Share

7. Larangan Jatuh Cinta

Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun. 

"Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang. 

Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun. 

Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhkan tubuhnya dari Kezia, sehingga gadis tersebut langsung menggunakan kesempatan untuk turun dari wastafel. Arnold tidak sejahat itu. Meski nalurinya sebagai pria normal terus berteriak agar mengerjai Kezia lebih lanjut, tapi ia tak sampai hati. Saat mengamati bibir merah gadis itu tadi, Arnold langsung tahu kalau Kezia belum pernah menyerahkan first kiss pada siapa pun. Ia juga yakin kalau seluruh bagian tubuh Kezia masih utuh dari jamahan laki-laki mana pun. 

"Minggir! Aku mau cuci tangan." Arnold mendorong lengan Kezia agar menyingkir dari depan wastafel. Pria itu buru-buru mengucur tangannya di bawah keran. Tak lupa dia membasuh bagian jasnya yang terkena tumpahan kopi akibat kecerobohan Kezia. 

Walau noda kopi itu tak hilang sempurna, tapi setidaknya bantuan air bisa sedikit mengurangi lengketnya. Setelah membenarkan posisi jas dan mematuk wujudnya di depan cermin wastafel, Arnold segera balik kanan untuk melangkah menuju pintu keluar. 

"Tunggu, Tuan Arnold." Kezia buru-buru mengejar. Dia jadi kesal sendiri karena Arnold kembali jutek setelah berhasil membuat detak jantungnya maraton beberapa menit yang lalu. Dengan tubuh mungilnya, Kezia mencegat pintu agar pria itu tidak bisa keluar. 

"Mau apa lagi?" tanya Arnold dengan muka garang. 

"Tuan Arnold belum menerima maafku." Walaupun sedikit gentar, tapi Kezia memberanikan diri untuk mengangkat kepala hingga mukanya berhadapan langsung dengan milik Arnold. 

Pria itu menarik satu sudut bibirnya lagi. "Memangnya ada tanda-tanda aku akan menerima maafmu?"

Kezia tersentak atas pertanyaan yang diberikan Arnold. Dia kembali menundukkan kepala, kemudian beringsut ke samping untuk memberi jalan keluar. Sepertinya berdebat dengan Arnold tidak akan ada ujungnya. 

Sebelum benar-benar pergi dari toilet itu, Arnold berkata, "Kau boleh kembali lagi ke rumahku besok siang." Pria itu mengambil jeda untuk mendekatkan bibir ke telinga Kezia, kemudian berbisik di sana untuk melanjutkan ucapannya, "Tapi jangan berpenampilan seperti ini karena itu akan menggodaku. Aku bisa saja berbuat lebih kalau tak bisa menahan."

Kezia memberi anggukan tipis tanda ia paham. Arnold benar-benar pergi dari toilet itu tanpa menghiraukannya lagi. Dengan leher dipanjangkan, Kezia mengintip dari celah pintu untuk memastikan kalau pria itu benar-benar telah kembali ke mejanya yang tadi.

Menit berikutnya, gadis dua puluh satu tahun itu berlari menuju wastafel tempat Arnold menghukum napasnya tadi. Dia berkaca sambil berputar-putar mengamati tubuhnya. 

"Benar juga. Penampilan seperti ini akan menggoda pria mana pun yang tak bisa menahan diri," gumam Kezia sambil mengamati belahan di tengah-tengah dadanya. Ia tak bisa menafikan senyum malu yang tiba-tiba terbit ketika mengingat perlakuan Arnold tadi. Kalau saja pria itu tidak bisa menahan diri, kira-kira apa yang bakal terjadi, ya? 

***

Setibanya di rumah, Kezia langsung disambut oleh pertanyaan dengan nada tak sabar dari Eva. 

"Bagaimana tadi? Sukses, tidak?" Wajah Eva berbinar oleh temaram lampu teras. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Taksi yang mengantarkan Kezia pulang baru pamit dari pekarangan. 

Kezia mengambrukkan tubuh begitu saja di kursi teras. Ia memandang lagi ke bawah untuk menyaksikan penampilannya yang begitu tidak sopan malam ini. "Kezia nggak mau pakai baju kayak gini lagi," serunya dengan wajah masam. 

"Memangnya kenapa?" Eva menaruh tubuh pada kursi yang berdampingan. Dia menatap putrinya dengan janggal.

"Dia hampir saja membuat jantungku ingin meledak!"

"What?" Eva segera membulatkan matanya untuk meminta kejelasan. "Membuat jantungmu ingin meledak bagaimana?"

Kezia membenarkan posisi duduknya, mengangkat tegak kepalanya, kemudian mengarahkan mata ke Eva untuk memulai penjelasan. Gadis itu bertutur secara lengkap, mulai saat pertama kali tiba di restoran, kemudian mondar-mandir tidak jelas di depan pintu restoran selama puluhan menit seperti satpam. Tak lupa ia menceritakan kejadian inti, di mana tiba-tiba muncul ide untuk menumpahkan kopi ke pakaian Arnold agar bisa menarik perhatian pria itu. Eva cekikikan saat cerita Kezia tiba di mana Arnold membawanya ke toilet dan meletakkan tubuhnya di antara dua paha putrinya. 

"Kenapa Mama tertawa? Apa yang lucu?" Kezia mendengkus di sela pertanyaannya. Mukanya terlihat kusut seperti orang lelah. "Skenario yang Mama rancang malam ini gagal total. Itu sudah cukup membuktikan kalau ternyata Mama tak cerdas-cerdas amat."

"Hei, kau ini bicara apa, Putriku?" Eva bersuara dengan lembut hingga suaranya terkesan hendak menyaingi desau angin. "Kalau Mama tak cerdas, sudah pasti Mama tak akan berhasil menggoda mendiang papamu hingga akhirnya lahir gadis cantik sepertimu."

Kezia masih merengut di atas kursinya. Kali ini dua tangannya dilipat di depan dada hingga belahan di sana terlihat semakin menonjol. Sudah tak terhitung berapa kali ia mengumpat rencana Eva malam ini. Lebih parahnya lagi, ia juga tak berhenti memaki dirinya sendiri yang sudah membuat rencana gila dengan secangkir kopi. 

"Kalau Arnold sampai membawamu ke kamar mandi dan memandangimu seperti itu, berarti dia sudah tertarik padamu. Kita telah melewati satu langkah dengan sangat sempurna, Dear," ucap Eva dengan suara pelan seperti berbisik. Caranya berbicara seolah tengah membahas sebuah misi rahasia yang tak boleh didengar oleh debu sekali pun. 

Kezia bergeming di atas kursinya. Kali ini raut masam telah ditanggalkan dari mukanya. Benar juga kata Eva. Kalau Arnold tidak tertarik, tidak mungkin pria itu menghadiahinya dengan tatapan lapar seperti tadi. "Lalu bagaimana kalau Arnold seperti itu hanya karena menjalankan instingnya sebagai pria dewasa saja?"

Eva tertawa tipis mendengar pertanyaan putrinya. "Hal itu tak perlu kau pikirkan di awal-awal, Kez. Yang penting, sekarang kita harus fokus memasukkan tuan muda itu dalam perangkap keindahan tubuhmu. Kalau dia nanti sudah terlena, tugasmu adalah membuatnya jatuh cinta."

Kezia segera meloncatkan alisnya. Eva belum pernah membahas tentang jatuh cinta sebelumnya. "Maksudnya apa, Ma?"

Eva mengembuskan napas panjang. Ternyata putrinya itu terlampau polos sampai tak paham ini. "Ya, kamu harus membuat Arnold jatuh cinta kepadamu sampai menikahimu. Dengan begitu, rencana kita akan berjalan semulus jalan tol."

Kezia bergeming lagi di kursinya. Urat di kepalanya berkedut-kedut karena berpikir. Angin malam menampar kulit kian ganas hingga dinginnya seolah merembes lewat setiap detak waktu. Benar juga kata Eva. Kalau dia berhasil jadi nyonya di rumah itu, maka kesempatan untuk mencapai tujuan akan semakin mudah. Status Arnold yang sudah resmi bercerai dari Rebecca seolah menjadi pintu masuk yang sengaja dibuka lebar oleh semesta untuk Kezia.

Sebelum percakapan malam itu berakhir, Eva mendekatkan wajahnya ke arah Kezia untuk berpesan, "Tapi ingat, jangan sampai kamu ikut jatuh cinta sama dia. Cuma dia yang boleh mencintaimu, kamu tidak!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status