Arnold tak memberi kesempatan bagi hatinya untuk mengenal kata gagal move on. Dia seorang pengusaha besar yang telah sukses dalam berbagai project. Jadi, tidak ada kata gagal dalam kamus hidupnya, termasuk gagal untuk melupakan.
Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, Arnold menyempatkan sarapan bersama Baby Narendra. Semakin hari, putranya itu semakin lucu dan menggemaskan. Dua pipinya menggelembung seperti balon. Untung saja hidung bayi tersebut mancung seperti papanya, jadi tidak tenggelam walau sebesar apa pun pipinya.
"Bi, tolong jaga Baby Narendra sebaik-baiknya, ya. Kasihan dia sudah tidak punya ibu," pinta Arnold pada pembantu yang kala itu sedang menyuapi Narendra dengan semangkuk bubur bayi rasa kacang hijau. Arnold sendiri sudah menandaskan potongan roti di atas piringnya, termasuk segelas susu yang telah disiapkan pembantu untuknya.
Bibi mengangguk takzim. "Baik, Tuan."
Menit berikutnya, Arnold mengangkat tubuh dari kursi makan, kemudian mengayunkan kaki untuk mencipta jarak dari ruang tersebut. Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh. Ia harus bergegas agar tak kehilangan gelar sebagai bos disiplin yang selama ini selalu menjadi kunci keteraturan di kantornya. Semua karyawan yang dipekerjakannya jadi rajin dan tak pernah terlambat karena contoh yang ia berikan.
Namun, niat untuk segera berangkat malah terusik oleh suara ketukan yang didaratkan di wajah pintu secara bertalu-talu. Hari masih pagi. Arnold sedikit geram pada tamu yang tak sabaran seperti itu.
"Sebentar!" serunya yang masih sibuk mencari sepatu kerjanya. Saat Rebecca masih menjadi istrinya dulu, perempuan itu jarang sekali menyiapkan segala keperluannya saat hendak berangkat kerja. Jadi, kini setelah statusnya resmi menjadi duda, Arnold sudah terbiasa.
Setelah kaus kaki dan sepatu sempurna membungkus kakinya, Arnold segera melangkah ke ruang depan untuk membukakan. Seseorang di luar sana masih gencar menyerang pintu dengan ketukan seolah sangat takut pemilik rumah tidak sudi untuk mempersilakan.
Setelah pintu resmi terbuka, yang pertama kali Arnold lihat adalah seorang gadis cantik dengan kulit putih dan senyum menawan. Tinggi gadis itu hanya sebatas pundak Arnold, tapi tubuhnya yang kecil malah membuatnya terlihat makin memesona. Rambut hitamnya digerai sepunggung, kemudian dikaitkan jepitan mutiara di atas telinga. Ketika melihat wajah Arnold yang kebingungan, gadis itu melebarkan senyuman hingga terpampanglah gigi kelincinya yang lucu.
"Maaf, Anda mencari siapa?" tanya Arnold sebelum senyum gadis itu semakin angkuh menyihirnya.
Dengan penuh mantap, gadis itu menjawab, "Saya mencari Tuan Arnold."
Detik berikutnya, Arnold segera mengukir kerut di keningnya. Dia coba mengingat-ingat apakah sebelumnya sudah pernah berjumpa dengan gadis itu. Namun, ia pikir ini adalah perjumpaan pertama kalinya. Bentuk wajah dan garis senyum gadis itu sama sekali asing dalam penglihatannya.
Mengerti kejanggalan yang tengah beranak-pinak dalam kepala pria di hadapannya, gadis itu segera mengangsurkan tangan kanan ke depan. "Perkenalkan, saya Kezia."
Arnold hanya menatap uluran tangan itu lama sekali. Matanya seperti tengah mengeja urat-urat berwarna hijau yang menonjol dalam tangan putih gadis itu. Jari-jari panjangnya menyerupai bentuk tiang listrik. Deret garis horizontal tampak beraturan dalam buku-buku jarinya.
"Oh, maaf." Kezia menarik kembali uluran tangannya yang tak mendapat sambutan. "Tidakkah Anda sudi mempersilakan saya masuk untuk menyampaikan maksud kedatangan saya?" tanyanya dengan nada hati-hati. Alisnya diangkat beberapa senti. Ada sekarung harap yang terpancar dalam sorot matanya.
Arnold melirik jam yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. "Boleh," jawabnya singkat. Kali ini ia menatap penuh selidik. "Tapi mohon langsung sampaikan tujuan Anda tanpa banyak basa-basi. Saya harus segera berangkat ke kantor."
Kezia mengangguk paham. "Siap, Tuan Arnold."
Setelah dipersilakan masuk, Kezia segera mengambil posisi duduk di atas sofa ruang tamu. Sofa tersebut berukuran besar dan berbentuk mewah dengan warna kuning kecokelatan yang menyerupai emas. Ada bulu-bulu halus di setiap sudutnya. Bantal ditata menyandar pada lengan sofa. Arnold duduk pada sofa yang berseberangan dengan milik Kezia.
"Mohon segera jelaskan maksud kedatangan Anda. Jangan membuang waktu saya terlalu lama jika itu tidak penting." Arnold berucap dengan nada sedikit judes. Sejak tadi, dia mendapati sesuatu yang aneh pada Kezia, membuat ia tak bisa berhenti curiga.
"Tenang, Tuan. Tenang dulu," balas Kezia tanpa menanggalkan senyum manisnya. Entah mengapa, sikap Arnold yang judes justru membuatnya makin bersemangat. Pria tersebut terlihat lebih cool dan gagah di tengah keketusannya. Setelah membenarkan posisi duduk, Kezia segera berucap, "Saya mendengar kalau Anda membutuhkan babysitter untuk anak Anda yang masih bayi. Itulah tujuan utama saya datang ke sini. Saya ingin melamar jadi babysitter untuk anak Anda."
Arnold mengerutkan keningnya. Ia menjelajahi penampilan Kezia dari ujung rambut hingga ujung kaki menggunakan mata tajamnya. Memang benar, di rumah ini belum ada babysitter yang khusus merawat Baby Narendra. Namun, apakah gadis seperti Kezia bisa dipercaya? Tentu gadis itu belum punya pengalaman banyak dalam mengasuh anak.
"Tuan Arnold ragu sama saya?" tebak Kezia setelah mengeja perubahan ekspresi pada wajah pria di depannya. "Walaupun saya masih muda, tapi saya sudah punya banyak pengalaman dalam mengasuh anak. Sebelum ini, saya sudah pernah menjadi babysitter dari bayi-bayi milik orang lain."
"Benarkah?" tanya Arnold masih tak percaya. Tatap matanya seperti mengejek.
Kezia mengangguk mantap. Dia segera mengeluarkan beberapa lembar foto yang sudah disiapkan dari rumah. Dalam foto-foto tersebut, terlihat kebersamaan Kezia dengan anak-anak kecil yang semuanya berbeda. Ada yang masih seusia Narendra, sudah bisa berjalan, ada juga yang sudah masuk taman kanak-kanak. Dengan cekatan, gadis tersebut menata beberapa foto di atas meja agar dilihat oleh Arnold. Tentu saja semua foto itu hanya rekayasa. Kezia dan mamanya telah merancang banyak hal agar rencana mereka bisa berjalan sempurna.
"Ini bukti kalau saya sudah beberapa kali jadi babysitter." Suara Kezia mengandung ketegasan agar pria di hadapannya bisa lekas menaruh keyakinan. "Saya sudah pernah merawat anak dengan berbagai usia."
Keheningan menjalar beberapa saat di ruang tamu. Arnold memandang satu-satu pada foto yang telah ditata Kezia di atas meja. Dari raut wajahnya, sepertinya Arnold sama sekali tak tertarik untuk melihat foto itu lebih dekat. Tak ada tanda-tanda kalau pria tersebut akan mengambil satu atau dua foto dari atas meja.
"Bagaimana, Tuan Arnold?" tanya Kezia dengan senyum percaya diri.
Arnold mengangkat mata hingga tatapannya kembali bertabrakan dengan milik Kezia. Ia diam beberapa menit lagi sebelum akhirnya membuat keputusan. "Saya tidak mungkin mengangkat orang secara sembarangan untuk menjadi pengasuh bayi saya. Anda harus melewati rangkaian tes agar saya bisa melihat bagaimana cara kerja Anda," ucapnya tegas. Ia kembali melirik jam tangan. Astaga! Sudah hampir setengah delapan. "Mohon maaf, sekarang saya sangat buru-buru. Anda bisa pulang dan kembali lagi ketika saya sedang ada waktu longgar."
Sebelum Kezia sempat membalas ucapannya, Arnold sudah mengangkat tubuh dari sofa. Tangannya diarahkan menuju pintu sebagai kode kalau ia menyuruh Kezia agar segera pulang.
"Lalu kapan saya bisa kembali lagi ke sini?" Kezia terpaksa mengemasi tubuh dari sofa. Tatapannya pada Arnold mulai berubah jengkel.
"Kalau saya sedang tidak sibuk."
"Bagaimana caranya saya bisa mengetahui Anda sibuk atau tidak?" Kezia semakin geram sebab kini Arnold telah mendorong tubuhnya menuju pintu. Ini adalah pengusiran.
Ketika mereka berdua telah menjejakkan kaki di teras rumah, Arnold segera mengunci pintu dari luar. "Maaf, Nona Kezia. Saya sendiri tidak bisa memberikan kejelasan tentang kapan waktu sibuk atau longgar bagi saya. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan," ucap pria itu sebelum akhirnya melangkahkan kaki menuju mobil yang telah menunggu di pekarangan rumah. Sopir pribadinya sudah siap sedia untuk menunaikan tugas hari ini.
"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka.Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di l
Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia. Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini."Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu
Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun."Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini.Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel.Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni.Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana."Wah, rupanya kau sudah ada di si
Esok paginya, Kezia sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold sebelum pria itu berangkat ke kantor. Arnold menyambut dengan senyum terbuka. Kezia sudah memakai seragam berwarna biru dengan motif garis di tepi lengannya. Rambut panjangnya dikucir jadi satu ke belakang. Leher jenjangnya terlihat manis dan memesona. Dia membawa sebuah tas yang mirip dengan tas raket milik para pebulutangkis."Selamat datang, Nona Kezia," sapa Arnold yang langsung mempersilakan gadis itu masuk. Ketika Kezia hendak duduk di sofa, dia buru-buru mencegah dengan sindiran tajamnya. "Tidak ada yang mempersilakanmu untuk duduk."Kezia yang sudah bersiap menaruh tubuhnya, terpaksa harus kembali meluruskan punggungnya. Ditaruhnya tas raket itu di lantai. Hanya dia yang tahu apa isinya. "Maafkan saya, Tuan.""Kau belum berkenalan dengan bayiku," ujar Arnold dengan alis melengkung satu. Di hari pertama saja, Kezia sudah menunjukkan sikap acuhnya pada sang bayi. Mendadak Arnold menyesal karen
Ternyata mengasuh bayi tidak semudah yang dibayangkan. Sejak tadi, Narendra terus rewel tanpa bisa ditebak Kezia apa maunya. Ketika diajak bermain di kamar, bayi itu minta keluar seolah sudah tak kerasan. Ketika diajak ke taman, ia malah menangis karena kepanasan. Ingin rasanya membentak atau marah, tapi Kezia segera sadar apa statusnya sekarang."Kamu mau apa, sih, Sayang?" Kezia mengusap peluh di dahinya. Saat ini ia memutuskan mengajak Narendra duduk di ruang tamu. Andai saja bayi itu bisa bicara, pasti akan lebih mudah untuk memahami apa inginnya.Bersama kesabaran yang rasanya tinggal sekepal saja, Kezia memutuskan untuk menimang bayi laki-laki itu dalam gendongannya. Waktu baru menunjukkan tengah hari. Masih lama sekali menuju malam untuk beristirahat."Kalau hari pertama saja sudah seberat ini, bagaimana aku bisa melewati empat belas hari? Apalagi tanpa digaji." Kezia bergumam sendiri sembari berusaha menggerak-gerakkan mainan berbentuk
Mungkin ini bisa dikatakan sebagai hari terburuk bagi Kezia. Pengalaman pertama mengasuh bayi sungguh melelahkan. Siang tadi, ia harus melewati beberapa drama sebelum akhirnya Baby Narendra bisa benar-benar tidur dengan lelap sampai sore.Ketika matahari telah terbenam, Narendra sudah tidak rewel seperti tadi pagi. Bayi itu diajak Kezia duduk di sofa, kemudian mereka bermain robot-robotan berdua. Mood bayi sudah seperti mood perempuan yang sedang berada pada masa pra menstruasi syndrome— berubah-ubah tak tentu arah.Kezia tidak tahu kalau sejak beberapa menit yang lalu, ada seseorang yang sedang mengawasinya dari celah pintu yang terbuka sedikit. Arnold mengukir senyum senang. Ia berpikir kalau kinerja Kezia benar-benar bisa diandalkan.Setelah berdiri di situ tak kurang dari lima menit, Arnold mengetuk pintu dengan pelan. Dia sudah berjanji tidak akan main asal-asalan membuka pintu atau Baby Narendra akan terkejut. Arnold sudah cukup kasihan melih
Sore harinya, Arnold pulang dari kantor agak tergesa. Ia ingat punya janji dengan Kezia. Ketika ia tiba di rumahnya, gadis bertubuh mungil itu sedang menggendong Narendra di taman."Hai, jadi atau tidak?" sapanya ketika menyusul mereka ke taman. Narendra yang digendong menghadap ke depan, langsung memberi senyum lucu kepada Arnold.Kezia mengerutkan kening seperti orang bingung. "Jadi apanya, Tuan?"Arnold mengembuskan napas kasar, kemudian meraih bayinya dari gendongan Kezia. "Baru tadi pagi saja kau sudah lupa. Lalu bagaimana aku bisa yakin anakku akan baik-baik saja jika ibu pengasuhnya pelupa sepertimu?"Untuk beberapa saat, Kezia hanya menatap heran. Hingga akhirnya, senja yang menggantung di langit barat menghujaninya dengan sekepal ingatan. "Oh, iya. Tuan mengajak saya pulang ke rumah saya, kan?" serunya dengan wajah berbinar setelah ingat."Bukan mengajak," ralat Arnold dengan wajah tak suka. Dia menggerak-gerakkan tubuhnya agar b