Kezia merasa sangat takut. Sejak masuk ke dalam mobil sampai tiba di pertengahan jalan pulang, Arnold belum mengucapkan apa pun. Pria itu terus melanggengkan diamnya seolah telah lupa cara berkata-kata. Saat berjalan menuju tempat parkir tadi, dia juga tidak mempersilakan lengannya untuk digandeng Kezia. Mereka berjalan sendiri-sendiri dan sampai detik ini belum ada yang berhasil merobek keheningan.
Hingga mobil tiba di pekarangan rumah, Arnold tetap diam. Berkali-kali Kezia mencuri lirik ke arah pria itu, tapi ia tak mendapatkan apa pun selain wajah tuannya yang beku.
"Apa Tuan sangat marah pada saya?" Akhirnya gadis itu memberanikan diri untuk membuka suara sebelum melepas sabuk pengaman dari tubuhnya. Arnold langsung menghadiahi lirikan setajam ujung pedang, kemudian menjawab, "Seharusnya kamu bisa memikirkannya sendiri tanpa perlu bertanya.""Maaf, Tuan. Saya benar-benar tidak sengaja tadi," ujar Kezia sambil menunduk dalam-dalam seolah geArnold mengarahkan wajah Kezia ke dadanya seperti hendak meminta gadis itu untuk memperhatikan pesonanya lebih lama. Kezia tetap menahan napas dengan air mata yang masih mengalir. Walaupun rasanya sangat takut, tapi ia tidak bisa berbohong pada getaran yang bermekaran di hatinya ketika menjelajahi bulu-bulu halus di dada tuannya."Kau pasti tahu kalau aku pria normal yang bisa melakukan lebih banyak hal daripada ini," ujar Arnold seraya menarik tangannya dari kepala Kezia. Muka pria itu masih merah menyala, perpaduan antara marah dan nafsu yang sekuat tenaga mencoba ia tahan."Maafkan saya, Tuan. Maafkan saya." Menggunakan sisa tenaganya, Kezia masih berusaha menolong dirinya sendiri agar tak diperlakukan lebih jauh. Sebenarnya ia juga gadis normal yang tak akan menutup mata dari sentuhan pria dewasa, tapi Kezia bukan wanita murahan yang akan menyerahkan dirinya begitu saja. Ia selalu ingat tujuan akhir yang sudah direncanakan matang-matang bersama Eva.
Siang itu, tanpa kabar atau izin apa pun sebelumnya, tiba-tiba Eva sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold. Kezia sangat terkejut melihatnya. Dia buru-buru menarik Eva untuk menepi ke teras rumah. Kadang-kadang Arnold akan pulang di jam ini."Mama ngapain ke sini?" tanya gadis itu setengah berbisik. Dia tidak sedang menggendong Narendra karena bayi asuhannya itu baru ditidurkan di kamarnya."Ya, Mama pengin ketemu kamu, dong," seru Eva dengan wajah berbinar. "Anak Mama sudah jadi Nyonya Arnold sekarang, ya meskipun cuma pura-pura.""Husstt!" Kezia meletakkan telunjuk di depan bibir. "Seharusnya Mama nggak perlu datang ke sini. Kita bisa bahas segala sesuatunya lewat telepon, atau kalau Mama mau, Kezia yang bakal pulang untuk menemui Mama."Eva mengerutkan kening seperti orang kaget. "Lho, kenapa Mama nggak boleh ke sini? Memangnya ini rumahmu sampai kamu berani melarang? Atau jangan-jangan kamu sudah melupakan Mama." Dia jadi sangat tersinggung se
Dua minggu berikutnya, semua berjalan dengan normal. Rebecca tak terlihat lagi seperti telah ditelan bumi. Namun, Arnold tahu dengan pasti kalau perempuan itu bisa muncul kapan pun dalam waktu yang tak urut."Hari ini aku akan mengajakmu ke mall," ujar Arnold sebelum ia berangkat ke kantor. Tubuhnya telah terbungkus setelan jas formal yang membuat ia terlihat sangat tampan.Kezia sedang membantu Puri menyapu lantai ruang tamu saat itu. Narendra belum bangun dari pejamnya."Untuk apa Tuan mengajak saya ke mall?" tanya gadis itu tak mengerti. Ia mengangkat matanya sejenak dari sapu."Ya, untuk mengajakmu shopping, lah. Masa aku mau menyuruhmu jadi tukang parkir di mall?"Seorang gadis cantik mengenakan dress berbahan mewah terlihat sangat aneh ketika menyapu, tapi Kezia bukan buta pada cara memegang gagang sapu. Dia memandang Arnold dengan tatapan bertanya."Mengapa kau selalu butuh banyak waktuku untuk menjelaskan?" Arnold mengedikkan
Mereka berangkat hanya berdua, tidak membawa siapa pun termasuk sopir. Arnold mengemudikan mobilnya sendiri hingga tibalah mereka di sebuah mall paling besar di kota ini.Ketika keduanya baru turun dari mobil, Arnold melambaikan tangan pada Kezia sebagai kode agar gadis itu mendekat. Arnold mengangsurkan tangan ke depan tubuh Kezia, kemudian memberi tatapan menggoda. "Ayo gandeng lenganku."Kezia mengangguk, kemudian melingkarkan tangannya pada lengan Arnold. Setiap hatinya merasa berdebar, ia selalu ingat pesan Eva agar jangan jatuh cinta. Tugasnya membuat Arnold yang jatuh cinta, sementara dia tidak boleh.Sepanjang menyusuri lorong-lorong mall, keduanya seperti sepasang kekasih sungguhan yang sedang berkencan untuk merayakan cinta. Arnold pun berkali-kali mendapati hatinya berdebar, apalagi setiap lengannya tidak sengaja mengenai dada Kezia yang begitu kenyal dan menggoda. Kadang-kadang ia membayangkan bagaimana nikmatnya meletakkan tangan di sana
Sesampainya di kamar, Kezia langsung mengunci pintu dari dalam. Ia tidak mau ada Arnold yang tiba-tiba masuk tanpa permisi dan mengacaukan malamnya dengan dalih hendak memberi hukuman karena Kezia telah dianggap meragukan kekayaannya.Gadis itu meletakkan kantong-kantong belanjaan di atas lantai begitu saja. Kezia belum berminat untuk membukanya satu-satu. Biar besok saja. Hal yang sangat ingin dilakukan Kezia detik ini adalah melihat hasil foto yang tadi sore diberikan Arnold.Album seukuran kardus air mineral itu diletakkan di ranjang tidurnya. Kezia langsung menyambar album itu sebelum sempat berganti pakaian. Baru tiba di halaman pertama, jantungnya sudah berdegup kencang. Pose foto yang begitu intim berpadu dengan hasil tangan editor, sehingga foto tersebut terlihat begitu indah dan menakjubkan.Tiba-tiba Kezia langsung kepikiran Eva. Gadis itu mengambil handphone untuk memotret ulang foto-foto tersebut, kemudian dikirimkan ke WhatsApp Eva. Sebab ma
Ketika berpapasan dengan Arnold pagi ini, Kezia sama sekali tak berani memandang ke arahnya. Ia pura-pura tergesa pergi ke taman sebab harus mencari sinar matahari untuk Narendra yang kebetulan sudah bangun. Pagi ini, gadis itu sengaja menggunakan dress paling longgar dan tertutup di antara yang lain. Ia tidak mau membangkitkan kembali gairah tuannya yang tadi malam belum habis.Sementara itu, Arnold juga berjalan melewati Kezia seperti orang tak peduli. Setelah mendengar suara tangisan Narendra semalam, ia mengumpat habis-habisan, kemudian langsung pergi ke kamarnya sendiri. Tombak yang sudah mengacung dipaksa kembali melemas. Ternyata bukan tadi malam waktunya untuk bisa menguasai Kezia.Setelah sarapan, Arnold memutuskan langsung berangkat kerja tanpa sedikit pun menyapa Narendra seperti biasanya. Ada semacam dendam dalam hatinya sebab bayi itu telah menyelamatkan keperawanan ibu pengasuhnya tadi malam ketika nafsu Arnold sudah berada di batas akhir.
"Uangnya sudah aku transfer ke rekeningmu." Arnold mendatangi Kezia di kamar Narendra ketika hendak berangkat ke kantor.Kezia memberi tatapan sopan, kemudian mengangguk pelan. Dia tidak banyak bertanya dan menebak kalau yang dimaksud Arnold adalah uang gajinya. Sepanjang hari kemarin, mereka tak bertukar kata sama sekali, hanya tidak sengaja berpapasan sebelum Arnold berangkat kerja. Siang sampai malamnya pun Kezia terus menghindar. Gadis itu merasa sangat takut ketika mengingat gairah Arnold yang belum tuntas malam itu."Kenapa hanya mengangguk? Tidakkah ada kalimat balasan yang sopan untukku?"Kezia serba salah sekarang. Ia tidak tahu kalau rencana yang telah ia atur bersama Eva akan sangat sulit dalam perjalanannya. Sebelumnya ia berpikir Arnold bukan orang yang susah, tapi ternyata pria itu bukan hanya susah, melainkan juga menakutkan sampai membuat seluruh bagian tubuhnya ikut bergetar."Ya, terima kasih, Tuan," jawab Kezia setelah berpi
Setelah memastikan Narendra benar-benar sudah tertidur, Kezia segera meraih handphone-nya untuk memberi kabar pada Eva. Ini akan jadi malam paling bersejarah baginya. Meskipun kepalanya terus digerayangi oleh bayangan rasa sakit, tapi Kezia berusaha untuk tetap bersikap tenang."Bagus, Sayang. Laksanakanlah malam ini, dan kita akan memperoleh keuntungan yang sangat banyak di kemudian hari," balas Eva dalam pesan pemberitahuan yang dikirimkan Kezia.Menit berikutnya, Kezia keluar dari kamar Narendra dengan handphone yang dibenamkannya ke saku baju. Ia sudah mengaktifkan mode rekaman untuk menyimpan setiap menit yang akan terjadi."Rupanya kau sudah selesai berurusan dengan bayi itu, Sayangku." Arnold yang semula duduk di atas kursi tak jauh dari jendela, segera bangkit demi mendapati kemunculan Kezia. Matanya tetap tertutup oleh kabut nafsu yang jumlahnya banyak sekali.Arnold berjalan menghampiri Kezia, kemudian langsung melingkarkan tan
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik