"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka.
Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?
"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.
Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di langit sebab seluruhnya telah bermigrasi ke wajah Kezia.
"Dia mengusirku," jawab gadis itu tak bersemangat. Tasnya dibuang sembarang ke sudut ranjang. Dengan penuh kekesalan, Kezia membanting pantatnya di atas kasur. Ia bahkan tak sempat menyadari kalau di dalam tas yang kini berjarak beberapa senti darinya, ada barang bawaan yang lupa belum dikembalikan ke sana. Lembar-lembar foto itu masih tertinggal di meja tamu rumah Arnold.
"What?" Eva bertanya tak percaya. Kedua matanya terbelalak demi mendengar ucapan sang putri. "Bagaimana bisa dia begitu berani mengusirmu, Sayang? Tidakkah dia terpesona pada kecantikanmu?"
Kezia mengangkat kedua pundaknya dengan malas. "Arnold pria yang dingin."
Eva diam sesaat, seperti tengah berpikir. Dengan tubuh yang masih berdiri di atas kedua kakinya, perempuan itu memainkan jemari di bawah mulutnya. "Sedingin-dinginnya pria, Mama yakin dia tidak mungkin sama sekali tidak tertarik padamu. Pasti semua karena kamu yang kurang pandai mengatur siasat." Mata Eva berubah membola seperti tengah menemukan sebuah kebenaran yang memilukan. "Ah, sejak awal Mama memang tahu kalau kau tak pandai bermain siasat."
"Siasat apa yang Mama ingini?" Kezia menengadahkan wajah dengan ekspresi menyerupai anak kecil yang telah kehilangan permennya.
Eva menarik satu sudut bibirnya, kemudian mengibaskan tangan kanan sebagai kode agar Kezia mendekat ke arahnya. Setelah telinga gadis itu terjangkau oleh mulutnya, Eva segera membisikkan sesuatu.
***
Ketika Arnold pulang dari kantor sore harinya, langkah pria itu berhenti otomatis saat melewati meja tamu. Dua alisnya menukik hingga terbitlah beberapa kerutan dalam keningnya. Dia memiringkan kepala untuk memastikan kalau penglihatannya tidak salah.
"Kenapa gadis itu meninggalkan foto-foto ini di rumahku? Dasar, ceroboh!" maki Arnold dalam hati sembari memungut beberapa lembar foto yang tergeletak di meja kaca itu. Dari balik jendela rumah yang ukurannya tak kalah lebar dari pintu, rona senja ikut mengintip seolah ingin tahu bagaimana rupa gadis dalam foto yang ada di tangan Arnold.
Pria itu memasukkan beberapa foto ke saku jasnya, kemudian segera melangkah dari ruang tamu untuk menuju ke kamarnya. Hari sudah sangat sore. Arnold ingin lekas mandi agar kuman bekas aktivitas hari ini bisa lekas terbilas.
Seusai membersihkan diri dalam kamar mandi yang terletak satu ruangan dengan ranjang tidurnya, Arnold segera mengambil pakaian santai untuk menemani tubuhnya sampai pagi tiba. Ia sangat muak setiap melihat lemari karena selalu teringat Rebecca. Salah satu sisi dari lemari itu kosong tak berpenghuni sebab baju-baju milik mantan istrinya tak lagi mempunyai hak untuk tinggal di sana. Berkali-kali Arnold marah pada dirinya sendiri yang kadang-kadang senang mengenang kebersamaan dengan Rebecca yang tak urut. Namun, semakin banyak dimarahi, yang namanya kenangan justru akan semakin gencar menghantui.
Setelah tubuhnya kembali segar dalam balutan kaus santai lengan pendek berwarna kuning cerah yang terlihat agak kontras dengan warna kulitnya, Arnold mengambil langkah menuju jas bekas kerjanya yang tadi digeletakkan di atas ranjang. Ia segera meraih lembar-lembar foto yang ditemukan di meja ruang tamu.
Arnold membawa foto Kezia ke sofa yang berdiri tenang di sudut kamar, kemudian mengamati satu per satu dari gambar tersebut dengan saksama. Sembari menaruh kepala pada sandaran sofa, mata Arnold beralih dari satu foto ke foto lain secara berulang-ulang.
"Ternyata dia cantik juga," gumam Arnold sembari mengukir senyum dari sudut bibir. Sebagai seorang pria normal, ia tak dapat memungkiri tentang kecantikan gadis yang telah menggebrak pintu rumahnya secara bertalu-talu sepuluh jam yang lalu.
Beberapa menit mengamati foto tersebut, Arnold segera merangkaikan tanya dalam pikirnya, apakah gadis seperti Kezia sungguh-sungguh sudah memiliki pengalaman menjadi babysitter dari banyak anak? Ditilik dari penampilannya, gadis itu terlihat sangat manja. Tubuhnya juga begitu terawat seperti bukan seorang pekerja keras.
Ketika masih sibuk merangkai tanya yang berkecambah dalam kepala, tiba-tiba Arnold mendapati handphone-nya meraung di atas nakas. Pria itu menaruh beberapa lembar foto di atas sofa, kemudian berlalu untuk meraih ponselnya.
Telepon dari salah seorang rekan kerja.
"Halo. Selamat sore, Pak Arnold," sapa seorang di seberang dengan suara sopan.
"Selamat sore. Apa ada yang bisa saya bantu?"
Arnold menyimak ucapan orang di seberang dengan kepala mengangguk-angguk. Ternyata ada sebuah project dengan klien yang harus diselesaikan malam ini juga. Sebenarnya Arnold paling malas ketika sudah sampai rumah, tapi istirahatnya harus kembali diganggu gugat oleh beberapa pekerjaan mendesak. Kalau boleh mengeluh, pastilah dia sudah menyuruh agar permintaan bertemu dari klien ditangguhkan sampai besok pagi saja. Sayangnya, itu bukan sikap Arnold. Pria tersebut selalu mendahulukan keprofesionalan di atas kepentingan pribadi.
"Baik. Jam tujuh malam ini, kita bertemu dengan klien kita di restoran Widjaya untuk membahas rencana final tentang project antara perusahaan kita dengan perusahaan mereka," ucap Arnold sebelum sambungan telepon diputus. Lagi-lagi, malam ini ia tak bisa menghabiskan waktu untuk bermain bersama Baby Narendra.
Setelah handphone dikembalikan di atas nakas, Arnold segera mengambil langkah untuk keluar dari kamar. Dia ingin menemui anaknya dulu sebelum harus kembali pergi satu jam lagi.
***
Kezia menatap pantulan dirinya di dalam cermin. Eva telah memoles putrinya itu menjadi gadis dewasa yang sangat anggun. Setelah menghabiskan siang untuk berburu gaun ke mall, Eva langsung meminta Kezia duduk di kursi rias untuk dipoles wajahnya. Kezia dipaksa berpenampilan jauh lebih dewasa dari usianya saat ini.
"Apa Mama yakin kalau ini akan berhasil?" Kezia berputar-putar di depan kaca dengan perasaan gamang. Dia mengamati setiap sudut gaun dengan rasa takut yang terselip dalam rongga matanya. Menurutnya, gaun berwarna navy tanpa lengan itu terlalu menonjolkan bagian dadanya. Belum lagi tinggi gaun yang hanya berada di atas lutut. Kezia belum pernah pergi dengan penampilan seperti ini sebelumya.
"Kamu harus yakin, Sayang." Eva menepuk pundak anaknya yang terekspos tanpa penutup. Ia membenarkan lagi tatanan rambut Kezia yang digelung jadi satu di belakang kepala. Tak lupa disisakan beberapa helai rambut di kiri kanan untuk dibiarkan menjuntai di samping telinga.
"Bukankah gaun ini terlalu berlebihan?" Kezia bertanya sambil kembali berputar-putar di depan cermin.
Eva menjawab tegas, "Tidak." Tatap matanya meyakinkan. Ia tidak mau putrinya mendadak kehilangan rasa percaya diri hanya karena merasa penampilan malam ini tidak sesuai dengan umurnya. "Ini adalah gaun terbaik rancangan teman Mama yang desainer terkenal itu. Sudah pasti gaun ini membuat aura kecantikanmu kian bertambah. Mama yakin, Arnold akan melirikmu dengan segenap nalurinya sebagai pria."
Mendengar nama Arnold disebut, entah mengapa semangat Kezia jadi meletup-letup. Ada semacam rasa ingin menaklukkan semenjak mendapat pengusiran dari pria itu tadi pagi. Detik itu juga, Kezia mengukir senyum yakin dari bibirnya. Benar kata mamanya, kalau ia kembali muncul dengan penampilan biasa, pasti pria tersebut akan kembali memandangnya sebelah mata.
Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia. Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini."Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu
Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun."Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini.Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel.Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni.Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana."Wah, rupanya kau sudah ada di si
Esok paginya, Kezia sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold sebelum pria itu berangkat ke kantor. Arnold menyambut dengan senyum terbuka. Kezia sudah memakai seragam berwarna biru dengan motif garis di tepi lengannya. Rambut panjangnya dikucir jadi satu ke belakang. Leher jenjangnya terlihat manis dan memesona. Dia membawa sebuah tas yang mirip dengan tas raket milik para pebulutangkis."Selamat datang, Nona Kezia," sapa Arnold yang langsung mempersilakan gadis itu masuk. Ketika Kezia hendak duduk di sofa, dia buru-buru mencegah dengan sindiran tajamnya. "Tidak ada yang mempersilakanmu untuk duduk."Kezia yang sudah bersiap menaruh tubuhnya, terpaksa harus kembali meluruskan punggungnya. Ditaruhnya tas raket itu di lantai. Hanya dia yang tahu apa isinya. "Maafkan saya, Tuan.""Kau belum berkenalan dengan bayiku," ujar Arnold dengan alis melengkung satu. Di hari pertama saja, Kezia sudah menunjukkan sikap acuhnya pada sang bayi. Mendadak Arnold menyesal karen
Ternyata mengasuh bayi tidak semudah yang dibayangkan. Sejak tadi, Narendra terus rewel tanpa bisa ditebak Kezia apa maunya. Ketika diajak bermain di kamar, bayi itu minta keluar seolah sudah tak kerasan. Ketika diajak ke taman, ia malah menangis karena kepanasan. Ingin rasanya membentak atau marah, tapi Kezia segera sadar apa statusnya sekarang."Kamu mau apa, sih, Sayang?" Kezia mengusap peluh di dahinya. Saat ini ia memutuskan mengajak Narendra duduk di ruang tamu. Andai saja bayi itu bisa bicara, pasti akan lebih mudah untuk memahami apa inginnya.Bersama kesabaran yang rasanya tinggal sekepal saja, Kezia memutuskan untuk menimang bayi laki-laki itu dalam gendongannya. Waktu baru menunjukkan tengah hari. Masih lama sekali menuju malam untuk beristirahat."Kalau hari pertama saja sudah seberat ini, bagaimana aku bisa melewati empat belas hari? Apalagi tanpa digaji." Kezia bergumam sendiri sembari berusaha menggerak-gerakkan mainan berbentuk
Mungkin ini bisa dikatakan sebagai hari terburuk bagi Kezia. Pengalaman pertama mengasuh bayi sungguh melelahkan. Siang tadi, ia harus melewati beberapa drama sebelum akhirnya Baby Narendra bisa benar-benar tidur dengan lelap sampai sore.Ketika matahari telah terbenam, Narendra sudah tidak rewel seperti tadi pagi. Bayi itu diajak Kezia duduk di sofa, kemudian mereka bermain robot-robotan berdua. Mood bayi sudah seperti mood perempuan yang sedang berada pada masa pra menstruasi syndrome— berubah-ubah tak tentu arah.Kezia tidak tahu kalau sejak beberapa menit yang lalu, ada seseorang yang sedang mengawasinya dari celah pintu yang terbuka sedikit. Arnold mengukir senyum senang. Ia berpikir kalau kinerja Kezia benar-benar bisa diandalkan.Setelah berdiri di situ tak kurang dari lima menit, Arnold mengetuk pintu dengan pelan. Dia sudah berjanji tidak akan main asal-asalan membuka pintu atau Baby Narendra akan terkejut. Arnold sudah cukup kasihan melih
Sore harinya, Arnold pulang dari kantor agak tergesa. Ia ingat punya janji dengan Kezia. Ketika ia tiba di rumahnya, gadis bertubuh mungil itu sedang menggendong Narendra di taman."Hai, jadi atau tidak?" sapanya ketika menyusul mereka ke taman. Narendra yang digendong menghadap ke depan, langsung memberi senyum lucu kepada Arnold.Kezia mengerutkan kening seperti orang bingung. "Jadi apanya, Tuan?"Arnold mengembuskan napas kasar, kemudian meraih bayinya dari gendongan Kezia. "Baru tadi pagi saja kau sudah lupa. Lalu bagaimana aku bisa yakin anakku akan baik-baik saja jika ibu pengasuhnya pelupa sepertimu?"Untuk beberapa saat, Kezia hanya menatap heran. Hingga akhirnya, senja yang menggantung di langit barat menghujaninya dengan sekepal ingatan. "Oh, iya. Tuan mengajak saya pulang ke rumah saya, kan?" serunya dengan wajah berbinar setelah ingat."Bukan mengajak," ralat Arnold dengan wajah tak suka. Dia menggerak-gerakkan tubuhnya agar b
Mereka tiba lagi di rumah tiga lantai saat langit sudah gelap. Bintang-bintang dan rembulan sudah mengambil posisi untuk melaksanakan tugasnya di langit malam."Terima kasih karena Tuan Arnold sudah begitu perhatian sampai bersedia mengantarkan saya pulang dan ngobrol langsung dengan mama saya," ujar Kezia sebelum turun dari mobil. Dia sedang berjuang melepas sabuk pengaman yang melilit tubuhnya di sepanjang perjalanan tadi."Jangan lebih dulu berbesar kepala," sahut Arnold. Wajah dinginnya kembali lagi. Padahal sepanjang ngobrol dengan Eva tadi, dia terlihat asyik dan ramah. "Tadi sudah kujelaskan apa alasanku mengantarkanmu."Kezia mengangguk paham. "Apa pun alasannya, tapi Tuan Arnold adalah majikan yang begitu baik.""Ya, terima kasih atas pujianmu itu."Setelah mengucapkan kalimatnya dengan wajah datar, Arnold mendahului Kezia untuk turun dari mobil. Setelan pakaian kerja masih menempel di tubuhnya tanpa sempat diganti sejak pagi. Sore tadi, dia