan perintah pada Tommy.Kemudian ia segera kembali masuk ke dalam apartemennya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.***Kasto dibawa ke sebuah ruangan yang sama sekali tidak ia kenali. Entah sudah berapa jam ia pingsan. Yang pasti ia bangun menjelang subuh. Ia tidur di sebuah ruangan yang lebih mirip seperti gudang. Tumpukan barang tak terpakai teronggok di setiap sudut. Sebuah sofa usang dan kursi-kursi rusak ada di sudut yang lainnya.Bau debu jelas sekali terasa, ditambah lagi suara tikus yang sesekali terdengar mencicit. Kasto masih bertanya-tanya, dimanakah ia berada saat ini, cahaya masuk melalui sebuah pintu yang tak tertutup sempurna me
Hampir seminggu Kasto tak pulang ke rumah, namun sepulang dari bekerja, Mila terkejut saat Riska mengatakan bahwa Paman Kasto baru saja pulang."Kamu gak kenapa-napa kan Ris?" tanya Mila khawatir."Gak kak, Paman bawa banyak makanan enak lhoh kak, tumben. Kata Paman semua untuk kita. Bahkan Paman beliin juga kebutuhan dapur, tu ada mie instan dalam kardus dan beras di karung. Apa Paman menang judi ya kak? Berarti haram dong ... , gimana kak?" tanya Riska kebingungan pada kakaknya."Sudah, tak usah kau pikir Paman dapat uang darimana, syukurlah kalau Paman tak lagi berbuat kasar."Mila tahu pasti, uang Paman banyak karena ia baru saja mendapatkan tiga ratus juta dari Rafin. Uang sialan yang kini ditanggungnya dan entah hingga kapan akan lunas. Keningnya terasa berdenyut saat memikirkan hutangnya.***Hubungan Pram da
Rafin memesankan sepaket makan siang lengkap dengan buah dan puding, kemudian ia kirimkan ke apartemennya. Ia sendiri bahkan melewatkannya, hanya memesan snack dan secangkir kopi, demi untuk segera menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung.Tiba-tiba sebuah ketukan menginterupsi kegiatan kebutnya. Rupanya Tommy."Berita apa yang kau bawa, sehingga membuatmu datang menemuiku?" tanya Rafin kepada sahabatnya."Apakah aku harus memiliki alasan penting hanya untuk menemui sahabat baikku sendiri?" tanya Tommy yang balas bertanya pada pemuda yang super sibuk itu.Rafin hanya diam saja, tangannya masih sibuk menari-nari di atas tumpukan berkas yang telah lebih dari separuh ia selesaikan."Tadinya aku mampir untuk mengajakmu makan siang, tapi sepertinya kau tak tertarik." Tommy mengemukakan alasan kedatangannya."Ak
Rafin telah memberikan perintah pada Tommy, untuk segera memperkarakan kasus Mila ke pihak yang berwajib. Dan hanya dalam beberapa jam saja, Kasto telah ditangkap dengan tuduhan penganiayaan.Rafin melakukan itu karena Mila tak bersedia untuk meninggalkan rumah itu. Padahal keselamatan hidup mereka tidak terjamin jika pria brengsek itu masih berkeliaran.Rafin bahkan telah menawarkan apartemennya untuk ditinggali bersamanya dan Riska, demi keamanan. Namun Mila tetap menolak dengan alasan karena mereka belum menikah. Dan itulah jalan keluar satu-satunya yang terbaik menurut Rafin, dengan cara menyingkirkan Kasto. Sebenarnya bisa saja ia mengirim orang-orangnya untuk menyingkirkan pria kurang ajar itu, tapi biarlah Kasto merasakan hidup dibalik jeruji besi bercampur dengan pelaku kriminal yang lain, tanpa ia harus susah-susah bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Biar Kasto juga merasakan perlakuan bur