Mereka tiba lagi di rumah tiga lantai saat langit sudah gelap. Bintang-bintang dan rembulan sudah mengambil posisi untuk melaksanakan tugasnya di langit malam.
"Terima kasih karena Tuan Arnold sudah begitu perhatian sampai bersedia mengantarkan saya pulang dan ngobrol langsung dengan mama saya," ujar Kezia sebelum turun dari mobil. Dia sedang berjuang melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya di sepanjang perjalanan tadi.
"Jangan lebih dulu berbesar kepala," sahut Arnold. Wajah dinginnya kembali lagi. Padahal sepanjang ngobrol dengan Eva tadi, dia terlihat asyik dan ramah. "Tadi sudah kujelaskan apa alasanku mengantarkanmu."Kezia mengangguk paham. "Apa pun alasannya, tapi Tuan Arnold adalah majikan yang begitu baik.""Ya, terima kasih atas pujianmu itu."Setelah mengucapkan kalimatnya dengan wajah datar, Arnold mendahului Kezia untuk turun dari mobil. Setelan pakaian kerja masih menempel di tubuhnya tanpa sempat diganti sejak pagi. Sore tadi, diaDua minggu berlalu tanpa terasa. Ternyata jadi ibu pengasuh tak seburuk yang dipikirkan Kezia ketika ia baru mengurus Narendra selama satu hari. Mood bayi itu memang berubah-ubah seperti bunglon, tapi di sinilah letak keseruan yang sesungguhnya. Dari Narendra, Kezia mengantongi beberapa ilmu kesabaran yang kemudian bisa digunakannya untuk menghadapi papa Narendra."Kau terlihat sudah pantas memiliki bayi," ucap Arnold pada suatu siang yang panas. Matahari bersinar beringas seolah hendak memanggang isi bumi dengan ganas.Kezia hanya melirik Arnold dari sudut mata. Dia sulit mengerti mengapa tuannya itu ada di rumah pada siang-siang tertentu, untuk kemudian kembali lagi ke kantor sampai senja tiba. Kezia menebak, mungkin siang memang jam istirahat, sehingga pria itu kadang memilih pulang untuk bertemu anaknya, atau mungkin ibu pengasuhnya."Mengapa kau tidak membalas perkataanku?" Arnold mendekat ke arah Kezia yang waktu itu sedang mengajak Narendra main-m
Kezia tak punya pilihan selain menurut. Arnold meminta agar gadis itu duduk di ranjang bersamanya. Dengan agak ragu, Kezia duduk dalam jarak lebih dari satu meter. Namun, tiba-tiba saja Arnold meraih tubuh babysitter itu dengan tangan kekarnya."Jangan duduk terlalu jauh. Kau bisa membuang tenagaku jika menyuruhku mengulang-ulang apa yang sudah kuucapkan gara-gara tidak mendengar." Begitulah ucap pengusaha sukses tiga puluh tahun itu. Air mukanya tenang seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia memberi tatapan meyakinkan untuk Kezia.Gadis itu mengangguk sekilas. Sekarang jarak di antara mereka hanya tersisa beberapa senti saja."Sesuai yang sudah kukatakan tadi siang, ini adalah hari terakhirmu menjalani tes awal bekerja selama dua minggu tanpa digaji." Arnold memulai percakapan. Ia tersenyum samar saat mendapati jemari di pangkuan gadis itu gemetar."Ya, Tuan," jawab Kezia sambil menunduk. Ingin sekali berlari ke arah pintu dan membu
Ketika Arnold sudah berangkat ke kantor, Kezia bergegas pergi ke kamar mandi. Ia ingin menelepon Eva untuk memberi kabar tentang gaji yang dijanjikan Arnold. Baby Narendra masih terkunci dalam tidurnya. Mungkin beberapa menit lagi bayi itu akan bangun."Iya, Sayang. Bagaimana perkembangannya di sana?" Suara Eva langsung menyerang dari seberang. Dari nada suaranya, Kezia menebak kalau mamanya baru bangun tidur."Perkembangannya sangat baik, Ma," jawab Kezia.Eva berdeham pelan untuk menggoda. "Udah lama banget kamu nggak pulang. Sepertinya kerasan di sana."Kezia tahu kalau Eva rindu. Ia pun demikian, menyimpan rasa ingin bertemu yang sangat banyak pada mamanya. Mereka terakhir bertemu sepuluh hari yang lalu, saat Arnold mengantarkan Kezia langsung untuk pulang ke rumah. "Maaf, ya, Ma. Akhir-akhir ini aku fokus ngurus Baby Narendra buat meyakinkan Arnold kalau aku benar-benar pantas jadi ibu pengasuhnya.""Iya, Sayang. Mama ngerti, kok. Kamu bek
Andai wajah gadis itu lebih buruk darinya, pasti Rebecca tidak akan sepanik ini. Ia sangat khawatir kalau Arnold benar-benar telah membuang semua cinta untuknya, sehingga ia sama sekali tak memiliki kesempatan untuk mencecap sedikit harta milik pria itu.Tanpa izin kepada siapa pun, Rebecca meraih Narendra begitu saja dari ranjangnya. Bayi itu sempat menggeliat tak nyaman, kemudian menangis keras sebab merasa tidurnya diganggu."Anda mau bawa anakku ke mana?" Kezia berusaha meraih bayi itu, tapi Rebecca dengan cepat menepis tangannya."Hati-hati kalau bicara. Ini anakku, anak yang kukandung dan kulahirkan. Jadi jangan pernah mengakuinya sebagai anakmu!""Dia anak Arnold, dan saya istri sah Arnold. Jadi, Narendra juga anakku sekarang." Kezia berusaha membentak agar Rebecca gentar dan mengembalikan Narendra ke ranjangnya. Namun, mantan istri Arnold itu tetap keras kepala untuk mempertahankan Narendra dalam gendongannya meskipun tahu kalau bayi i
Arnold menyunggingkan senyum tipis, kemudian mendudukkan dirinya di sofa. "Rebecca sudah telanjur tahu kalau kamu istriku. Mau tidak mau, kamu harus menyamar jadi istriku untuk seterusnya."Kezia membelalakkan mata saat mendengar itu. Tubuhnya berpaling dari ranjang Narendra menuju sofa tempat Arnold menaruh diri. "Mengapa harus begitu? Nyonya Rebecca belum tentu akan kembali lagi ke sini.""Hussst!" Arnold meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Aku pernah menjadi suami Rebecca selama hampir dua tahun, jadi aku tahu banyak tentangnya, termasuk sikap nekatnya. Bisa saja dia menyuruh orang untuk menyelidiki statusmu yang sebenarnya. Aku tidak mau tertangkap basah olehnya mengaku sebagai suami babysitter. Nanti aku malu seperti dia saat kutangkap basah sedang ditelanjangi oleh lelaki lain."Kezia menelan ludahnya sendiri. Ngeri juga saat mendengar penuturan Arnold."Aku bisa saja menaikkan gajimu tanpa harus menunggu tiga bulan."Bersamaan dengan itu,
Keesokan sore sepulang dari kantor, Arnold menghampiri Kezia ke kamarnya. Gadis itu sedang bersantai mumpung Narendra baru tidur. Berdasarkan cerita salah satu asisten rumah, hari ini Narendra sangat rewel sampai Kezia tak sempat duduk sebab harus terus menggendong."Kez...." Arnold mengetuk pintu kamar gadis itu yang tertutup.Kezia yang sedang rebahan terpaksa membereskan tubuh dari kasur. Ia tahu itu suara Arnold. Ada sedikit rasa kesal di hatinya sebab pria itu seperti tak memberi kesempatan untuknya beristirahat."Ada apa, Tuan?" Kezia langsung mengajukan pertanyaan begitu pintu kamar dibukanya. Ia kaget melihat Arnold membawa banyak sekali kantong pakaian."Ini buat kamu," ucap Arnold sembari menyodorkan kantong-kantong itu pada Kezia.Dengan sedikit ragu, Kezia meraihnya dari tangan Arnold. Dia melirik sekilas pada beberapa isi kantong. Walau belum membukanya, tapi ia tahu kalau isinya adalah pakaian-pakaian bagus. 
Arnold sangat bahagia sebab berhasil membawa Kezia dan Narendra ke kantor. Gadis itu dipersilakan menggamit lengannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang Narendra dalam gendongan. Semua mata langsung tertuju pada mereka begitu tiba di kantor. Arnold yakin, dalam waktu dekat, kabar ini akan merambat ke telinga Rebecca. Pria itu merasa bukan hanya berhasil menceraikan Rebecca dengan rasa malu yang banyak, tapi juga penyesalan yang tiada berujung."Selamat pagi." Arnold memberi sapaan pada satu per satu karyawannya. Tidak seperti biasanya dia begini. Di hari-hari yang telah lalu, mukanya lebih banyak diabadikan dalam kedinginan."Selamat pagi, Pak Arnold," balas beberapa karyawan sambil memberi senyum.Arnold sengaja tak langsung pergi ke ruangannya. Dia menghentikan langkah di antara meja-meja karyawannya. Setelah memberi dehaman singkat sebagai kode minta diperhatikan, pria itu segera berucap, "Sebelumnya mohon maaf. Bolehkah saya
Sebelum siang, Arnold sudah menyelesaikan deretan pekerjaannya agar bisa lekas mengantarkan Kezia dan Narendra pulang. Sejak tadi ia amat kasihan pada Kezia yang terus mencari cara agar Narendra tak jenuh. Ia lupa tidak membawakan mainan apa pun."Mari kuantar pulang. Kau harus menggamit lenganku lagi seperti saat datang tadi pagi," pinta Arnold sembari menyodorkan lengannya.Kezia buru-buru meraih gendongan bayi, kemudian memasang Narendra dengan posisi ternyaman di sana. Saat membenarkan letak gendongan yang melengkung di punggungnya, gadis itu tak sadar telah membangkitkan sesuatu dalam diri Arnold. Posisi tangan Kezia yang diputar ke belakang untuk menjangkau punggung membuat rempel di bagian atas dress ikut tersibak sehingga dadanya kelihatan sangat menonjol."Biar aku saja yang membenarkan." Arnold bergerak cepat sebelum seluruh matanya ditutup oleh kabut nafsu. Dia hanya pria biasa yang tak akan mampu melawan gairahnya jika ada hal yang
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik