Arnold menyunggingkan senyum tipis, kemudian mendudukkan dirinya di sofa. "Rebecca sudah telanjur tahu kalau kamu istriku. Mau tidak mau, kamu harus menyamar jadi istriku untuk seterusnya."
Kezia membelalakkan mata saat mendengar itu. Tubuhnya berpaling dari ranjang Narendra menuju sofa tempat Arnold menaruh diri. "Mengapa harus begitu? Nyonya Rebecca belum tentu akan kembali lagi ke sini."
"Hussst!" Arnold meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Aku pernah menjadi suami Rebecca selama hampir dua tahun, jadi aku tahu banyak tentangnya, termasuk sikap nekatnya. Bisa saja dia menyuruh orang untuk menyelidiki statusmu yang sebenarnya. Aku tidak mau tertangkap basah olehnya mengaku sebagai suami babysitter. Nanti aku malu seperti dia saat kutangkap basah sedang ditelanjangi oleh lelaki lain."Kezia menelan ludahnya sendiri. Ngeri juga saat mendengar penuturan Arnold. "Aku bisa saja menaikkan gajimu tanpa harus menunggu tiga bulan."Bersamaan dengan itu,Keesokan sore sepulang dari kantor, Arnold menghampiri Kezia ke kamarnya. Gadis itu sedang bersantai mumpung Narendra baru tidur. Berdasarkan cerita salah satu asisten rumah, hari ini Narendra sangat rewel sampai Kezia tak sempat duduk sebab harus terus menggendong."Kez...." Arnold mengetuk pintu kamar gadis itu yang tertutup.Kezia yang sedang rebahan terpaksa membereskan tubuh dari kasur. Ia tahu itu suara Arnold. Ada sedikit rasa kesal di hatinya sebab pria itu seperti tak memberi kesempatan untuknya beristirahat."Ada apa, Tuan?" Kezia langsung mengajukan pertanyaan begitu pintu kamar dibukanya. Ia kaget melihat Arnold membawa banyak sekali kantong pakaian."Ini buat kamu," ucap Arnold sembari menyodorkan kantong-kantong itu pada Kezia.Dengan sedikit ragu, Kezia meraihnya dari tangan Arnold. Dia melirik sekilas pada beberapa isi kantong. Walau belum membukanya, tapi ia tahu kalau isinya adalah pakaian-pakaian bagus. 
Arnold sangat bahagia sebab berhasil membawa Kezia dan Narendra ke kantor. Gadis itu dipersilakan menggamit lengannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang Narendra dalam gendongan. Semua mata langsung tertuju pada mereka begitu tiba di kantor. Arnold yakin, dalam waktu dekat, kabar ini akan merambat ke telinga Rebecca. Pria itu merasa bukan hanya berhasil menceraikan Rebecca dengan rasa malu yang banyak, tapi juga penyesalan yang tiada berujung."Selamat pagi." Arnold memberi sapaan pada satu per satu karyawannya. Tidak seperti biasanya dia begini. Di hari-hari yang telah lalu, mukanya lebih banyak diabadikan dalam kedinginan."Selamat pagi, Pak Arnold," balas beberapa karyawan sambil memberi senyum.Arnold sengaja tak langsung pergi ke ruangannya. Dia menghentikan langkah di antara meja-meja karyawannya. Setelah memberi dehaman singkat sebagai kode minta diperhatikan, pria itu segera berucap, "Sebelumnya mohon maaf. Bolehkah saya
Sebelum siang, Arnold sudah menyelesaikan deretan pekerjaannya agar bisa lekas mengantarkan Kezia dan Narendra pulang. Sejak tadi ia amat kasihan pada Kezia yang terus mencari cara agar Narendra tak jenuh. Ia lupa tidak membawakan mainan apa pun."Mari kuantar pulang. Kau harus menggamit lenganku lagi seperti saat datang tadi pagi," pinta Arnold sembari menyodorkan lengannya.Kezia buru-buru meraih gendongan bayi, kemudian memasang Narendra dengan posisi ternyaman di sana. Saat membenarkan letak gendongan yang melengkung di punggungnya, gadis itu tak sadar telah membangkitkan sesuatu dalam diri Arnold. Posisi tangan Kezia yang diputar ke belakang untuk menjangkau punggung membuat rempel di bagian atas dress ikut tersibak sehingga dadanya kelihatan sangat menonjol."Biar aku saja yang membenarkan." Arnold bergerak cepat sebelum seluruh matanya ditutup oleh kabut nafsu. Dia hanya pria biasa yang tak akan mampu melawan gairahnya jika ada hal yang
Malam itu juga, Arnold menemui Kezia ke kamarnya. Wajah pria itu tak berkurang kusutnya sejak tadi siang. Ia benar-benar belum bisa berhenti tenang atas ancaman yang diberikan Rebecca. Bagaimana kalau mantan istrinya itu dapat membuktikan kalau Kezia bukan siapa-siapa di rumah ini? Akan banyak sekali cara yang ditempuh oleh perempuan itu untuk memenuhi keinginannya. Sejak dulu, Arnold tahu kalau ia dan Rebecca sama-sama manusia berwatak keras. Barangkali karena itu mereka jadi tak bisa memperpanjang waktu untuk bersatu."Ada apa, Tuan?" Takut-takut Kezia membuka pintu. Gadis tersebut sengaja mengeluarkan diri terlebih dulu sebelum Arnold nyelonong masuk ke kamarnya seperti malam itu."Apa kita bisa bicara sebentar?" Arnold menatap lekat ke arah Kezia."Ya, tentu saja bisa."Mereka kemudian berjalan ke bawah dan duduk berhadapan di ruang tengah. Kezia sudah tak memakai dress bagus karena hari sudah malam. Dia mengenakan setelan baju tidur yang
Mereka menuju lokasi pemotretan hanya berdua saja. Arnold menyetir mobil sendiri tanpa meminta bantuan sopir pribadinya. Kezia disuruhnya duduk di jok depan, bersebelahan dengannya. Sepanjang perjalanan, pria itu tak henti-hentinya mencuri lirik ke arah Kezia. Dalam posisi duduk bersandar seperti itu, tubuh Kezia terlihat semakin memesona saja.Setibanya di gedung minimalis yang didominasi warna abu tua, Arnold dan Kezia langsung mendapat sambutan dari seorang pria berambut pirang. Keduanya dipersilakan untuk segera masuk. Di dalam sana, sudah ada beberapa kru yang menunggu."Apa ini pengantin wanitanya, Tuan?" tanya pria lain yang penampilannya agak kewanita-wanitaan. Telunjuknya diarahkan pada Kezia. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka. Rambutnya berwarna putih tulang dan berdiri seperti duri landak."Ya. Tolong buat dia secantik mungkin," pinta Arnold."Kalau ini sih, udah cantik. Tapi atas permin
Entah sudah berapa kali Kezia harus menahan napasnya. Pose yang diarahkan fotografer benar-benar membuatnya seperti tak mampu lagi berkata-kata. Nadinya seolah melemah sebab telah dikalahkan oleh degup jantung yang berkejaran tanpa aturan.Sekarang sudah masuk lokasi kedua. Mereka sedang berdiri di tengah-tengah tangga yang berbalut karpet merah. Pose pertama memang hanya bergandengan tangan dengan muka saling dihadapkan ke belakang, sementara fotografer mengambil gambar dari bawah tangga. Tapi ketika fotografer menuturkan pose kedua yang harus diambil dengan latar tangga, lagi-lagi Kezia harus menelan ludahnya dengan susah payah."Pose kedua akan saya ambil dalam jarak dekat. Nyonya Kezia mohon menengadahkan kepala setinggi mungkin sambil membusungkan dada, kemudian Tuan Arnold silakan meletakkan wajah di leher Nyonya Kezia. Tangannya ditaruh di punggung Nyonya Kezia, ya. Anggap saja Tuan sedang menolong istrinya yang hampir jatuh, kemudian malah tidak senga
"Aku sudah membawa berkas-berkas yang harus kau tanda tangani." Arnold menyodorkan setumpuk kertas yang dibungkus dalam map saat Kezia sedang memakaikan baju pada tubuh Narendra. Bayi itu bangun sangat sore, sehingga ketika papanya pulang dari kantor, ia baru selesai mandi."Sebentar, ya, Tuan," balas Kezia sopan.Arnold menunggu di sofa. Dari kejauhan, dia memperhatikan setiap gerakan Kezia ketika sedang merawat putranya. Gadis itu terlihat cekatan sekali seolah sebelumnya sudah pernah memiliki anak. Arnold mencoba maklum. Berdasarkan pengakuan Kezia, dia sudah pernah beberapa kali menjadi ibu pengasuh dari bayi yang berbeda.Setelah Narendra siap, Kezia segera menggendongnya untuk menghampiri Arnold yang masih duduk di sofa. "Bisa saya lihat dulu berkas-berkasnya?"Arnold mengangguk. Dia mengangkat tubuh dari kursi, kemudian menunjuk map yang digeletakkan di atas meja. "Biar aku yang mengajak Narendra. Sepertinya akan sulit kalau kau harus tanda t
Kezia merasa sangat takut. Sejak masuk ke dalam mobil sampai tiba di pertengahan jalan pulang, Arnold belum mengucapkan apa pun. Pria itu terus melanggengkan diamnya seolah telah lupa cara berkata-kata. Saat berjalan menuju tempat parkir tadi, dia juga tidak mempersilakan lengannya untuk digandeng Kezia. Mereka berjalan sendiri-sendiri dan sampai detik ini belum ada yang berhasil merobek keheningan.Hingga mobil tiba di pekarangan rumah, Arnold tetap diam. Berkali-kali Kezia mencuri lirik ke arah pria itu, tapi ia tak mendapatkan apa pun selain wajah tuannya yang beku."Apa Tuan sangat marah pada saya?" Akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk membuka suara sebelum melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.Arnold langsung menghadiahi lirikan setajam ujung pedang, kemudian menjawab, "Seharusnya kamu bisa memikirkannya sendiri tanpa perlu bertanya.""Maaf, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja tadi," ujar Kezia sambil menunduk dalam-dalam seolah ge
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik