Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia.
Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini.
"Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu Kezia sambil memajukan bibirnya. Di salah satu meja dalam restoran itu, Kezia mendapati Arnold tengah fokus membaca beberapa dokumen dari klien, kemudian dia akan mengangguk-angguk ketika klien di depannya menjelaskan sesuatu. Hingga menit-menit berlalu lagi, Arnold sama sekali belum membagi fokusnya pada hal selain topik yang sedang dibicarakannya dengan klien. Diam-diam Kezia mengamati wajah pria itu sambil tersenyum karena terpesona. Dalam keadaan fokus seperti itu, Arnold terlihat lebih tampan. Wibawanya tumpah ruah seperti aliran air di musim hujan. Namun di balik semua itu, Kezia juga merasa jengkel sebab harus menunggu terlalu lama. Malam kian matang. Udara terasa menggigit. Gaun tanpa lengan yang dikenakan Kezia memudahkan angin untuk menusuk-nusuk kulitnya. "Sial! Mama menyuruhku berangkat terlalu awal. Yang ada aku malah harus menunggu dia selesai meeting sambil mondar-mandir di depan pintu seperti ini," umpat Kezia dalam hati. Dia melirik lagi ke meja Arnold. Kali ini hatinya bersorak sebab mendapati orang-orang di meja itu mulai mengemasi dokumen. Itu artinya, meeting mereka sudah selesai. Tak lama kemudian, datang dua pelayan restoran yang membawakan beberapa pesanan meja itu. Kezia melihat makanan yang cukup banyak. Kali ini ia menggerutu lagi sebab khawatir orang-orang di meja itu akan membutuhkan waktu cukup lama untuk menghabiskan makanan-makanan pesanan mereka. Ketika tidak sengaja melihat secangkir kopi yang ada di atas meja itu, pikiran Kezia mendadak digelayuti ide yang menurutnya sangat menakjubkan. Ia memaki lagi rencana yang dicetuskan Eva untuk terus menunggu di pintu sampai akhirnya Arnold melihatnya. Sejak tadi saja, pria itu seolah tak punya waktu untuk melihat ke arah lain. Sepertinya secangkir kopi akan jadi sesuatu yang jauh lebih baik dan menguntungkan daripada ia harus lebih lama menunggu sampai jamuran. Menit berikutnya, Kezia segera melangkah masuk dan mendekat ke meja itu. Derap langkahnya terdengar anggun sebab bantuan sepatu setinggi sepuluh senti. Tangan kanannya menenteng tas berwarna abu muda penuh percaya diri. Dengan penampilan yang begitu mencolok dan mengundang gairah, Kezia tahu kalau banyak pengunjung pria yang tengah memperhatikannya detik ini. Namun, fokus utamanya hanya tertuju pada Arnold saja.Saat jaraknya dari meja Arnold sempurna terpangkas, Kezia segera melancarkan aksinya. Dia pura-pura menabrak meja, kemudian menumpahkan secangkir kopi ke baju Arnold begitu saja. Tubuhnya sengaja dibuat membungkuk untuk menggoda naluri pria itu. Tentu gaun tanpa lengan yang dikenakannya sangat mendukung Arnold melihat dada bagian atasnya. "Aduh, maafkan kecerobohanku, Tuan." Kezia bergerak cepat mengambil beberapa helai tissue dari tasnya, kemudian menyapukan tissue itu ke jas Arnold yang terkena tumpahan kopi. Di atas kursinya, Arnold hanya bisa menahan napas karena marah. Penampilannya malam ini harus rusak karena kedatangan seorang gadis yang tidak diundang. Ia membiarkan saja gadis ceroboh itu membersihkan bajunya walau tahu kalau tissue tak akan bisa menghilangkan noda dengan sempurna. Tiga pria lain yang duduk satu meja dengannya hanya bisa menatap prihatin."Saya benar-benar tidak sengaja, Tuan. Kaki meja ini telah mengenai sepatu saya hingga akhirnya saya tidak bisa berjalan dengan seimbang." Kezia mengumpulkan beberapa helai tissue kotor yang usai digunakan untuk mengelap jas Arnold, kemudian menjatuhkannya ke bawah meja. Kini gadis itu berdiri tegak dengan kepala ditundukkan karena takut. Detik itu juga, Arnold segera membulatkan mata. Kepalanya sedikit diarahkan ke depan untuk memastikan tidak ada yang salah dalam penglihatannya. "Kezia?" gumamnya hingga terdengar seperti berbisik. Di detik yang sama, Kezia mengarahkan mata ke Arnold. Dia yang juga pura-pura tak mengetahui identitas pria di depannya segera membulatkan mata. "Tuan Arnold?"Arnold segera beranjak dari duduknya. Ia menatap Kezia lebih jeli, memastikan sekali lagi kalau gadis yang ada di depannya detik ini sama dengan gadis yang mengetuk pintu rumahnya kemarin pagi. "Mohon maaf, Pak Miko, Pak Daniel, dan Pak Reza, saya tinggal dulu, ya. Saya harus menyelesaikan beberapa urusan dengan gadis ceroboh ini." Arnold memberi anggukan hormat untuk pamit dari meja itu. Setelah menerima jawaban dari para rekan kerjanya, Arnold segera meraih lengan Kezia dengan kasar, kemudian membawa gadis itu pergi ke bagian restoran yang lebih dalam. Kezia gemetar ketakutan sebab merasai cengkeraman tangan Arnold yang begitu kuat. Rasanya ingin pergi dan kabur saja, tapi tentu ia tak akan mampu melawan kekuatan Arnold yang tidak sebanding dengan tenaganya. Rasa takut itu kian beranak-pinak ketika Arnold menyeretnya ke toilet pria. Kezia terus merapal mantra dalam hati agar di dalam toilet itu ada pengunjung lain. Sayangnya, pengharapan gadis itu menemui kekosongan sebab nyatanya di setiap sudut toilet tak ada satu pun manusia selain mereka. "Tuan mau ngapain?" tanya Kezia waswas. Usianya memang sudah dua puluh satu, tapi gadis itu belum pernah berpacaran di sepanjang hidupnya. Tentu tingkah mengganjal dari Arnold seperti ini langsung mengundang keringat dingin untuk mengalir di pelipisnya. Arnold tak menjawab apa pun. Matanya masih menatap garang. Dengan gerakan kasar, ia menarik tubuh Kezia dan mendudukkan gadis itu di pinggiran wastafel. Dua wajah mereka saling berhadapan sekarang. "Jangan macam-macam, Tuan. Saya bisa teriak kapan pun saya mau," ancam Kezia yang detik ini benar-benar merasa ketakutan. Tiba-tiba ia merutuki diri sendiri yang telah membuat rencana sekonyol tadi hingga Arnold menariknya dengan marah ke tempat ini. Dengan sorot mata yang masih berkilatan akan amarah, Arnold berkata, "Tidak akan ada yang bisa mendengar teriakanmu, gadis ceroboh." Dia sengaja membuka kaki Kezia, kemudian berdiri di antara dua paha gadis yang masih duduk di pinggiran wastafel itu. Untung saja Kezia mengenakan dalaman yang panjangnya hampir setara dengan ujung gaun. Kalau tidak, bisa gawat. Posisi seperti ini membuat Kezia semakin kewalahan mengatur napas. Dadanya naik turun menyangga kegugupan. Ia membayangkan Arnold nekat berbuat sesuatu yang menyakitinya, sementara tak ada seorang pun yang dapat dimintai tolong. Dengan posisi kepala yang ditundukkan, Kezia menjawab dengan suara gemetar, "Maafkan saya, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja menumpahkan kopi itu."Sebab merasa gemas pada gadis di hadapannya, Arnold segera menaikkan dagu Kezia hingga dua wajah mereka kembali beradu dalam jarak yang sangat dekat. Dia lelaki dewasa yang normal. Tentu penampilan Kezia malam ini telah membangkitkan sesuatu dari dalam dirinya. Dengan tatapan nakalnya, mula-mula Arnold mengamati ujung rambut Kezia yang digelung, kemudian turun ke mata, hidung, pipi, dan berhenti di bibir gadis itu cukup lama. Lipstik berwarna mencolok yang dikenakan Kezia membuat ia sangat ingin menyentuh bibir itu. "Aku tidak menyangka kau bisa tampil semenggoda ini," bisik Arnold dengan suara yang mulai diselimuti kabut nafsu. Matanya lanjut mengamati leher jenjang Kezia yang terekspos nyata sebab tak ada helai rambut yang menghalanginya. Terakhir, mata itu turun pada dua gundukan yang melambai-lambai di bawah tulang selangka.Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun."Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini.Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel.Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni.Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana."Wah, rupanya kau sudah ada di si
Esok paginya, Kezia sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold sebelum pria itu berangkat ke kantor. Arnold menyambut dengan senyum terbuka. Kezia sudah memakai seragam berwarna biru dengan motif garis di tepi lengannya. Rambut panjangnya dikucir jadi satu ke belakang. Leher jenjangnya terlihat manis dan memesona. Dia membawa sebuah tas yang mirip dengan tas raket milik para pebulutangkis."Selamat datang, Nona Kezia," sapa Arnold yang langsung mempersilakan gadis itu masuk. Ketika Kezia hendak duduk di sofa, dia buru-buru mencegah dengan sindiran tajamnya. "Tidak ada yang mempersilakanmu untuk duduk."Kezia yang sudah bersiap menaruh tubuhnya, terpaksa harus kembali meluruskan punggungnya. Ditaruhnya tas raket itu di lantai. Hanya dia yang tahu apa isinya. "Maafkan saya, Tuan.""Kau belum berkenalan dengan bayiku," ujar Arnold dengan alis melengkung satu. Di hari pertama saja, Kezia sudah menunjukkan sikap acuhnya pada sang bayi. Mendadak Arnold menyesal karen
Ternyata mengasuh bayi tidak semudah yang dibayangkan. Sejak tadi, Narendra terus rewel tanpa bisa ditebak Kezia apa maunya. Ketika diajak bermain di kamar, bayi itu minta keluar seolah sudah tak kerasan. Ketika diajak ke taman, ia malah menangis karena kepanasan. Ingin rasanya membentak atau marah, tapi Kezia segera sadar apa statusnya sekarang."Kamu mau apa, sih, Sayang?" Kezia mengusap peluh di dahinya. Saat ini ia memutuskan mengajak Narendra duduk di ruang tamu. Andai saja bayi itu bisa bicara, pasti akan lebih mudah untuk memahami apa inginnya.Bersama kesabaran yang rasanya tinggal sekepal saja, Kezia memutuskan untuk menimang bayi laki-laki itu dalam gendongannya. Waktu baru menunjukkan tengah hari. Masih lama sekali menuju malam untuk beristirahat."Kalau hari pertama saja sudah seberat ini, bagaimana aku bisa melewati empat belas hari? Apalagi tanpa digaji." Kezia bergumam sendiri sembari berusaha menggerak-gerakkan mainan berbentuk
Mungkin ini bisa dikatakan sebagai hari terburuk bagi Kezia. Pengalaman pertama mengasuh bayi sungguh melelahkan. Siang tadi, ia harus melewati beberapa drama sebelum akhirnya Baby Narendra bisa benar-benar tidur dengan lelap sampai sore.Ketika matahari telah terbenam, Narendra sudah tidak rewel seperti tadi pagi. Bayi itu diajak Kezia duduk di sofa, kemudian mereka bermain robot-robotan berdua. Mood bayi sudah seperti mood perempuan yang sedang berada pada masa pra menstruasi syndrome— berubah-ubah tak tentu arah.Kezia tidak tahu kalau sejak beberapa menit yang lalu, ada seseorang yang sedang mengawasinya dari celah pintu yang terbuka sedikit. Arnold mengukir senyum senang. Ia berpikir kalau kinerja Kezia benar-benar bisa diandalkan.Setelah berdiri di situ tak kurang dari lima menit, Arnold mengetuk pintu dengan pelan. Dia sudah berjanji tidak akan main asal-asalan membuka pintu atau Baby Narendra akan terkejut. Arnold sudah cukup kasihan melih
Sore harinya, Arnold pulang dari kantor agak tergesa. Ia ingat punya janji dengan Kezia. Ketika ia tiba di rumahnya, gadis bertubuh mungil itu sedang menggendong Narendra di taman."Hai, jadi atau tidak?" sapanya ketika menyusul mereka ke taman. Narendra yang digendong menghadap ke depan, langsung memberi senyum lucu kepada Arnold.Kezia mengerutkan kening seperti orang bingung. "Jadi apanya, Tuan?"Arnold mengembuskan napas kasar, kemudian meraih bayinya dari gendongan Kezia. "Baru tadi pagi saja kau sudah lupa. Lalu bagaimana aku bisa yakin anakku akan baik-baik saja jika ibu pengasuhnya pelupa sepertimu?"Untuk beberapa saat, Kezia hanya menatap heran. Hingga akhirnya, senja yang menggantung di langit barat menghujaninya dengan sekepal ingatan. "Oh, iya. Tuan mengajak saya pulang ke rumah saya, kan?" serunya dengan wajah berbinar setelah ingat."Bukan mengajak," ralat Arnold dengan wajah tak suka. Dia menggerak-gerakkan tubuhnya agar b
Mereka tiba lagi di rumah tiga lantai saat langit sudah gelap. Bintang-bintang dan rembulan sudah mengambil posisi untuk melaksanakan tugasnya di langit malam."Terima kasih karena Tuan Arnold sudah begitu perhatian sampai bersedia mengantarkan saya pulang dan ngobrol langsung dengan mama saya," ujar Kezia sebelum turun dari mobil. Dia sedang berjuang melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya di sepanjang perjalanan tadi."Jangan lebih dulu berbesar kepala," sahut Arnold. Wajah dinginnya kembali lagi. Padahal sepanjang ngobrol dengan Eva tadi, dia terlihat asyik dan ramah. "Tadi sudah kujelaskan apa alasanku mengantarkanmu."Kezia mengangguk paham. "Apa pun alasannya, tapi Tuan Arnold adalah majikan yang begitu baik.""Ya, terima kasih atas pujianmu itu."Setelah mengucapkan kalimatnya dengan wajah datar, Arnold mendahului Kezia untuk turun dari mobil. Setelan pakaian kerja masih menempel di tubuhnya tanpa sempat diganti sejak pagi. Sore tadi, dia
Dua minggu berlalu tanpa terasa. Ternyata jadi ibu pengasuh tak seburuk yang dipikirkan Kezia ketika ia baru mengurus Narendra selama satu hari. Mood bayi itu memang berubah-ubah seperti bunglon, tapi di sinilah letak keseruan yang sesungguhnya. Dari Narendra, Kezia mengantongi beberapa ilmu kesabaran yang kemudian bisa digunakannya untuk menghadapi papa Narendra."Kau terlihat sudah pantas memiliki bayi," ucap Arnold pada suatu siang yang panas. Matahari bersinar beringas seolah hendak memanggang isi bumi dengan ganas.Kezia hanya melirik Arnold dari sudut mata. Dia sulit mengerti mengapa tuannya itu ada di rumah pada siang-siang tertentu, untuk kemudian kembali lagi ke kantor sampai senja tiba. Kezia menebak, mungkin siang memang jam istirahat, sehingga pria itu kadang memilih pulang untuk bertemu anaknya, atau mungkin ibu pengasuhnya."Mengapa kau tidak membalas perkataanku?" Arnold mendekat ke arah Kezia yang waktu itu sedang mengajak Narendra main-m
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik