Beberapa jam setelahnya, hasil tes telah keluar. Arnold berjalan menuju ruang laboratorium dengan sangat buru-buru. Ia ingin segera mengetahui hasil tes tersebut untuk memastikan apakah Baby Narendra adalah putra hasil percintaan Rebecca dengan dirinya atau dengan laki-laki lain.
Ketika sampai di ruangan tersebut, seorang dokter yang tadi menghubunginya langsung menyambut. Dokter tersebut mempersilakan agar Arnold duduk dulu.
"Ini hasil tes laboratoriumnya. Semoga hasilnya sesuai dengan yang Bapak inginkan," tutur dokter berkaca mata itu dengan sopan. Tubuhnya yang agak gempal terlihat memenuhi kursi yang jadi alasnya menaruh diri.
"Terima kasih, Dok." Arnold meraih sebuah amplop dari tangan dokter. Matanya tak bisa berhenti mengamati setiap sudut dari amplop, barangkali ada sedikit bocoran yang tertulis di sana. Rasa penasaran yang timbul di hatinya seolah sudah tak mampu lagi untuk ditawar.
Dengan gerakan buru-buru, Arnold segera menyobek segel amplop untuk mengeluarkan isinya. Bahkan dia tak peduli kalau detik ini masih duduk di kursi dokter. Yang terpenting baginya adalah, dia harus mengetahui hasil tes sesegera mungkin untuk menghilangkan segala keraguan baru yang muncul atas Narendra. Kasihan sekali bayi itu kalau nanti mendapat perlakuan berbeda dari papanya sebab ia dikira lahir dari benih lelaki lain. Namun, kasihan juga Arnold jika tetap menaruh rasa sayang dan pengharapan tinggi pada bayi yang bukan berasal dari benihnya.
Ketika kertas isi amplop itu sudah berada di tangannya, Arnold bergerak cepat untuk membuka lipatan. Matanya langsung diluncurkan ke bagian paling bawah untuk membaca kata yang tertera di sana. Positif atau negatif?
Detik itu juga, napas Arnold bisa berembus dengan lega. Baby Narendra memiliki kecocokan DNA dengannya. Bayi kecil nan menggemaskan itu adalah putra kandungnya. Tidak ada yang perlu dicurigai tentang kemiripan bentuk mata dan hidung mereka.
Arnold membawa hasil tes itu pergi setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi pada dokter. Setelah ini, ia akan mengurusi beberapa hal lagi agar bisa cepat-cepat bertemu dengan Rebecca di sidang perceraian mereka.
Namun, langkah Arnold harus terhenti ketika melihat sesosok perempuan yang telah menunggunya dengan senyuman di depan ruang laboratorium. Perempuan itu memiliki bentuk bibir yang sama dengan Narendra, agar tebal tapi menggiurkan. Di detik yang bersamaan, Arnold merasa jijik ketika mengingat kalau ia pernah melumat bibir yang ternyata sudah jadi bekas lumatan pria lain di belakangnya. "
Mau ngapain kamu ke sini?" tanya Arnold dengan muka dingin yang dilanggengkan.
Rebecca berusaha meraih lengan Arnold, tapi pria itu dengan cepat menepis tangannya. "Arnold, aku mohon dengarkan penjelasanku dulu," mohonnya sembari memasang raut wajah minta diiba. Tubuhnya yang berbalut dress selutut lengan pendek memudahkan desau angin untuk menampar kulitnya. "Aku yakin seratus persen, ah, kalau boleh malah seribu persen. Pasti hasil tes tersebut menunjukkan kalau Narendra adalah anakmu. Dia benar-benar anak kita karena sebelum ini aku tak pernah bersetubuh dengan pria selain engkau."
"Ya, Narendra memang anakku. Maka aku akan memperjuangkan hak asuh atasnya di depan hakim nanti," tegas Arnold dengan wajah berkilatan amarah. Ada ribuan kebencian yang tersimpan dalam rongga matanya. Kata siapa cinta tak mudah berubah jadi benci? Sekali dikhianati, sebagian besar pria lebih memilih untuk membenci. Pria tak lemah hatinya seperti wanita yang mudah sekali memaafkan dan terus-menerus mendahulukan perasaan. Tak ada yang salah karena semua memang sudah ditakar Tuhan dengan porsi demikian.
"Lalu kenapa kau masih keras kepala hendak menceraikanku padahal sudah terbukti kalau Narendra adalah anakmu?" Suara Rebecca mendadak keras seperti menantang. Tangan kanannya menggengam erat sebuah tas kulit berwarna cokelat tua. Sepatu hak tingginya menyangga tubuh yang berdiri dengan kaki gemetar.
"Kau bilang aku keras kepala?" Arnold menarik satu sudut bibirnya. "Sebaiknya kau pulang dan lekas berkaca. Tanyalah pada pantulan dirimu sendiri di depan kaca, apakah perempuan sepertimu masih pantas untuk aku pertahankan?" balasnya dengan senyum mengejek. Arnold tak memberi banyak waktu lagi bagi Rebecca untuk menimpali. Masih banyak hal lain yang lebih penting untuk dia selesaikan. Membicarakan masalah yang tak ada ujungnya bersama seorang pengkhianat sama saja dengan membuang-buang waktu yang telah dikaruniakan oleh Tuhan.
Di atas lantai tempatnya berdiri, Rebecca hanya bisa menatap berlalunya Arnold dengan geram. Dia tak bisa berkutik, apalagi menahan. Sepertinya dalam waktu dekat, statusnya akan benar-benar berubah jadi janda. Arnold lebih memilih untuk menyandang status duda daripada harus kembali kepadanya.
***
Dengan uang yang dimilikinya, mudah saja bagi Arnold untuk mengatur waktu sesuai yang diingini. Tak lebih dari satu minggu, sidang perceraian itu telah digelar dengan keputusan akhir yang menyatakan bahwa hak asuh anak sepenuhnya jatuh ke tangan Arnold. Pihak Rebecca sempat protes dengan mengeluarkan dalih yang menyebutkan kalau usia Narendra masih sangat kecil, sehingga bayi itu butuh untuk selalu berada di samping ibunya. Namun, pihak pendukung Rebecca tak bisa berkutik lagi ketika Arnold mengerahkan segala bukti kalau perempuan itu adalah seorang ibu yang tidak bertanggung jawab.
Sidang diakhiri. Keputusan hakim yang telah diketok palu tidak dapat diganggu gugat lagi. Arnold keluar dari ruang persidangan dengan wajah riang, sangat berbeda dari wajah Rebecca yang dipenuhi gurat kekecewaan dan penyesalan.
"Sampaikan salam perpisahan pada anakmu. Sepertinya setelah ini, kau tidak akan bertemu dengannya lagi. Ataupun kalau bertemu, pasti masih dalam jangka waktu yang sangat lama." Arnold sengaja berdiri di depan Rebecca untuk mencegat langkah perempuan itu. Dalam gendongannya, tengah tersenyum ramah seorang bayi yang amat menggemaskan. Ia telah mengambil Narendra dari tangan Bibi yang sedari tadi bertugas menimang bayi itu selama sidang berlangsung. Mengajak Narendra ke sidang perceraiannya juga merupakan keinginan Arnold sendiri.
Rebecca meremas kedua tangan di samping tubuh sebab merasa begitu geram. "Kau sangat berdosa jika di kemudian hari sengaja mempersulit pertemuanku dengan Narendra. Aku adalah ibu yang telah mengandungnya selama sembilan bulan dalam rahimku, kemudian mempertaruhkan nyawa saat melahirkannya ke dunia."
"Iya, aku tahu." Arnold mengangguk paham. Sesekali tubuhnya bergerak-gerak untuk menghasilkan rasa nyaman bagi bayi yang tengah tinggal dalam gendongan. "Narendra adalah bayi suci yang telah lahir dari rahimmu, tapi sayangnya kau sendiri yang telah mengotori rahim itu dengan mengizinkan pria lain menjamahnya."
"Hentikan ucapanmu itu!" Rebecca merasa kian kesal. Jika bisa digambarkan, pasti sudah ada dua tanduk merah yang berdiri di atas kepalanya.
"Aku tak akan berhenti karena aku melihatnya dengan mata kepala sendiri. Aku punya banyak saksi. Bahkan aku juga punya bukti berupa video rekaman dari pihak hotel yang sengaja kumintai untuk memasang CCTV."
Rebecca membelalakkan mata tak percaya. Sebegitu niatnya Arnold dalam menjatuhkan hingga segala cara dilakukannya. Tak apa. Mungkin memang sudah saatnya bagi dia untuk pergi. Lagi pula, sejak awal Rebecca memang tak pernah mencintai Arnold dengan tulus. Tentu saja ia mau dinikahi hanya karena mengejar harta kekayaan pria itu yang tidak akan habis dalam tujuh turunan sekali pun. Untuk soal anak, Rebecca tak mau terlalu ambil pusing. Ia bisa membuatnya lagi bersama pria yang sungguhan dicintainya.
Setelah merasa tak ada lagi yang perlu dibicarakan, baik Arnold dan Rebecca sama-sama balik kanan. Mulai hari ini, anggap saja mereka adalah dua orang asing yang tak pernah saling kenal sebelumnya.
Sementara itu, tak jauh dari gedung tempat persidangan diadakan, tengah berbahagia dua orang perempuan yang sejak tadi sengaja datang untuk menyimak keputusan dalam sidang tersebut.
"Hak asuh anak jatuh ke tangan Arnold, sedangkan bayi itu sudah tak punya ibu di rumahnya. Itu artinya, peluangku untuk masuk ke sana semakin mudah," seru Kezia dengan senyum penuh kemenangan.
Mamanya mengangguk setuju. Detik berikutnya, mereka menabrakkan dua telapak tangan sebagai tanda permainan akan segera dimulai.
Arnold tak memberi kesempatan bagi hatinya untuk mengenal kata gagal move on. Dia seorang pengusaha besar yang telah sukses dalam berbagai project. Jadi, tidak ada kata gagal dalam kamus hidupnya, termasuk gagal untuk melupakan.Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, Arnold menyempatkan sarapan bersama Baby Narendra. Semakin hari, putranya itu semakin lucu dan menggemaskan. Dua pipinya menggelembung seperti balon. Untung saja hidung bayi tersebut mancung seperti papanya, jadi tidak tenggelam walau sebesar apa pun pipinya."Bi, tolong jaga Baby Narendra sebaik-baiknya, ya. Kasihan dia sudah tidak punya ibu," pinta Arnold pada pembantu yang kala itu sedang menyuapi Narendra dengan semangkuk bubur bayi rasa kacang hijau. Arnold sendiri sudah menandaskan potongan roti di atas piringnya, termasuk segelas susu yang telah disiapkan pembantu untuknya.Bibi mengangguk takzim. "Baik, Tuan."Menit berikutnya, Arnold mengangkat tubuh dari kursi makan, kemudian
"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka.Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di l
Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia. Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini."Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu
Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun."Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini.Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel.Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni.Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana."Wah, rupanya kau sudah ada di si
Esok paginya, Kezia sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold sebelum pria itu berangkat ke kantor. Arnold menyambut dengan senyum terbuka. Kezia sudah memakai seragam berwarna biru dengan motif garis di tepi lengannya. Rambut panjangnya dikucir jadi satu ke belakang. Leher jenjangnya terlihat manis dan memesona. Dia membawa sebuah tas yang mirip dengan tas raket milik para pebulutangkis."Selamat datang, Nona Kezia," sapa Arnold yang langsung mempersilakan gadis itu masuk. Ketika Kezia hendak duduk di sofa, dia buru-buru mencegah dengan sindiran tajamnya. "Tidak ada yang mempersilakanmu untuk duduk."Kezia yang sudah bersiap menaruh tubuhnya, terpaksa harus kembali meluruskan punggungnya. Ditaruhnya tas raket itu di lantai. Hanya dia yang tahu apa isinya. "Maafkan saya, Tuan.""Kau belum berkenalan dengan bayiku," ujar Arnold dengan alis melengkung satu. Di hari pertama saja, Kezia sudah menunjukkan sikap acuhnya pada sang bayi. Mendadak Arnold menyesal karen
Ternyata mengasuh bayi tidak semudah yang dibayangkan. Sejak tadi, Narendra terus rewel tanpa bisa ditebak Kezia apa maunya. Ketika diajak bermain di kamar, bayi itu minta keluar seolah sudah tak kerasan. Ketika diajak ke taman, ia malah menangis karena kepanasan. Ingin rasanya membentak atau marah, tapi Kezia segera sadar apa statusnya sekarang."Kamu mau apa, sih, Sayang?" Kezia mengusap peluh di dahinya. Saat ini ia memutuskan mengajak Narendra duduk di ruang tamu. Andai saja bayi itu bisa bicara, pasti akan lebih mudah untuk memahami apa inginnya.Bersama kesabaran yang rasanya tinggal sekepal saja, Kezia memutuskan untuk menimang bayi laki-laki itu dalam gendongannya. Waktu baru menunjukkan tengah hari. Masih lama sekali menuju malam untuk beristirahat."Kalau hari pertama saja sudah seberat ini, bagaimana aku bisa melewati empat belas hari? Apalagi tanpa digaji." Kezia bergumam sendiri sembari berusaha menggerak-gerakkan mainan berbentuk
Mungkin ini bisa dikatakan sebagai hari terburuk bagi Kezia. Pengalaman pertama mengasuh bayi sungguh melelahkan. Siang tadi, ia harus melewati beberapa drama sebelum akhirnya Baby Narendra bisa benar-benar tidur dengan lelap sampai sore.Ketika matahari telah terbenam, Narendra sudah tidak rewel seperti tadi pagi. Bayi itu diajak Kezia duduk di sofa, kemudian mereka bermain robot-robotan berdua. Mood bayi sudah seperti mood perempuan yang sedang berada pada masa pra menstruasi syndrome— berubah-ubah tak tentu arah.Kezia tidak tahu kalau sejak beberapa menit yang lalu, ada seseorang yang sedang mengawasinya dari celah pintu yang terbuka sedikit. Arnold mengukir senyum senang. Ia berpikir kalau kinerja Kezia benar-benar bisa diandalkan.Setelah berdiri di situ tak kurang dari lima menit, Arnold mengetuk pintu dengan pelan. Dia sudah berjanji tidak akan main asal-asalan membuka pintu atau Baby Narendra akan terkejut. Arnold sudah cukup kasihan melih