Dua minggu berlalu tanpa terasa. Ternyata jadi ibu pengasuh tak seburuk yang dipikirkan Kezia ketika ia baru mengurus Narendra selama satu hari. Mood bayi itu memang berubah-ubah seperti bunglon, tapi di sinilah letak keseruan yang sesungguhnya. Dari Narendra, Kezia mengantongi beberapa ilmu kesabaran yang kemudian bisa digunakannya untuk menghadapi papa Narendra.
"Kau terlihat sudah pantas memiliki bayi," ucap Arnold pada suatu siang yang panas. Matahari bersinar beringas seolah hendak memanggang isi bumi dengan ganas.
Kezia hanya melirik Arnold dari sudut mata. Dia sulit mengerti mengapa tuannya itu ada di rumah pada siang-siang tertentu, untuk kemudian kembali lagi ke kantor sampai senja tiba. Kezia menebak, mungkin siang memang jam istirahat, sehingga pria itu kadang memilih pulang untuk bertemu anaknya, atau mungkin ibu pengasuhnya. "Mengapa kau tidak membalas perkataanku?" Arnold mendekat ke arah Kezia yang waktu itu sedang mengajak Narendra main-mKezia tak punya pilihan selain menurut. Arnold meminta agar gadis itu duduk di ranjang bersamanya. Dengan agak ragu, Kezia duduk dalam jarak lebih dari satu meter. Namun, tiba-tiba saja Arnold meraih tubuh babysitter itu dengan tangan kekarnya."Jangan duduk terlalu jauh. Kau bisa membuang tenagaku jika menyuruhku mengulang-ulang apa yang sudah kuucapkan gara-gara tidak mendengar." Begitulah ucap pengusaha sukses tiga puluh tahun itu. Air mukanya tenang seolah tak ada yang perlu dikhawatirkan. Ia memberi tatapan meyakinkan untuk Kezia.Gadis itu mengangguk sekilas. Sekarang jarak di antara mereka hanya tersisa beberapa senti saja."Sesuai yang sudah kukatakan tadi siang, ini adalah hari terakhirmu menjalani tes awal bekerja selama dua minggu tanpa digaji." Arnold memulai percakapan. Ia tersenyum samar saat mendapati jemari di pangkuan gadis itu gemetar."Ya, Tuan," jawab Kezia sambil menunduk. Ingin sekali berlari ke arah pintu dan membu
Ketika Arnold sudah berangkat ke kantor, Kezia bergegas pergi ke kamar mandi. Ia ingin menelepon Eva untuk memberi kabar tentang gaji yang dijanjikan Arnold. Baby Narendra masih terkunci dalam tidurnya. Mungkin beberapa menit lagi bayi itu akan bangun."Iya, Sayang. Bagaimana perkembangannya di sana?" Suara Eva langsung menyerang dari seberang. Dari nada suaranya, Kezia menebak kalau mamanya baru bangun tidur."Perkembangannya sangat baik, Ma," jawab Kezia.Eva berdeham pelan untuk menggoda. "Udah lama banget kamu nggak pulang. Sepertinya kerasan di sana."Kezia tahu kalau Eva rindu. Ia pun demikian, menyimpan rasa ingin bertemu yang sangat banyak pada mamanya. Mereka terakhir bertemu sepuluh hari yang lalu, saat Arnold mengantarkan Kezia langsung untuk pulang ke rumah. "Maaf, ya, Ma. Akhir-akhir ini aku fokus ngurus Baby Narendra buat meyakinkan Arnold kalau aku benar-benar pantas jadi ibu pengasuhnya.""Iya, Sayang. Mama ngerti, kok. Kamu bek
Andai wajah gadis itu lebih buruk darinya, pasti Rebecca tidak akan sepanik ini. Ia sangat khawatir kalau Arnold benar-benar telah membuang semua cinta untuknya, sehingga ia sama sekali tak memiliki kesempatan untuk mencecap sedikit harta milik pria itu.Tanpa izin kepada siapa pun, Rebecca meraih Narendra begitu saja dari ranjangnya. Bayi itu sempat menggeliat tak nyaman, kemudian menangis keras sebab merasa tidurnya diganggu."Anda mau bawa anakku ke mana?" Kezia berusaha meraih bayi itu, tapi Rebecca dengan cepat menepis tangannya."Hati-hati kalau bicara. Ini anakku, anak yang kukandung dan kulahirkan. Jadi jangan pernah mengakuinya sebagai anakmu!""Dia anak Arnold, dan saya istri sah Arnold. Jadi, Narendra juga anakku sekarang." Kezia berusaha membentak agar Rebecca gentar dan mengembalikan Narendra ke ranjangnya. Namun, mantan istri Arnold itu tetap keras kepala untuk mempertahankan Narendra dalam gendongannya meskipun tahu kalau bayi i
Arnold menyunggingkan senyum tipis, kemudian mendudukkan dirinya di sofa. "Rebecca sudah telanjur tahu kalau kamu istriku. Mau tidak mau, kamu harus menyamar jadi istriku untuk seterusnya."Kezia membelalakkan mata saat mendengar itu. Tubuhnya berpaling dari ranjang Narendra menuju sofa tempat Arnold menaruh diri. "Mengapa harus begitu? Nyonya Rebecca belum tentu akan kembali lagi ke sini.""Hussst!" Arnold meletakkan telunjuknya di depan bibir. "Aku pernah menjadi suami Rebecca selama hampir dua tahun, jadi aku tahu banyak tentangnya, termasuk sikap nekatnya. Bisa saja dia menyuruh orang untuk menyelidiki statusmu yang sebenarnya. Aku tidak mau tertangkap basah olehnya mengaku sebagai suami babysitter. Nanti aku malu seperti dia saat kutangkap basah sedang ditelanjangi oleh lelaki lain."Kezia menelan ludahnya sendiri. Ngeri juga saat mendengar penuturan Arnold."Aku bisa saja menaikkan gajimu tanpa harus menunggu tiga bulan."Bersamaan dengan itu,
Keesokan sore sepulang dari kantor, Arnold menghampiri Kezia ke kamarnya. Gadis itu sedang bersantai mumpung Narendra baru tidur. Berdasarkan cerita salah satu asisten rumah, hari ini Narendra sangat rewel sampai Kezia tak sempat duduk sebab harus terus menggendong."Kez...." Arnold mengetuk pintu kamar gadis itu yang tertutup.Kezia yang sedang rebahan terpaksa membereskan tubuh dari kasur. Ia tahu itu suara Arnold. Ada sedikit rasa kesal di hatinya sebab pria itu seperti tak memberi kesempatan untuknya beristirahat."Ada apa, Tuan?" Kezia langsung mengajukan pertanyaan begitu pintu kamar dibukanya. Ia kaget melihat Arnold membawa banyak sekali kantong pakaian."Ini buat kamu," ucap Arnold sembari menyodorkan kantong-kantong itu pada Kezia.Dengan sedikit ragu, Kezia meraihnya dari tangan Arnold. Dia melirik sekilas pada beberapa isi kantong. Walau belum membukanya, tapi ia tahu kalau isinya adalah pakaian-pakaian bagus. 
Arnold sangat bahagia sebab berhasil membawa Kezia dan Narendra ke kantor. Gadis itu dipersilakan menggamit lengannya dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya memegang Narendra dalam gendongan. Semua mata langsung tertuju pada mereka begitu tiba di kantor. Arnold yakin, dalam waktu dekat, kabar ini akan merambat ke telinga Rebecca. Pria itu merasa bukan hanya berhasil menceraikan Rebecca dengan rasa malu yang banyak, tapi juga penyesalan yang tiada berujung."Selamat pagi." Arnold memberi sapaan pada satu per satu karyawannya. Tidak seperti biasanya dia begini. Di hari-hari yang telah lalu, mukanya lebih banyak diabadikan dalam kedinginan."Selamat pagi, Pak Arnold," balas beberapa karyawan sambil memberi senyum.Arnold sengaja tak langsung pergi ke ruangannya. Dia menghentikan langkah di antara meja-meja karyawannya. Setelah memberi dehaman singkat sebagai kode minta diperhatikan, pria itu segera berucap, "Sebelumnya mohon maaf. Bolehkah saya
Sebelum siang, Arnold sudah menyelesaikan deretan pekerjaannya agar bisa lekas mengantarkan Kezia dan Narendra pulang. Sejak tadi ia amat kasihan pada Kezia yang terus mencari cara agar Narendra tak jenuh. Ia lupa tidak membawakan mainan apa pun."Mari kuantar pulang. Kau harus menggamit lenganku lagi seperti saat datang tadi pagi," pinta Arnold sembari menyodorkan lengannya.Kezia buru-buru meraih gendongan bayi, kemudian memasang Narendra dengan posisi ternyaman di sana. Saat membenarkan letak gendongan yang melengkung di punggungnya, gadis itu tak sadar telah membangkitkan sesuatu dalam diri Arnold. Posisi tangan Kezia yang diputar ke belakang untuk menjangkau punggung membuat rempel di bagian atas dress ikut tersibak sehingga dadanya kelihatan sangat menonjol."Biar aku saja yang membenarkan." Arnold bergerak cepat sebelum seluruh matanya ditutup oleh kabut nafsu. Dia hanya pria biasa yang tak akan mampu melawan gairahnya jika ada hal yang
Malam itu juga, Arnold menemui Kezia ke kamarnya. Wajah pria itu tak berkurang kusutnya sejak tadi siang. Ia benar-benar belum bisa berhenti tenang atas ancaman yang diberikan Rebecca. Bagaimana kalau mantan istrinya itu dapat membuktikan kalau Kezia bukan siapa-siapa di rumah ini? Akan banyak sekali cara yang ditempuh oleh perempuan itu untuk memenuhi keinginannya. Sejak dulu, Arnold tahu kalau ia dan Rebecca sama-sama manusia berwatak keras. Barangkali karena itu mereka jadi tak bisa memperpanjang waktu untuk bersatu."Ada apa, Tuan?" Takut-takut Kezia membuka pintu. Gadis tersebut sengaja mengeluarkan diri terlebih dulu sebelum Arnold nyelonong masuk ke kamarnya seperti malam itu."Apa kita bisa bicara sebentar?" Arnold menatap lekat ke arah Kezia."Ya, tentu saja bisa."Mereka kemudian berjalan ke bawah dan duduk berhadapan di ruang tengah. Kezia sudah tak memakai dress bagus karena hari sudah malam. Dia mengenakan setelan baju tidur yang