Malam itu juga, Arnold menemui Kezia ke kamarnya. Wajah pria itu tak berkurang kusutnya sejak tadi siang. Ia benar-benar belum bisa berhenti tenang atas ancaman yang diberikan Rebecca. Bagaimana kalau mantan istrinya itu dapat membuktikan kalau Kezia bukan siapa-siapa di rumah ini? Akan banyak sekali cara yang ditempuh oleh perempuan itu untuk memenuhi keinginannya. Sejak dulu, Arnold tahu kalau ia dan Rebecca sama-sama manusia berwatak keras. Barangkali karena itu mereka jadi tak bisa memperpanjang waktu untuk bersatu.
"Ada apa, Tuan?" Takut-takut Kezia membuka pintu. Gadis tersebut sengaja mengeluarkan diri terlebih dulu sebelum Arnold nyelonong masuk ke kamarnya seperti malam itu.
"Apa kita bisa bicara sebentar?" Arnold menatap lekat ke arah Kezia. "Ya, tentu saja bisa."Mereka kemudian berjalan ke bawah dan duduk berhadapan di ruang tengah. Kezia sudah tak memakai dress bagus karena hari sudah malam. Dia mengenakan setelan baju tidur yangMereka menuju lokasi pemotretan hanya berdua saja. Arnold menyetir mobil sendiri tanpa meminta bantuan sopir pribadinya. Kezia disuruhnya duduk di jok depan, bersebelahan dengannya. Sepanjang perjalanan, pria itu tak henti-hentinya mencuri lirik ke arah Kezia. Dalam posisi duduk bersandar seperti itu, tubuh Kezia terlihat semakin memesona saja.Setibanya di gedung minimalis yang didominasi warna abu tua, Arnold dan Kezia langsung mendapat sambutan dari seorang pria berambut pirang. Keduanya dipersilakan untuk segera masuk. Di dalam sana, sudah ada beberapa kru yang menunggu."Apa ini pengantin wanitanya, Tuan?" tanya pria lain yang penampilannya agak kewanita-wanitaan. Telunjuknya diarahkan pada Kezia. Pria itu mengenakan kemeja putih dengan dua kancing atas yang dibiarkan terbuka. Rambutnya berwarna putih tulang dan berdiri seperti duri landak."Ya. Tolong buat dia secantik mungkin," pinta Arnold."Kalau ini sih, udah cantik. Tapi atas permin
Entah sudah berapa kali Kezia harus menahan napasnya. Pose yang diarahkan fotografer benar-benar membuatnya seperti tak mampu lagi berkata-kata. Nadinya seolah melemah sebab telah dikalahkan oleh degup jantung yang berkejaran tanpa aturan.Sekarang sudah masuk lokasi kedua. Mereka sedang berdiri di tengah-tengah tangga yang berbalut karpet merah. Pose pertama memang hanya bergandengan tangan dengan muka saling dihadapkan ke belakang, sementara fotografer mengambil gambar dari bawah tangga. Tapi ketika fotografer menuturkan pose kedua yang harus diambil dengan latar tangga, lagi-lagi Kezia harus menelan ludahnya dengan susah payah."Pose kedua akan saya ambil dalam jarak dekat. Nyonya Kezia mohon menengadahkan kepala setinggi mungkin sambil membusungkan dada, kemudian Tuan Arnold silakan meletakkan wajah di leher Nyonya Kezia. Tangannya ditaruh di punggung Nyonya Kezia, ya. Anggap saja Tuan sedang menolong istrinya yang hampir jatuh, kemudian malah tidak senga
"Aku sudah membawa berkas-berkas yang harus kau tanda tangani." Arnold menyodorkan setumpuk kertas yang dibungkus dalam map saat Kezia sedang memakaikan baju pada tubuh Narendra. Bayi itu bangun sangat sore, sehingga ketika papanya pulang dari kantor, ia baru selesai mandi."Sebentar, ya, Tuan," balas Kezia sopan.Arnold menunggu di sofa. Dari kejauhan, dia memperhatikan setiap gerakan Kezia ketika sedang merawat putranya. Gadis itu terlihat cekatan sekali seolah sebelumnya sudah pernah memiliki anak. Arnold mencoba maklum. Berdasarkan pengakuan Kezia, dia sudah pernah beberapa kali menjadi ibu pengasuh dari bayi yang berbeda.Setelah Narendra siap, Kezia segera menggendongnya untuk menghampiri Arnold yang masih duduk di sofa. "Bisa saya lihat dulu berkas-berkasnya?"Arnold mengangguk. Dia mengangkat tubuh dari kursi, kemudian menunjuk map yang digeletakkan di atas meja. "Biar aku yang mengajak Narendra. Sepertinya akan sulit kalau kau harus tanda t
Kezia merasa sangat takut. Sejak masuk ke dalam mobil sampai tiba di pertengahan jalan pulang, Arnold belum mengucapkan apa pun. Pria itu terus melanggengkan diamnya seolah telah lupa cara berkata-kata. Saat berjalan menuju tempat parkir tadi, dia juga tidak mempersilakan lengannya untuk digandeng Kezia. Mereka berjalan sendiri-sendiri dan sampai detik ini belum ada yang berhasil merobek keheningan.Hingga mobil tiba di pekarangan rumah, Arnold tetap diam. Berkali-kali Kezia mencuri lirik ke arah pria itu, tapi ia tak mendapatkan apa pun selain wajah tuannya yang beku."Apa Tuan sangat marah pada saya?" Akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk membuka suara sebelum melepas sabuk pengaman dari tubuhnya.Arnold langsung menghadiahi lirikan setajam ujung pedang, kemudian menjawab, "Seharusnya kamu bisa memikirkannya sendiri tanpa perlu bertanya.""Maaf, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja tadi," ujar Kezia sambil menunduk dalam-dalam seolah ge
Arnold mengarahkan wajah Kezia ke dadanya seperti hendak meminta gadis itu untuk memperhatikan pesonanya lebih lama. Kezia tetap menahan napas dengan air mata yang masih mengalir. Walaupun rasanya sangat takut, tapi ia tidak bisa berbohong pada getaran yang bermekaran di hatinya ketika menjelajahi bulu-bulu halus di dada tuannya."Kau pasti tahu kalau aku pria normal yang bisa melakukan lebih banyak hal daripada ini," ujar Arnold seraya menarik tangannya dari kepala Kezia. Muka pria itu masih merah menyala, perpaduan antara marah dan nafsu yang sekuat tenaga mencoba ia tahan."Maafkan saya, Tuan. Maafkan saya." Menggunakan sisa tenaganya, Kezia masih berusaha menolong dirinya sendiri agar tak diperlakukan lebih jauh. Sebenarnya ia juga gadis normal yang tak akan menutup mata dari sentuhan pria dewasa, tapi Kezia bukan wanita murahan yang akan menyerahkan dirinya begitu saja. Ia selalu ingat tujuan akhir yang sudah direncanakan matang-matang bersama Eva.
Siang itu, tanpa kabar atau izin apa pun sebelumnya, tiba-tiba Eva sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold. Kezia sangat terkejut melihatnya. Dia buru-buru menarik Eva untuk menepi ke teras rumah. Kadang-kadang Arnold akan pulang di jam ini."Mama ngapain ke sini?" tanya gadis itu setengah berbisik. Dia tidak sedang menggendong Narendra karena bayi asuhannya itu baru ditidurkan di kamarnya."Ya, Mama pengin ketemu kamu, dong," seru Eva dengan wajah berbinar. "Anak Mama sudah jadi Nyonya Arnold sekarang, ya meskipun cuma pura-pura.""Husstt!" Kezia meletakkan telunjuk di depan bibir. "Seharusnya Mama nggak perlu datang ke sini. Kita bisa bahas segala sesuatunya lewat telepon, atau kalau Mama mau, Kezia yang bakal pulang untuk menemui Mama."Eva mengerutkan kening seperti orang kaget. "Lho, kenapa Mama nggak boleh ke sini? Memangnya ini rumahmu sampai kamu berani melarang? Atau jangan-jangan kamu sudah melupakan Mama." Dia jadi sangat tersinggung se
Dua minggu berikutnya, semua berjalan dengan normal. Rebecca tak terlihat lagi seperti telah ditelan bumi. Namun, Arnold tahu dengan pasti kalau perempuan itu bisa muncul kapan pun dalam waktu yang tak urut."Hari ini aku akan mengajakmu ke mall," ujar Arnold sebelum ia berangkat ke kantor. Tubuhnya telah terbungkus setelan jas formal yang membuat ia terlihat sangat tampan.Kezia sedang membantu Puri menyapu lantai ruang tamu saat itu. Narendra belum bangun dari pejamnya."Untuk apa Tuan mengajak saya ke mall?" tanya gadis itu tak mengerti. Ia mengangkat matanya sejenak dari sapu."Ya, untuk mengajakmu shopping, lah. Masa aku mau menyuruhmu jadi tukang parkir di mall?"Seorang gadis cantik mengenakan dress berbahan mewah terlihat sangat aneh ketika menyapu, tapi Kezia bukan buta pada cara memegang gagang sapu. Dia memandang Arnold dengan tatapan bertanya."Mengapa kau selalu butuh banyak waktuku untuk menjelaskan?" Arnold mengedikkan
Mereka berangkat hanya berdua, tidak membawa siapa pun termasuk sopir. Arnold mengemudikan mobilnya sendiri hingga tibalah mereka di sebuah mall paling besar di kota ini.Ketika keduanya baru turun dari mobil, Arnold melambaikan tangan pada Kezia sebagai kode agar gadis itu mendekat. Arnold mengangsurkan tangan ke depan tubuh Kezia, kemudian memberi tatapan menggoda. "Ayo gandeng lenganku."Kezia mengangguk, kemudian melingkarkan tangannya pada lengan Arnold. Setiap hatinya merasa berdebar, ia selalu ingat pesan Eva agar jangan jatuh cinta. Tugasnya membuat Arnold yang jatuh cinta, sementara dia tidak boleh.Sepanjang menyusuri lorong-lorong mall, keduanya seperti sepasang kekasih sungguhan yang sedang berkencan untuk merayakan cinta. Arnold pun berkali-kali mendapati hatinya berdebar, apalagi setiap lengannya tidak sengaja mengenai dada Kezia yang begitu kenyal dan menggoda. Kadang-kadang ia membayangkan bagaimana nikmatnya meletakkan tangan di sana