Seorang pria muda terlihat serius dengan tumpukan berkas yang menggunung, hampir menutupi sebagian wajahnya. Pulpen itu pasti akan menjerit jika ia bisa bersuara. Karena sejak pagi hingga hampir sore, ia digunakan. Bahkan makan siang telah lewat tiga jam yang lalu. Sementara si pemegang pulpen masih terus saja tenggelam dalam kesibukannya. Ikatan dasi telah mengendur, kancing kemeja juga telah terbuka, namun pria itu masih enggan untuk sekedar mengistirahatkan otak dan sejenak menghirup udara segar dengan ditemani cemilan mungkin.
Tok ... tok ... tok ...
Ketukan pada pintu nyatanya tak mampu mengalihkan pandangan matanya dari tumpukan berkas itu.
"Hemmm ... " jawabnya singkat.
"Selamat sore pak, Tuan Arkhan Wijaya datang berkunjung, beliau bersama Nyonya. Saat ini sedang menuju kemari," kata seorang Sekpri dengan berhati-hati. Pasalnya ia hafal betul dengan karakter keras bosnya itu. Tak suka diganggu jika sedang serius. Apalagi jika kesibukannya itu hingga mengalahkan jam makan siangnya.
"Haisshh ... " ucap pengusaha muda itu sambil sedikit menggebrak meja kerjanya, membuat Deri,sang sekpri sedikit terlonjak. Belum juga ia berkata apa-apa, tiba-tiba orang yang dimaksud sudah berada didepan pintu.
Deri segera keluar dari ruangan itu, merasa sungkan karena sudah pasti kunjungan ini bukan dalam konteks pekerjaan.
"Permisi Tuan," pamit Deri.
"Kamu tetap disini saja ... , aku akan membicarakan mengenai kepemilikan perusahaan ini kedepannya. Jadi kamu berhak tau, karena kamu adalah sekretaris pribadi anak bandel ini," kata Tuan Wijaya sambil melirik putranya. Sementara Derry nyaris tertawa saat ia mendengar julukan baru yang diberikan untuk CEOnya. Rafin Adi Wijaya, seorang pria berusia 26 tahun yang saat ini menjabat sebagai CEO di "Wijaya Corp." Ia memiliki kakak perempuan yang telah menikah dan kini tinggal di luar negri. Jerman. Dan sekarang sudah memiliki seorang anak lelaki berusia 4 tahun.
"Rafin ... , sini duduk dekat mama," sapa mamanya dengan senyuman lembutnya, membuat Rafin luluh dan menuruti kemauan mamanya.
"Apa kabar ma," ucapnya sambil mencium pipi wanita setengah baya itu. Namun begitu, mamanya terlihat masih cantik dan elegan, meskipun gurat halus telah terlihat di daerah-daerah tertentu di wajahnya.
"Baik sayang, kenapa kau terlihat agak kurus?" tanya wanita itu sambil menangkup wajah sang putra.
"Jangan terlalu memaksakan diri dalam bekerja, ingat makan dan istirahat nak," tambah Ny. Wijaya.
"Proyek penting mah, biar lekas kelar," jawabnya santai.
"Kamu harus secepatnya menikah Fin, berikan cucu laki-laki untukku, dan kepemilikan perusahaan ini kuserahkan padamu. Tapi jika kau tak mau menikah, maka bulan depan papa akan mengadakan rapat direksi dan menyerahkan perusahaan ini pada kakakmu Klara," ucap Tuan Wijaya membuat keputusan.
Rafin yang mendengar itu langsung membulatkan matanya, terkejut.
"Mana bisa begitu pa ... , aku yang berusaha mempertahankan agar perusahaan ini tidak jatuh bahkan profit bulanan selalu naik selama aku pegang, lalu dengan seenaknya papa memberikan perusahaan ini pada kakak!" potong Rafin dengan sarkas.
"Papa nggak mau tau, pokoknya kamu harus segera menikah. Makanya keluar ... , lihat dunia. Nggak cuma ndekem aja di belakang kertas, cari gadis dan nikahi," ucap Tuan Wijaya tak mau tau dengan respon putranya yang melongo karena tak habis pikir dengan apa yang yang baru saja dikatakan oleh papanya.
Rafin lantas melempar pandangan memelas pada mamanya, berharap mendapat pembelaan dari wanita cantik itu. Namun harapannya ternyata musnah saat dilihat mamanya hanya mengedikkan bahu dengan wajah menyesal dan menggelengkan kepala.
"Ma ... ," ucap Rafin.
"Maafkan mama sayang."
***
Rafin lantas membanting tubuhnya di sandaran sofa, dilonggarkannya kerah yang sudah longgar, bakan kini ia menggulung lengan kemejanya hingga siku. Ruangan mendadak gerah setelah kepergian orang tuanya. Deri terlihat masih setia menemaninya. Bingung dengan apa yang harus ia perbuat untuk atasannya itu.
"Ingin ku buatkan kopi?" tawar Deri takut-takut, demi melihat wajah atasannya yang kusut seperti kanebo kering.
"Hmmm ... ," jawab Rafin malas.
"Ok ... !" kata Deri yang langsung melesat ke mini pantry di ruangan itu.
***
"Der ... , menurutmu apa yang harus kulakukan?" tanya Rafin pada sekprinya. Sebenarnya Derry ini teman saat kuliah dulu, sebutan formal hanya berlaku dalam lingkungan kerja. Diluar, mereka adalah sahabat. Hal inilah yang membuat sekpri kali ini bertahan lama, karena biasanya jabatan sekpri hanya bertahan dua minggu saja, karena karakter Rafin yang terlalu keras dan sukar untuk menerima pendapat orang lain. Terlalu arogan dan kasar saat berbicara. Meskipun karakter Rafin sebenarnya lebih banyak diam dan cenderung tertutup.
"Ya kawin aja bos, hamilin, lalu lahir cowok, dapet deh itu surat kepemilikan perusahaan babe. Kelar," ucap Deri sekenanya.
"Kamu kira ayam? main kawin aja!" bentak Rafin yang terlihat sebel dengan jawab sahabatnya.
"Pacar bos ... mana pacar ... ? Nikahin kan beres."
" Pergi !" kata Rafin ketus.
"Iya deh ... " kata Derry yang kemudian berdiri, beranjak dari duduknya yang nyaman. Melangkah menuju pintu keluar sambil ngedumel nggak jelas dengan bibir mengerucut.
"Mau kemana?" tanya Rafin heran.
"Lhah, katanya tadi suruh pergi ... " ujar pemuda itu dengan wajah polos.
"Maksud aku ... , pacarku pergi. Bukannya kamu yang pergi ... !" kata Rafin dengan geregetan.
"WHAT!?" tanya Deri berteriak kaget karena Anggita kekasih Rafin pergi.
"Kenapa bisa?" tambahnya penasaran. Sementara itu, Rafin terlihat sedih saat membahas tentang wanita yang kini telah pergi meninggalkannya.
"Dia lebih memilih karir modelnya dari pada harus menikah denganku secepatnya," ucap Rafin sendu.
Deri mencoba untuk mencerna semua kata-kata atasan sekaligus sahabatnya itu. Masih tak habis pikir dengan jalan pikiran Anggi yang lebih memilih karir daripada menikah dengan Rafin.
Padahal ia sangat tahu, bagaimana liku-liku kisah mereka berdua, karena baik Rafin ataupun Anggita adalah teman satu kampusnya dulu.
Kisah putus nyambung yang berulang-ulang dan Anggita yang depresi berat jika mereka sedang break, sungguh masih diingat oleh Deri. Bahkan hubungan mereka sudah berjalan lebih dari tujuh tahun.
"Bisakah kau mendapatkan gadis sewaan untuk kau nikahi atau semacamnya?" tanya Deri asal.
" Kamu gila ya? mana ada yang seperti itu!" tanya Rafin tambah dongkol.
"Ya ... kali aja ada bos ... " jawab asisten pribadinya.
***
DIN DIIIN !!!
Suara klakson mengejutkan Mila yang berjalan sendiri di trotoar, membuatnya harus menoleh ke arah sumber suara. Ternyata sebuah mobil yang cukup dikenalnya membuat detak jantungnya seolah berhenti berdetak.
"Ayo, kita searah," ajak Pram padanya.
" Tidak, aku berjalan kaki saja." Mila mencoba untuk mengingkari sorak dihatinya. Sebenarnya ia sangat menginginkan kesempatan seperti ini, persis seperti yang pernah dikhayalkannya. Namun ia akhirnya menyadari bahwa ia tak lebih dari sekedar pungguk yang merindukan bulan. Baginya Pram adalah sesuatu yang mustahil. Maka ia kini berusaha untuk sedikit mengeraskan hati. Agar angan-angannya tak terlalu melambung tinggi.
Pram terlihat turun dari kendaraannya, melangkah mendekati Mila. Ia hendak melontarkan ajakannya kembali saat terdengar sebuah panggilan pada ponsel Mila.
" Assalamu'alaikum Ris ... "
" ... "
"Baik, kakak segera pulang," kata Mila pelan, sedikit kaku.
"Bagaimana? mau ku antar pulang?" tanya Pras kembali.
Mila hanya mengangguk, ia terpaksa menerima tawaran dari atasannya itu. Ia ingin segera sampai di rumah, karena sesuatu yang gawat telah terjadi.
"Ya Allah ... , lindungilah Riska ... " do'a Mila dalam hati. Ia terlihat gugup dan tidak tenang.
"Terjadi sesuatu dengan Riska?" tanya Pram mencoba untuk mencairkan suasana kaku di dalam mobil.
"Tidak. Tidak terjadi apa-apa. Riska baik-baik saja." Semoga. Batin Mila dalam hati.
"Kalau begitu, bisakah kau menemaniku makan malam? tanya Pram kemudian.
" Tidak, maafkan aku kak, turunkan aku disini. Kakak makan saja, maaf aku tak bisa menemani," ucap Mila tak enak hati.
" Ok ... , kita teruskan perjalanan saja," kata Pram sambil tersenyum. Berkali-kali pria itu menangkap kegelisahan dari gerak-gerik Mila. Tak ada setengah jam, mereka telah sampai di depan rumah Paman Kasto. Mila segera keluar dan berlari menghambur ke dalam rumah. Sepi. Tak ada siapapun di sana. Riska juga tak terlihat. Mendadak hatinya merasa gelisah luar biasa. Ia segera berlari menuju kamar mereka. Dikunci dari dalam.
"Ris ... , Riska!" kata Mila berteriak panik memanggil adiknya.
"Ini kakak Ris!"
Dengan cepat kunci pintu terbuka. Kemudian dengan segera Mila memeluk adiknya.
"Kamu tak apa-apa kan Ris?"
"Paman marah kak, dia mencari kakak," ujar Riska.
" Apa kamu di pukul?" tanya Mila khawatir.
" Tidak,"
" Alhamdulillah ... " Lega hati Mila mendengar jawaban dari adik kesayangannya. Apalagi saat dilihatnya gadis itu tak terlihat terluka atau kurang suatu apa.
"Sudah, jangan dipikirkan. Kamu belum makan kan? Sama, kakak juga belum. Setelah mandi, kita beli lauk di warung Mak Ranti, rumah ada nasi kan?" tanya Mila yang kemudian mendadak menyadari, bahwa tadi dia pergi begitu saja dari mobil Pram. Ia sungguh merasa tak enak hati, jelas-jelas tindakannya sangat tidak sopan.
"Maaf, aku tadi tidak sempat berpamitan. Terima kasih banyak atas tumpangannya." Ditekannya tanda send pada aplikasi berwarna hijau itu. Dan beberapa detik kemudian, warnanya telah berubah menjadi biru.
"Tak apa, aku tau kau sedang tergesa-gesa. Lekaslah beristirahat. Jangan lupa makan. Semoga lekas membaik."
Desiran halus mendadak ia rasakan. Dadanya terasa menghangat, ia mencoba menahan senyumnya. Ada rasa aneh yang menyusup di hatinya.
"MILA ... !" sebuah suara yang dikenalnya membuyarkan kehangatan hatinya, mendadak berganti dengan rasa khawatir.
- TBC
By. Rinto Amicha
"MILA ... !"Meski hatinya merasa khawatir, tapi ia beranjak dan menemui seseorang yang berteriak memanggilnya. Paman Kasto."Mana uang tiga juta ku?" pinta Kasto padanya."Bagaimana bisa paman mengatakan tiga jutaku? sedangkan aku pernah meminjam apapun pada paman?" Mila mencoba untuk mengulur percakapan." Tapi kau sudah menjanjikan tiga juta itu padaku," ujar Kasto enteng." Aku tak pernah menjanjikan apapun padamu Pamanku ... " Mila sengaja menekankan kata Pamanku pada pria dewasa itu. seolah menegaskan, bahwa sangat tidak layak seorang Paman memeras uang pada keponakannya sendiri."Apalagi berjanji padamu untuk sesuatu yang tak mampu aku sanggupi," tambah gadis itu. Sementara Riska terlihat ketakutan, berlindung di balik meja makan, mengambil jarak aman dari keberadaan sang Paman."Aku kalah berjudi. Jika ka
Riska berlari keluar dari rumahnya saat Mila berteriak padanya untuk segera lari menyelamatkan diri. Dan secara tak sengaja, ia bertemu dengan Pak RT. Sejumlah warga yang tadi sempat bertemu dengan Kasto dan Mila ternyata berinisiatif untuk melaporkan kejadian itu pada perangkat kampung. Untuk sementara Riska aman berada di rumah pak RT. Warga kampung telah membuat kesepakatan untuk tidak menerima Kasto kembali ditinggal diantara mereka. Bagaimanapun juga Mila dan Riska sudah tak memiliki siapapun untuk melindungi mereka, sehingga warga kampung berkeputusan bahwa keamanan mereka berdua adalah tanggungjawab bersama.***Tommy berhasil merangkul Rafin yang masih membabi buta memukuli Kasto."Berhenti Fin, ia sudah tak bergerak. Berabe urusannya kalau ia sampai mati." Setelah diperiksa, ternyata pria itu hanya pingsan. Setidaknya kasus tak akan berbuntut panjang. Roy, yang ternyata ad
Rafin mencium bau masakan yang sangat wangi, mungkinkah tetangga sebelah sedang memasak? Perutnya mendadak meronta untuk diisi. Apalagi semalam ia telah melewatkan ritual mengisi perut karena kejadian itu. Ia segera bangkit menuju kamar mandi, waktu masih terlalu pagi untuk berangkat ke kantor, masih ada waktu sekitar tiga jam lagi.Sebelum keluar dari kamar, ia sempatkan untuk membuka emailnya, beberapa pesan telah ia Terima dari semalam, namun ada satu pesan yang sangat menarik perhatiannya, saputratommy621@gmail.com.***Malam ini Mila nyaris tak mampu memejamkan matanya, sebagian besar pikirannya tertuju pada Riska. Ia bahkan tak sempat untuk membawa gawainya saat Paman Kasto menyeretnya semalam. Jangankan gawai, uang saja hanya selembar sepuluh ribu, sejatinya uang itu ia persiapkan untuk biaya angkot kembali dari tempat kerja kemarin. Karena ia menerima tumpangan dari bosnya,
Rafin menatap kepergian gadis itu dengan tangan terkepal erat. Ia sungguh tak menyangka bahwa gadis itu ternyata sangat keras kepala."Tom, luangkan waktu untukku! " Rafin memberikan perintah pada Tommy.Kemudian ia segera kembali masuk ke dalam apartemennya dan bersiap untuk berangkat ke kantor.***Kasto dibawa ke sebuah ruangan yang sama sekali tidak ia kenali. Entah sudah berapa jam ia pingsan. Yang pasti ia bangun menjelang subuh. Ia tidur di sebuah ruangan yang lebih mirip seperti gudang. Tumpukan barang tak terpakai teronggok di setiap sudut. Sebuah sofa usang dan kursi-kursi rusak ada di sudut yang lainnya.Bau debu jelas sekali terasa, ditambah lagi suara tikus yang sesekali terdengar mencicit. Kasto masih bertanya-tanya, dimanakah ia berada saat ini, cahaya masuk melalui sebuah pintu yang tak tertutup sempurna me
Hampir seminggu Kasto tak pulang ke rumah, namun sepulang dari bekerja, Mila terkejut saat Riska mengatakan bahwa Paman Kasto baru saja pulang."Kamu gak kenapa-napa kan Ris?" tanya Mila khawatir."Gak kak, Paman bawa banyak makanan enak lhoh kak, tumben. Kata Paman semua untuk kita. Bahkan Paman beliin juga kebutuhan dapur, tu ada mie instan dalam kardus dan beras di karung. Apa Paman menang judi ya kak? Berarti haram dong ... , gimana kak?" tanya Riska kebingungan pada kakaknya."Sudah, tak usah kau pikir Paman dapat uang darimana, syukurlah kalau Paman tak lagi berbuat kasar."Mila tahu pasti, uang Paman banyak karena ia baru saja mendapatkan tiga ratus juta dari Rafin. Uang sialan yang kini ditanggungnya dan entah hingga kapan akan lunas. Keningnya terasa berdenyut saat memikirkan hutangnya.***Hubungan Pram da
Rafin memesankan sepaket makan siang lengkap dengan buah dan puding, kemudian ia kirimkan ke apartemennya. Ia sendiri bahkan melewatkannya, hanya memesan snack dan secangkir kopi, demi untuk segera menyelesaikan tumpukan tugas yang menggunung.Tiba-tiba sebuah ketukan menginterupsi kegiatan kebutnya. Rupanya Tommy."Berita apa yang kau bawa, sehingga membuatmu datang menemuiku?" tanya Rafin kepada sahabatnya."Apakah aku harus memiliki alasan penting hanya untuk menemui sahabat baikku sendiri?" tanya Tommy yang balas bertanya pada pemuda yang super sibuk itu.Rafin hanya diam saja, tangannya masih sibuk menari-nari di atas tumpukan berkas yang telah lebih dari separuh ia selesaikan."Tadinya aku mampir untuk mengajakmu makan siang, tapi sepertinya kau tak tertarik." Tommy mengemukakan alasan kedatangannya."Ak
Rafin telah memberikan perintah pada Tommy, untuk segera memperkarakan kasus Mila ke pihak yang berwajib. Dan hanya dalam beberapa jam saja, Kasto telah ditangkap dengan tuduhan penganiayaan.Rafin melakukan itu karena Mila tak bersedia untuk meninggalkan rumah itu. Padahal keselamatan hidup mereka tidak terjamin jika pria brengsek itu masih berkeliaran.Rafin bahkan telah menawarkan apartemennya untuk ditinggali bersamanya dan Riska, demi keamanan. Namun Mila tetap menolak dengan alasan karena mereka belum menikah. Dan itulah jalan keluar satu-satunya yang terbaik menurut Rafin, dengan cara menyingkirkan Kasto. Sebenarnya bisa saja ia mengirim orang-orangnya untuk menyingkirkan pria kurang ajar itu, tapi biarlah Kasto merasakan hidup dibalik jeruji besi bercampur dengan pelaku kriminal yang lain, tanpa ia harus susah-susah bertanggung jawab atas kelangsungan hidupnya. Biar Kasto juga merasakan perlakuan bur
Di dalam sebuah restoran bergaya Eropa, terdapat sebuah ruang VIP yang hanya akan ditempati jika melakukan pemesanan sebelumnya. Seorang pria setengah baya, mengenakan setelan resmi lengkap dengan jas dan dasi, ditemani oleh dua orang wanita yang mengenakan gaun indah. Seorang wanita berusia hampir setengah abad, dengan potongan rambut sebatas bahu, jepit pita hitam minimalis menghiasinya, menambah kesan elegan pada tatanan rambutnya,seorang wanita yang lainnya berusia lebih tua, kisaran lebih dari tujuh puluh tahun, namun secara fisik ia masih terlihat berusia enam puluhan, masih jernih berpikir dan masih beraktivitas normal meskipun hanya aktivitas ringan."Aku tak akan menyetujui jika nanti yang dibawa bocah tengik itu adalah perempuan yang suka mengumbar pusar dan payudaranya itu." Wanita yang lebih sering disapa Oma itu mulai membuka pembahasan kala menu pembuka telah dihidangkan." Aku juga tidak akan