Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya.
"Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.
Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan. Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya agPria berusia tiga puluh tahun itu duduk di meja kerjanya dengan wajah lecek. Beberapa kali tangannya mengepal dan memukul meja keras-keras hingga membuat tumpukan dokumen meloncat ketakutan. Setelan jas formal yang membalut tubuhnya seolah telah kehilangan fungsi untuk menjaga kegagahannya. Pria itu malah mengacak rambut seperti manusia kehilangan akal yang tak lagi peduli pada wibawa."Sabar, Bos. Sabar." Seorang pria lain yang duduk berdiri di depan meja berusaha menenangkan."Sabar? Memangnya kau pikir aku bisa semudah itu untuk sabar?!"Ialah Arnold Sanjaya, pria yang sedang kalut hatinya. Dengan mata kepalanya sendiri, Arnold menyaksikan bagaimana perempuan yang selama ini ia puja-puja telah berselingkuh dengan lelaki lain. Dalam waktu sekejap saja, semua kedudukan dan kekuasaan yang ia miliki seolah tak ada artinya lagi. Uangnya tumpah ruah hingga bisa digunakan untuk membeli apa pun yang ia ingini. Tapi ternyata, uang saja tak cukup untuk membuat is
Krek!Arnold masuk ke kamar itu tepat saat dua orang anak manusia sedang panas-panasnya di atas ranjang. Terpampang dengan nyata keduanya yang sama sekali tak mengenakan busana. Adegan mereka terpaksa berhenti sebelum sampai ke puncaknya."Sekarang sudah jelas!" ucap Arnold dengan wajah yang kini telah berubah jadi sebeku es. Ia menatap marah. Kentara sekali kilatan api yang berkobar dalam sorot netranya. Di depan matanya sendiri, perempuan yang selama ini selalu ia banggakan telah dilucuti pakaiannya oleh laki-laki lain. Padahal awalnya dia berharap kalau perselingkuhan yang dilakukan Rebecca sebatas pada jalan berdua, tapi ternyata perempuan itu sudah main ranjang di belakangnya.Dengan wajah sangat malu, Rebecca dan pacar gelapnya segera meraih selimut untuk menutup tubuh mereka. Tentu saja keduanya sangat kaget kenapa tiba-tiba kamar yang sudah dikunci bisa terbuka dari luar. Mereka lupa kalau tengah berhadapan dengan orang paling kaya di n
Beberapa jam setelahnya, hasil tes telah keluar. Arnold berjalan menuju ruang laboratorium dengan sangat buru-buru. Ia ingin segera mengetahui hasil tes tersebut untuk memastikan apakah Baby Narendra adalah putra hasil percintaan Rebecca dengan dirinya atau dengan laki-laki lain.Ketika sampai di ruangan tersebut, seorang dokter yang tadi menghubunginya langsung menyambut. Dokter tersebut mempersilakan agar Arnold duduk dulu."Ini hasil tes laboratoriumnya. Semoga hasilnya sesuai dengan yang Bapak inginkan," tutur dokter berkaca mata itu dengan sopan. Tubuhnya yang agak gempal terlihat memenuhi kursi yang jadi alasnya menaruh diri."Terima kasih, Dok." Arnold meraih sebuah amplop dari tangan dokter. Matanya tak bisa berhenti mengamati setiap sudut dari amplop, barangkali ada sedikit bocoran yang tertulis di sana. Rasa penasaran yang timbul di hatinya seolah sudah tak mampu lagi untuk ditawar.Dengan gerakan buru-buru, Arnold segera menyobek segel am
Arnold tak memberi kesempatan bagi hatinya untuk mengenal kata gagal move on. Dia seorang pengusaha besar yang telah sukses dalam berbagai project. Jadi, tidak ada kata gagal dalam kamus hidupnya, termasuk gagal untuk melupakan.Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, Arnold menyempatkan sarapan bersama Baby Narendra. Semakin hari, putranya itu semakin lucu dan menggemaskan. Dua pipinya menggelembung seperti balon. Untung saja hidung bayi tersebut mancung seperti papanya, jadi tidak tenggelam walau sebesar apa pun pipinya."Bi, tolong jaga Baby Narendra sebaik-baiknya, ya. Kasihan dia sudah tidak punya ibu," pinta Arnold pada pembantu yang kala itu sedang menyuapi Narendra dengan semangkuk bubur bayi rasa kacang hijau. Arnold sendiri sudah menandaskan potongan roti di atas piringnya, termasuk segelas susu yang telah disiapkan pembantu untuknya.Bibi mengangguk takzim. "Baik, Tuan."Menit berikutnya, Arnold mengangkat tubuh dari kursi makan, kemudian
"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka.Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di l
Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia. Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini."Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu
Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun."Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini.Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel.Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni.Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana."Wah, rupanya kau sudah ada di si