Pria berusia tiga puluh tahun itu duduk di meja kerjanya dengan wajah lecek. Beberapa kali tangannya mengepal dan memukul meja keras-keras hingga membuat tumpukan dokumen meloncat ketakutan. Setelan jas formal yang membalut tubuhnya seolah telah kehilangan fungsi untuk menjaga kegagahannya. Pria itu malah mengacak rambut seperti manusia kehilangan akal yang tak lagi peduli pada wibawa.
"Sabar, Bos. Sabar." Seorang pria lain yang duduk berdiri di depan meja berusaha menenangkan.
"Sabar? Memangnya kau pikir aku bisa semudah itu untuk sabar?!"
Ialah Arnold Sanjaya, pria yang sedang kalut hatinya. Dengan mata kepalanya sendiri, Arnold menyaksikan bagaimana perempuan yang selama ini ia puja-puja telah berselingkuh dengan lelaki lain. Dalam waktu sekejap saja, semua kedudukan dan kekuasaan yang ia miliki seolah tak ada artinya lagi. Uangnya tumpah ruah hingga bisa digunakan untuk membeli apa pun yang ia ingini. Tapi ternyata, uang saja tak cukup untuk membuat istrinya tetap setia.
"Segera atur rencana yang sudah saya katakan! Jebak mereka berdua ke kamar hotel atau tempat lainnya yang memungkinkan saya untuk datang ke sana. Saya ingin melihat bagaimana wajah perempuan itu ketika tertangkap basah sedang bermain cinta dengan lelaki lain di belakang saya," pinta Arnold pada orang suruhannya.
Seorang pria yang sejak tadi berdiri di depan meja mengangguk. "Baik, Bos," jawabnya sebelum akhirnya permisi dari ruangan itu.
Setelah ruangan hanya menyisakan dirinya saja, Arnold kembali mengacak rambutnya dengan gemas. Matanya berkilat marah seolah ada kobaran api di dalam sana. Dia beranjak dari duduknya dengan napas memburu. Butir-butir keringat meluncur di pelipisnya seperti rembesan air hujan.
"Awas kau, Rebecca! Berani-beraninya mengkhianati cinta yang selama bertahun-tahun sudah kujaga," teriaknya sembari melempar sebuah asbak ke lantai hingga menimbulkan bunyi berdegum. Kilat amarah di matanya kian menyala-nyala seolah ada yang sengaja menyulutnya. "Kau akan tahu akibatnya!" umpatnya sembari memukulkan buku-buku jari ke atas meja sekali lagi.
***
Arnold memilih pulang ke rumah untuk membunuh suasana hatinya yang sedang kacau. Setidaknya di rumah tiga lantai itu, ada seorang bayi laki-laki lucu yang dapat menyumbang sekepal riang di hatinya.
"Hello, Baby Narendra. Papa datang," seru Arnold saat pertama kali masuk ke rumah. Ia melihat anaknya sedang belajar duduk bersama asisten rumah itu.
Dengan langkah agak terburu, Arnold memangkas jaraknya dari kursi tempat Narendra berada. Dia memberi senyum pada Bibi yang sedang memegangi kedua lengan bayinya agar tak jatuh. Bayi itu baru berusia enam bulan sejak pertama kali tangisnya hadir memecah dunia.
"Biar saya gantiin, Bi. Pasti kerjaan Bibi masih banyak." Arnold mengambil alih tubuh Narendra, kemudian menciumi kening bayi lucu itu. Bibi beringsut mundur dengan posisi tubuh sedikit membungkuk demi menjaga kesopanan.
Selama bermain dengan putranya, hati Arnold merasa dihuni kebahagiaan baru. Kadang-kadang Narendra berteriak tanpa aturan, kadang bergumam tidak jelas, kadang juga memukulkan kakinya pada lengan sofa. Di atas segala kebahagiaan sebab menyaksikan perkembangan sang anak, ada sekelumit rasa kecewa dalam hati Arnold sebab Narendra ditakdirkan memikul garis hidup sekeras ini. Mengapa bayi selucu itu harus lahir dari rahim perempuan tak tahu malu seperti Rebecca? Di saat anaknya masih butuh didampingi dan diberi ASI, perempuan itu malah asyik berselingkuh dengan laki-laki lain.
Ini semua benar-benar spidol merah yang telah mencoreng nama baik seorang Arnold Sanjaya!
Bagaimana bisa seorang bos besar dari Perusahaan Terbuka Permata Sanjaya yang telah mengepakkan sayapnya sampai ke penjuru negeri bisa sampai diselingkuhi seperti ini? Permata Sanjaya milik keluarga Arnold dikenal sebagai perusahaan yang bergerak di bidang consumer goods dan telah memproduksi banyak merek sukses di pasaran, di antaranya makanan, minuman, kebutuhan rumah tangga, produk perawatan tubuh, serta barang-barang lainnya. Tentang harta yang dimiliki Arnold, jangan ditanya lagi! Dia adalah pengusaha yang telah sukses di usia muda. Meskipun apa yang dimilikinya sekarang adalah warisan dari papanya yang telah meninggal, tapi ia bekerja dengan sangat baik hingga perusahaan tersebut dapat berkembang lebih pesat di tengah persaingan bisnis yang begitu kuat dalam negeri ini.
Lalu, sebenarnya selama ini Arnold kurang apa? Dari segi penampilan pun, dia adalah pria yang sangat tampan dan berkharisma. Tubuhnya tinggi tegap dengan kulit berwarna agak kecokelatan. Ia memiliki dada bidang yang selalu mengundang rasa nyaman bagi orang-orang yang jatuh dalam pelukan. Rambutnya selalu rapi dan tak pernah telat dicukur. Dua biji matanya indah dan berkilauan seperti bohlam. Hidungnya besar dan mancung. Ada bulu-bulu halus di bawah pipinya yang membuat tulang rahang pria itu terlihat semakin tegas. Bibirnya tipis dan mengundang candu bagi siapa saja yang telah merasakannya. Dan soal kesetiaan? Sebenarnya Arnold adalah juara dalam mempertanggungjawabkan kesetiaannya, tapi ia juga bisa berubah jadi singa ketika mengetahui bahwa cinta setianya dibalas dengan luka.
Saat masih sibuk bermain dengan Baby Narendra, tiba-tiba handphone Arnold meraung dari balik saku celananya. Dengan satu tangan yang masih memegangi lengan anaknya, Arnold meraih handphone dengan tangan satunya.
"Halo! Bagaimana?" ucap Arnold tanpa lebih dulu mengutarakan basa-basi pada orang di seberang.
"Saya sudah berhasil memasukkan mereka dalam perangkap, Bos. Siang ini, mereka telah menyewa kamar hotel yang telah kita rencanakan."
Mendengar jawaban orang suruhannya, Arnold segera memasang senyum licik. Rebecca lupa sedang bermain-main dengan siapa. Arnold adalah pengusaha dengan kekayaan berlimpah yang hartanya tak akan berkurang satu persen pun walau digunakan untuk membayar banyak orang sekaligus dalam waktu bersamaan, termasuk membayar pihak hotel.
"Bagus. Nanti kalau permainannya sudah dimulai, segera kabari. Saya akan langsung meluncur ke sana," ujar Arnold sebelum telepon tersebut diakhiri. Hati pria itu sangat lega. Akhirnya ia bisa pisah dari Rebecca sambil mempermalukan perempuan itu di depan umum. Walaupun usia Baby Narendra baru enam bulan, tapi ia yakin kalau hak asuh putranya akan jatuh kepada dia seutuhnya. Ibu tukang selingkuh seperti Rebecca tak akan mendapat apa-apa selain rasa malu.
Di titik ini, orang-orang akan tahu kalau para pria lebih banyak menggunakan logika daripada perasaannya. Jadi, secinta apa pun Arnold pada Rebecca, tapi kalau perempuan itu berkhianat di belakang, ya lepaskan saja. Arnold tak pernah memegang semboyan ia akan tetap bertahan ketika tak dihargai. Sudah cukup Rebecca merusak reputasinya dengan berani berselingkuh, maka tak akan ada ampun bagi perempuan itu, bahkan seandainya ia memohon sambil menciumi jari-jari kakinya sekali pun.
Setelah kembali membenamkan handphone ke saku celana, Arnold segera memanggil asisten rumah yang jarak kerjanya paling dekat darinya. Di rumah ini, memang ada tiga asisten perempuan yang memiliki tugas berbeda-beda. Ada yang khusus memasak di dapur, khusus membersihkan rumah, serta khusus mencuci dan mengurusi pakaian-pakaian tuan rumah. Sayangnya sejauh ini, belum ada asisten yang dikhususkan untuk menjaga Narendra. Jadi, tiga asisten tersebut bahu-membahu untuk mengurus Narendra secara bergantian.
"Bi, tolong temani Narendra, ya. Saya mau keluar lagi. Ada urusan yang harus saya selesaikan." Arnold bangkit dari duduknya, menaruh Narendra dalam gendongan, kemudian memindahkan bayi itu ke tangan asisten.
"Baik, Tuan," jawab asisten perempuan yang usianya sudah menjelang empat puluh tahunan itu. Dia bekerja di sini sejak Pak Sanjaya dan istrinya masih hidup.
Setelah mengecupi pipi Baby Narendra sebagai salam perpisahan, Arnold segera melangkah keluar dari rumah itu. Dia berjalan sambil membenarkan jas yang menempel di tubuh. Siapa pun tahu kalau Arnold adalah pria sempurna, tapi entah atas dasar apa Rebecca masih merasa kurang hingga mencari pelarian.
Krek!Arnold masuk ke kamar itu tepat saat dua orang anak manusia sedang panas-panasnya di atas ranjang. Terpampang dengan nyata keduanya yang sama sekali tak mengenakan busana. Adegan mereka terpaksa berhenti sebelum sampai ke puncaknya."Sekarang sudah jelas!" ucap Arnold dengan wajah yang kini telah berubah jadi sebeku es. Ia menatap marah. Kentara sekali kilatan api yang berkobar dalam sorot netranya. Di depan matanya sendiri, perempuan yang selama ini selalu ia banggakan telah dilucuti pakaiannya oleh laki-laki lain. Padahal awalnya dia berharap kalau perselingkuhan yang dilakukan Rebecca sebatas pada jalan berdua, tapi ternyata perempuan itu sudah main ranjang di belakangnya.Dengan wajah sangat malu, Rebecca dan pacar gelapnya segera meraih selimut untuk menutup tubuh mereka. Tentu saja keduanya sangat kaget kenapa tiba-tiba kamar yang sudah dikunci bisa terbuka dari luar. Mereka lupa kalau tengah berhadapan dengan orang paling kaya di n
Beberapa jam setelahnya, hasil tes telah keluar. Arnold berjalan menuju ruang laboratorium dengan sangat buru-buru. Ia ingin segera mengetahui hasil tes tersebut untuk memastikan apakah Baby Narendra adalah putra hasil percintaan Rebecca dengan dirinya atau dengan laki-laki lain.Ketika sampai di ruangan tersebut, seorang dokter yang tadi menghubunginya langsung menyambut. Dokter tersebut mempersilakan agar Arnold duduk dulu."Ini hasil tes laboratoriumnya. Semoga hasilnya sesuai dengan yang Bapak inginkan," tutur dokter berkaca mata itu dengan sopan. Tubuhnya yang agak gempal terlihat memenuhi kursi yang jadi alasnya menaruh diri."Terima kasih, Dok." Arnold meraih sebuah amplop dari tangan dokter. Matanya tak bisa berhenti mengamati setiap sudut dari amplop, barangkali ada sedikit bocoran yang tertulis di sana. Rasa penasaran yang timbul di hatinya seolah sudah tak mampu lagi untuk ditawar.Dengan gerakan buru-buru, Arnold segera menyobek segel am
Arnold tak memberi kesempatan bagi hatinya untuk mengenal kata gagal move on. Dia seorang pengusaha besar yang telah sukses dalam berbagai project. Jadi, tidak ada kata gagal dalam kamus hidupnya, termasuk gagal untuk melupakan.Pagi ini, sebelum berangkat ke kantor, Arnold menyempatkan sarapan bersama Baby Narendra. Semakin hari, putranya itu semakin lucu dan menggemaskan. Dua pipinya menggelembung seperti balon. Untung saja hidung bayi tersebut mancung seperti papanya, jadi tidak tenggelam walau sebesar apa pun pipinya."Bi, tolong jaga Baby Narendra sebaik-baiknya, ya. Kasihan dia sudah tidak punya ibu," pinta Arnold pada pembantu yang kala itu sedang menyuapi Narendra dengan semangkuk bubur bayi rasa kacang hijau. Arnold sendiri sudah menandaskan potongan roti di atas piringnya, termasuk segelas susu yang telah disiapkan pembantu untuknya.Bibi mengangguk takzim. "Baik, Tuan."Menit berikutnya, Arnold mengangkat tubuh dari kursi makan, kemudian
"Bagaimana, Dear?" Eva—ibunda Kezia— langsung melempar pertanyaan begitu mendapati putrinya datang. Ia sudah tidak sabar untuk mendengar cerita dari Kezia tentang pengalaman pertama bertemu dengan sosok incaran mereka.Jangankan memberi sapaan untuk mamanya, Kezia sudah memasang muka murung seperti mendung sejak pertama kali tiba di rumah. Hatinya merasa tak bergairah. Gadis itu masih menyimpan rasa jengkel yang amat sangat sebab perlakuan Arnold. Berkali-kali ia membuat pertanyaan pada diri sendiri, apakah pria kaya raya seperti Arnold tidak pernah sekolah sampai tak tahu cara menghormati tamu?"Hei, apa yang terjadi?" Eva menyusul anaknya ke dalam kamar. Sebagai ibu, tentu ia langsung bisa membaca kalau ada hal tak beres yang tengah bergumul di hati Kezia.Di luar, matahari naik semakin tinggi. Sinarnya menyepuh genting-genting rumah dengan warna keemasan. Desau angin meruntuhkan daun kering dari ranting. Tidak ada mendung yang bergulung di l
Sesuai skenario yang telah dibisikkan Eva sebelum berangkat ke restoran ini, Kezia diminta celingukan di depan pintu utama yang lebarnya cukup dimasuki tujuh orang sekaligus dalam waktu bersamaan. Di dua sisi pintu itu, ditaruh pot tumbuhan imitasi yang tingginya mencapai pundak Kezia. Sesekali gadis itu memanjangkan leher untuk memeriksa Arnold yang sudah duduk pada salah satu meja di sana bersama beberapa pria lainnya. Arnold belum melihat ke arah Kezia. Bukan hal susah bagi Eva untuk mengetahui jadwal keseharian Arnold. Orang-orang yang memiliki keinginan tinggi memang selalu punya cara untuk menggapai tujuan yang hendak dicapai. Lewat salah satu klien Arnold yang ternyata adalah teman baik Eva, perempuan itu jadi tahu kalau pimpinan perusahaan Permata Sanjaya tengah mengadakan pertemuan di salah satu restoran ternama di ibu kota malam ini."Dia fokus banget, sih, meetingnya. Aku udah berdiri di sini sekian lama, tapi dia sama sekali belum melirik," gerutu
Kezia menahan napasnya ketika mendapati Arnold menatap dada bagian atasnya dengan mata lapar. Satu sudut bibir pria itu ditarik ke atas seperti tengah merayakan sebuah kemenangan. Sungguh, Kezia sangat takut kalau sampai pria itu nekat berbuat macam-macam di sini. Ingin sekali turun dari wastafel dan lari sejauh-jauhnya, tapi apa daya? Dua kakinya telah ditahan oleh tubuh Arnold hingga ia tak akan bisa berkelit sedikit pun."Kau takut?" Arnold mengangkat matanya dari dada Kezia. Senyumnya picik, tapi dalam seperti jurang.Dengan segenap kegugupan yang masih bersarang dalam dirinya, Kezia tidak mengangguk atau menggeleng. Ia ingat pesan dari Eva agar jadi wanita dewasa yang menggoda. Namun, gadis mana yang dapat melawan rasa takut dalam suasana setegang ini? Apalagi Kezia belum punya pengalaman apa pun.Walau tak menjawab, tapi Arnold tahu dengan pasti kalau ada rasa takut yang bersarang dalam wajah gadis di hadapannya. Pelan-pelan, dia menjauhk
Kezia sudah berdiri di depan rumah Arnold dengan rasa penuh percaya diri. Sebelum mengetuk pintu, ia memanjangkan leher untuk memeriksa garasi. Pikirnya mendadak ciut saat mendapati mobil Arnold tidak ada di sana. Namun, ia kembali ingat kalau tadi malam pria itu sendiri yang menyuruhnya kembali datang siang ini.Dengan segenap pikiran positif yang dibenamkan dalam kepala, Kezia mengepalkan jemarinya, kemudian mencipta ketukan di muka pintu rumah mewah berlantai tiga itu. Ketukan pertama dan kedua tidak ada jawaban. Gadis itu jadi geram dan memaki karena rumah semewah ini tidak memiliki bel.Sembari berusaha sabar, Kezia mengetuk pintu lagi. Tetap tak ada jawaban. Ia jadi curiga kalau rumah ini tak berpenghuni.Tepat ketika Kezia balik badan dengan wajah putus asa, bersiap untuk pulang saja, tiba-tiba sebuah mobil mewah berhenti tepat di depannya. Matanya terbelalak saat mendapati Arnold turun dari sana."Wah, rupanya kau sudah ada di si
Esok paginya, Kezia sudah berdiri di depan pintu rumah Arnold sebelum pria itu berangkat ke kantor. Arnold menyambut dengan senyum terbuka. Kezia sudah memakai seragam berwarna biru dengan motif garis di tepi lengannya. Rambut panjangnya dikucir jadi satu ke belakang. Leher jenjangnya terlihat manis dan memesona. Dia membawa sebuah tas yang mirip dengan tas raket milik para pebulutangkis."Selamat datang, Nona Kezia," sapa Arnold yang langsung mempersilakan gadis itu masuk. Ketika Kezia hendak duduk di sofa, dia buru-buru mencegah dengan sindiran tajamnya. "Tidak ada yang mempersilakanmu untuk duduk."Kezia yang sudah bersiap menaruh tubuhnya, terpaksa harus kembali meluruskan punggungnya. Ditaruhnya tas raket itu di lantai. Hanya dia yang tahu apa isinya. "Maafkan saya, Tuan.""Kau belum berkenalan dengan bayiku," ujar Arnold dengan alis melengkung satu. Di hari pertama saja, Kezia sudah menunjukkan sikap acuhnya pada sang bayi. Mendadak Arnold menyesal karen
Kezia terbelalak ketika menyaksikan betapa pintarnya Gabriel memperbaiki laporan keuangan itu. Matanya bergerak naik-turun seolah sedang menantang layar komputer. Dan, jantungnya berdetak lebih cepat saat menyadari nominal yang telah dirampasnya secara diam-diam dari perusahaan Arnold. Sebuah angka yang menakjubkan, tapi telah hancur menjadi kesia-siaan sebab Eva sama sekali tak pandai merawatnya."Dari sinilah kecurigaanku pada Gabriel tergerus. Tapi, aku belum menentukan siapa kandidat selanjutnya yang pantas kujatuhi kecurigaan dengan sangat banyak," terang Arnold.Lampu kamar menyala terang. Angeline berada di kasur dengan tubuh tertutup selimut sampai ke lehernya. Sementara itu, Kezia masih menatap tidak percaya ke layar laptop yang terparkir di meja kerja suaminya. Perempuan itu tak sadar kalau sejak tadi Arnold terus mencuri lirik, kemudian menyalin ekspresi wajahnya ke kepala untuk diterjemahkan.Demi menetralkan kegugupan dalam geriknya ag
"Kau duluan saja yang bicara." Suara Arnold berpadu dengan lembutnya angin balkon. Rambut basahnya yang baru terkecup air mandi bergerak-gerak pelan.Mereka duduk di kursi balkon yang berbahan kayu. Meja bundar menjadi pemisah keduanya. Tak ada apa pun di meja itu selain handphone Arnold yang diletakkan dalam posisi terbalik.Di atas pangkuan Kezia, Angeline tertidur pulas. Arnold sudah menyarankan agar bayi itu diletakkan saja di ranjang agar bisa beristirahat dengan lebih nyaman. Namun, Kezia menjawab kalau Angeline baru terpejam dalam waktu yang belum lama, sehingga masih besar kemungkinan dia akan bangun kapan pun."Kurasa kau saja yang lebih dulu bercerita. Aku yakin sesuatu yang hendak kau sampaikan jauh lebih penting dibandingkan milikku," jawab Kezia. Matanya menyorot lurus ke arah Arnold. Dalam diamnya, ada sekeping kecemasan yang memantik keringat merembes di pelipisnya. Dia khawatir Arnold akan menyinggung tentang kecurigaannya tentang p
Sejak lahirnya Angeline, Eva belum pernah menginap di rumah Arnold. Perempuan itu selalu membuat kesibukan pura-pura yang harus diselesaikannya di luar rumah. Padahal, alasan utamanya enggan menginap adalah karena tidak mau direpotkan malam-malam oleh Kezia kalau bayi itu rewel.Pagi ini menjadi kali pertama Eva datang lagi setelah acara peresmian nama Angeline dua hari yang lalu. Kedatangan Eva pun atas permintaan dari Kezia yang mengiriminya pesan kalau ada hal mendesak yang harus mereka bicarakan."Memangnya ada apa?" tanya Eva saat pertama kali tiba di kamar Kezia. Angeline masih terlalu kecil untuk dibuatkan kamar sendiri. Arnold baru menyewa seorang arsitek untuk mendesain kamar bayi perempuan yang nyaman untuk ditinggali Angeline kala usianya sudah masuk beberapa bulan nanti.Kezia memutar jarinya sebagai isyarat agar Eva mengunci pintu dari dalam. Arnold sudah berangkat ke kantor sejak satu jam lalu, tapi masih ada tiga pembantu yang mungkin saja
Untuk beberapa saat, Andrew cuma bisa mengerjapkan mata tak percaya. Wajahnya mencipta garis lurus seolah kabar yang usai didengarnya telah merampas seluruh kewarasan dari kepala."Jadi, pelakunya bukan Gabriel?" tanya Andrew. Kentara sekali mulutnya yang bergetar. Jiwanya seolah diacak-acak kenyataan. Keyakinan yang terpatri begitu kuat dalam hati kalau Kezia tak mungkin terlibat dalam masalah ini, kini jatuh berluruhan seperti rintik hujan yang membasuh bumi."Kau tahu kalau aku begitu mencintai istriku. Tidak mungkin aku membuat tuduhan padanya kalau tak memiliki bukti yang benar-benar nyata," jawab Arnold yang lebih berhasil menampilkan raut santainya. Dia sudah bisa menebak bagaimana reaksi yang akan ditunjukkan Andrew saat pertama kali mendengar kabar ini.Andrew mengangguk lemah. Wajahnya mendadak pucat seperti langit mendung. "Saya benar-benar tidak menyangka akan seperti ini.""Aku pun demikian. Sejak awal, aku memang telah meninggalk
Satu minggu setelah suara tangisan bayi perempuan itu merobek semesta, Arnold mengadakan pesta di rumahnya untuk merayakan kelahiran sang bayi, sekaligus peresmian nama untuk bayi tersebut. Banyak keluarga yang datang dari luar kota untuk menengok si bayi serta memberikan hadiah. Para karyawan diundang, juga tetangga-tetangga."Putri Tuan Arnold cantik sekali." Begitulah pujian yang mengalir sederas hujan dari mulut para tamu undangan. Mereka mencicipi aneka hidangan sambil tak henti melirik ke arah bayi yang ditidurkan di atas ranjang mungil. Bayi itu dipakaikan setelan berwarna merah muda, lengkap dengan bando dan sepatu yang terlihat kebesaran di kaki tujuh harinya.Sementara itu, Kezia mengenakan dress berwarna merah cerah yang longgar. Ia masih terlalu malu untuk memakai dress ketat karena belum memiliki waktu untuk mengembalikan bentuk tubuh seindah dahulu. Arnold sendiri mengenakan setelan jas berwarna abu-abu. Dasi bermotif garis-garis meruncing seolah hend
Sepulang dari kantor sore itu, Arnold mendapati Kezia sedang meringkuk di bawah selimut dalam kasurnya. Tubuhnya hanya kelihatan bagian kepala sampai leher. Dia terus meracau seperti orang tidak sehat."Apa yang terjadi padamu, Sayang?" Arnold buru-buru mendekat. Dia mengambil posisi duduk di pinggiran kasur. Tangannya membelai-belai rambut Kezia penuh kasih. Walaupun kesal parah setelah mengetahui kalau perempuan itu dan mamanya yang telah mencipta drama masalah di Permata Sanjaya, tapi Arnold tak pernah bisa bohong pada rasa cintanya.Kezia menggeliat sedikit. Dia menggelengkan kepala dalam lemah. "Perutku terasa sakit sekali," jawabnya seraya menekan-nekan perut dari balik selimut.Detik itu juga, Arnold langsung menyingkap selimut yang menutupi tubuh istrinya. Dia mengecek tubuh Kezia seperti dokter yang sedang memeriksa. "Sebelah mana yang sakit?" tanyanya panik."Aku tak tahu. Rasanya sakit semua."Arnold jadi makin panik. Ia
Arnold mengundang Gabi ke kantornya bukan tanpa alasan. Perempuan itu didandani bukan layaknya seorang pembantu, tapi lebih terkesan sebagai seorang tamu. Salah satu karyawan menunjukkan jalan menuju ruangan Arnold kepada Gabi dengan sabar."Terima kasih, Tuan," ucap Gabi dengan sopan pada seorang karyawan pria yang telah mengantarkannya sampai di depan ruangan Arnold.Setelahnya, Gabi langsung memencet bel. Pintu dibukakan oleh Arnold yang sejak tadi memang sudah menunggu kedatangan Gabi."Bagaimana?" tanya Arnold tanpa basa-basi setelah mempersilakan pembantunya duduk di sofa ruang kerjanya.Walaupun sudah bertahun-tahun mengabdi pada keluarga Tuan Sanjaya, tapi ini adalah kali pertama Gabi berkesempatan menginjakkan kaki di ruangan Arnold. Dia hanya pernah berkunjung ke kantor sebatas sampai di lantai bawah. Tidak pernah terpikirkan olehnya betapa luas dan nyamannya ruang kerja Arnold di kantor ini."Saya sudah melakukan se
Sore harinya ketika sebagian besar karyawan telah meninggalkan kantor, Gabriel datang ke ruangan Arnold. Dia membawa tas berisi laptop, juga beberapa kertas berisi tulisan-tulisan hasil penyelidikan pribadinya seharian ini. Sejak mendapat kabar dari Arnold kalau namanya diduga kuat sebagai orang tertuduh, semangat dalam diri Gabriel meledak begitu banyak untuk membuktikan kalau ia tidak bersalah."Mohon maaf, Pak Arnold. Mungkin saya akan menyita sedikit waktu Anda, sehingga Anda akan sampai rumah lebih lambat dari biasanya," tutur Gabriel lembut.Arnold mengangguk, kemudian mempersilakan Gabriel duduk di sofa. Setiap memandang wajah ketua bagian keuangan itu, ada keyakinan yang bergema dalam diri Arnold kalau bukan Gabriel pelakunya.Setelah Arnold mengambil posisi duduk di hadapannya, Gabriel segera bertutur, "Saya punya saran untuk Pak Arnold agar mengganti seluruh kata sandi akun perusahaan tanpa memberi tahu pihak mana pun, termasuk orang-oran
"Mulai besok, kamu istirahat di rumah saja, ya." Arnold berucap pelan ketika masih dalam perjalanan menuju kantor. Kezia yang duduk di sampingnya langsung memutar leher. Ia menatap janggal ke arah sang suami yang detik ini tengah duduk di belakang setir. Hari ini mereka tidak membawa sopir."Kenapa aku kau suruh di rumah saja? Kau tak suka aku ikut ke kantor?" tanya Kezia. Mukanya berubah jadi tersinggung.Arnold menimpali dengan cepat. "Bukan begitu." Matanya melirik beberapa kali ke arah Kezia, tapi lebih banyak difokuskan ke jalanan. "Dalam beberapa hari, usia kandunganmu akan memasuki bulan kesembilan. Gerakmu makin terbatas. Aku tak suka melihat kau kepayahan.""Tapi aku masih punya cukup tenaga. Jangan menyepelekanku."Arnold tak menjawab apa pun lagi. Dia kembali mencuri lirik sampai tiga kali. Dalam benaknya sedang berlangsung peperangan yang tak mampu ia kendalikan. Sejak membaca pesan dari Eva tadi, caranya menatap Kezia jadi penuh selidik