Share

5. Berpenampilan Dewasa

"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka. 

Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?

"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.

Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di langit sebab seluruhnya telah bermigrasi ke wajah Kezia.

"Dia mengusirku," jawab gadis itu tak bersemangat. Tasnya dibuang sembarang ke sudut ranjang. Dengan penuh kekesalan, Kezia membanting pantatnya di atas kasur. Ia bahkan tak sempat menyadari kalau di dalam tas yang kini berjarak beberapa senti darinya, ada barang bawaan yang lupa belum dikembalikan ke sana. Lembar-lembar foto itu masih tertinggal di meja tamu rumah Arnold.

"What?" Eva bertanya tak percaya. Kedua matanya terbelalak demi mendengar ucapan sang putri. "Bagaimana bisa dia begitu berani mengusirmu, Sayang? Tidakkah dia terpesona pada kecantikanmu?"

Kezia mengangkat kedua pundaknya dengan malas. "Arnold pria yang dingin."

Eva diam sesaat, seperti tengah berpikir. Dengan tubuh yang masih berdiri di atas kedua kakinya, perempuan itu memainkan jemari di bawah mulutnya. "Sedingin-dinginnya pria, Mama yakin dia tidak mungkin sama sekali tidak tertarik padamu. Pasti semua karena kamu yang kurang pandai mengatur siasat." Mata Eva berubah membola seperti tengah menemukan sebuah kebenaran yang memilukan. "Ah, sejak awal Mama memang tahu kalau kau tak pandai bermain siasat."

"Siasat apa yang Mama ingini?" Kezia menengadahkan wajah dengan ekspresi menyerupai anak kecil yang telah kehilangan permennya.

Eva menarik satu sudut bibirnya, kemudian mengibaskan tangan kanan sebagai kode agar Kezia mendekat ke arahnya. Setelah telinga gadis itu terjangkau oleh mulutnya, Eva segera membisikkan sesuatu.

***

Ketika Arnold pulang dari kantor sore harinya, langkah pria itu berhenti otomatis saat melewati meja tamu. Dua alisnya menukik hingga terbitlah beberapa kerutan dalam keningnya. Dia memiringkan kepala untuk memastikan kalau penglihatannya tidak salah.

"Kenapa gadis itu meninggalkan foto-foto ini di rumahku? Dasar, ceroboh!" maki Arnold dalam hati sembari memungut beberapa lembar foto yang tergeletak di meja kaca itu. Dari balik jendela rumah yang ukurannya tak kalah lebar dari pintu, rona senja ikut mengintip seolah ingin tahu bagaimana rupa gadis dalam foto yang ada di tangan Arnold.

Pria itu memasukkan beberapa foto ke saku jasnya, kemudian segera melangkah dari ruang tamu untuk menuju ke kamarnya. Hari sudah sangat sore. Arnold ingin lekas mandi agar kuman bekas aktivitas hari ini bisa lekas terbilas.

Seusai membersihkan diri dalam kamar mandi yang terletak satu ruangan dengan ranjang tidurnya, Arnold segera mengambil pakaian santai untuk menemani tubuhnya sampai pagi tiba. Ia sangat muak setiap melihat lemari karena selalu teringat Rebecca. Salah satu sisi dari lemari itu kosong tak berpenghuni sebab baju-baju milik mantan istrinya tak lagi mempunyai hak untuk tinggal di sana. Berkali-kali Arnold marah pada dirinya sendiri yang kadang-kadang senang mengenang kebersamaan dengan Rebecca yang tak urut. Namun, semakin banyak dimarahi, yang namanya kenangan justru akan semakin gencar menghantui. 

Setelah tubuhnya kembali segar dalam balutan kaus santai lengan pendek berwarna kuning cerah yang terlihat agak kontras dengan warna kulitnya, Arnold mengambil langkah menuju jas bekas kerjanya yang tadi digeletakkan di atas ranjang. Ia segera meraih lembar-lembar foto yang ditemukan di meja ruang tamu.

Arnold membawa foto Kezia ke sofa yang berdiri tenang di sudut kamar, kemudian mengamati satu per satu dari gambar tersebut dengan saksama. Sembari menaruh kepala pada sandaran sofa, mata Arnold beralih dari satu foto ke foto lain secara berulang-ulang.

"Ternyata dia cantik juga," gumam Arnold sembari mengukir senyum dari sudut bibir. Sebagai seorang pria normal, ia tak dapat memungkiri tentang kecantikan gadis yang telah menggebrak pintu rumahnya secara bertalu-talu sepuluh jam yang lalu.

Beberapa menit mengamati foto tersebut, Arnold segera merangkaikan tanya dalam pikirnya, apakah gadis seperti Kezia sungguh-sungguh sudah memiliki pengalaman menjadi babysitter dari banyak anak? Ditilik dari penampilannya, gadis itu terlihat sangat manja. Tubuhnya juga begitu terawat seperti bukan seorang pekerja keras. 

Ketika masih sibuk merangkai tanya yang berkecambah dalam kepala, tiba-tiba Arnold mendapati handphone-nya meraung di atas nakas. Pria itu menaruh beberapa lembar foto di atas sofa, kemudian berlalu untuk meraih ponselnya.

Telepon dari salah seorang rekan kerja.

"Halo. Selamat sore, Pak Arnold," sapa seorang di seberang dengan suara sopan.

"Selamat sore. Apa ada yang bisa saya bantu?"

Arnold menyimak ucapan orang di seberang dengan kepala mengangguk-angguk. Ternyata ada sebuah project dengan klien yang harus diselesaikan malam ini juga. Sebenarnya Arnold paling malas ketika sudah sampai rumah, tapi istirahatnya harus kembali diganggu gugat oleh beberapa pekerjaan mendesak. Kalau boleh mengeluh, pastilah dia sudah menyuruh agar permintaan bertemu dari klien ditangguhkan sampai besok pagi saja. Sayangnya, itu bukan sikap Arnold. Pria tersebut selalu mendahulukan keprofesionalan di atas kepentingan pribadi.

"Baik. Jam tujuh malam ini, kita bertemu dengan klien kita di restoran Widjaya untuk membahas rencana final tentang project antara perusahaan kita dengan perusahaan mereka," ucap Arnold sebelum sambungan telepon diputus. Lagi-lagi, malam ini ia tak bisa menghabiskan waktu untuk bermain bersama Baby Narendra. 

Setelah handphone dikembalikan di atas nakas, Arnold segera mengambil langkah untuk keluar dari kamar. Dia ingin menemui anaknya dulu sebelum harus kembali pergi satu jam lagi.

***

Kezia menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Eva telah memoles putrinya itu menjadi gadis dewasa yang sangat anggun. Setelah menghabiskan siang untuk berburu gaun ke mall, Eva langsung meminta Kezia duduk di kursi rias untuk dipoles wajahnya. Kezia dipaksa berpenampilan jauh lebih dewasa dari usianya saat ini.

"Apa Mama yakin kalau ini akan berhasil?" Kezia berputar-putar di depan kaca dengan perasaan gamang. Dia mengamati setiap sudut gaun dengan rasa takut yang terselip dalam rongga matanya. Menurutnya, gaun berwarna navy tanpa lengan itu terlalu menonjolkan bagian dadanya. Belum lagi tinggi gaun yang hanya berada di atas lutut. Kezia belum pernah pergi dengan penampilan seperti ini sebelumya.

"Kamu harus yakin, Sayang." Eva menepuk pundak anaknya yang terekspos tanpa penutup. Ia membenarkan lagi tatanan rambut Kezia yang digelung jadi satu di belakang kepala. Tak lupa disisakan beberapa helai rambut di kiri kanan untuk dibiarkan menjuntai di samping telinga.

"Bukankah gaun ini terlalu berlebihan?" Kezia bertanya sambil kembali berputar-putar di depan cermin.

Eva menjawab tegas, "Tidak." Tatap matanya meyakinkan. Ia tidak mau putrinya mendadak kehilangan rasa percaya diri hanya karena merasa penampilan malam ini tidak sesuai dengan umurnya. "Ini adalah gaun terbaik rancangan teman Mama yang desainer terkenal itu. Sudah pasti gaun ini membuat aura kecantikanmu kian bertambah. Mama yakin, Arnold akan melirikmu dengan segenap nalurinya sebagai pria."

Mendengar nama Arnold disebut, entah mengapa semangat Kezia jadi meletup-letup. Ada semacam rasa ingin menaklukkan semenjak mendapat pengusiran dari pria itu tadi pagi. Detik itu juga, Kezia mengukir senyum yakin dari bibirnya. Benar kata mamanya, kalau ia kembali muncul dengan penampilan biasa, pasti pria tersebut akan kembali memandangnya sebelah mata. 

Related chapter

Latest chapter

DMCA.com Protection Status